"Halo, Wil?" ucap seorang lelaki di seberang. Dia baru saja menghubungi sahabat satu fakultasnya di Jogya yang bernama Wildan.
"Ya, ada apa?" tanya Wildan yang saat itu baru saja memparkirkan kendaraannya di depan restoran seafood tempat sang kekasih bekerja."Lo di mana? Clubbing yuk?""Sorry Yan, gue nggak bisa. Gue mau jemput Isna," jawab Wildan.Lelaki bernama Aryan yang menelepon Wildan tampak mengesah. Sebelah tangannya mengepal dengan ekspresi bengis yang nampak di wajah tampannya. "Gue kirain lo udah putus sama cewek itu?" ucapnya sinis."Putus? Putus gimana? Hubungan gue sama Isna baik-baik aja kali," ujar Wildan santai. Dia membuka pintu mobil untuk menunggu kedatangan Isna.Saat itu Aryan tidak berbicara apapun lagi dan langsung memutus sambungan teleponnya dengan Wildan, membuat lelaki berkemeja biru itu terheran-heran dengan tingkah sahabatnya.Palingan juga abis berantem lagi sama bokapnya!Gumam Wildan dalam hati.Wildan dan Aryan sudah saling mengenal saat mereka SD.Awalnya, Wildan adalah kakak kelas Aryan. Usia mereka terpaut 5 Tahun.Otak Aryan yang kelewat encer membuatnya mampu meloncat hingga 5 tingkatan kelas setelah mengikuti beberapa kali ujian.Alhasil, kedua lelaki itu pun sejajar dalam jenjang pendidikan mereka hingga mereka kini masuk perguruan tinggi.Sikap Wildan yang dewasa dan lebih sering mengalah membuat Aryan merasa nyaman bersahabat dengan Wildan. Meski terkadang Aryan seringkali diliputi rasa iri akan kelebihan Wildan dalam bergaul.Di universitas tempat mereka mengemban pendidikan saat ini, Wildan bahkan lebih banyak memiliki teman dekat dibanding Aryan yang pendiam dan sangat introvert.Bahkan bukan hanya masalah pergaulan sesama jenis, namun masalah asmara pun Aryan selalu jauh ketinggalan dengan Wildan.Sejauh dirinya hidup, Aryan belum pernah menjalani hubungan percintaan dengan siapapun.Hidup sejak kecil tanpa mendapat kasih sayang dari seorang Ibu membuat Aryan tumbuh menjadi sosok yang anti sosial dan dingin terhadap perempuan.Terlebih dengan kesibukan Malik yang kerap bekerja keluar kota membuat hubungan antara Ayah dan anak itu kurang dekat.Aryan larut dalam kesendiriannya dan dalam angan-angan indah akan sesuatu yang dia rasakan terhadap seseorang.Seseorang yang selama ini begitu dia kagumi, secara diam-diam.*****Pekerjaan Malik hari ini tidak banyak.Sore hari dia sudah free dan bisa melakukan aktifitas lain dengan bebas.Tadi di lokasi syuting Malik mendapat begitu banyak buah tangan berupa makanan khas daerah Bandung dari salah seorang fansnya. Karena jumlahnya yang sangat banyak dan tak mungkin habis dia makan sendirian, Malik berinisiatif untuk memberikan sebagian makanan itu pada keluarga Isna.Kebetulan saat dirinya mengobrol dengan Ayah Isna beberapa hari lalu, lelaki paruh baya itu sempat mengatakan bahwa dirinya berasal dari Bandung. Siapa tahu beliau suka dengan buah tangan yang dibawa Malik.Karena arah jalan yang dituju Malik melewati daerah sekitar tempat kerja Isna, jadilah Malik berinisiatif untuk menjemput Isna lebih dulu baru dia mampir ke kediaman Isna.Lelaki itu melirik jam tangan di tangan kanannya dan kebetulan ini memang jam-jamnya Isna pulang bekerja, semoga saja restoran itu tidak ramai.Setelah memparkirkan mobilnya di lahan parkir resto, Malik keluar