Seketika tubuhku membeku saat Dita berhenti di depan sebuah tempat. Dalam batinku berkata, 'Salon? Seumur hidup aku belum pernah ke tempat seperti ini.'
Dita terus tersenyum, menatap ke dalam salon lalu kembali ke arahku. "Kok bengong aja? Ayo masuk!"
Dita kembali menarik tanganku, membuka pintu kaca. Aroma dari treatment serta parfum khas wanita langsung menyergap hidungku saat kami melangkah masuk.
Seorang terapis mendekati kami. "Selamat datang... mau perawatan apa, Kak?"
Dita mendorongku pelan. "Buat dia jadi cantik."
Tubuhku menjadi kaku lalu berbalik dengan spontan. "Dita, Lo mau apain gue?"
"Gue mau buat Lo, terlihat beda hari ini."
"Buat apa?"
"Ya buat goda Pak Jefri lah," jawabnya santai. Ia memaksa membalik badanku, lalu mendorong tubuhku kembali seakan diserahkan kepada terapis.
Namun tubuhku terus menolak. Aku berbalik dan kembali pada Dita, seperti anak kecil yang ketakutan. "Jangan gila, Dit! Kenapa gue harus rayu pak Jefri? Lo tau banget, gue benci sama dia."
Para wanita yang sedang di treatment rambutnya melirik kami. Mungkin, mereka agak jengkel melihat keributan kami.
Dita juga melirik mereka sesaat, lalu menarik tanganku ke pojokan salon, agak menjauh dari mereka. "Lo tau Yolanda, kan?
Aku mengangguk singkat, menunggu Dita melanjutkan bicaranya.
"Lo jauh lebih pintar daripada Yolanda. Tapi kenapa dia bisa cepat lulus daripada Lo?"
Dahiku mengernyit, mencoba berpikir tentang pertanyaan Dita. "Kenapa?"
Dita menarik napas, membuang mukanya sejenak, lalu kembali kepadaku. Ia menadahkan tangannya ke atas sambil bicara penuh penekanan. "Ya tentu saja karena dia seksi."
Aku masih menyipitkan mata karena tak begitu paham dengan maksud Dita. Sepertinya otakku lemot kalau urusan begituan.
Dita kembali menghela napas kesal. Ia memendekkan jarak denganku, lalu bicara dengan pelan. "Erika... Lo kan tahu, Pak Jefri itu masih jomblo. Padahal umurnya sudah tiga puluh tahun lebih. Dia pasti suka kalau ada cewek yang menggodanya."
Aku memijat kening yang terasa berdenyut. Bagiku ide Dita ini benar-benar tidak masuk akal. "Iya masa gue harus rayu Pak Jefri sih, Dit?"
"Lo mau lulus nggak?"
"Mau."
"Makanya nurut sama gue." Ia membalik badanku kembali, lalu mendorongku menuju terapis yang sudah menunggu kami di depan resepsionis. "Mbak... tolong buat dia cantik, ya," pintanya dengan sangat ramah. Heran, kenapa kalau sama aku Dita jutek banget ya.
"Baik, Kak," jawab terapis itu tersenyum dengan sumringah.
Ia membawaku ke sebuah ruangan lain. Aku terpaksa duduk, di depan cermin besar yang dikelilingi oleh lampu terang benderang, mengikuti perintah Dita.
Aku merebahkan tubuhku di kursi yang empuk, pasrah membiarkan terapis itu melakukan apapun pada wajahku.
Tak terasa, satu jam berlalu begitu cepat, aku sampai ketiduran dibuatnya.
"Kak... bangun, Kak. Sudah selesai."
Samar-samar kudengar suara itu menelusup ke telinga serta tangan seseorang yang mencuil pundakku.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Perlahan menegakkan tubuh, dan wow...
Aku terpanah pada diriku sendiri. Di hadapanku cermin itu memantulkan wajah yang tidak biasa.
'Subhanallah... Ternyata aku cantik banget.'
Terapis itu merias wajahku dengan sentuhan natural. Ia menggerai rambut panjangku dan membuatnya gelombang di bagian bawah.
"Bagaimana, Kak. Apa Kakak suka dengan hasilnya?" tanyanya sopan.
Aku tersenyum sambil mengangguk cepat. "Suka-suka. Terima kasih ya, Mbak."
"Syukurlah. Silakan pembayarannya di resepsionis ya, Kak."
Aku menggangguk lalu berjalan keluar ruangan menghampiri Dita. Sahabatku itu terlihat sangat sabar menungguku di sofa sambil melihat-lihat majalah.
"Dita!" panggilku.
Dita mengangkat wajahnya, seketika dia berdiri seolah takjub. Ia menghampiriku, meneliti wajahku dengan seksama. "Wow... apa gue bilang? Lo cantik kalau dirias, Erika."
Aku tersenyum penuh percaya diri. Aku cukup senang melihat diriku yang seperti ini. Terlihat lebih segar dan bersemangat, tidak seperti biasanya yang kucel. Mungkin, nyamuk saja malas hinggap di tubuhku.
