Home / Romansa / DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta / BAB 4 MANDI DI TOILET MALL

Share

BAB 4 MANDI DI TOILET MALL

last update Huling Na-update: 2025-09-02 09:39:46

"Dita!" teriakku. "Gila Lo ya!" Mataku membelalak sambil mendorong piring croissant di depanku. "Lo baru aja cemburu hanya karena gue mimpi begituan sama Pak Jefri. Sekarang malah nyuruh gue tidur beneran?!"

Dita menggaruk kepalanya, seolah ikut frustasi. "Ya... habisnya Lo susah banget ngajuin skripsi doang. Coba aja kalau nulis fiksi. Sehari bisa beribu kata?!" Raut wajahnya tegang dengan mata melotot.

Aku mengangkat kedua kaki ke kursi, lalu bersila. "Ya beda lah." Aku mengaduk-aduk es kopi dengan wajah cemberut. "Gue kan nggak pernah suka sama bisnis. Tapi bokap gue maksa. Makanya otak gue buntu."

Dita menyilangkan tangannya di dada. Dia menatapku sinis, tatapan yang sama persis dengan yang selalu kuterima dari Mama dan Papaku. "Gue heran deh sama Lo, Er." 

Ia menarik napas dalam, seolah sedang bersiap menyanyikan lagu. "Hidup Lo itu uda dibuat nyaman sama bonyok Lo, Er. Tapi Lo malah menyesatkan diri dengan menjadi penulis."

"Itu namanya passion, Dita..." tegasku sambil menyedot es kopi yang sudah habis. Sisa batu es itu menimbulkan suara berisik.

Sruut... sruuut...

Dita menatapku dengan raut wajah dingin, terlihat kaku persis seperti ibu tiri yang siap mengamuk.

"Hehehe... Gue mau tambah kopi lagi, ya?" pintaku sambil tertawa garing, berusaha mencairkan suasana.

"Nggak ada! Ayo ikut gue!"

Dita menarik tanganku keluar dari kafe. Langkahnya sungguh tergesa, benar-benar seperti ibu yang mau menghukum anak tirinya.

"Lo mau bawa gue ke mana, Dita?"

"Mandi!" jawabnya singkat sambil terus menarik tanganku.

Aku menghentikan langkah, menahan tangan Dita. "Apa? Mandi?"

Dita membalikkan badannya. Ia bersedekap sambil memelototiku. "Iya. Ello uda dua hari kan, nggak mandi?!"

Aku menarik ujung baju Dita sambil menunduk. Wajahku terasa panas dan memerah, seperti kepiting rebus. "Dita... Di sini banyak orang. Masa iya mandi di mall."

"Lo malu?" Dita menjauhkan tubuhnya sedikit hanya untuk meneliti penampilanku dari atas sampai bawah. "Coba lihat diri Lo sekarang? Gimana Pak Jefri nggak ilfeel coba?"

Aku menyilangkan kaki. Tanganku saling meremas sambil sesekali menggaruk kepalaku yang memang gatal. Aku lupa kapan tepatnya terakhir keramas. Menulis fiksi membuatku terlalu nyaman hidup di dunia khayalan, sampai lupa dengan dunia nyata yang tetap harus ku jalani.

"Ayo ikut! Lo mau lulus nggak?!" bentak Dita.

"Mau mau..." jawabku cepat sambil mengikuti langkah Dita menuju sebuah butik.

Aku melihatnya mengangkat beberapa baju: kaus tipis jatuh longgar, gaun mini dengan potongan dada rendah. Keningku langsung berkerut. Apa-apaan? Itu jelas bukan gayaku. Aku pikir mungkin dia memilih untuk dipakai sendiri. 

Namun nyatanya, Dita melangkah ke arahku dengan senyum puas, kedua tangannya menjinjing sepasang pakaian yang mampu membuat mata pria tak bisa berkedip melihatnya. Jantungku langsung turun ke perut.

"Cobain ini!" perintahnya, memberikan baju itu padaku.

