Share

8. Hero

Kedua penjahat itu berhenti menatap pria ketiga yang hadir di tengah-tengah mereka. "Mau apa kau? Apa kau cari mati?"

Si tambun menoleh, bangkit, dan berjalan mendekati pria yang berusaha menghalangi aksinya. "Mau ikut bersenang-senang, Bro?" tanya si tambun sambil mengulurkan tangan ke bahu pria berambut pirang itu untuk mengajak berpesta.

Namun, pria pirang itu menangkap pergelangan tangan si tambun lalu memelintirnya sekuat tenaga. Si tambun menjerit kesakitan, lalu dia berusaha menyerang si pirang dengan tendangan.

Sayang sekali, usahanya sia-sia karena si pirang jauh lebih sigap dari si tambun. Dia meangkap kaku penjahat itu dengan mudah. Kemudian, dia memelintir dan membanting lawannya dengan sekuat tenaga. Dengan badan kekar dan jangkung, secara fisik, si pirang memang tampak lebih unggul dari lawannya.

Pria bermata hijau terang itu memandang tajam si tambun sebelum dia menekuk lutut dan menghadiahi perut penjahat itu dengan tendangan maut. "Rasakan ini, Brengsek! Beraninya kamu menganiaya wanita lemah!"

Pria pirang itu terus memukul dan menendang si tambun tanpa ampun. Sementara itu, si botak hanya mengamati saja dengan ketakutan sambil membungkam mulut Maya dengan tangan yang sudah pasti sangat kotor. 

Maya bahkan dapat mencium bau tembakau dan alkohol dari tangan dan badan penjahat itu. Bila dalam keadaan normal, tentu saja Maya akan muntah. Namun, keadaan saat ini sangat membuat Maya takut dan kesakitan. Reaksi alami tubuhnya tidak normal.

Setelah membereskan si tambun, pria rupawan berambut pirang itu segera menghampiri si botak yang menahan Maya. Si botak semakin gemetaran dikuasai oleh aura mematikan dari pria yang mendekat ke arahnya. 

"Lepaskan wanita itu atau kau akan berakhir seperti kawanmu!" bentak si pirang. 

"Co–coba saja kalau kamu bisa!" bentak si botak sambil menyeret Maya beringsut ke belakang.

Mata Maya berkaca-kaca mendapatkan pertolongan di saat yang sangat kritis dari sosok tak asing walaupun mereka baru sekali bertemu. Saat ini harapannya hanya satu, agar pria itu berhasil membereskan pria yang kini membungkamnya.

"Coba saja kalau kau bisa!" Si botak melempar tubuh lemah Maya ke samping dan menghilangkan ketakutan untuk menghadapi lawannya dengan memasang posisi kuda-kuda. Kemudian, dia mengarahkan tiga jari kanan ke arah lawan dan menariknya kembali ke arahnya. "Ayo!"

Tanpa menunggu lebih lama lawannya segera menghampiri dengan sigap lalu mengangkat badan kurus si botak yang seakan tak bermassa. Dilemparnya tubuh si botak ke dinding kotor pertokoan terdekat, menkmbulkan bunyi 'boogh' yang sangat keras. Bisa dipastikan, beberapa tulang punggung si botak patah karenanya.

"Leo!" Maya berseru lega menyaksikan semuanya telah selesai. Penderitaannya berakhir sudah. Dia hendak bangun, tapi tak ada tenaga.

"Maya, kamu baik-baik saja?" tanya Leo mendekati Maya dengan napas memburu. Matanya menyisir kondisi tubuh Maya yang terluka di banyak bagian terutama wajah, lutut dan jemari kaki. Wanita yang tadi tampak sempurna seperti bidadari, kini bagaikan kelinci yang hampir mati dimangsa elang. "Tidak! Kamu tidak baik-baik saja!" ujar Leo berkata dengan sedih.

Leo menunduk, memandangi Maya yang tampak sangat pucat dan lemah. Wanita malang itu menangis sambil tersenyum. "Aku baik-baik saja karena kamu datang menolongku. Thanks, Leo! Kamu seperti superhero!" isak Maya penuh syukur.

Leo pun berjongkok hendak menggendong Maya, tetapi dia ingat bahwa Maya adalah istri orang. Dia bahkan hampir mati karena mempertahankan cincin pernikahannya. Pastilah dia sangat mencintai sang suami yang penipu itu.

