Home / Urban / DOWN UNDER DOWN / TANPA PAMRIH

Share

TANPA PAMRIH

Author: Bias Sastra
last update Huling Na-update: 2021-07-11 02:09:36

LAPANGAN Tugu Darussalam ramai di pagi hari. Sejumlah sepeda motor lalu lalang hampir tiap detik. Haidar berhenti pas di pintu masuk tugu. Di sinilah ia janji dengan Sefti untuk bertemu dan kembali tukaran sepeda motor.

Mereka janji bertemu pukul 09.00 WIB. Tapi ia tiba di lokasi pukul 08.30 WIB. Ia tak ingin membuat gadis itu menunggu.

Haidar mengamati sekeliling, gadis itu ternyata memang belum datang. Gadis itu tak salah. Hanya dirinya yang datang lebih cepat dari jadwal semestinya. Ia kemudian melangkah mendekati Tugu Darussalam.

Di sana terdapat tulisan yang kini menjadi catatan emas untuk tiga kampus terbesar di Aceh. Umayah, UIN B serta Chik Pante Kulu.

“Tekad bulat melahirkan perbuatan yang nyata. Darussalam menuju kepada pelaksanaan cita-cita. Ir. Soekarno, 2 September 1959.”

Ia sepakat dengan kata-kata yang tertera di sana. Kalimat inilah yang menghipnotis ribuan warga di sekitaran Darussalam untuk bergotong royong membuka semak belukar Darussalam guna mendirikan kampus ternama di Aceh. Kemudian dari kampus itulah lahir pemikir-pemikir di Aceh. Walaupun sebahagian besar dari mereka tak pernah mengenal orang-orang yang berjasa tadi.

Soekarno memang motivator ulung, tapi ia memiliki riwayat sejarah yang tak baik dengan Aceh. Almarhum ayah Haidar adalah orang yang mencaci beliau. Bagi ayahnya, beliau adalah pembohong dan tukang kawin.

“Kesetiaan Aceh dibalas dengan pengkhianatan. Ia membalas kesetiaan Aceh dengan perang.”

Kalimat itu berulangkali disampaikan ayahnya setiap berkunjung ke rumah sebulan sekali. Ayahnya memegang teguh setiap janji yang diucapnya. Bahkan untuk menunaikan janjinya, ia rela menerjang peluru serta swepping TNI. Saat itu, ia masih kecil dan sukar memahami apa yang disampaikan ayahnya itu.

“Mas Haidar.” Tiba tiba suara itu terdengar dari arah belakang.

Haidar membalik badan. Di hadapannya, terlihat gadis cantik bertubuh semampai. Kali ini ia memakai gamis panjang warna merah muda. Gadis itu terlihat bersolek. Ada lipstick merah di bibir yang membuatnya terlihat semakin menawan. Bau mawar tercium dari kejauhan. Dia bak model hijab dari perusahaan ternama.

“Sefti?” ujar Haidar tiba-tiba. Haidar sedikit ragu. Ia tak mau salah menyapa orang. Soalnya, pertemuan perdana kemarin sore, gadis itu berpenampilan biasa. Haidar kemudian mematung.

“Iya Mas. Ini saya. Maaf jika penampilan hari ini sedikit beda. Ada pesta di rumah kawan,” jawab sang gadis. Dia menunduk kepala.

Haidar mencoba menguasai diri. Ia tak ingin jika gadis itu mengira yang bukan-bukan terhadap dirinya. Haidar mengambil STNK serta uang lembaran 50 ribu dari dompet dan diserahkan ke gadis itu tanpa menyentuh tangan dan melihat wajah.

“Itu keretanya. Mudah mudahan tak mogok lagi,” ujar Haidar sambil berjalan ke arah sepeda motor yang terparkir dekat pintu masuk. Sepeda motor mereka, ternyata terparkir tak berjauhan.

Sefti justru terkejut melihat Haidar mengembalikan uang 50 ribu yang diserahkannya kemarin sore.

“Mas kenapa uangnya dikembaliin. Kan ini untuk Mas,” ujar gadis itu.

Haidar tersenyum. “Kan udah saya bilang, tukang bengkel tak meminta uang untuk memperbaiki sepeda motormu. Hanya busi yang kotor. Di bersihi dan langsung nyala. Jadi saya kembalikan.”

“Bukan gitu Mas. Kan Mas udah dorong sepeda motor ke bengkel. Anggap saja ini sebagai ganti letih dorong,” kata sang gadis lagi.

Kali ini, Haidar tertawa kecil. “Tak apa-apa. Saya ikhlas kok membantu. Saling tolong menolong itu kewajiban. Setiap muslim itu harus saling membantu kan.”

Penjelasan Haidar itu membuat sang gadis terdiam. Sang gadis seperti berpikir sesuatu. Ia kemudian tersenyum.

“Kalau enggak gini aja Mas. Saya traktir Mas kelapa muda di sana. Kali ini tolong jangan ditolak ya!” ujarnya tiba-tiba.

“Saya tahu apa yang Mas pikirkan. Di sana kan ramai, jadi gak ada setannya kok. Saya hanya ingin berterimakasih atas kebaikannya Mas,” kata Sefti tersenyum sambil menunjuk ke warung kecil-kecil di sebelah kanan Lapangan Tugu. Para pedagang di sana menjual kuliner murah meriah.

Haidar sempat terdiam tapi akhirnya mengangguk tanda setuju.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DOWN UNDER DOWN   Epilogue

    Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a

  • DOWN UNDER DOWN   Part of Somthing

    “Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge

  • DOWN UNDER DOWN   Evil Man

    Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A

  • DOWN UNDER DOWN   Bad Liar

    Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”

  • DOWN UNDER DOWN   Going Crazy

    “Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu

  • DOWN UNDER DOWN   Terkekang

    Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status