"Adam, dengarkan! Nikahi Maya secepatnya atau kamu akan kehilangan semua warisan!" bentak Tuan Paul kepada Adam, putra semata wayangnya.
Maya adalah sekretaris Adam, sekaligus tunangan Adam sejak kecil. Dia anak dari kawan Tuan Paul yang meninggal karena kecelakaan dua bulan lalu. Maya kini hidup sebatang kara. Karena itulah, Tuan Paul ingin segera mengambil Maya sebagai menantu sebagaimana beliau janjikan kepada orang tua Maya sejak dulu.
"Ayah, aku tidak bisa! Ayah tahu aku sudah ... ehm ... aku belum ingin menikah, bukan!" Adam mengelak. Hampir saja dia keceplosan bahwa sebenarnya dia mencintai gadis lain, bukan Maya.
Selama ini, Adam memang mengulur waktu untuk menikahi Maya dengan satu alasan. Dia menunggu ayahnya meninggal, agar dia tetap mendapatkan warisan tanpa harus menikahi Maya. Dengan demikian, Adam akan bisa menikahi kekasihnya, Sabrina.
Sang ayah tentu tidak bodoh. Beliau tahu maksud Adam mengulur-ulur pernikahannya. Karena itulah, beliau bertekad untuk memaksa Adam menikah sebelum ajal menjemputnya.
"Terserah kamu! Nikahi Maya segera, atau semuanya melayang! Aku tak akan segan-segan memberikan semua hartaku kepada Maya!" ancam Tuan Paul sambil menggebrak meja.
Di tangan beliau, sudah siap surat pengalihan kepemilikan harta untuk Maya yang belum ditandatangani. Tuan Paul hanya ingin menggertak anaknya. Beliau tak ingin kalah oleh tipu muslihat putra semata wayangnya.
Senyum sinis mengembang di wajah Tuan Paul. "Kuberi kau waktu sepekan saja untuk merealisasikan semua ini!"
Tuan Paul mengangkat kertas di tangan beliau dan menunjukkan isinya kepada Adam seraya berkata lagi, "Kamu tahu bahwa aku serius. Sangat serius!"
Mata Adam terbelalak. Dia sangat tahu maksud sang ayah. Bila dalam sepekan dia tidak menikahi Maya, maka semua harta akan ayah limpahkan pada Maya. Adam meremas rambut gelapnya hingga tak rapi lagi. Mata gelapnya yang tajam tak mampu menatap sang ayah karena dia tahu posisinya begitu lemah. Rahangnya mengeras, berpikir keras bagaimana cara keluar dari masalahnya saat ini. Sayangnya, dia sangat tahu itu tidak mungkin.
Adam mengumpat dalam hati. Dia hanya memandangi ayahnya yang berlalu dari ruangannya dengan mata penuh amarah. Seandainya ibunya masih ada, pasti kejadian seperti ini tak akan pernah terjadi. Dengan marah, Adam membanting cangkir kopi di mejanya. Lantai marmer berwarna terang di ruangan tersebut ternoda oleh tumpahan kopi dan pecahan cangkir yang berserakan.
Tak lama, seorang gadis berwajah oval memasuki ruangan Adam. Wajah putihnya yang bermake-up tipis tampak serius dan panik. Rambut gelap panjangnya berkibar cantik mengikuti gerakan tubuhnya yang tergesa-gesa.
"Pak Adam, baik-baik saja?" tanyanya dengan ekspresi khawatir yang tulus. Walaupun gadis itu sedang berbicara dengan tunangannya sendiri, tapi di kantor, dia akan tetap saja memanggil Adam dengan sebutan Pak Adam.
"Tanganku licin! Maaf jadi ngerepotin kamu, Maya!" Adam memaksakan senyum di wajahnya. Pria jangkung berperawakan atletis itu tak ingin Maya tahu bahwa dia sedang ada masalah dengan ayahnya. Bila sampai Maya mengetahui hal ini, Adam sangat yakin wanita berkaki jenjang di hadapannya tak akan melepaskan kesempatan untuk menguasai harta ayahnya.
Manusia mana yang tak punya nafsu akan harta? Karena itulah, Adam sangat yakin, walau penampilan Maya bagai bidadari, pastilah dia juga memiliki sisi buruk.
Adam mengamati Maya yang tampak serius membersihkan lantai dengan kain lap. Tanpa sengaja, jemari Maya terkena pecahan beling dan membuatnya berseru. "Aaah!"
"Maya! Nggak apa-apa?" tanya Adam refleks.
Maya menggeleng. Namun, Adam meraih jari telunjuk Maya yang terluka, kemudian menjilat dan mengisapnya. Hati Maya yang polos, tentu saja berdesir dibuatnya. Walaupun pria tampan itu adalah tunangannya, tetapi mereka belum pernah bersentuhan sama sekali selain berjabat tangan. Saat ini, muka Maya merona karena tindakan Adam.