Aku menerima baju itu dengan ragu, lalu membentangnya di depan Dita. Aku tersenyum tipis, sedikit mengangkat ujung bibir lebih tinggit, lalu menurunkan baju itu. 

"Ini baju buat gue, Dit?" Kedua ujung alisku terangkat, setengah tak percaya.

"Tentu saja." Dita kembali bersedekap sambil memandangku sinis. "Lo itu cewek. Girly dikit bisa, kan?"

Tubuhku terasa lemas. Tapi saat ini, aku tak punya waktu untuk berdebat. Tujuanku hanya satu, lulus kuliah.

"Ya uda deh, gue cobain."

"Gitu, dong," jawab Dita, terlihat senang.

Dia terus mengawasiku di depan ruang ganti. Lalu saat aku keluar dengan baju yang dia pilih...

"Wow... Lo cantik banget, Erika. Lo sadar gak sih kalo Lo cantik," pujinya. 

Tapi sayang itu tak membuatku senang. Aku merasa risih dan tak nyaman dengan pakaian minim dan terbuka ini.

"Terima kasih sahabatku, Dita," jawabku lembut sambil tersenyum lebar yang terasa hambar.

Aku segera mengganti pakaian kembali, lalu membayar baju itu.

"Habis ini gue anterin Lo mandi," ucap Dita, senyumnya sangat puas.

Emang ya Dita ini. Selalu membuat aku syok. Mandi di mall? 

Aku tak bisa menggerakkan tubuh. Bahkan kelopak matanya rasanya sulit untuk berkedip. Bibirku terasa membeku saat ingin menjawab, "Lo yakin gue harus mandi di mall?"

"Iya, Dong. Ayo!" Dita menarik tanganku kembali—menuju toilet. "Lo nggak akan punya waktu untuk mandi di apartemen. Kalau Lo telat lagi, gue jamin Pak Jefri akan langsung membuang skripsi Lo."

Ocehannya terus berlanjut di sepanjang lorong hingga akhirnya kami sampai di toilet.

Aku pun menurutinya. Mandi dengan shower WC yang airnya hanya bergemericik. Dita benar-benar niat membawakanku sabun mandi yang super wangi. 

"Emh... Segar banget baunya." 

Aku masih sempat bermain busa di tengah situasi memalukan ini. Air yang kuhabiskan terlalu banyak, sampai genangannya di kabin menyebar hingga ke kabin lain.

Beruntung toilet di tempat ini sepi. Jadi aku tidak terlalu malu, mandi di toilet umum yang hanya bisa untuk buang air itu. Hanya suara wanita di kabin sebelah yang terdengar menggerutu.

"Siapa, sih, mandi di toilet? Emang rumahnya nggak punya kamar mandi, ya?"

Aku menipiskan bibir, merapatkan telinga sambil mengenakan pakaian yang kubeli tadi.

Keluar dari toilet, aku langsung di sambut oleh Mbak cleaning service yang membawa sapu pel di tangannya. Wajahnya... bisa ditebak, kedua alisnya bertaut seperti jembatan suramadu.

"Mbak... Maaf, ya. Ini aku kasi tip buat bersihin toiletnya."

Aku memberinya uang tunai yang tersisa di dalam tas. Jumlahnya sekitar satu juta rupiah. Seketika, bibir si Mbak itu langsung tersenyum lebar seperti mendapat durian runtuh.

"Aduh Mbak... Kok repot-repot," katanya sambil menerima uang dariku. Aku tahu itu cuma basa-basi.

"Nggak apa-apa, Mbak. Aku yang minta maaf karena nambah kerjaan Mbaknya."

Aku segera keluar dari toilet, menghampiri Dita. Dia terlihat berdiri kaku di depan pintu masuk toilet seperti satpam.

"Dit..." Panggilku.