hendak merokok.Saat sedang asik merokok, Malik dikejutkan dengan suara sapaan seseorang dari arah belakang."Om Malik?"Malik mendongak dan mendapati Wildan, sahabat anaknya berdiri di belakangnya."Wildan? Hai, apa kabar?" sapa Malik yang langsung menyambut uluran tangan pemuda yang sudah seperti anaknya itu."Alhamdulillah baik. Kamu sendiri bagaimana?" tanya Malik."Baik Om,"Malik membuang puntung rokoknya. "Kamu mau pulang?" Tanya Malik yang berpikir Wildan adalah pengunjung resto."Oh, aku lagi nunggu pacarku, dia kerja di sini," jawab Wildan apa adanya.Malik hanya manggut-manggut dengan senyuman lebar mempesonanya."Om sendiri, ngapain di sini malam-malam? Mau makan?" tanya Wildan kemudian.Malik jadi salah tingkah. Berasa seperti ABG, jika dia pun menjawab kalau dia sedang menunggu seorang perempuan terlebih dengan usia si perempuan yang terpaut jauh dengannya.Namun, tak ada pilihan, Malik pun menjawab apa adanya juga."Menunggu teman, kebetulan dia juga bekerja di sini."Wildan menyeringai lebar. "Jangan bilang, kalau teman Om itu calon Mamah barunya Aryan?" goda Wildan yang selama ini memang sangat dekat dengan Malik. Hubungan keduanya bahkan lebih harmonis ketimbang hubungan Malik dengan Aryan. Wildan itu anaknya supel dan enak diajak sharing tentang hal apapun, tidak seperti Aryan yang sensitif.Malik tertawa digoda Wildan. "Maunya sih begitu Wil, cuma cewek satu ini agak susah ditaklukkan," bisik Malik dengan kekehan kecil."Hm, cowok sekelas Om Malik masa nggak bisa naklukin cewek? Nggak percaya aku.""Nah makanya inikan Om lagi berusaha PDKT dulu.""Oke deh Om, semoga berhasil ya? Fighting!" Wildan mengacungkan sebelah tangannya ke atas tanda memberi semangat pada Malik.Malik menepuk bahu Wildan dan keduanya kembali larut dalam percakapan santai hingga restoran tutup dan satu persatu karyawan yang bekerja di sana pun pulang.Seorang wanita berkaos pink dengan celana jeans sobeknya tengah berjalan ke arah parkiran saat dia melihat kendaraan sang kekasih terparkir di sana.Isna celingukan saat kini dirinya sudah berdiri tepat di samping mobil Wildan, tapi sang kekasih tak ada di sana.Alhasil Isna pun memutuskan untuk menunggu. Mungkin jika dia punya ponsel dia akan langsung menghubungi Wildan sayangnya dia tidak punya."Sayang."Isna terperanjat kaget saat bahunya ditepuk oleh seseorang dari belakang.Ternyata itu Wildan."Kamu dari mana aja sih?" tanya Isna."Aku dari toilet, terus tadi ngobrol sebentar di warung kopi depan sama Papahnya sahabatku. Habis kamu lama banget,"Isna hanya diam. Wajahnya tampak ditekuk."Kok cemberut? Ada masalah?" tanya Wildan kemudian."Aku dipecat!" ucap Isna yang sekuat tenaga berusaha menahan linangan air matanya agar tidak terjatuh."Kenapa dipecat?" tanya Wildan dengan ekspresi kaget."Pengurangan karyawan."Wildan mengesah. Dia menarik tubuh Isna mendekat dan memeluknya.Isna menangis sesenggukan di balik bahu Wildan."Gimana aku bisa bayar hutang dan lunasi biaya sekolah Hasna kalau aku cuma kerja jadi Cleaning Service di Rumah sakit?" ucap Isna dalam isak tangisnya."Sabar ya, lagian kamu sih, aku tawarin kerja di perusahaan Papaku nggak mau."Isna melepas pelukan Wildan, dia menatap Wildan lekat. Tak ada yang aneh dengan semua sikap Wildan. Lelaki ini tetap baik, perhatian dan