Share

BAB 5 TEKANAN DARI PAPA

last update Last Updated: 2025-09-02 09:40:49

Seketika tubuhku membeku saat Dita berhenti di depan sebuah tempat. Dalam batinku berkata, 'Salon? Seumur hidup aku belum pernah ke tempat seperti ini.'

Dita terus tersenyum, menatap ke dalam salon lalu kembali ke arahku. "Kok bengong aja? Ayo masuk!"

Dita kembali menarik tanganku, membuka pintu kaca. Aroma dari treatment serta parfum khas wanita langsung menyergap hidungku saat kami melangkah masuk.

Seorang terapis mendekati kami. "Selamat datang... mau perawatan apa, Kak?"

Dita mendorongku pelan. "Buat dia jadi cantik."

Tubuhku menjadi kaku lalu berbalik dengan spontan. "Dita, Lo mau apain gue?"

"Gue mau buat Lo, terlihat beda hari ini."

"Buat apa?"

"Ya buat goda Pak Jefri lah," jawabnya santai. Ia memaksa membalik badanku, lalu mendorong tubuhku kembali seakan diserahkan kepada terapis.

Namun tubuhku terus menolak. Aku berbalik dan kembali pada Dita, seperti anak kecil yang ketakutan. "Jangan gila, Dit! Kenapa gue harus rayu pak Jefri? Lo tau banget, gue benci sama dia."

Para wanita yang sedang di treatment rambutnya melirik kami. Mungkin, mereka agak jengkel melihat keributan kami.

Dita juga melirik mereka sesaat, lalu menarik tanganku ke pojokan salon, agak menjauh dari mereka. "Lo tau Yolanda, kan? 

Aku mengangguk singkat, menunggu Dita melanjutkan bicaranya. 

"Lo jauh lebih pintar daripada Yolanda. Tapi kenapa dia bisa cepat lulus daripada Lo?"

Dahiku mengernyit, mencoba berpikir tentang pertanyaan Dita. "Kenapa?"

Dita menarik napas, membuang mukanya sejenak, lalu kembali kepadaku. Ia menadahkan tangannya ke atas sambil bicara penuh penekanan. "Ya tentu saja karena dia seksi."

Aku masih menyipitkan mata karena tak begitu paham dengan maksud Dita. Sepertinya otakku lemot kalau urusan begituan.

Dita kembali menghela napas kesal. Ia memendekkan jarak denganku, lalu bicara dengan pelan. "Erika... Lo kan tahu, Pak Jefri itu masih jomblo. Padahal umurnya sudah tiga puluh tahun lebih. Dia pasti suka kalau ada cewek yang menggodanya."

Aku memijat kening yang terasa berdenyut. Bagiku ide Dita ini benar-benar tidak masuk akal. "Iya masa gue harus rayu Pak Jefri sih, Dit?"

"Lo mau lulus nggak?"

"Mau."

"Makanya nurut sama gue." Ia membalik badanku kembali, lalu mendorongku menuju terapis yang sudah menunggu kami di depan resepsionis. "Mbak... tolong buat dia cantik, ya," pintanya dengan sangat ramah. Heran, kenapa kalau sama aku Dita jutek banget ya.

"Baik, Kak," jawab terapis itu tersenyum dengan sumringah. 

Ia membawaku ke sebuah ruangan lain. Aku terpaksa duduk, di depan cermin besar yang dikelilingi oleh lampu terang benderang, mengikuti perintah Dita.

Aku merebahkan tubuhku di kursi yang empuk, pasrah membiarkan terapis itu melakukan apapun pada wajahku. 

Tak terasa, satu jam berlalu begitu cepat, aku sampai ketiduran dibuatnya.

"Kak... bangun, Kak. Sudah selesai."

Samar-samar kudengar suara itu menelusup ke telinga serta tangan seseorang yang mencuil pundakku.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Perlahan menegakkan tubuh, dan wow...