Adam kemudian mengambil kotak pertolongan pertama dan membalut luka kecil di jari telunjuk kanan Maya dengan plester. "Selesai! Kamu istirahat saja. Aku beresin sendiri kekacauan ini!" ujar Adam yang kini memang semakin terkesan sangat perhatian.
Hati Maya berbunga-bunga atas perhatian Adam yang lebih dari biasanya. Dia pun tersenyum, "Nggak apa-apa, Pak! Biar saya saja!"
"Panggil aku Adam! Aku calon suami kamu!" sanggah Adam dengan senyuman sandiwara yang semakin dia olesi dengan madu. "Kamu ada waktu malam ini? Aku mau ngobrol penting!"
Begitulah, Adam memutuskan untuk menuruti permintaan sang ayah. Tak mungkin dia membiarkan Maya yang bukan siapa-siapa menguasai harta yang seharusnya adalah miliknya. Malam ini juga, dia akan melamar Maya dengan lamaran yang paling romantis yang pernah ada dalam bayangan seorang wanita.
***
Sepekan setelahnya, Adam menikahi Maya. Dia memperlakukan Maya sebagaimana seorang kekasih yang benar-benar dia cintai. Seperti halnya malam ini, malam pertama mereka. Malam yang sangat dinantikan Maya sekaligus membuatnya berdebar-debar.
"Minumlah, ini ramuan penambah stamina dari bibiku. Aku sudah minum satu takaran tadi. Sebaiknya kamu juga meminumnya," ujar Adam pada istrinya yang baru saja selesai mandi. Sang istri pun hanya mengangguk tersipu menuruti semua yang diperintahkan suaminya.
Sebenarnya, Adam sangat tidak ingin menyentuh Maya. Kecantikan dan harum mawar yang menguar dari tubuh Maya tidak membuat Adam tergoda. Namun, perkataan terakhir ayahnya membuat Adam kembali takut.
"Perlakukan Maya dengan baik. Atau kau akan menyesal!" ujar Tuan Paul saat akan berpisah dengan anaknya. "Aku akan memproses pengalihan harta milikku ke namamu setelah anak pertama kalian lahir."
Begitulah ancaman Tuan Paul yang selalu berhasil membuat Adam ketakutan. Sehingga, mau tak mau, dia harus menyentuh dan memperlakukan Maya sebagaimana mestinya agar bencana kemiskinan tidak menimpanya.
Karena itulah, saat ini, kecupan lembut Adam mendarat di kening sang istri. Bisikan dan rayuan penuh kasih keluar dari bibir pria itu.
"Kamu begitu cantik ...," rayu Adam sambil mengamati wajah Maya yang berbentuk bulat telur dan putih bersih tanpa riasan. Ditatapnya bibir Maya yang ranum tanpa dengan mata sayu menggelap. Kemudian dipagutnya bibir manis itu dengan lembut. Namun, lama kelamaan semakin bersemangat.
Saat ini, siapa pun yang melihat Adam, memang akan tampak seperti seorang suami yang mencintai istrinya. Tak tahu apakah dia memang seorang aktor yang hebat? Ataukah saat ini dia memang menginginkan wanita yang telah sah menjadi pasangan hidupnya?
Mungkin saja, Adam hanya pria biasa yang tak akan menolak bila disuguhkan hidangan lezat di hadapannya. Sebagaimana saat ini, napasnya yang memburu sudah menunjukkan bagaimana malam ini akan berakhir.
"Matikan lampu, ya?" pinta Maya takut-takut.
"Jangan! Aku ingin melihatmu!" cegah Adam sambil terus melancarkan rayuan dan sentuhan.
"Aku tak ingin kamu lihat aku menangis. Orang bilang, itu sakit sekali," ujar Maya keberatan.
"Aku akan pelan-pelan. Percayalah padaku."
Itulah pembicaraan terakhir mereka. Setelahnya hanyalah desah napas yang mewarnai keheningan kamar. Adam benar-benar memenuhi janjinya kepada Maya. Membuat Maya merasa menjadi pengantin paling bahagia di malam pertamanya. Mereka sudah tak ingat lagi mana langit dan mana daratan. Yang mereka rasakan hanyalah surga. Surga yang letaknya di dunia.
***
Dini hari, ponsel Adam bergetar. Adam tertidur. Padahal dia memiliki rencana lain sebelumnya. Dia tak menyangka harus bekerja keras untuk membuat Maya kelelahan dan tertidur. Berujung kelelahan bagi dirinya sendiri hingga dia terlelap pula setelahnya.