Seketika mata Dita berbinar dan senyumnya sumringah. "Nah... gitu dong. Ayo ikut gue!" Pintanya, menggandeng tanganku.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 70 HANYA TEMAN TIDUR (21+)

    Sambil meremas payudaraku, bibir pak Jefri masih terus mengecup area tengkuk hingga ke bahuku.Aku yang semula tidak suka dengan sikap kasarnya ini, lama-lama ikut menikmatinya. Apa lagi saat jenggot halusnya menggelitik kulit bagian belakangku. Aku jadi terangsang dan basah."Bapak anggap saya apa?" tanyaku, dengan napas yang mulai tidak stabil.Tangan pak Jefri mulai menurunkan celana dalamku, namun ia masih meninggalkan rok pendek plisket yang kupakai.Ia semakin mendorongku ke jendela kaca, lalu mengangkat sebelah kakiku—berselendang di lengannya yang berotot."Kamu hanya teman tidur, tapi saya tidak suka melihatmu dengan pria lain," bisiknya dengan suara berat.Kemudian, ia mulai memasukkan batang keperkasaannya lewat belakang—membuat tubuhku seketika tersentak."Ah!"Penis besarnya mulai memasuki rongga vaginaku yang becek karena rangsangannya."Aahh.... Hah!" desahku bercampur napas memburu. "Bapak nggak bisa seenaknya."Aku berusaha menahan sodokannya dengan satu kaki yang be

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 69 DOMINASI PAK JEFRI

    "Apa-apaan sih, Pak?!" teriakku sambil mendorongnya. "Saya ke sini untuk bimbingan, bukan untuk melayani nafsu Bapak!"Aku segera balik badan dan membuka pintu untuk keluar. Namun pak Jefri kembali datang dan langsung menimang tubuhku."Lepasin! Bapak mau apa, sih?!" bentakku sambil memukul dadanya yang bidang.Aku masih kesal karena dia mengabaikanku di mall tadi. Sikapnya benar-benar acuh seolah membuangku begitu saja.Tapi apa yang dia lakukan sekarang?Pak Jefri menatapku dengan matanya yang merah padam. Raut wajahnya terlihat marah besar. "Kamu sengaja ingin membuat saya cemburu?"Aku tersenyum miring, lalu menjawabnya dengan nada sinis. "Buat apa? Kita nggak ada hubungan apapun."Sebelumnya aku memang sengaja ingin memancing reaksinya, saat mengakui Roy sebagai pacarku. Tapi ternyata dia tidak peduli.Aku tidak menyangka sekarang dia benar-benar terpancing, saat melihatku bergandengan dengan Roy di mall tadi."Kamu pernah bilang tidak pacaran sama DJ itu. Lantas... kenapa sekara

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 68 KEPERGOK

    Pak Jefri. Ia berdiri dengan badan tegap dan raut wajah dingin—sedang menatapku sinis."Pak Jefri?" gumamku sambil terus berjalan.Roy semakin berjalan cepat, menggandeng tanganku sambil melewati pak Jefri begitu saja. Ia berjalan menunduk, itu sebabnya tidak melihat dosenku yang sedang berdiri di dekat pintu.Mata pak Jefri terus mengikuti langkahku bersama Roy. Tatapan kami bahkan sempat saling bertabrakan. Ia masih mematung saat aku melewatinya. Tapi aku tahu, dari raut wajahnya ia terlihat tidak suka.Kenapa? Mungkinkah dia cemburu, atau... aku saja yang terlalu geer?Saat kami sampai di parkiran valley, aku sempat melirik ke dalam mall. Pak Jefri terlihat masuk kembali ke dalam sambil menempelkan ponsel di telinganya."Erika... Maaf, ya. Kamu pasti kaget," ucap Roy sambil membuka pintu mobil."Nggak apa-apa, kok. Itu adalah resiko jalan sama kamu," sahutku sambil tersenyum lebar.Meski dalam hatiku terlintas perasaan khawatir. Bukan karena serangan dari para wartawan itu. Melaink

