Adam keluar perlahan dari kamar 509 menuju kamar 506, tempat Sabrina berada. Dia bergegas karena sangat takut akan kemarahan Sabrina. Tidak mungkin dia akan membiarkan dirinya gagal di malam pertama dalam menjalankan misi penting, bukan?
Pria bercambang tipis itu mengetuk pintu dan mendapati Sabrina membuka pintu dengan cepat. Sangat cepat. Pertanda bahwa dia sudah menunggu kehadiran Adam sedari tadi.
"Lama sekali kamu, Adam! Ngapain aja?" bentak Sabrina dengan wajah sangat marah. Kemarahannya sungguh tak cocok dengan muka bulatnya yang manis dan dirias tipis. Rambutnya panjangnya yang tergerai bergelombang membuat penampilannya semakin terlihat anggun. Sangat anggun seandainya dia tak sedang berapi-api. "Aku dari tadi nungguin kamu! Lamaaaa banget! Ngapain aja, sih? Kamu main sama dia sampai teler, ya?"
"Sabrina, stop! Dia istriku. Walaupun semua ini sandiwara, aku harus memperlakukan dia seperti layaknya istri sungguhan. Kalau nggak, papa akan membatalkan semua pengalihan harta beliau padaku!" sanggah Adam berusaha menenangkan.
"Tapi aku juga istri kamu, Adam!" protes Sabrina. "Aku istri pertama kamu!"
Benar. Sabrina setuju dengan semua sandiwara Adam dengan suatu syarat. Sabrina tak mau jadi istri kedua. Walaupun pernikahan mereka rahasia, dia tetap ingin menjadi istri pertama.
Bila Adam sanggup memenuhi syarat tersebut, Sabrina akan tetap mau bersama Adam walaupun hubungan akan mereka jalani dari balik kelambu hitam. Sabrina tak akan mendapatkan pengakuan dari publik bahwa dia istri Adam. Hal itu sudah cukup berat bagi seorang wanita.
Namun, karena ayah Adam sedang sakit, Sabrina memilih bersabar dan mempercayai Adam bahwa dia akan menceraikan Maya setelah ayahnya meninggal. Setelahnya, Adam akan memperkenalkan dirinya ke publik. Walaupun harus bersabar, dia akan menjadi istri Adam yang sesungguhnya.
Adam memeluk Sabrina dengan erat. Keduanya hanya memakai gaun tidur yang tidak cukup tebal untuk menyembunyikan pesona di baliknya. Adam dengan cepat merasakan hasratnya timbul untuk sang kekasih yang sangat dia cintai.
"Ayo! Kita lanjutkan diskusinya di ranjang, Sayangku!" rayunya agar Sabrina tidak terus marah.
"Ogah! Kamu pasti sudah nggak ada tenaga!" tolak Sabrina, berpaling dari Adam dan menuju ke ranjang tanpa menunjukkan keinginan sedikit pun. "Kamu pasti udah main sama dia sampai kering!"
Sabrina bersedekap, aksi yang tanpa dia sadari membuat pesonanya semakin elok. Tentu saja Adam semakin tergoda untuk menyentuhnya.
"Sayang, aku kuat banget! Mau bukti?" tanya Adam dengan nada sangat menggoda. Dia lalu menarik pergelangan tangan Sabrina dan merenggut bibir wanita itu. Suasana semakin lama semakin pekat oleh hasrat. Lebih dari yang terjadi di kamar 509 tadi.
Sabrina yang tadinya marah pun, telah lupa dengan masalahnya barusan. Adam begitu piawai membuat Sabrina mabuk kepayang dalam sentuhannya. Dia telah menghafal dengan baik semua titik manis yang ada di tubuh sang istri.
Permainan pun semakin lama semakin panas. Adam menunjukkan kepada Sabrina bahwa dia tidak menghabiskan tenaganya untuk melewatkan malam pertama dengan Maya.
Sabrina pun terpuaskan secara lahir. Namun, tentu saja hal ini membuat moodnya sangat berubah. Seperti saat ini, dia sudah tak marah lagi pada Adam. Wanita cantik bermata bulat itu bersandar manja di bahu Adam sambil memainkan tangannya di tubuh sang suami. Adam sangat menyukai Sabrina yang sedang jinak seperti ini. Mereka berdua pun melanjutkan permainan sampai pagi.
Mungkin orang mengira untuk berbuat curang seperti Adam, memang dibutuhkan tenaga yang besar. Namun, Adam adalah seorang pebisnis andal. Dalam hal seperti ini pun, dia memiliki cara agar tenaganya tak habis dengan cepat, akan tetapi bisa menyenangkan pasangan dengan sangat baik.
