Share

11. MAJU ATAU MUNDUR?

"Halo, Wil?" ucap seorang lelaki di seberang. Dia baru saja menghubungi sahabat satu fakultasnya di Jogya yang bernama Wildan.

"Ya, ada apa?" tanya Wildan yang saat itu baru saja memparkirkan kendaraannya di depan restoran seafood tempat sang kekasih bekerja.

"Lo di mana? Clubbing yuk?"

"Sorry Yan, gue nggak bisa. Gue mau jemput Isna," jawab Wildan.

Lelaki bernama Aryan yang menelepon Wildan tampak mengesah. Sebelah tangannya mengepal dengan ekspresi bengis yang nampak di wajah tampannya. "Gue kirain lo udah putus sama cewek itu?" ucapnya sinis.

"Putus? Putus gimana? Hubungan gue sama Isna baik-baik aja kali," ujar Wildan santai. Dia membuka pintu mobil untuk menunggu kedatangan Isna.

Saat itu Aryan tidak berbicara apapun lagi dan langsung memutus sambungan teleponnya dengan Wildan, membuat lelaki berkemeja biru itu terheran-heran dengan tingkah sahabatnya.

Palingan juga abis berantem lagi sama bokapnya!

Gumam Wildan dalam hati.

Wildan dan Aryan sudah saling mengenal saat mereka SD.

Awalnya, Wildan adalah kakak kelas Aryan. Usia mereka terpaut 5 Tahun.

Otak Aryan yang kelewat encer membuatnya mampu meloncat hingga 5 tingkatan kelas setelah mengikuti beberapa kali ujian.

Alhasil, kedua lelaki itu pun sejajar dalam jenjang pendidikan mereka hingga mereka kini masuk perguruan tinggi.

Sikap Wildan yang dewasa dan lebih sering mengalah membuat Aryan merasa nyaman bersahabat dengan Wildan. Meski terkadang Aryan seringkali diliputi rasa iri akan kelebihan Wildan dalam bergaul.

Di universitas tempat mereka mengemban pendidikan saat ini, Wildan bahkan lebih banyak memiliki teman dekat dibanding Aryan yang pendiam dan sangat introvert.

Bahkan bukan hanya masalah pergaulan sesama jenis, namun masalah asmara pun Aryan selalu jauh ketinggalan dengan Wildan.

Sejauh dirinya hidup, Aryan belum pernah menjalani hubungan percintaan dengan siapapun.

Hidup sejak kecil tanpa mendapat kasih sayang dari seorang Ibu membuat Aryan tumbuh menjadi sosok yang anti sosial dan dingin terhadap perempuan.

Terlebih dengan kesibukan Malik yang kerap bekerja keluar kota membuat hubungan antara Ayah dan anak itu kurang dekat.

Aryan larut dalam kesendiriannya dan dalam angan-angan indah akan sesuatu yang dia rasakan terhadap seseorang.

Seseorang yang selama ini begitu dia kagumi, secara diam-diam.

*****

Pekerjaan Malik hari ini tidak banyak.

Sore hari dia sudah free dan bisa melakukan aktifitas lain dengan bebas.

Tadi di lokasi syuting Malik mendapat begitu banyak buah tangan berupa makanan khas daerah Bandung dari salah seorang fansnya. Karena jumlahnya yang sangat banyak dan tak mungkin habis dia makan sendirian, Malik berinisiatif untuk memberikan sebagian makanan itu pada keluarga Isna.

Kebetulan saat dirinya mengobrol dengan Ayah Isna beberapa hari lalu, lelaki paruh baya itu sempat mengatakan bahwa dirinya berasal dari Bandung. Siapa tahu beliau suka dengan buah tangan yang dibawa Malik.

Karena arah jalan yang dituju Malik melewati daerah sekitar tempat kerja Isna, jadilah Malik berinisiatif untuk menjemput Isna lebih dulu baru dia mampir ke kediaman Isna.

Lelaki itu melirik jam tangan di tangan kanannya dan kebetulan ini memang jam-jamnya Isna pulang bekerja, semoga saja restoran itu tidak ramai.

Setelah memparkirkan mobilnya di lahan parkir resto, Malik keluar hendak merokok.

Saat sedang asik merokok, Malik dikejutkan dengan suara sapaan seseorang dari arah belakang.

"Om Malik?"

Malik mendongak dan mendapati Wildan, sahabat anaknya berdiri di belakangnya.

"Wildan? Hai, apa kabar?" sapa Malik yang langsung menyambut uluran tangan pemuda yang sudah seperti anaknya itu.

"Alhamdulillah baik. Kamu sendiri bagaimana?" tanya Malik.

"Baik Om,"

Malik membuang puntung rokoknya. "Kamu mau pulang?" Tanya Malik yang berpikir Wildan adalah pengunjung resto.

"Oh, aku lagi nunggu pacarku, dia kerja di sini," jawab Wildan apa adanya.

Malik hanya manggut-manggut dengan senyuman lebar mempesonanya.

"Om sendiri, ngapain di sini malam-malam? Mau makan?" tanya Wildan kemudian.

Malik jadi salah tingkah. Berasa seperti ABG, jika dia pun menjawab kalau dia sedang menunggu seorang perempuan terlebih dengan usia si perempuan yang terpaut jauh dengannya.

Namun, tak ada pilihan, Malik pun menjawab apa adanya juga.