Selesai membayar aku dan Dita keluar dari salon tersebut. Namun saat kami menuju pintu keluar mall, tiba-tiba Papa dan rekan-rekannya berjalan dari arah berlawanan.
Aku spontan berbalik, berharap Papa tak melihatku. "Itu Papa gue, Dit. Gue lupa dia punya salah satu restoran di mall ini."
Jantungku deg-degan sambil meremas tangan Dita. Tubuhku berkeringat dan bergetar. "Kalau Papa tahu aku di mall, dia pasti marah."
"Ya udah kita lewat jalan lain aja," ajak Dita merangkul tanganku cepat.
Baru beberapa langkah, Papa memanggilku. "Erika!"
Tapi aku pura-pura tak mendengar dan terus berjalan.
"Erika! Jangan pura-pura tidak mendengar!" Teriak Papa dari kejauhan.
Seketika tubuhku dan Dita membeku. Aku perlahan berbalik memasang wajah manis, lebih manis dari gula.
"Eh, Papa... Kok Papa ada di sini?"
Si Darman itu menghampiriku dengan wajah kakunya. Aku tahu, dia pasti akan berceramah lagi di depanku. "Harusnya Papa yang bertanya. Apa yang kamu lakukan di sini? Bukannya mengerjakan skripsi."
Aku membenahi tas di pundakku yang melorot. Sebelah tanganku masih meremas tangan Dita. "Erika tadi berdiskusi sama Dita, Pa. Dia membantuku mengoreksi hasil revisi yang aku tulis."
Aku menyikut lengan Dita, berharap dia ikut bicara untuk menyelamatkanku.
Dita menggangguk cepat meskipun itu terlihat jelas dia juga gugup. "Iya, Om, benar. Tadi Erika minta tolong pada saya untuk mengoreksi skripsinya."
Aku melihat wajah kaku Papa perlahan memudar. Senyumnya mulai terbit sepertinya dia percaya dengan ucapan Dita.
"Bagus. Harusnya kamu memang mencontoh Dita. Bukankah dia itu seangkatan dengan kamu? Tapi dia sudah lulus dan wisuda dua tahun yang lalu."
Aku hanya terdiam sambil menunduk. Jemariku meremas tali tas di pundak, kakiku bergerak, tak mau diam.
"Papa sudah kasih kamu kesempatan, Erika. Kamu tahu kenapa papa sangat berharap padamu."
Aku melirik wajahnya sebentar. Di ujung matanya, kulihat ada genangan air yang mendesak keluar.
"Kalau kamu tidak bisa menunjukkan prestasimu, maka semua kerja keras papa akan sia-sia. Om kamu pasti akan merebut perusahaan Papa, Nak..."
"Astaga! Pak Jefri liat aku nggak, ya?"Aku berjalan cepat menuju ruang tamu dengan napas tersengal-sengal. Lalu duduk sambil merapatkan bagian sensitif ku yang masih berdenyut."Perasaan macam apa ini? Kenapa aku—""Erika?" potong Pak Jefri. Ia tiba-tiba datang berjalan ke arahku. Sekarang sudah mengenakan piyama berbahan sutra dengan warna merah maroon. Kancing bagian atasnya terbuka, memperlihatkan otot dadanya yang bidang.Kain sutra yang dipakainya menari indah, mengikuti bentuk tubuhnya yang tegap."Pak..." Aku mengangguk sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang masih bertahan.Tanganku masih meremas daerah selangkangan yang basah dan berdenyut.Sensasi apa ini? Aku tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Tapi sekarang?Kenapa hanya dengan melihat kain sutra yang menempel di tonjolan Pak Jefri membuatku deg-degan? Rasanya... Aku ingin sesuatu menggelitik bagian bawahku."Kamu sudah dari tadi?" tanya Pak Jefri sambil duduk di sampingku."Baru saja kok, Pak. T
Aku terus menunduk. Bibirku tak mampu menjawab setiap perkataannya. Air mataku menetes meski sudah ditahan. Beruntung, area itu tidak terlalu ramai, jadi aku tidak terlalu malu.Aku merasa bersalah. Aku tahu maksud Papa baik. Dia hanya ingin menjaga apa yang sudah menjadi milikku."Maafin Erika, Pa." Aku mengangkat wajah. Menggigit sedikit bibirku untuk menahan isak. "Erika janji, akan segera menyelesaikan skripsi."Papa menghampiriku, lalu memelukku erat. Aku bisa merasakan kasih sayangnya yang dalam lewat tangannya yang mengelus rambutku."Erika... Papa sayang sama kamu. Papa nggak mau, mereka menyingkirkanmu karena dianggap tidak berguna."Aku menangis dalam pelukan Papa. Hatiku rasanya hancur dan sedikit menyesal. Saat itu, otakku benar-benar tidak bisa dipaksa belajar suatu hal yang tidak aku suka.Sejak semester satu, aku jarang mengikuti mata kuliah dengan benar. Itu sebabnya, sekarang aku mengalami kesulitan saat menyusun skripsi."Erika akan berusaha biar nggak ngecewain Papa
