"Dita!" teriakku. "Gila Lo ya!" Mataku membelalak sambil mendorong piring croissant di depanku. "Lo baru aja cemburu hanya karena gue mimpi begituan sama Pak Jefri. Sekarang malah nyuruh gue tidur beneran?!"
Dita menggaruk kepalanya, seolah ikut frustasi. "Ya... habisnya Lo susah banget ngajuin skripsi doang. Coba aja kalau nulis fiksi. Sehari bisa beribu kata?!" Raut wajahnya tegang dengan mata melotot.
Aku mengangkat kedua kaki ke kursi, lalu bersila. "Ya beda lah." Aku mengaduk-aduk es kopi dengan wajah cemberut. "Gue kan nggak pernah suka sama bisnis. Tapi bokap gue maksa. Makanya otak gue buntu."
Dita menyilangkan tangannya di dada. Dia menatapku sinis, tatapan yang sama persis dengan yang selalu kuterima dari Mama dan Papaku. "Gue heran deh sama Lo, Er."
Ia menarik napas dalam, seolah sedang bersiap menyanyikan lagu. "Hidup Lo itu uda dibuat nyaman sama bonyok Lo, Er. Tapi Lo malah menyesatkan diri dengan menjadi penulis."
"Itu namanya passion, Dita..." tegasku sambil menyedot es kopi yang sudah habis. Sisa batu es itu menimbulkan suara berisik.
Sruut... sruuut...
Dita menatapku dengan raut wajah dingin, terlihat kaku persis seperti ibu tiri yang siap mengamuk.
"Hehehe... Gue mau tambah kopi lagi, ya?" pintaku sambil tertawa garing, berusaha mencairkan suasana.
"Nggak ada! Ayo ikut gue!"
Dita menarik tanganku keluar dari kafe. Langkahnya sungguh tergesa, benar-benar seperti ibu yang mau menghukum anak tirinya.
"Lo mau bawa gue ke mana, Dita?"
"Mandi!" jawabnya singkat sambil terus menarik tanganku.
Aku menghentikan langkah, menahan tangan Dita. "Apa? Mandi?"
Dita membalikkan badannya. Ia bersedekap sambil memelototiku. "Iya. Ello uda dua hari kan, nggak mandi?!"
Aku menarik ujung baju Dita sambil menunduk. Wajahku terasa panas dan memerah, seperti kepiting rebus. "Dita... Di sini banyak orang. Masa iya mandi di mall."
"Lo malu?" Dita menjauhkan tubuhnya sedikit hanya untuk meneliti penampilanku dari atas sampai bawah. "Coba lihat diri Lo sekarang? Gimana Pak Jefri nggak ilfeel coba?"
Aku menyilangkan kaki. Tanganku saling meremas sambil sesekali menggaruk kepalaku yang memang gatal. Aku lupa kapan tepatnya terakhir keramas. Menulis fiksi membuatku terlalu nyaman hidup di dunia khayalan, sampai lupa dengan dunia nyata yang tetap harus ku jalani.
"Ayo ikut! Lo mau lulus nggak?!" bentak Dita.
"Mau mau..." jawabku cepat sambil mengikuti langkah Dita menuju sebuah butik.
Aku melihatnya mengangkat beberapa baju: kaus tipis jatuh longgar, gaun mini dengan potongan dada rendah. Keningku langsung berkerut. Apa-apaan? Itu jelas bukan gayaku. Aku pikir mungkin dia memilih untuk dipakai sendiri.
Namun nyatanya, Dita melangkah ke arahku dengan senyum puas, kedua tangannya menjinjing sepasang pakaian yang mampu membuat mata pria tak bisa berkedip melihatnya. Jantungku langsung turun ke perut.
"Cobain ini!" perintahnya, memberikan baju itu padaku.
Aku menerima baju itu dengan ragu, lalu membentangnya di depan Dita. Aku tersenyum tipis, sedikit mengangkat ujung bibir lebih tinggit, lalu menurunkan baju itu.
"Ini baju buat gue, Dit?" Kedua ujung alisku terangkat, setengah tak percaya.
"Tentu saja." Dita kembali bersedekap sambil memandangku sinis. "Lo itu cewek. Girly dikit bisa, kan?"
Tubuhku terasa lemas. Tapi saat ini, aku tak punya waktu untuk berdebat. Tujuanku hanya satu, lulus kuliah.
"Ya uda deh, gue cobain."
"Gitu, dong," jawab Dita, terlihat senang.
Dia terus mengawasiku di depan ruang ganti. Lalu saat aku keluar dengan baju yang dia pilih...
"Wow... Lo cantik banget, Erika. Lo sadar gak sih kalo Lo cantik," pujinya.
Tapi sayang itu tak membuatku senang. Aku merasa risih dan tak nyaman dengan pakaian minim dan terbuka ini.
"Terima kasih sahabatku, Dita," jawabku lembut sambil tersenyum lebar yang terasa hambar.
Aku segera mengganti pakaian kembali, lalu membayar baju itu.
"Habis ini gue anterin Lo mandi," ucap Dita, senyumnya sangat puas.
