Kedua penjahat itu berhenti menatap pria ketiga yang hadir di tengah-tengah mereka. "Mau apa kau? Apa kau cari mati?"
Si tambun menoleh, bangkit, dan berjalan mendekati pria yang berusaha menghalangi aksinya. "Mau ikut bersenang-senang, Bro?" tanya si tambun sambil mengulurkan tangan ke bahu pria berambut pirang itu untuk mengajak berpesta.
Namun, pria pirang itu menangkap pergelangan tangan si tambun lalu memelintirnya sekuat tenaga. Si tambun menjerit kesakitan, lalu dia berusaha menyerang si pirang dengan tendangan.
Sayang sekali, usahanya sia-sia karena si pirang jauh lebih sigap dari si tambun. Dia meangkap kaku penjahat itu dengan mudah. Kemudian, dia memelintir dan membanting lawannya dengan sekuat tenaga. Dengan badan kekar dan jangkung, secara fisik, si pirang memang tampak lebih unggul dari lawannya.
Pria bermata hijau terang itu memandang tajam si tambun sebelum dia menekuk lutut dan menghadiahi perut penjahat itu dengan tendangan maut. "Rasakan ini, Brengsek! Beraninya kamu menganiaya wanita lemah!"
Pria pirang itu terus memukul dan menendang si tambun tanpa ampun. Sementara itu, si botak hanya mengamati saja dengan ketakutan sambil membungkam mulut Maya dengan tangan yang sudah pasti sangat kotor.
Maya bahkan dapat mencium bau tembakau dan alkohol dari tangan dan badan penjahat itu. Bila dalam keadaan normal, tentu saja Maya akan muntah. Namun, keadaan saat ini sangat membuat Maya takut dan kesakitan. Reaksi alami tubuhnya tidak normal.
Setelah membereskan si tambun, pria rupawan berambut pirang itu segera menghampiri si botak yang menahan Maya. Si botak semakin gemetaran dikuasai oleh aura mematikan dari pria yang mendekat ke arahnya.
"Lepaskan wanita itu atau kau akan berakhir seperti kawanmu!" bentak si pirang.
"Co–coba saja kalau kamu bisa!" bentak si botak sambil menyeret Maya beringsut ke belakang.
Mata Maya berkaca-kaca mendapatkan pertolongan di saat yang sangat kritis dari sosok tak asing walaupun mereka baru sekali bertemu. Saat ini harapannya hanya satu, agar pria itu berhasil membereskan pria yang kini membungkamnya.
"Coba saja kalau kau bisa!" Si botak melempar tubuh lemah Maya ke samping dan menghilangkan ketakutan untuk menghadapi lawannya dengan memasang posisi kuda-kuda. Kemudian, dia mengarahkan tiga jari kanan ke arah lawan dan menariknya kembali ke arahnya. "Ayo!"
Tanpa menunggu lebih lama lawannya segera menghampiri dengan sigap lalu mengangkat badan kurus si botak yang seakan tak bermassa. Dilemparnya tubuh si botak ke dinding kotor pertokoan terdekat, menkmbulkan bunyi 'boogh' yang sangat keras. Bisa dipastikan, beberapa tulang punggung si botak patah karenanya.
"Leo!" Maya berseru lega menyaksikan semuanya telah selesai. Penderitaannya berakhir sudah. Dia hendak bangun, tapi tak ada tenaga.
"Maya, kamu baik-baik saja?" tanya Leo mendekati Maya dengan napas memburu. Matanya menyisir kondisi tubuh Maya yang terluka di banyak bagian terutama wajah, lutut dan jemari kaki. Wanita yang tadi tampak sempurna seperti bidadari, kini bagaikan kelinci yang hampir mati dimangsa elang. "Tidak! Kamu tidak baik-baik saja!" ujar Leo berkata dengan sedih.
Leo menunduk, memandangi Maya yang tampak sangat pucat dan lemah. Wanita malang itu menangis sambil tersenyum. "Aku baik-baik saja karena kamu datang menolongku. Thanks, Leo! Kamu seperti superhero!" isak Maya penuh syukur.
Leo pun berjongkok hendak menggendong Maya, tetapi dia ingat bahwa Maya adalah istri orang. Dia bahkan hampir mati karena mempertahankan cincin pernikahannya. Pastilah dia sangat mencintai sang suami yang penipu itu.
"Kau bisa berjalan?" tanya Leo dengan ragu. Dia seolah melontarkan pertanyaan bodoh lagi selain apakah Maya baik-baik saja.