"Kau bisa berjalan?" tanya Leo dengan ragu. Dia seolah melontarkan pertanyaan bodoh lagi selain apakah Maya baik-baik saja.

Maya hendak menjawab tidak. Namun, dia sadar bahwa meminta Leo membopongnya adalah hal yang tak sopan mengingat statusnya adalah istri Adam. Sehingga dia pun berusaha berdiri walaupun dengan susah payah.

Namun, saat Maya hendak melangkahkan kaki, badannya oleng. Sudah pasti dia jatuh bila saja tak ada tangan kekar Leo yang menangkap pinggangnya. Pandangan keduanya tak sengaja bertaut, menyerang hati Leo yang kesepian dengan gelenyar berbahaya. Entah berapa lama scene klise ini berlangsung. Leo merasa seperti tersihir dan tenggelam dalam pesona mata gelap Maya.

"Ehmm ...." Deheman Maya membuyarkan lamunan Leo. "Apa aku sangat berat?"

"Ah, maaf! Apa ... kamu ... baik-baik saja?" tanya Leo lagi, membuat Maya terkikik. "Kamu menanyakan hal yang serupa terus menerus."

Leo menyadari kebodohannya. Kemudian, dia segera melepas Maya dan menawarkan diri memapah wanita ramping itu agar tak terjatuh lagi. Mereka pun berjalan perlahan tanpa suara.

Hari mulai gelap. Tak ada lampu jalan yang menerangi lokasi menyeramkan ini. Dengan kecepatan berjalan Maya yang hanya dua ratus meter per jam, pasti mereka akan sampai hotel saat tengah malam. Leo memandang sekeliling, tapi tak ada kendaraan yang lewat. Apalagi taksi.

"Bagaimana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Maya kemudian untuk memecah keheningan. 

Leo hanya tersenyum. Kemudian dia memasukkan ibu jari dan jari telunjuknya ke dalam mulut untuk bersiul. Tak lama, keluarlah anak-anak jalanan yang tadi siang Maya belikan makanan.

Suara riuh mereka bagai burung gereja di pagi hari. Bersorak-sorai karena pangeran tampan berhasil menyelamatkan tuan putri.

"Kalian!"

Senyum mengembang di wajah pucat Maya dan membuatnya terlihat cantik walau kepayahan. Maya memandangi Leo dan anak-anak itu bergantian.

Leo pun tak kuasa menahan rasa gembira, membalas senyuman Maya dengan senyuman termanis yang sangat tulus. Bukan senyuman play boy yang selama ini dia gunakan untuk menggaet wanita.

"Syukurlah Kakak Cantik selamat!" seru seorang gadis kecil yang meminta sepuluh bungkus biskuit.

"Aku tadi hendak memperingatkanmu agar tidak ke sini, Bibi! Tapi paman-paman jahat itu sudah muncul dan melihatku!" ujar anak lelaki kecil yang terlihat cerdas di usia belianya.

"Apollo lalu berlari sekuat tenaga mencari bantuan. Untung dia bertemu paman tampan dan membawanya ke sini untuk menolongku, Kak!" jelas anak lelaki kurus menunjuk kepada anak lelaki yang paling besar. Mungkin Apollo adalah pemimpin gerombolan mereka.

Anak-anak itu mengerumuni Maya dan Leo dengan suka cita menceritakan betapa kagumnya mereka akan aksi Leo. "Dia sangat kuat seperti pahlawan bertopeng! Semoga kedua paman jahat itu mati agar kami bebas." Apollo berkata dengan wibawa seorang pemimpin.

Tak lama, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Anak-anak berlarian seperti domba yang melihat serigala. Saat itulah, Maya menoleh ke belakang dan mendapati sesuatu yang tidak disangka. Si tambun berdiri dan menodongkan pistol ke arah Leo dan Maya.

Bang!

"Awaaass!"

Bunyi tembakan membahana di udara. Bercampur dengan jeritan Maya dan Leo.

Saat itulah, suara sirine mobil patroli polisi datang ke lokasi kejadian. Si tambun ditembak di bagian kaki saat mencoba melawan. Si botak pun berhasil dibekuk petugas saat mencoba melarikan diri.

Namun, bagi Leo, waktu seakan terhenti. Pria itu mengumpat dan mengutuk kebodohannya. Semua sudah terlambat. Wanita yang hendak dia selamatkan, kini terbaring tak berdaya di tangannya. Bersimbah darah karena telah menjadi perisai hidup untuknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status