"Menunggu teman, kebetulan dia juga bekerja di sini."

Wildan menyeringai lebar. "Jangan bilang, kalau teman Om itu calon Mamah barunya Aryan?" goda Wildan yang selama ini memang sangat dekat dengan Malik. Hubungan keduanya bahkan lebih harmonis ketimbang hubungan Malik dengan Aryan. Wildan itu anaknya supel dan enak diajak sharing tentang hal apapun, tidak seperti Aryan yang sensitif.

Malik tertawa digoda Wildan. "Maunya sih begitu Wil, cuma cewek satu ini agak susah ditaklukkan," bisik Malik dengan kekehan kecil.

"Hm, cowok sekelas Om Malik masa nggak bisa naklukin cewek? Nggak percaya aku."

"Nah makanya inikan Om lagi berusaha PDKT dulu."

"Oke deh Om, semoga berhasil ya? Fighting!" Wildan mengacungkan sebelah tangannya ke atas tanda memberi semangat pada Malik.

Malik menepuk bahu Wildan dan keduanya kembali larut dalam percakapan santai hingga restoran tutup dan satu persatu karyawan yang bekerja di sana pun pulang.

Seorang wanita berkaos pink dengan celana jeans sobeknya tengah berjalan ke arah parkiran saat dia melihat kendaraan sang kekasih terparkir di sana.

Isna celingukan saat kini dirinya sudah berdiri tepat di samping mobil Wildan, tapi sang kekasih tak ada di sana.

Alhasil Isna pun memutuskan untuk menunggu. Mungkin jika dia punya ponsel dia akan langsung menghubungi Wildan sayangnya dia tidak punya.

"Sayang."

Isna terperanjat kaget saat bahunya ditepuk oleh seseorang dari belakang.

Ternyata itu Wildan.

"Kamu dari mana aja sih?" tanya Isna.

"Aku dari toilet, terus tadi ngobrol sebentar di warung kopi depan sama Papahnya sahabatku. Habis kamu lama banget,"

Isna hanya diam. Wajahnya tampak ditekuk.

"Kok cemberut? Ada masalah?" tanya Wildan kemudian.

"Aku dipecat!" ucap Isna yang sekuat tenaga berusaha menahan linangan air matanya agar tidak terjatuh.

"Kenapa dipecat?" tanya Wildan dengan ekspresi kaget.

"Pengurangan karyawan."

Wildan mengesah. Dia menarik tubuh Isna mendekat dan memeluknya.

Isna menangis sesenggukan di balik bahu Wildan.

"Gimana aku bisa bayar hutang dan lunasi biaya sekolah Hasna kalau aku cuma kerja jadi Cleaning Service di Rumah sakit?" ucap Isna dalam isak tangisnya.

"Sabar ya, lagian kamu sih, aku tawarin kerja di perusahaan Papaku nggak mau."

Isna melepas pelukan Wildan, dia menatap Wildan lekat. Tak ada yang aneh dengan semua sikap Wildan. Lelaki ini tetap baik, perhatian dan terlihat sangat sayang pada Isna, hanya saja jika ingatan Isna sudah kembali pada rekaman Video syur itu, mendadak ada sesuatu yang meletup dan menggelegak dari dalam sudut hatinya.

"Kalau aku bekerja di sana, aku takut buat Papa kamu jadi malu."

"Hei, kamu kenal Papaku kan? Dia orangnya santai. Justru dia yang menawarkan pekerjaan itu ke kamu. Kamu bisa bekerja di bagian HRD, nanti ada tim yang mengajarkan kamu, gimana? Mau ya?"

Isna terdiam cukup lama hingga setelahnya dia pun mengangguk. Tak punya pilihan. Keadaannya saat ini benar-benar terjepit dan Isna harus tetap bekerja untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah yang lebih banyak.

Wildan tersenyum lebar. "Kalau udah bekerja di Kantor Papaku, kamu nggak perlu bekerja jadi cleaning service lagi di rumah sakit."

Isna mengangguk paham.

"Yaudah, aku anter pulang sekarang ya? Apa mau jalan-jalan dulu?"

"Terserah kamu aja,"

"Kita jalan-jalan dulu ya? Kamu udah makan belum?" Wildan menarik jemari Isna mengajaknya memasuki mobil.

"Belum sih."

Saat itu, Wildan sempat mencari keberadaan Om Malik yang tidak kunjung kembali dari toilet.

Padahal kendaraan lelaki itu masih ada di parkiran resto.

Wildan mengedikkan bahu dan langsung memasuki mobilnya. Biar saja dia akan berpamitan melalui ponsel. Siapa tau, Om Malik kini sudah bersama wanita yang dia tunggu.

Sepeninggal kendaraan Wildan, Malik keluar dari lokasi persembunyiannya.

Melihat Wildan bersama Isna, Malik pun mengerti bahwa ternyata Isna adalah kekasih Wildan, sahabat dari anaknya sendiri.

Malik mengesah dan memijat pangkal hidungnya. Semua masalah jadi semakin rumit baginya.

Bagaimana mungkin wanita yang telah dia perkosa kini menjelma sebagai kekasih dari sahabat Aryan?

Apa yang harus dia lakukan sekarang?

Haruskah dia tetap melanjutkan niatannya untuk mendapatkan Isna.

Atau...

Dia harus mundur?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status