Aku terpanah pada diriku sendiri. Di hadapanku cermin itu memantulkan wajah yang tidak biasa. 

'Subhanallah... Ternyata aku cantik banget.'

Terapis itu merias wajahku dengan sentuhan natural. Ia menggerai rambut panjangku dan membuatnya gelombang di bagian bawah. 

"Bagaimana, Kak. Apa Kakak suka dengan hasilnya?" tanyanya sopan.

Aku tersenyum sambil mengangguk cepat. "Suka-suka. Terima kasih ya, Mbak."

"Syukurlah. Silakan pembayarannya di resepsionis ya, Kak."

Aku menggangguk lalu berjalan keluar ruangan menghampiri Dita. Sahabatku itu terlihat sangat sabar menungguku di sofa sambil melihat-lihat majalah. 

"Dita!" panggilku.

Dita mengangkat wajahnya, seketika dia berdiri seolah takjub. Ia menghampiriku, meneliti wajahku dengan seksama. "Wow... apa gue bilang? Lo cantik kalau dirias, Erika."

Aku tersenyum penuh percaya diri. Aku cukup senang melihat diriku yang seperti ini. Terlihat lebih segar dan bersemangat, tidak seperti biasanya yang kucel. Mungkin, nyamuk saja malas hinggap di tubuhku.

Selesai membayar aku dan Dita keluar dari salon tersebut. Namun saat kami menuju pintu keluar mall, tiba-tiba Papa dan rekan-rekannya berjalan dari arah berlawanan. 

Aku spontan berbalik, berharap Papa tak melihatku. "Itu Papa gue, Dit. Gue lupa dia punya salah satu restoran di mall ini."

Jantungku deg-degan sambil meremas tangan Dita. Tubuhku berkeringat dan bergetar. "Kalau Papa tahu aku di mall, dia pasti marah."

"Ya udah kita lewat jalan lain aja," ajak Dita merangkul tanganku cepat. 

Baru beberapa langkah, Papa memanggilku. "Erika!"

Tapi aku pura-pura tak mendengar dan terus berjalan. 

"Erika! Jangan pura-pura tidak mendengar!" Teriak Papa dari kejauhan. 

Seketika tubuhku dan Dita membeku. Aku perlahan berbalik memasang wajah manis, lebih manis dari gula. 

"Eh, Papa... Kok Papa ada di sini?"

Si Darman itu menghampiriku dengan wajah kakunya. Aku tahu, dia pasti akan berceramah lagi di depanku. "Harusnya Papa yang bertanya. Apa yang kamu lakukan di sini? Bukannya mengerjakan skripsi."

Aku membenahi tas di pundakku yang melorot. Sebelah tanganku masih meremas tangan Dita. "Erika tadi berdiskusi sama Dita, Pa. Dia membantuku mengoreksi hasil revisi yang aku tulis."

Aku menyikut lengan Dita, berharap dia ikut bicara untuk menyelamatkanku. 

Dita menggangguk cepat meskipun itu terlihat jelas dia juga gugup. "Iya, Om, benar. Tadi Erika minta tolong pada saya untuk mengoreksi skripsinya."

Aku melihat wajah kaku Papa perlahan memudar. Senyumnya mulai terbit sepertinya dia percaya dengan ucapan Dita. 

"Bagus. Harusnya kamu memang mencontoh Dita. Bukankah dia itu seangkatan dengan kamu? Tapi dia sudah lulus dan wisuda dua tahun yang lalu."

Aku hanya terdiam sambil menunduk. Jemariku meremas tali tas di pundak, kakiku bergerak, tak mau diam. 

"Papa sudah kasih kamu kesempatan, Erika. Kamu tahu kenapa papa sangat berharap padamu."

Aku melirik wajahnya sebentar. Di ujung matanya, kulihat ada genangan air yang mendesak keluar.