Maya hendak menjawab tidak. Namun, dia sadar bahwa meminta Leo membopongnya adalah hal yang tak sopan mengingat statusnya adalah istri Adam. Sehingga dia pun berusaha berdiri walaupun dengan susah payah.
Namun, saat Maya hendak melangkahkan kaki, badannya oleng. Sudah pasti dia jatuh bila saja tak ada tangan kekar Leo yang menangkap pinggangnya. Pandangan keduanya tak sengaja bertaut, menyerang hati Leo yang kesepian dengan gelenyar berbahaya. Entah berapa lama scene klise ini berlangsung. Leo merasa seperti tersihir dan tenggelam dalam pesona mata gelap Maya.
"Ehmm ...." Deheman Maya membuyarkan lamunan Leo. "Apa aku sangat berat?"
"Ah, maaf! Apa ... kamu ... baik-baik saja?" tanya Leo lagi, membuat Maya terkikik. "Kamu menanyakan hal yang serupa terus menerus."
Leo menyadari kebodohannya. Kemudian, dia segera melepas Maya dan menawarkan diri memapah wanita ramping itu agar tak terjatuh lagi. Mereka pun berjalan perlahan tanpa suara.
Hari mulai gelap. Tak ada lampu jalan yang menerangi lokasi menyeramkan ini. Dengan kecepatan berjalan Maya yang hanya dua ratus meter per jam, pasti mereka akan sampai hotel saat tengah malam. Leo memandang sekeliling, tapi tak ada kendaraan yang lewat. Apalagi taksi.
"Bagaimana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Maya kemudian untuk memecah keheningan.
Leo hanya tersenyum. Kemudian dia memasukkan ibu jari dan jari telunjuknya ke dalam mulut untuk bersiul. Tak lama, keluarlah anak-anak jalanan yang tadi siang Maya belikan makanan.
Suara riuh mereka bagai burung gereja di pagi hari. Bersorak-sorai karena pangeran tampan berhasil menyelamatkan tuan putri.
"Kalian!"
Senyum mengembang di wajah pucat Maya dan membuatnya terlihat cantik walau kepayahan. Maya memandangi Leo dan anak-anak itu bergantian.
Leo pun tak kuasa menahan rasa gembira, membalas senyuman Maya dengan senyuman termanis yang sangat tulus. Bukan senyuman play boy yang selama ini dia gunakan untuk menggaet wanita.
"Syukurlah Kakak Cantik selamat!" seru seorang gadis kecil yang meminta sepuluh bungkus biskuit.
"Aku tadi hendak memperingatkanmu agar tidak ke sini, Bibi! Tapi paman-paman jahat itu sudah muncul dan melihatku!" ujar anak lelaki kecil yang terlihat cerdas di usia belianya.
"Apollo lalu berlari sekuat tenaga mencari bantuan. Untung dia bertemu paman tampan dan membawanya ke sini untuk menolongku, Kak!" jelas anak lelaki kurus menunjuk kepada anak lelaki yang paling besar. Mungkin Apollo adalah pemimpin gerombolan mereka.
Anak-anak itu mengerumuni Maya dan Leo dengan suka cita menceritakan betapa kagumnya mereka akan aksi Leo. "Dia sangat kuat seperti pahlawan bertopeng! Semoga kedua paman jahat itu mati agar kami bebas." Apollo berkata dengan wibawa seorang pemimpin.
Tak lama, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Anak-anak berlarian seperti domba yang melihat serigala. Saat itulah, Maya menoleh ke belakang dan mendapati sesuatu yang tidak disangka. Si tambun berdiri dan menodongkan pistol ke arah Leo dan Maya.
Bang!
"Awaaass!"
Bunyi tembakan membahana di udara. Bercampur dengan jeritan Maya dan Leo.
Saat itulah, suara sirine mobil patroli polisi datang ke lokasi kejadian. Si tambun ditembak di bagian kaki saat mencoba melawan. Si botak pun berhasil dibekuk petugas saat mencoba melarikan diri.
Namun, bagi Leo, waktu seakan terhenti. Pria itu mengumpat dan mengutuk kebodohannya. Semua sudah terlambat. Wanita yang hendak dia selamatkan, kini terbaring tak berdaya di tangannya. Bersimbah darah karena telah menjadi perisai hidup untuknya.