Fajar pun menyingsing. Sabrina sudah tak sanggup lagi mengikuti permainan Adam. Mereka berkali-kali ketiduran dan terbangun untuk melakukan kembali. Sangat menyenangkan bagi keduanya. Namun, kali ini Sabrina benar-benar lelah. Terbukti, saat Adam membangunkan dengan lembut, dia tak bereaksi positif.
"Sudah, Adam! Masih ada besok malam, 'kan?" keluh Sabrina, tak kuat mengangkat mata yang berat.
"Kalau begitu, aku balik ke kamar Maya, ya? Takut dia bangun dan nemuin aku nggak ada di kamar," pamitnya.
Sabrina tak menjawab. Dia hanya mengangguk tanpa suara. Dia terus memejamkan mata hingga Adam keluar dari kamarnya.
Mata Sabrina memang terpejam, seolah tidur. Namun, sejak Adam pamit ke tempat Maya, kantuk Sabrina mendadak hilang. Matanya yang masih pura-pura terpejam, kini menitikkan air mata. Dia kira, dia akan sanggup menjalani ini semua dengan tabah. Berjuang untuk cinta mereka yang telah belasan tahun bersemi sejak mereka masih duduk di bangku sekolah menengah.
Tak adanya restu dari orang tua, membuat jalan cinta yang mereka berdua jalani penuh duri dan luka. Sabrina sudah berusaha untuk lari dari cinta Adam, tapi selalu gagal. Dia sadar, cintanya hanya untuk Adam. Jiwa dan raganya hanya untuk pria yang sudah memiliki tunangan sejak kecil.
Terkadang, Sabrina sangat ingin menjadi Maya yang bisa memiliki Adam tanpa harus bersusah payah. Namun, tentu saja itu tak mungkin.
Tak jarang, bila berpapasan dengan Maya, Sabrina ingin mencelakai wanita itu agar tak menghalangi cintanya dengan Adam. Namun, hati Sabrina tak sanggup melakukannya. Dia bukan wanita jahat yang akan mengorbankan nyawa dan keselamatan orang lain hanya untuk kebahagiaannya sendiri.
Sempat dia meminta Adam untuk lari saja dengannya. Namun, dia tak sanggup melihat Adam hidup miskin dan menderita. Bagaimanapun juga, sejak kecil, Adam telah disuapi dengan sendok perak tanpa harus berusaha keras. Apalagi, mengingat harta tersebut akan dialihkan kepada Maya, Sabrina sangat mengerti mengapa Adam tak akan rela.
Sungguh menyesakkan dada. Menjadi istri pertama, tapi rasa istri simpanan. Sabrina berdoa, semoga ini adalah perjuangan cinta mereka yang terakhir. Semoga, setelah ini, hanya akan ada kebahagiaan yang menyongsong mereka.
***
Adam kembali ke kamar 506 dengan mengendap-endap agar istrinya tak bangun. Dia menyelinap masuk ke dalam selimut dan memejamkan mata.
Namun, tentu saja hal itu sulit bagi Adam. Dalam benaknya, banyak sekali masalah yang membuatnya cemas. Hari ini saja dia sudah hampir gagal menjalankan sandiwara. Bagaimana dia akan bisa melewati malam-malam berikutnya?
Menjalani kewajiban sebagai suami dalam satu malam sekaligus sangatlah berat. Dia harus menyiasati hal ini dengan baik.
Kepala Adam memikirkan berbagai kemungkinan yang dapat dia lakukan untuk dapat menjalani hari-harinya nanti. Bagaimanapun juga, untuk mempertahankan cinta Sabrina di tengah semua sandiwara ini, dia harus menjadi seorang suami yang adil. Tak adil pun tak mengapa, asalkan Sabrina dan Maya tak ada yang marah.
Lalu, tercetuslah ide cemerlang di kepala Adam. Sepertinya, dia akan bisa menjalani semuanya dengan cukup mudah tanpa harus mencurigakan dan tak perlu merasa kelelahan berlebihan. Yang terpenting, Adam merasa akan bisa melakukannya tanpa harus membuat kedua istrinya serumah … dan semua ini akan tetap rahasia ….
***
Note:
Tolong tinggalkan review, komentar, dan masukkan ke library kamu, ya!
Makasih.