terlihat sangat sayang pada Isna, hanya saja jika ingatan Isna sudah kembali pada rekaman Video syur itu, mendadak ada sesuatu yang meletup dan menggelegak dari dalam sudut hatinya."Kalau aku bekerja di sana, aku takut buat Papa kamu jadi malu.""Hei, kamu kenal Papaku kan? Dia orangnya santai. Justru dia yang menawarkan pekerjaan itu ke kamu. Kamu bisa bekerja di bagian HRD, nanti ada tim yang mengajarkan kamu, gimana? Mau ya?"Isna terdiam cukup lama hingga setelahnya dia pun mengangguk. Tak punya pilihan. Keadaannya saat ini benar-benar terjepit dan Isna harus tetap bekerja untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah yang lebih banyak.Wildan tersenyum lebar. "Kalau udah bekerja di Kantor Papaku, kamu nggak perlu bekerja jadi cleaning service lagi di rumah sakit."Isna mengangguk paham."Yaudah, aku anter pulang sekarang ya? Apa mau jalan-jalan dulu?""Terserah kamu aja,""Kita jalan-jalan dulu ya? Kamu udah makan belum?" Wildan menarik jemari Isna mengajaknya memasuki mobil."Belum sih."Saat itu, Wildan sempat mencari keberadaan Om Malik yang tidak kunjung kembali dari toilet.Padahal kendaraan lelaki itu masih ada di parkiran resto.Wildan mengedikkan bahu dan langsung memasuki mobilnya. Biar saja dia akan berpamitan melalui ponsel. Siapa tau, Om Malik kini sudah bersama wanita yang dia tunggu.Sepeninggal kendaraan Wildan, Malik keluar dari lokasi persembunyiannya.Melihat Wildan bersama Isna, Malik pun mengerti bahwa ternyata Isna adalah kekasih Wildan, sahabat dari anaknya sendiri.Malik mengesah dan memijat pangkal hidungnya. Semua masalah jadi semakin rumit baginya.Bagaimana mungkin wanita yang telah dia perkosa kini menjelma sebagai kekasih dari sahabat Aryan?Apa yang harus dia lakukan sekarang?Haruskah dia tetap melanjutkan niatannya untuk mendapatkan Isna.Atau...Dia harus mundur?Isna duduk termenung di Halte menunggu metromini lewat.Dia hendak pulang.Ditatapnya layar ponsel di tangannya.Tampil di wallpaper ponsel itu gambar dirinya bersama seorang lelaki yang telah memberikan ponsel itu secara cuma-cuma padanya, sekitar dua bulan yang lalu.*"Aku mau kamu terima ini. Kalau kamu tolak, aku akan marah," ucap Wildan saat lelaki itu memberikan Isna sebuah ponsel baru.Saat itu, malam terakhir Isna dan Wildan bertemu sebelum Wildan kembali ke Joyga untuk melanjutkan pendidikan.Isna terdiam dengan kedua tangan yang sudah menerima bungkusan berisi ponsel pemberian Wildan. Wildan memberikannya secara paksa."Jangan tersinggung. Aku beri kamu ponsel ini karena aku nggak mau kita sampai lose contact. Gimana aku bisa hubungi kamu di Jogya nanti kalau kamu nggak pegang Hanphone? Kalau aku kangen gimana? Kamu nggak kasian sama aku?" Suara Wildan terdengar manja. Jari telunjuknya menarik dagu Isna agar mendongak. Dia ingin menatap wajah Isna sampai puas malam ini.Sebe