"Kalau kamu tidak bisa menunjukkan prestasimu, maka semua kerja keras papa akan sia-sia. Om kamu pasti akan merebut perusahaan Papa, Nak..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 70 HANYA TEMAN TIDUR (21+)

    Sambil meremas payudaraku, bibir pak Jefri masih terus mengecup area tengkuk hingga ke bahuku.Aku yang semula tidak suka dengan sikap kasarnya ini, lama-lama ikut menikmatinya. Apa lagi saat jenggot halusnya menggelitik kulit bagian belakangku. Aku jadi terangsang dan basah."Bapak anggap saya apa?" tanyaku, dengan napas yang mulai tidak stabil.Tangan pak Jefri mulai menurunkan celana dalamku, namun ia masih meninggalkan rok pendek plisket yang kupakai.Ia semakin mendorongku ke jendela kaca, lalu mengangkat sebelah kakiku—berselendang di lengannya yang berotot."Kamu hanya teman tidur, tapi saya tidak suka melihatmu dengan pria lain," bisiknya dengan suara berat.Kemudian, ia mulai memasukkan batang keperkasaannya lewat belakang—membuat tubuhku seketika tersentak."Ah!"Penis besarnya mulai memasuki rongga vaginaku yang becek karena rangsangannya."Aahh.... Hah!" desahku bercampur napas memburu. "Bapak nggak bisa seenaknya."Aku berusaha menahan sodokannya dengan satu kaki yang be

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 69 DOMINASI PAK JEFRI

    "Apa-apaan sih, Pak?!" teriakku sambil mendorongnya. "Saya ke sini untuk bimbingan, bukan untuk melayani nafsu Bapak!"Aku segera balik badan dan membuka pintu untuk keluar. Namun pak Jefri kembali datang dan langsung menimang tubuhku."Lepasin! Bapak mau apa, sih?!" bentakku sambil memukul dadanya yang bidang.Aku masih kesal karena dia mengabaikanku di mall tadi. Sikapnya benar-benar acuh seolah membuangku begitu saja.Tapi apa yang dia lakukan sekarang?Pak Jefri menatapku dengan matanya yang merah padam. Raut wajahnya terlihat marah besar. "Kamu sengaja ingin membuat saya cemburu?"Aku tersenyum miring, lalu menjawabnya dengan nada sinis. "Buat apa? Kita nggak ada hubungan apapun."Sebelumnya aku memang sengaja ingin memancing reaksinya, saat mengakui Roy sebagai pacarku. Tapi ternyata dia tidak peduli.Aku tidak menyangka sekarang dia benar-benar terpancing, saat melihatku bergandengan dengan Roy di mall tadi."Kamu pernah bilang tidak pacaran sama DJ itu. Lantas... kenapa sekara

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 68 KEPERGOK

    Pak Jefri. Ia berdiri dengan badan tegap dan raut wajah dingin—sedang menatapku sinis."Pak Jefri?" gumamku sambil terus berjalan.Roy semakin berjalan cepat, menggandeng tanganku sambil melewati pak Jefri begitu saja. Ia berjalan menunduk, itu sebabnya tidak melihat dosenku yang sedang berdiri di dekat pintu.Mata pak Jefri terus mengikuti langkahku bersama Roy. Tatapan kami bahkan sempat saling bertabrakan. Ia masih mematung saat aku melewatinya. Tapi aku tahu, dari raut wajahnya ia terlihat tidak suka.Kenapa? Mungkinkah dia cemburu, atau... aku saja yang terlalu geer?Saat kami sampai di parkiran valley, aku sempat melirik ke dalam mall. Pak Jefri terlihat masuk kembali ke dalam sambil menempelkan ponsel di telinganya."Erika... Maaf, ya. Kamu pasti kaget," ucap Roy sambil membuka pintu mobil."Nggak apa-apa, kok. Itu adalah resiko jalan sama kamu," sahutku sambil tersenyum lebar.Meski dalam hatiku terlintas perasaan khawatir. Bukan karena serangan dari para wartawan itu. Melaink