"Gawat! Sabrina pasti marah!" bisik Adam pelan agar tak membangunkan Maya yang masih terlelap. Perlahan, Adam beranjak menjauh dari ranjang hotel tempat dia dan istrinya bersenang-senang tadi.
Dia lalu mengangkat telepon dari Sabrina dan berbisik. "Aku ke kamar kamu sekarang!"
Adam keluar perlahan dari kamar 509 menuju kamar 506, tempat Sabrina berada. Dia bergegas karena sangat takut akan kemarahan Sabrina. Tidak mungkin dia akan membiarkan dirinya gagal di malam pertama dalam menjalankan misi penting, bukan?Pria bercambang tipis itu mengetuk pintu dan mendapati Sabrina membuka pintu dengan cepat. Sangat cepat. Pertanda bahwa dia sudah menunggu kehadiran Adam sedari tadi."Lama sekali kamu, Adam! Ngapain aja?" bentak Sabrina dengan wajah sangat marah. Kemarahannya sungguh tak cocok dengan muka bulatnya yang manis dan dirias tipis. Rambutnya panjangnya yang tergerai bergelombang membuat penampilannya semakin terlihat anggun. Sangat anggun seandainya dia tak sedang berapi-api. "Aku dari tadi nungguin kamu! Lamaaaa banget! Ngapain aja, sih? Kamu main sama dia sampai teler, ya?""Sabrina, stop! Dia istriku. Walaupun semua ini sandiwara, aku harus memperlakukan dia seperti layaknya istri sungguhan. Kalau nggak, papa akan membatalkan semu
Tak ada pria securang Adam. Dia berbulan madu bersama dua istri secara rahasia. Dia memang sudah merencanakan hal ini dengan cukup baik sebelumnya.Adam akan menghabiskan waktu selama sepekan di hotel agar dia bisa membagi waktu untuk Maya dan Sabrina secara bersamaan tanpa harus ketahuan Maya maupun keluarganya. Sementara itu, dia menyiapkan rencana ke depan yang lebih mulus agar semua tujuannya tercapai. Harta dan cinta.Adam tahu, wanita tak bersalah yang akan dia korbankan adalah Maya. Namun, dia berencana akan memberikan alimoni yang sangat besar untuk Maya agar dia bisa hidup dengan nyaman dan bisa mencari suami baru yang dia sukai.Adam yakin Maya akan setuju karena alasan wanita yang terlihat polos itu mau dijodohkan dengannya juga pasti karena uang. Apalagi memangnya? Bukankah seharusnya setiap orang akan memilih jalannya sendiri? Bukan perjodohan seperti zaman Siti Nurbaya. Kecuali ada faktor pendukung la
Tatapan marah Adam menyerang pusat perasaan Sabrina. Cara yang ampuh untuk membuat orang yang merasa bersalah agar semakin merasa bersalah."Aku jalan-jalan sebentar tadi," jawab Sabrina dengan datar. Dia berusaha menyembunyikan perasaan bersalahnya karena telah berciuman dengan pria selain suaminya. Walaupun, dalam hal ini dia tak bersalah … ralat, mungkin dia sedikit bersalah karena menikmati dan menyambut ciuman Leo."Dengan siapa? Ke mana?" desak Adam memburu. Dia tidak suka dengan cara berkilah Sabrina yang sangat khas. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan. "Tadi aku berkali-kali ke kamar kamu. Dua jam lebih aku menunggu dan kamu belum kembali juga."Sabrina berbalik dan berujar, "Bukan urusan kamu aku mau ke mana dengan siapa!" Dia terus melangkah, memasuki kamar mandi dan berkata. "Lagi pula, aku tidak tahu kamu akan datang lebih cepat. Biasanya kamu sibuk meninabobokan istrimu, 'kan?""Sabrina! Kamu juga istriku! Ada apa denganmu?" bentak
Sabrina menutup percakapan dengan Adam dengan perasaan campur aduk. Dia sudah memutuskan untuk menyetujui rencana Adam. Namun, emosi membuat dirinya tak menepati janji dan menuntut lebih. Hal ini membuat Adam bekerja keras untuk memberikan yang Sabrina minta. Dia bahkan rela mengambil risiko untuk berbohong kepada Maya dengan alasan pekerjaan agar bisa mendapatkan waktu berdua saja dengan Sabrina.Mengetahui hal ini, Sabrina merasa sedikit malu walaupun dia senang akan kesungguhan Adam. Dia pun menyunggingkan senyuman tipis di bibir dan berencana akan memaafkan Adam atas perlakuannya semalam. Tidak, Adam tidak salah. Dialah yang salah. Dialah yang hampir berselingkuh dengan Leo semalam.Tak hanya berciuman di depan kamar. Semalam, Sabrina hampir melakukan hubungan terlarang dengan Leo karena rayuan Sabrina sendiri walaupun Leo sudah menolak. Benar-benar sebuah pengkhianatan yang sempurna yang dilakukan Sabrina atas dasar ingin membalas denda