Emang ya Dita ini. Selalu membuat aku syok. Mandi di mall?
Aku tak bisa menggerakkan tubuh. Bahkan kelopak matanya rasanya sulit untuk berkedip. Bibirku terasa membeku saat ingin menjawab, "Lo yakin gue harus mandi di mall?"
"Iya, Dong. Ayo!" Dita menarik tanganku kembali—menuju toilet. "Lo nggak akan punya waktu untuk mandi di apartemen. Kalau Lo telat lagi, gue jamin Pak Jefri akan langsung membuang skripsi Lo."
Ocehannya terus berlanjut di sepanjang lorong hingga akhirnya kami sampai di toilet.
Aku pun menurutinya. Mandi dengan shower WC yang airnya hanya bergemericik. Dita benar-benar niat membawakanku sabun mandi yang super wangi.
"Emh... Segar banget baunya."
Aku masih sempat bermain busa di tengah situasi memalukan ini. Air yang kuhabiskan terlalu banyak, sampai genangannya di kabin menyebar hingga ke kabin lain.
Beruntung toilet di tempat ini sepi. Jadi aku tidak terlalu malu, mandi di toilet umum yang hanya bisa untuk buang air itu. Hanya suara wanita di kabin sebelah yang terdengar menggerutu.
"Siapa, sih, mandi di toilet? Emang rumahnya nggak punya kamar mandi, ya?"
Aku menipiskan bibir, merapatkan telinga sambil mengenakan pakaian yang kubeli tadi.
Keluar dari toilet, aku langsung di sambut oleh Mbak cleaning service yang membawa sapu pel di tangannya. Wajahnya... bisa ditebak, kedua alisnya bertaut seperti jembatan suramadu.
"Mbak... Maaf, ya. Ini aku kasi tip buat bersihin toiletnya."
Aku memberinya uang tunai yang tersisa di dalam tas. Jumlahnya sekitar satu juta rupiah. Seketika, bibir si Mbak itu langsung tersenyum lebar seperti mendapat durian runtuh.
"Aduh Mbak... Kok repot-repot," katanya sambil menerima uang dariku. Aku tahu itu cuma basa-basi.
"Nggak apa-apa, Mbak. Aku yang minta maaf karena nambah kerjaan Mbaknya."
Aku segera keluar dari toilet, menghampiri Dita. Dia terlihat berdiri kaku di depan pintu masuk toilet seperti satpam.
"Dit..." Panggilku.
Seketika mata Dita berbinar dan senyumnya sumringah. "Nah... gitu dong. Ayo ikut gue!" Pintanya, menggandeng tanganku.
"Astaga! Pak Jefri liat aku nggak, ya?"Aku berjalan cepat menuju ruang tamu dengan napas tersengal-sengal. Lalu duduk sambil merapatkan bagian sensitif ku yang masih berdenyut."Perasaan macam apa ini? Kenapa aku—""Erika?" potong Pak Jefri. Ia tiba-tiba datang berjalan ke arahku. Sekarang sudah mengenakan piyama berbahan sutra dengan warna merah maroon. Kancing bagian atasnya terbuka, memperlihatkan otot dadanya yang bidang.Kain sutra yang dipakainya menari indah, mengikuti bentuk tubuhnya yang tegap."Pak..." Aku mengangguk sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang masih bertahan.Tanganku masih meremas daerah selangkangan yang basah dan berdenyut.Sensasi apa ini? Aku tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Tapi sekarang?Kenapa hanya dengan melihat kain sutra yang menempel di tonjolan Pak Jefri membuatku deg-degan? Rasanya... Aku ingin sesuatu menggelitik bagian bawahku."Kamu sudah dari tadi?" tanya Pak Jefri sambil duduk di sampingku."Baru saja kok, Pak. T
Aku terus menunduk. Bibirku tak mampu menjawab setiap perkataannya. Air mataku menetes meski sudah ditahan. Beruntung, area itu tidak terlalu ramai, jadi aku tidak terlalu malu.Aku merasa bersalah. Aku tahu maksud Papa baik. Dia hanya ingin menjaga apa yang sudah menjadi milikku."Maafin Erika, Pa." Aku mengangkat wajah. Menggigit sedikit bibirku untuk menahan isak. "Erika janji, akan segera menyelesaikan skripsi."Papa menghampiriku, lalu memelukku erat. Aku bisa merasakan kasih sayangnya yang dalam lewat tangannya yang mengelus rambutku."Erika... Papa sayang sama kamu. Papa nggak mau, mereka menyingkirkanmu karena dianggap tidak berguna."Aku menangis dalam pelukan Papa. Hatiku rasanya hancur dan sedikit menyesal. Saat itu, otakku benar-benar tidak bisa dipaksa belajar suatu hal yang tidak aku suka.Sejak semester satu, aku jarang mengikuti mata kuliah dengan benar. Itu sebabnya, sekarang aku mengalami kesulitan saat menyusun skripsi."Erika akan berusaha biar nggak ngecewain Papa