Angin malam yang dingin, tak sedikit pun mendinginkan perasaan Leo. Maya yang tergolek lemah bersimbah darah, menatapnya dengan mata yang semakin hendak menutup."Kau baik-baik sa–ja, bu–kan?" tanya Maya dalam bisikan lemah tersendat yang hanya bisa didengar oleh Leo. Maya memaksakan senyuman semanis mungkin agar Leo tidak bersedih.Leo hanya bisa menjawab dengan kepanikan dan gelengan. Dia tak percaya Maya menolong, bahkan mengorbankan nyawa untuknya. Mengapa wanita ini melakukan hal senekat itu untuk orang asing seperti dia?Petugas medis segera membawa Maya ke rumah sakit. Leo menemani Maya di sisi wanita malang itu. Dia tahu bahwa dirinya adalah pendosa. Namun, kali ini, Leo percaya pada Tuhan dan berdoa padanya agar Maya diselamatkan.Kegaduhan hanya membayang di mata dan telinga Leo. Dia tak peduli. Fokusnya hanya satu. Maya harus selamat dengan cara apa pun."Dokter, tolong selamatkan dia! Berapa pun biayanya dan apa pun caranya,
Leo mengamati kondisi Maya yang masih lemah pasca operasi dengan prihatin. Dia sangat bersyukur Maya selamat karena pertolongan anak-anak jalanan yang kemarin mereka temui. Benar-benar sebuah keajaiban.Golongan darah Maya O negatif. Rumah sakit saat itu sedang kehabisan stok darah dengan golongan tersebut. Saat itulah Leo sangat menyesal mengapa tadi dia membanting ponsel hingga hancur. Tak mungkin dia bisa mengirim pesan kepada semua rekan kerja dan kenalan yang barangkali memiliki golongan darah yang sama.Dia pun berlari keluar, menuliskan di selembar kertas bahwa dirinya membutuhkan golongan darah O negatif untuk teman yang kritis. Namun, tak satu pun donor didapatkan. Saat itulah, dia bertemu dengan anak-anak jalanan yang datang bersama Apollo. Mereka pun membantu aksi mencari donor dengan gigih. Setengah jam kemudian, mereka kembali membawa tiga orang pendonor. Sangat cukup untuk membantu menyuplai kebutuhan darah Maya saat ini."Leo! Kamu belum tidur dar
Ini adalah hari ketiga Maya di rumah sakit. Maya meminta Leo untuk tidak menemaninya sepanjang hari. Dia menyuruh Leo untuk kembali ke hotel dan mengurus dirinya dengan baik.Maya sangat merasa bersalah. Liburan Leo rusak karena peristiwa yang dia alami. Andai saja saat itu dia tidak ceroboh, pastilah tak akan bertemu dengan para penjahat.Hari ini, Maya harus kembali ke hotel. Sebentar lagi suaminya akan pulang dari pertemuan bisnisnya dan ponselnya yang mati, tentu tak akan membantu menjelaskan apa pun tentang keberadaannya di rumah sakit.Karena itulah, Maya segera mengganti pakaian dan keluar dari kamar. Dia merasa kondisinya sudah baik. Maya akan meminta keluar hari ini dan mengurus semua keperluan administrasi."Maaf, tapi di rumah sakit kami tak mungkin dilakukan perawatan sebelum ada jaminan pembayaran. Jadi, biaya perawatan Anda sudah ditanggung. Anda tak perlu membayar lagi." Petugas administrasi menjelaskan kepada Maya dengan singkat tanp
"Ponsel kamu hancur?" tanya Adam kepada Maya setelah mereka sampai di apartemen yang akan mereka tinggali. Pria berambut hitam yang selalu disisir rapi itu terkejut akan kebetulan yang menimpa mereka."Iya. Maaf! Apa kau kerepotan menghubungiku?" tanya Maya dengan sandiwara sempurna. Wajahnya terlihat baik-baik saja. Seolah tak terjadi apa pun padanya."Eh, kebetulan. Ponselku juga hancur tertindih kursi!" jawab Adam dengan santai."Tertindih kursi? Kamu menindih ponsel dengan kursi?" tanya Maya mulai merasa ada kejanggalan dalam penjelasan Adam.Adam berjengit, menutup mulutnya dengan refleks. Dia kelepasan. Skenario yang sebenarnya ponselnya terjatuh oleh Sabrina. Namun, Adam tahu dari kerusakan yang terjadi bahwa ponselnya tidak terjatuh, melainkan ditindih kaki kursi yang runcing dan kuat.Dengan gugup, Adam meralat penjelasannya. "Iya, jatuh, saat ada orang mengangkat kursi! Kemudian tertindih dan layarnya rusak!" Hati Adam berdebar-deba