"Yah? Nggak ada apa-apa? Kak Is nggak masak?" Uucap Hasna saat tak mendapati lauk pauk apapun di dapur. Padahal dia begitu lapar karena hari ini dia tidak jajan di sekolah."Kakakmu sakit, tadi pagi dia muntah-muntah pas lagi buat kue," jawab Dharma yang sedang menonton TV."Terus jadi nggak jualan hari ini?" tanya Hasna masih cemberut."Nggak. Tadi juga Bapak larang supaya nggak usah masuk kerja, tapi Isna kekeuh mau masuk kerja, yasudah. Katanya sudah minum obat."Hasna tidak menyahut. Gadis itu sibuk membuat mie di dapur. Dia tidak pernah terlalu perduli tentang apapun hal yang terjadi pada Isna, yang Hasna tau dirinya saat ini sangat lapar, dan dia harus segera makan.Selepas mie matang, Hasna memakannya di kamar.Gadis itu makan dengan lahap.Selesai makan, ketika sang Ayah tertidur, Hasna diam-diam masuk ke dalam kamar sang Kakak seperti yang biasa dia lakukan.Uang simpanan untuk ongkos kerja yang ditaruh Isna di selipan lipatan pakaian milik Isna diambilnya separuh.Hari ini H
Isna hamil.Jalan 8 minggu.Itulah yang dikatakan oleh dokter klinik yang memeriksa Isna tadi.Kini, keadaan Isna terlihat kacau.Gadis itu tak henti menangis di dalam mobil Malik, sementara Malik sendiri tidak tahu harus melakukan apa.Rasa bersalahnya semakin besar pada Isna. Sayangnya Malik terlalu pengecut untuk mengakui kesalahannya kepada gadis itu.Gadis yang telah dia rusak masa depannya."Isna, apa sebaiknya kita pulang saja?" Tanya Malik memberanikan diri.Isna tersadar saat mendengar suara Malik menyapanya. Tangisnya perlahan mereda meski rasa sesak di dadanya tak kunjung menghilang.Dia sudah diperkosa dan kini dia harus mendapati dirinya hamil hasil pemerkosaan itu.Isna yang kalut, bingung dan takut hanya bisa menangis dan menangis. Dia bahkan tak tahu kemana dirinya harus mengadu saat ini. Bahkan Isna merasa dirinya kini kehilangan harga diri di hadapan Malik.Pasti lela
"Sekarang, coba jelasin sama Mba, apa yang terjadi sama kamu semalam?" Tanya Isna pada sang adik usai dia mengantar Malik pulang.Kedua kakak beradik itu duduk di depan ruang ICU.Hasna menunduk takut. Titik-titik air matanya mulai kembali berjatuhan."Hasna juga nggak tau Mba. Seingat Hasna, Julian ajak Hasna pergi ke sebuah tempat yang emang pemandangannya indah. Hasna sama Julian ngobrol banyak hal di sana sampai Hasna lupa waktu. Terus, pas Hasna ajakin Julian pulang, Julian tawarin Hasna minuman. Setelah itu Hasna nggak inget apa-apa lagi..." Hasna menghentikan kalimatnya akibat tangisannya yang kian merebak. Dadanya sesak, terlebih ketika ingatannya tertuju pada kejadian yang dia alami tadi pagi.Di mana ketika dirinya terbangun, Hasna sudah berada di dalam sebuah kamar hotel dengan tubuh tanpa busana.Dan...Bersama tiga orang lelaki yang jelas-jelas bukan Julian."Hasna nggak tau apa yang udah mereka lakukan sama
Malik sudah memparkirkan kendaraannya di tepi jalan dekat gang rumah Isna.Itu artinya, kini waktunya dia berpisah dengan Isna yang harus kembali ke rumah."Makasih ya Om," kata Isna tersenyum."Oke, hati-hati,"Isna hendak membuka pintu mobil ketika dia teringat sesuatu. Ditariknya kembali tangannya dari handle pintu dan kembali berbalik menghadap Malik."Hm, mau mampir dulu ke rumah nggak Om? Ada yang mau saya bicarakan," ucap Isna setengah ragu.Kening Malik berkerut samar, dia menoleh jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam."Kayaknya udah terlalu malam. Dan lagi di rumah kamu nggak ada siapa-siapa sekarang. Nggak enak sama tetangga. Bicara di sini saja bisa?" saran Malik.Lelaki itu hanya tak ingin jika dirinya sampai lepas kontrol seperti malam itu. Berada berdekatan dengan Isna bukan hal yang mudah bagi Malik karena lelaki itu harus susah payah mengendalikan perasaannya. Dan...