Tak ada pria securang Adam. Dia berbulan madu bersama dua istri secara rahasia. Dia memang sudah merencanakan hal ini dengan cukup baik sebelumnya.Adam akan menghabiskan waktu selama sepekan di hotel agar dia bisa membagi waktu untuk Maya dan Sabrina secara bersamaan tanpa harus ketahuan Maya maupun keluarganya. Sementara itu, dia menyiapkan rencana ke depan yang lebih mulus agar semua tujuannya tercapai. Harta dan cinta.Adam tahu, wanita tak bersalah yang akan dia korbankan adalah Maya. Namun, dia berencana akan memberikan alimoni yang sangat besar untuk Maya agar dia bisa hidup dengan nyaman dan bisa mencari suami baru yang dia sukai.Adam yakin Maya akan setuju karena alasan wanita yang terlihat polos itu mau dijodohkan dengannya juga pasti karena uang. Apalagi memangnya? Bukankah seharusnya setiap orang akan memilih jalannya sendiri? Bukan perjodohan seperti zaman Siti Nurbaya. Kecuali ada faktor pendukung la
Tatapan marah Adam menyerang pusat perasaan Sabrina. Cara yang ampuh untuk membuat orang yang merasa bersalah agar semakin merasa bersalah."Aku jalan-jalan sebentar tadi," jawab Sabrina dengan datar. Dia berusaha menyembunyikan perasaan bersalahnya karena telah berciuman dengan pria selain suaminya. Walaupun, dalam hal ini dia tak bersalah … ralat, mungkin dia sedikit bersalah karena menikmati dan menyambut ciuman Leo."Dengan siapa? Ke mana?" desak Adam memburu. Dia tidak suka dengan cara berkilah Sabrina yang sangat khas. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan. "Tadi aku berkali-kali ke kamar kamu. Dua jam lebih aku menunggu dan kamu belum kembali juga."Sabrina berbalik dan berujar, "Bukan urusan kamu aku mau ke mana dengan siapa!" Dia terus melangkah, memasuki kamar mandi dan berkata. "Lagi pula, aku tidak tahu kamu akan datang lebih cepat. Biasanya kamu sibuk meninabobokan istrimu, 'kan?""Sabrina! Kamu juga istriku! Ada apa denganmu?" bentak
Sabrina menutup percakapan dengan Adam dengan perasaan campur aduk. Dia sudah memutuskan untuk menyetujui rencana Adam. Namun, emosi membuat dirinya tak menepati janji dan menuntut lebih. Hal ini membuat Adam bekerja keras untuk memberikan yang Sabrina minta. Dia bahkan rela mengambil risiko untuk berbohong kepada Maya dengan alasan pekerjaan agar bisa mendapatkan waktu berdua saja dengan Sabrina.Mengetahui hal ini, Sabrina merasa sedikit malu walaupun dia senang akan kesungguhan Adam. Dia pun menyunggingkan senyuman tipis di bibir dan berencana akan memaafkan Adam atas perlakuannya semalam. Tidak, Adam tidak salah. Dialah yang salah. Dialah yang hampir berselingkuh dengan Leo semalam.Tak hanya berciuman di depan kamar. Semalam, Sabrina hampir melakukan hubungan terlarang dengan Leo karena rayuan Sabrina sendiri walaupun Leo sudah menolak. Benar-benar sebuah pengkhianatan yang sempurna yang dilakukan Sabrina atas dasar ingin membalas denda
Maya memperkenalkan diri sambil menyambut hangat uluran tangan Leo, menyunggingkan senyuman manis untuk pria baik hati yang membantunya. Dalam hati, dia terheran mengapa pria pirang bernama Leo itu terperangah mendengar namanya. Apakah namanya begitu aneh?"Maya?" tanya Leo lagi meyakinkan.Maya pun mengangguk sambil tetap tersenyum dengan polos. Dia lalu menarik tangan karena Leo terlalu lama dan terlalu erat mencengkeram. Tentu tanpa sengaja, karena pikiran Leo saat ini melayang kepada hal lain.Mendengar nama Maya, mengingatkan Leo akan sosok gold digger istri Adam yang diceritakan Sabrina semalam. Sangat bertentangan dengan penampilan Maya yang kini ada di hadapannya.Untuk memastikan, Leo melihat jemari kiri Maya dan alangkah terkejutnya dia bahwa Maya mengenakan cincin nikah. "Kamu sudah menikah?""Benar. Saya baru saja menikah dan sekalian berbulan madu di sini," jawab Maya. Mata bulatnya menatap Leo dengan pancaran kebahagiaan, membuat hati