Maya memperkenalkan diri sambil menyambut hangat uluran tangan Leo, menyunggingkan senyuman manis untuk pria baik hati yang membantunya. Dalam hati, dia terheran mengapa pria pirang bernama Leo itu terperangah mendengar namanya. Apakah namanya begitu aneh?"Maya?" tanya Leo lagi meyakinkan.Maya pun mengangguk sambil tetap tersenyum dengan polos. Dia lalu menarik tangan karena Leo terlalu lama dan terlalu erat mencengkeram. Tentu tanpa sengaja, karena pikiran Leo saat ini melayang kepada hal lain.Mendengar nama Maya, mengingatkan Leo akan sosok gold digger istri Adam yang diceritakan Sabrina semalam. Sangat bertentangan dengan penampilan Maya yang kini ada di hadapannya.Untuk memastikan, Leo melihat jemari kiri Maya dan alangkah terkejutnya dia bahwa Maya mengenakan cincin nikah. "Kamu sudah menikah?""Benar. Saya baru saja menikah dan sekalian berbulan madu di sini," jawab Maya. Mata bulatnya menatap Leo dengan pancaran kebahagiaan, membuat hati
Maya berjalan menyusuri jalanan asing yang dia sendiri tak tahu jalan ini akan membawanya ke mana. Namun, karena suasananya semakin sepi dan mencurigakan, Maya memutuskan untuk kembali ke jalan semula.Memandangi sekeliling, wanita berbadan langsing itu menelan ludah. Hanya sunyi dan senyap yang mewarnai suasana di sekitarnya. Pertokoan yang tutup dan banyak coretan grafis memakai cat semprot hasil karya seniman jalanan liar membuat Maya sangat yakin bahwa tempat ini seharusnya tak dia lalui.Matahari sudah hampir tenggelam. Sebentar lagi, hari mulai gelap. Bila dia tidak segera menemukan jalan pulang, tentu liburan ini akan berubah menjadi bencana."Ya, Tuhan! Mana mungkin aku masih bisa menyebut diri sebagai sekretaris lagi?" ratap Maya mengutuk kebodohannya sendiri.Ini semua hanya karena hal sepele. Dia tidak ingat nama hotel tempatnya menginap. Karena bukan dia yang mengatur ini semua, Maya lupa mengingat semua detailnya.Masalah bertambah tat
Kedua penjahat itu berhenti menatap pria ketiga yang hadir di tengah-tengah mereka. "Mau apa kau? Apa kau cari mati?"Si tambun menoleh, bangkit, dan berjalan mendekati pria yang berusaha menghalangi aksinya. "Mau ikut bersenang-senang, Bro?" tanya si tambun sambil mengulurkan tangan ke bahu pria berambut pirang itu untuk mengajak berpesta.Namun, pria pirang itu menangkap pergelangan tangan si tambun lalu memelintirnya sekuat tenaga. Si tambun menjerit kesakitan, lalu dia berusaha menyerang si pirang dengan tendangan.Sayang sekali, usahanya sia-sia karena si pirang jauh lebih sigap dari si tambun. Dia meangkap kaku penjahat itu dengan mudah. Kemudian, dia memelintir dan membanting lawannya dengan sekuat tenaga. Dengan badan kekar dan jangkung, secara fisik, si pirang memang tampak lebih unggul dari lawannya.Pria bermata hijau terang itu memandang tajam si tambun sebelum dia menekuk lutut dan menghadiahi perut penjahat itu dengan tendangan maut. "Rasaka
Angin malam yang dingin, tak sedikit pun mendinginkan perasaan Leo. Maya yang tergolek lemah bersimbah darah, menatapnya dengan mata yang semakin hendak menutup."Kau baik-baik sa–ja, bu–kan?" tanya Maya dalam bisikan lemah tersendat yang hanya bisa didengar oleh Leo. Maya memaksakan senyuman semanis mungkin agar Leo tidak bersedih.Leo hanya bisa menjawab dengan kepanikan dan gelengan. Dia tak percaya Maya menolong, bahkan mengorbankan nyawa untuknya. Mengapa wanita ini melakukan hal senekat itu untuk orang asing seperti dia?Petugas medis segera membawa Maya ke rumah sakit. Leo menemani Maya di sisi wanita malang itu. Dia tahu bahwa dirinya adalah pendosa. Namun, kali ini, Leo percaya pada Tuhan dan berdoa padanya agar Maya diselamatkan.Kegaduhan hanya membayang di mata dan telinga Leo. Dia tak peduli. Fokusnya hanya satu. Maya harus selamat dengan cara apa pun."Dokter, tolong selamatkan dia! Berapa pun biayanya dan apa pun caranya,