"Wildan sudah menghancurkan kepercayaan saya. Dia sudah mengkhianati saya. Itulah mengapa saya memutuskan untuk memilih Om Malik, pada akhirnya...."Malik tercenung.Dia tidak bisa menebak perasaan apa yang lebih mendominasi hatinya saat ini.Apa itu perasaan senang, cemas atau takut?Semua perasaan itu bercampur menjadi satu dalam benak Malik. Lelaki itu membalas genggaman tangan Isna. Ditatapnya lekat manik mata Isna yang hitam."Sebelumnya, saya nggak pernah merasa seyakin ini dengan seorang perempuan. Tapi dengan kamu, saya yakin jika penantian saya untuk mendapatkan pasangan yang memang benar-benar cocok untuk saya telah berakhir. Sesungguhnya kamu adalah perempuan yang saya cari selama ini. Saya harap, kamu bisa menerima segala kekurangan yang saya miliki Isna..." Ungkap Malik menjelaskan.Cukup bagi Malik merahasiakan soal malam di mana terjadinya kekhilafan itu, dan Malik tidak ingin menutupi apapun tentang kisah masa lal
"Saya lelaki normal, ya wajar kalau berdekatan dengan lawan jenis pusaka saya bereaksi, iyakan?"Kening Isna berkerut. Dia benar-benar bingung.Hingga setelahnya, satu kalimat yang terucap dari bibir Isna membuat Malik kembali terkejut."Bukannya Om itu impoten?" Tanya Isna to the point. Baru melihat milik Malik dari luar saja Isna sudah ngeri karena ukurannya yang cukup besar dan... Panjang...Isna buru-buru menggeleng.Kenapa otaknya jadi kotor? Pikir Isna membatin. Sekujur tubuhnya tiba-tiba merinding.Isna menelan salivanya sendiri sebelum dia kembali menatap Malik."Jadi Om sudah sembuh?" Tanya Isna lagi dengan wajah super polos."Dari mana kamu tahu soal ini?" Tanya Malik yang benar-benar bingung.Jika memang Isna mengetahui semua rahasia Malik dari orang lain, sudah Malik pastikan tersangka utamanya hanya Emir karena sejauh ini yang Malik tahu, orang terdekat Malik yang menjalin hubungan baik den
"Kinara?" Pekik Malik kaget saat dia tak sengaja membuka mata sewaktu berciuman dengan Isna.Reflek Malik menjauhi Isna. Wajah lelaki itu memucat.Hal itu jelas membuat Isna terheran-heran."Ke-kenapa Om?" Tanya Isna saat itu ketika Malik menatapnya dengan sorot wajah ketakutan.Malik masih berada pada fase peralihan dalam alam bawah sadarnya. Seketika siluet kejadian belasan tahun silam kembali merasuk dalam ingatannya. Detik-detik di mana dirinya melihat sebuah pemandangan yang begitu mengerikan di depan matanya.Tatapan sendu Kinara saat wanita itu meregang nyawa.Darah yang mengalir deras dari kepala Kinara berlumuran di kedua tangan Malik.Dan... Satu kalimat terakhir yang berhasil diucapkan Kinara sebelum menjemput ajal justru semakin membuat Malik terpukul.*"Aku mencintaimu Mas... Aku sudah memenuhi janjiku untuk selalu mencintaimu, bahkan sampai aku mati...""KINARAAAA... JANGAN PERGI