Seketika tubuhku membeku saat Dita berhenti di depan sebuah tempat. Dalam batinku berkata, 'Salon? Seumur hidup aku belum pernah ke tempat seperti ini.'Dita terus tersenyum, menatap ke dalam salon lalu kembali ke arahku. "Kok bengong aja? Ayo masuk!"Dita kembali menarik tanganku, membuka pintu kaca. Aroma dari treatment serta parfum khas wanita langsung menyergap hidungku saat kami melangkah masuk.Seorang terapis mendekati kami. "Selamat datang... mau perawatan apa, Kak?"Dita mendorongku pelan. "Buat dia jadi cantik."Tubuhku menjadi kaku lalu berbalik dengan spontan. "Dita, Lo mau apain gue?""Gue mau buat Lo, terlihat beda hari ini.""Buat apa?""Ya buat goda Pak Jefri lah," jawabnya santai. Ia memaksa membalik badanku, lalu mendorong tubuhku kembali seakan diserahkan kepada terapis.Namun tubuhku terus menolak. Aku berbalik dan kembali pada Dita, seperti anak kecil yang ketakutan. "Jangan gila, Dit! Kenapa gue harus rayu pak Jefri? Lo tau banget, gue benci sama dia."Para wanit
"Dita!" teriakku. "Gila Lo ya!" Mataku membelalak sambil mendorong piring croissant di depanku. "Lo baru aja cemburu hanya karena gue mimpi begituan sama Pak Jefri. Sekarang malah nyuruh gue tidur beneran?!"Dita menggaruk kepalanya, seolah ikut frustasi. "Ya... habisnya Lo susah banget ngajuin skripsi doang. Coba aja kalau nulis fiksi. Sehari bisa beribu kata?!" Raut wajahnya tegang dengan mata melotot.Aku mengangkat kedua kaki ke kursi, lalu bersila. "Ya beda lah." Aku mengaduk-aduk es kopi dengan wajah cemberut. "Gue kan nggak pernah suka sama bisnis. Tapi bokap gue maksa. Makanya otak gue buntu."Dita menyilangkan tangannya di dada. Dia menatapku sinis, tatapan yang sama persis dengan yang selalu kuterima dari Mama dan Papaku. "Gue heran deh sama Lo, Er." Ia menarik napas dalam, seolah sedang bersiap menyanyikan lagu. "Hidup Lo itu uda dibuat nyaman sama bonyok Lo, Er. Tapi Lo malah menyesatkan diri dengan menjadi penulis.""Itu namanya passion, Dita..." tegasku sambil menyedot
Teleponnya dimatikan begitu saja oleh Papa. Aku semakin syok dengan ancaman terakhirnya."Apa? Dinikahkan? Wahh... Penuh kejutan banget, ya, si Darman!"Itu nama Papaku, Darman Dwi Atmaja. Seorang pengusaha sukses di bidang kuliner. Dan aku, adalah pewaris tunggalnya. Tapi sedikitpun, aku tak tertarik terjun ke dunia bisnisnya. Itu sebabnya Papa selalu marah.Aku menghela napas berat, lalu melanjutkan langkahku yang tak bersemangat.Orang-orang di sekitarku mulai memandang dan berbisik. Entah apa yang mereka gosipkan. Karena aku menangis, atau karena penampilanku yang kacau seperti sumo?Entahlah. Aku memilih cuek seperti biasa, lalu bergegas menuju tempat parkir—menaiki motor listrik kesayanganku ini menuju mall Sadewa.Sesampainya di mall, aku berdiri di depan kafe sambil menelpon Dita."Halo, Dit. Di mana Lo? Gue udah di depan kafe, nih.""Halo... Gue juga udah nungguin Lo di depan. Kok gue gak liat Ello, sih."Dahiku mengernyit, kepalaku berputar ke segala arah mencari keberadaan
Aku melirik sudut kamar mandi. Di sana teronggok tumpukan pakaian kotor. Mungkin aku terlalu stress, sampai lupa mencuci baju. Apartemenku kini benar-benar kacau, bagai kapal pecah."Ughhh... Apa yang harus kupakai?"Aku terkulai di lantai dengan putus asa. Satu-satunya celana yang kupunya hanyalah hotpants yang sedang aku kenakan."Haruskah aku batalkan bimbingan? Tapi... Bagaimana kalau aku gak lulus lagi?"Aku mengacak-acak rambut, merasa sangat frustasi. "Aargghh... Aku tidak mau. Aku bisa dibunuh Papa kalau gak lulus tahun ini..."Tiba-tiba sebuah ide muncul. Aku bangkit, kembali mengacak-acak isi lemari yang tersisa.Mataku berbinar saat menemukan jaket pendek sepusar berbahan kulit sintesis. Aku segera memakainya dengan cepat, lalu menyampirkan kemejaku ke pinggang. Ya... Setidaknya itu bisa menutupi sedikit pahaku.Bagaimanapun juga, aku tidak mau menjadi sasaran pemuas nafsu si dosen killer itu.Aku hanya merapikan rambutku yang ikal sepinggang ini dengan tangan, lalu mengg