Keberadaan Sabrina di kantor setiap hari sangat menggangu konsentrasi Adam. Karena itulah, selama ini, Adam tak pernah sekali pun menginginkan Sabrina menjadi sekretarisnya. Apalagi, Sabrina tak sebagus Maya dalam bekerja. Adam harus bekerja keras bahkan untuk menyusun file dan mengatur semua jadwal meeting yang kadang tumpang tindih. Sesuatu yang tak perlu dia lakukan bila Maya yang menjadi sekretarisnya. Namun, Adam bertekad untuk menjalani semua ini demi keberhasilan dalam cinta dan tahta. Bukankah untuk meraih suatu tujuan memang diperlukan kerja lebih keras? "Astaga! Lagi-lagi ada dua meeting dalam satu waktu," gumam Adam kebingungan. Namun, kesalahan seperti ini tak bisa membuatnya memarahi Sabrina. Dia harus memperlakukan Sabrina dengan kesabaran tingkat tinggi agar wanita itu tak kabur dari pelukannya. "Sayang, kamu bisa beresin jadwal yang dobel ini?" pinta Adam dengan halus agar Sabrina tidak tersinggung. Sabrina yang sudah merasa bekerja de
Sudah satu bulan lamanya sejak Sabrina menggantikan Maya menjadi sekretaris. Selama satu bulan tersebut, Adam bekerja sangat keras. Namun, pekerjaan banyak yang tak terselesaikan dengan baik, tak peduli bagaimanapun juga Adam telah berusaha dengan sangat gigih membanting tulang.Di depan Adam, kini sang ayah memasang wajah seram seolah akan memakan anak semata wayangnya hidup-hidup. Beliau terlihat sama sekali tak puas dengan kinerja sang anak."Apa saja yang kamu lakukan di kantor? Aku tanya ke Maya, kamu bahkan sering lembur. Mengapa aku menerima laporan kinerja yang begitu buruk darimu?" ujar Tuan Paul dengan nada tinggi. Beliau duduk di kursi kerja Adam dengan menyilangkan kaki, membiarkan putranya berdiri mematung dan menunduk karena merasa bersalah dan tak bisa memberikan pembelaan diri yang memadai."Kudengar, kamu sering sekali membatalkan janji dengan klien secara mendadak. Tiga orang investor bahkan membatalkan niat kerja samanya dengan perusahaan kita
Tak terasa, sudah sepuluh hari berlangsung misi Adam untuk mengatur kesibukannya di kantor dan di rumah. Sabrina tak terlihat marah karena Elena, sekretaris senior yang diperbantukan menghandle lebih banyak pekerjaan sekaligus memeriksa kembali pekerjaannya.Sedangkan Maya yang hanya memiliki pikiran positif kepada Adam, justru merasa prihatin dengan kondisi suaminya yang saat ini sedang tertidur pulas di sampingnya. Badan Adam akhir-akhir ini terlihat lebih kurus. Wajahnya tak terlihat segar."Apakah kamu terlalu sibuk dan tidak makan dengan baik?" bisik Maya pelan. Dia lalu mengecup kening suaminya dan memikirkan apa yang sebaiknya dia lakukan untuk membantu kesibukan Adam. "Ah, mungkin aku akan membuatkan bekal saja untuknya. Akhir-akhir ini dia berangkat terlalu pagi sebelum aku bangun dan tidak sarapan sampai di kantor!"Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Maya sengaja bangun lebih awal kali ini agar bisa menyapa Adam sekaligus membuatkannya sar
Sabrina tersenyum puas melihat Adam mendatanginya di restoran tanpa terlihat semburat kecewa di wajah. Dia tahu Adam membawa kotak makanan hari ini. Dia memang dengan sengaja meminta Adam untuk makan di luar bersamanya demi menguji Adam mengenai siapa yang dia prioritaskan saat ini.Bila Adam datang, Sabrina akan sangat senang karena dia masih diutamakan. Bila Adam memilih makan bekal yang dibuatkan Maya, tentu Sabrina akan merasa dirinya sudah tergeser oleh Maya. Sekretaris cantik itu sangat khawatir kalau-kalau Adam terpesona dengan kepribadian Maya. Karena itulah, dia tak boleh terang-terangan berlaku buruk di hadapan Adam.Sabrina menyambut Adam dengan senyuman sangat manis yang membuai hati Adam. Pria itu senang Sabrina sudah tak marah. Mereka berdua lalu memesan makanan dan membicarakan hal-hal ringan yang tidak berhubungan dengan pertengkaran mereka tadi pagi.Damai menyelimuti perasaan Adam. Kepuasan membuncah dalam hati Sabrina. Sangat berkebalikan deng