Seketika tubuhku membeku saat Dita berhenti di depan sebuah tempat. Dalam batinku berkata, 'Salon? Seumur hidup aku belum pernah ke tempat seperti ini.'Dita terus tersenyum, menatap ke dalam salon lalu kembali ke arahku. "Kok bengong aja? Ayo masuk!"Dita kembali menarik tanganku, membuka pintu kaca. Aroma dari treatment serta parfum khas wanita langsung menyergap hidungku saat kami melangkah masuk.Seorang terapis mendekati kami. "Selamat datang... mau perawatan apa, Kak?"Dita mendorongku pelan. "Buat dia jadi cantik."Tubuhku menjadi kaku lalu berbalik dengan spontan. "Dita, Lo mau apain gue?""Gue mau buat Lo, terlihat beda hari ini.""Buat apa?""Ya buat goda Pak Jefri lah," jawabnya santai. Ia memaksa membalik badanku, lalu mendorong tubuhku kembali seakan diserahkan kepada terapis.Namun tubuhku terus menolak. Aku berbalik dan kembali pada Dita, seperti anak kecil yang ketakutan. "Jangan gila, Dit! Kenapa gue harus rayu pak Jefri? Lo tau banget, gue benci sama dia."Para wanit
"Dita!" teriakku. "Gila Lo ya!" Mataku membelalak sambil mendorong piring croissant di depanku. "Lo baru aja cemburu hanya karena gue mimpi begituan sama Pak Jefri. Sekarang malah nyuruh gue tidur beneran?!"Dita menggaruk kepalanya, seolah ikut frustasi. "Ya... habisnya Lo susah banget ngajuin skripsi doang. Coba aja kalau nulis fiksi. Sehari bisa beribu kata?!" Raut wajahnya tegang dengan mata melotot.Aku mengangkat kedua kaki ke kursi, lalu bersila. "Ya beda lah." Aku mengaduk-aduk es kopi dengan wajah cemberut. "Gue kan nggak pernah suka sama bisnis. Tapi bokap gue maksa. Makanya otak gue buntu."Dita menyilangkan tangannya di dada. Dia menatapku sinis, tatapan yang sama persis dengan yang selalu kuterima dari Mama dan Papaku. "Gue heran deh sama Lo, Er." Ia menarik napas dalam, seolah sedang bersiap menyanyikan lagu. "Hidup Lo itu uda dibuat nyaman sama bonyok Lo, Er. Tapi Lo malah menyesatkan diri dengan menjadi penulis.""Itu namanya passion, Dita..." tegasku sambil menyedot
Teleponnya dimatikan begitu saja oleh Papa. Aku semakin syok dengan ancaman terakhirnya."Apa? Dinikahkan? Wahh... Penuh kejutan banget, ya, si Darman!"Itu nama Papaku, Darman Dwi Atmaja. Seorang pengusaha sukses di bidang kuliner. Dan aku, adalah pewaris tunggalnya. Tapi sedikitpun, aku tak tertarik terjun ke dunia bisnisnya. Itu sebabnya Papa selalu marah.Aku menghela napas berat, lalu melanjutkan langkahku yang tak bersemangat.Orang-orang di sekitarku mulai memandang dan berbisik. Entah apa yang mereka gosipkan. Karena aku menangis, atau karena penampilanku yang kacau seperti sumo?Entahlah. Aku memilih cuek seperti biasa, lalu bergegas menuju tempat parkir—menaiki motor listrik kesayanganku ini menuju mall Sadewa.Sesampainya di mall, aku berdiri di depan kafe sambil menelpon Dita."Halo, Dit. Di mana Lo? Gue udah di depan kafe, nih.""Halo... Gue juga udah nungguin Lo di depan. Kok gue gak liat Ello, sih."Dahiku mengernyit, kepalaku berputar ke segala arah mencari keberadaan
Aku melirik sudut kamar mandi. Di sana teronggok tumpukan pakaian kotor. Mungkin aku terlalu stress, sampai lupa mencuci baju. Apartemenku kini benar-benar kacau, bagai kapal pecah."Ughhh... Apa yang harus kupakai?"Aku terkulai di lantai dengan putus asa. Satu-satunya celana yang kupunya hanyalah hotpants yang sedang aku kenakan."Haruskah aku batalkan bimbingan? Tapi... Bagaimana kalau aku gak lulus lagi?"Aku mengacak-acak rambut, merasa sangat frustasi. "Aargghh... Aku tidak mau. Aku bisa dibunuh Papa kalau gak lulus tahun ini..."Tiba-tiba sebuah ide muncul. Aku bangkit, kembali mengacak-acak isi lemari yang tersisa.Mataku berbinar saat menemukan jaket pendek sepusar berbahan kulit sintesis. Aku segera memakainya dengan cepat, lalu menyampirkan kemejaku ke pinggang. Ya... Setidaknya itu bisa menutupi sedikit pahaku.Bagaimanapun juga, aku tidak mau menjadi sasaran pemuas nafsu si dosen killer itu.Aku hanya merapikan rambutku yang ikal sepinggang ini dengan tangan, lalu mengg