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 67 PLAYBOY BERHATI TULUS

    "Roy... Kenapa bisa begitu?" tanyaku dengan kening berkerut.Selama ini aku hanya percaya dengan omongan Dita yang mengatakan bahwa, Roy adalah pria playboy dan gila seks.Bahkan aku masih meyakini itu saat menangkap basah Roy, yang tengah menggenjot seorang wanita di club tempo hari.Lalu benarkah apa yang baru saja aku dengar? Dia berimajinasi setiap wanita yang tidur bersamanya adalah aku."Lantas, apa kamu pikir aku bisa dengan mudahnya meniduri pelacur itu?!" jawabnya dengan tekanan tinggi.Tubuhku menegang mendengar jawabannya. Mataku membulat, nafasku terasa terhenti karena syok."Pelacur? Jadi... Mereka itu bukan pacar-pacar kamu?"Roy menghela napas panjang, lalu menunduk seperti menahan sedih. "Aku nggak pernah meniduri wanita yang sama, lebih dari satu kali. Karena aku nggak mau punya hubungan spesial, kecuali teman tidur," bisiknya.Ia mengangkat wajah, lalu menatapku dalam dengan mata yang sendu. "Dan aku melakukan itu... Hanya di saat aku sangat merindukanmu, Erika."Prin

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 66 CERITA DI MASA LALU

    "Erika!" Suara Roy tiba-tiba terdengar di belakangku. Aku langsung menoleh. "Roy. Kok kamu ke sini?""Kamu lama banget," jawabnya sambil berjalan cepat menghampiriku. "Aku sudah telpon kamu berkali-kali tapi nggak diangkat."Ia berhenti di hadapanku, lalu membuang napas panjang, "Aku khawatir. Makanya nyariin kamu."Aku mengeluarkan ponsel dalam tas, lalu mengeceknya. Benar, ternyata Roy sudah menelponku berkali-kali. Tapi aku tidak sadar karena sibuk menghadapi si dosen killer itu."Sorry ya, aku tadi sedang diskusi sama pak Jefri. Jadi nggak denger kalau ada telepon."Roy tersenyum lebar, lalu menggandeng kembali tanganku. "Ya udah. Ayo kita kembali ke restoran.""Roy. Emang harus begini?" tanyaku sambil menatap genggaman tangannya.Roy menyeretku hingga menempel di bahunya. "Cuma gandeng tangan kamu aja."Tatapan matanya hangat dan sangat menyentuh. "Aku tahu kamu belum bisa membalas perasaanku. Tapi setidaknya... tolong buka sedikit hatimu untukku."Aku jadi terenyuh dengan kata-

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 65 LAKI-LAKI BANGSAT!

    Seketika aku langsung menutup bibirku dengan tangan. Jangan sampai pak Jefri melakukan apa yang aku pikirkan barusan. Apalagi sampai menelanjangiku di tempat ini."Apa Bapak pikir saya semurah itu?!" bentakku, mencoba jual mahal.Ia kembali menyeringai sambil membuang muka, lalu kembali menatapku tajam. "Kamu lupa siapa yang mulai mencium duluan?"Aku menelan ludah karena mengingat masa itu. Memang iya aku yang menciumnya duluan. Apa sekarang dia menganggapku wanita murahan? Dia bahkan sudah berhasil meniduriku beberapa kali tanpa paksaan.Semua ini gara-gara Dita. Dia yang menyuruhku untuk merayu pak Jefri. Dan sekarang aku justru terjebak dalam pesonanya yang menenggelamkan."Lantas! Bapak mau apa?!" tanyaku dengan nada tinggi.Perlahan... ia semakin mendekatkan wajahnya hingga hampir menciumku. "Kamu mengejar saya karena rindu, kan?" bisiknya, lalu mengawasi sekeliling. "Tempat ini lumayan juga. Bagaimana kalau kita...""B-bapak jangan gila! Pacar saya masih menunggu di restoran!"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status