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 67 PLAYBOY BERHATI TULUS

    "Roy... Kenapa bisa begitu?" tanyaku dengan kening berkerut.Selama ini aku hanya percaya dengan omongan Dita yang mengatakan bahwa, Roy adalah pria playboy dan gila seks.Bahkan aku masih meyakini itu saat menangkap basah Roy, yang tengah menggenjot seorang wanita di club tempo hari.Lalu benarkah apa yang baru saja aku dengar? Dia berimajinasi setiap wanita yang tidur bersamanya adalah aku."Lantas, apa kamu pikir aku bisa dengan mudahnya meniduri pelacur itu?!" jawabnya dengan tekanan tinggi.Tubuhku menegang mendengar jawabannya. Mataku membulat, nafasku terasa terhenti karena syok."Pelacur? Jadi... Mereka itu bukan pacar-pacar kamu?"Roy menghela napas panjang, lalu menunduk seperti menahan sedih. "Aku nggak pernah meniduri wanita yang sama, lebih dari satu kali. Karena aku nggak mau punya hubungan spesial, kecuali teman tidur," bisiknya.Ia mengangkat wajah, lalu menatapku dalam dengan mata yang sendu. "Dan aku melakukan itu... Hanya di saat aku sangat merindukanmu, Erika."Prin

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 66 CERITA DI MASA LALU

    "Erika!" Suara Roy tiba-tiba terdengar di belakangku. Aku langsung menoleh. "Roy. Kok kamu ke sini?""Kamu lama banget," jawabnya sambil berjalan cepat menghampiriku. "Aku sudah telpon kamu berkali-kali tapi nggak diangkat."Ia berhenti di hadapanku, lalu membuang napas panjang, "Aku khawatir. Makanya nyariin kamu."Aku mengeluarkan ponsel dalam tas, lalu mengeceknya. Benar, ternyata Roy sudah menelponku berkali-kali. Tapi aku tidak sadar karena sibuk menghadapi si dosen killer itu."Sorry ya, aku tadi sedang diskusi sama pak Jefri. Jadi nggak denger kalau ada telepon."Roy tersenyum lebar, lalu menggandeng kembali tanganku. "Ya udah. Ayo kita kembali ke restoran.""Roy. Emang harus begini?" tanyaku sambil menatap genggaman tangannya.Roy menyeretku hingga menempel di bahunya. "Cuma gandeng tangan kamu aja."Tatapan matanya hangat dan sangat menyentuh. "Aku tahu kamu belum bisa membalas perasaanku. Tapi setidaknya... tolong buka sedikit hatimu untukku."Aku jadi terenyuh dengan kata-

  • DOSEN KILLER: Skripsi Berbuah Cinta   BAB 65 LAKI-LAKI BANGSAT!

    Seketika aku langsung menutup bibirku dengan tangan. Jangan sampai pak Jefri melakukan apa yang aku pikirkan barusan. Apalagi sampai menelanjangiku di tempat ini."Apa Bapak pikir saya semurah itu?!" bentakku, mencoba jual mahal.Ia kembali menyeringai sambil membuang muka, lalu kembali menatapku tajam. "Kamu lupa siapa yang mulai mencium duluan?"Aku menelan ludah karena mengingat masa itu. Memang iya aku yang menciumnya duluan. Apa sekarang dia menganggapku wanita murahan? Dia bahkan sudah berhasil meniduriku beberapa kali tanpa paksaan.Semua ini gara-gara Dita. Dia yang menyuruhku untuk merayu pak Jefri. Dan sekarang aku justru terjebak dalam pesonanya yang menenggelamkan."Lantas! Bapak mau apa?!" tanyaku dengan nada tinggi.Perlahan... ia semakin mendekatkan wajahnya hingga hampir menciumku. "Kamu mengejar saya karena rindu, kan?" bisiknya, lalu mengawasi sekeliling. "Tempat ini lumayan juga. Bagaimana kalau kita...""B-bapak jangan gila! Pacar saya masih menunggu di restoran!"

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status