Maya berjalan menyusuri jalanan asing yang dia sendiri tak tahu jalan ini akan membawanya ke mana. Namun, karena suasananya semakin sepi dan mencurigakan, Maya memutuskan untuk kembali ke jalan semula.Memandangi sekeliling, wanita berbadan langsing itu menelan ludah. Hanya sunyi dan senyap yang mewarnai suasana di sekitarnya. Pertokoan yang tutup dan banyak coretan grafis memakai cat semprot hasil karya seniman jalanan liar membuat Maya sangat yakin bahwa tempat ini seharusnya tak dia lalui.Matahari sudah hampir tenggelam. Sebentar lagi, hari mulai gelap. Bila dia tidak segera menemukan jalan pulang, tentu liburan ini akan berubah menjadi bencana."Ya, Tuhan! Mana mungkin aku masih bisa menyebut diri sebagai sekretaris lagi?" ratap Maya mengutuk kebodohannya sendiri.Ini semua hanya karena hal sepele. Dia tidak ingat nama hotel tempatnya menginap. Karena bukan dia yang mengatur ini semua, Maya lupa mengingat semua detailnya.Masalah bertambah tat
Kedua penjahat itu berhenti menatap pria ketiga yang hadir di tengah-tengah mereka. "Mau apa kau? Apa kau cari mati?"Si tambun menoleh, bangkit, dan berjalan mendekati pria yang berusaha menghalangi aksinya. "Mau ikut bersenang-senang, Bro?" tanya si tambun sambil mengulurkan tangan ke bahu pria berambut pirang itu untuk mengajak berpesta.Namun, pria pirang itu menangkap pergelangan tangan si tambun lalu memelintirnya sekuat tenaga. Si tambun menjerit kesakitan, lalu dia berusaha menyerang si pirang dengan tendangan.Sayang sekali, usahanya sia-sia karena si pirang jauh lebih sigap dari si tambun. Dia meangkap kaku penjahat itu dengan mudah. Kemudian, dia memelintir dan membanting lawannya dengan sekuat tenaga. Dengan badan kekar dan jangkung, secara fisik, si pirang memang tampak lebih unggul dari lawannya.Pria bermata hijau terang itu memandang tajam si tambun sebelum dia menekuk lutut dan menghadiahi perut penjahat itu dengan tendangan maut. "Rasaka
Angin malam yang dingin, tak sedikit pun mendinginkan perasaan Leo. Maya yang tergolek lemah bersimbah darah, menatapnya dengan mata yang semakin hendak menutup."Kau baik-baik sa–ja, bu–kan?" tanya Maya dalam bisikan lemah tersendat yang hanya bisa didengar oleh Leo. Maya memaksakan senyuman semanis mungkin agar Leo tidak bersedih.Leo hanya bisa menjawab dengan kepanikan dan gelengan. Dia tak percaya Maya menolong, bahkan mengorbankan nyawa untuknya. Mengapa wanita ini melakukan hal senekat itu untuk orang asing seperti dia?Petugas medis segera membawa Maya ke rumah sakit. Leo menemani Maya di sisi wanita malang itu. Dia tahu bahwa dirinya adalah pendosa. Namun, kali ini, Leo percaya pada Tuhan dan berdoa padanya agar Maya diselamatkan.Kegaduhan hanya membayang di mata dan telinga Leo. Dia tak peduli. Fokusnya hanya satu. Maya harus selamat dengan cara apa pun."Dokter, tolong selamatkan dia! Berapa pun biayanya dan apa pun caranya,
Leo mengamati kondisi Maya yang masih lemah pasca operasi dengan prihatin. Dia sangat bersyukur Maya selamat karena pertolongan anak-anak jalanan yang kemarin mereka temui. Benar-benar sebuah keajaiban.Golongan darah Maya O negatif. Rumah sakit saat itu sedang kehabisan stok darah dengan golongan tersebut. Saat itulah Leo sangat menyesal mengapa tadi dia membanting ponsel hingga hancur. Tak mungkin dia bisa mengirim pesan kepada semua rekan kerja dan kenalan yang barangkali memiliki golongan darah yang sama.Dia pun berlari keluar, menuliskan di selembar kertas bahwa dirinya membutuhkan golongan darah O negatif untuk teman yang kritis. Namun, tak satu pun donor didapatkan. Saat itulah, dia bertemu dengan anak-anak jalanan yang datang bersama Apollo. Mereka pun membantu aksi mencari donor dengan gigih. Setengah jam kemudian, mereka kembali membawa tiga orang pendonor. Sangat cukup untuk membantu menyuplai kebutuhan darah Maya saat ini."Leo! Kamu belum tidur dar