Share

10. SAKITNYA DIKHIANATI

"Dan inilah yang sudah saya katakan sejak awal mengenai penyakit yang Pak Malik derita selama ini, bahwa penyakit impoten yang Pak Malik derita bukan berasal dari faktor organik, tapi psikogenik. Semua ini hanya Pak Malik sendiri yang mampu menjawabnya, karena dari semua pemeriksaan medis, tidak ada yang bermasalah dalam diri Pak Malik. Pak Malik sehat secara fisik, hanya saja, batiniah Pak Maliklah yang selama ini terganggu. Mungkin, tidak cukup ketika Pak Malik dinyatakan sudah sembuh dari penyakit depresi yang pernah Pak Malik derita belasan tahun lalu, karena pada kenyataannya, dalam diri Pak Malik, Pak Malik belum bisa menerima takdir yang telah ditetapkan Tuhan terhadap diri Pak Malik," jelas seorang dokter yang selama ini menjadi Dokter pribadi Malik dalam menangani penyakit yang dideritanya.

Malik dan sang Dokter kini sudah selayaknya sepasang teman karib karena semua rahasia pribadi terkelam yang pernah Malik rasakan dalam hidupnya kini sudah diketahui oleh sang Dokter.

"Apa saya perlu berkonsultasi pada dokter kejiwaan, Dokter Prin? Karena belum lama ini, saya mengalami ereksi secara tiba-tiba saat ada seorang wanita yang menyentuh saya," tanya Malik dengan suaranya yang lemah dan putus asa. Pada akhirnya Malik tidak bisa menyembunyikan hal ini dari dokter yang memeriksa dirinya di rumah sakit.

"Benar begitu?" tanya Dokter bernama Prin itu. Dia terlihat antusias mendengar kemajuan yang dialami pasiennya.

"Benar Dok. Tapi anehnya, saya hanya mampu ereksi jika saya berdekatan dengan perempuan itu saja. Dengan perempuan lain, tetap tidak bisa," ucap Malik memperjelas.

Dokter Prin mengerutkan kening. "Apa Pak Malik sudah mencobanya dengan perempuan lain selain wanita yang Pak Malik katakan tadi?" tanya sang dokter memastikan.

Malik mengangguk. "Ya Dok, saya sudah coba membuktikan dan kenyataannya penis saya memang tak bereaksi jika saya berhubungan dengan perempuan lain, selain dia..." Malik menggantung kalimatnya. Dan bahkan saat kini dirinya membayangkan wajah Isna dan betapa panas malam yang dilaluinya bersama Isna beberapa waktu lalu, milik Malik seakan terpancing untuk bereaksi.

Sebesar itukah pengaruh seorang Isna bagi Malik?

Malik benar-benar heran.

"Apa Pak Malik kenal dekat dengan perempuan itu? Maksud saya, apa perempuan itu sudah mengetahui hal ini? Tentang penyakit yang selama ini Pak Malik derita?"

Malik menggeleng. "Saya bahkan baru pertama kali bertemu dengannya saat dia hendak diperkosa oleh preman-preman jahat."

"Lalu?"

"Lalu... Lalu," Malik maju mundur untuk mengatakan apa yang telah dia lakukan kepada perempuan itu.

"Lalu saya dan dia menjalin hubungan baik sejak saat itu. Dia merasa berhutang budi pada saya karena telah saya tolong, terlebih saya juga ikut membantunya saat dia terlibat hutang dengan rentenir. Sejauh ini, hubungan saya dengan perempuan itu cukup dekat," ucap Malik pada akhirnya.

Bagaimana pun, apa yang telah dia lakukan terhadap Isna adalah sebuah tindakan kriminal yang tidak mungkin dia ceritakan pada orang lain, selain Emir, tentunya.

"Bagus kalau begitu. Jika memang kalian cocok satu sama lain kenapa tidak diresmikan saja. Bukankah dengan begitu, Pak Malik bisa terbebas dari penyakit yang selama ini Pak Malik derita?" saran sang dokter.

Malik menghembuskan napas berat.

Seandainya saja yang terjadi bisa semudah apa yang Dokter Prin katakan!

Sayangnya, semua itu kini menjadi rumit bagi Malik karena sikap Isna yang keras kepala.

Pada akhirnya Malik hanya bisa mengeluh dalam hati.

Apa mungkin dia harus berusaha lebih gigih lagi untuk bisa mengambil hati Isna?

Entahlah, sepertinya Malik pesimis.

Isna bukan tipe perempuan matre yang bisa luluh dengan uang. Gadis itu unik.

Dan keunikannya itulah yang justru semakin membuat Malik penasaran setengah mati pada Isna.

Terlebih, sampai detik ini, Malik masih belum mampu mendapat jawaban masuk akal mengenai alasan mengapa hanya dengan Isna dirinya mampu menjadi sosok lelaki jantan yang sesungguhnya?

*****

Isna baru saja keluar dari rumah sakit Cipta Medika setelah jam kerjanya berakhir, dia berjalan menuju halte Busway untuk langsung menuju resto tempatnya bekerja. Meski dia merasa sangat lelah, namun Isna tidak boleh lemah.

Dia harus bekerja lebih giat agar dia bisa segera melunasi semua hutang-hutangnya pada lelaki mesum bernama Malik itu.

Isna masih berjalan di tepi jalan saat tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tepat di sebelahnya, memepet tubuh Isna.

Seorang lelaki muda dengan gayanya yang terlihat keren dan maskulin keluar dari dalam mobil, lelaki itu tersenyum pada Isna.

Dia Wildan, kekasih Isna.

"Hai cantik, mau kemana? Sendirian aja? Mau aku anter nggak?" goda Wildan dengan segala candaan recehnya. Lelaki itu kini sudah berdiri di hadapan Isna.

Tatapan Isna yang sinis membuat senyum lebar di wajah tampan Wildan surut.

Wildan mengangkat sebelah tangannya dan menempelkan punggung tangannya di kening Isna. Dingin, dan itu artinya Isna tidak sedang sakit.

Wildan hanya merasa aneh dengan sikap tak bersahabat yang ditampakkan Isna saat ini. Padahal mereka sudah tidak bertemu selama berbulan-bulan karena Wildan yang kini masih menempuh kuliah di salah satu perguruan tinggi di luar kota.

"Kamu kenapa sih?" tanya Wildan pada akhirnya.

Isna menelan salivanya susah payah. Rasa kecewanya yang bercampur dengan perasaan rindu terhadap lelaki ini membuat Isna tak tahu harus melakukan apa selain diam. Bahkan bodohnya, kedua bola matanya kini terasa kian memanas.

Nggak!

Aku nggak boleh nangis di depan Cowok brengsek macam Wildan!

Aku nggak boleh cengeng!

Ucap Isna meyakinkan dirinya untuk tetap tegar dan kuat.

Meski, sesungguhnya pesona Wildan sore ini membuat pandangan Isna jadi sulit berpaling.

"Hei, what's wrong with you? Apa kamu lagi ada masalah? Kamu bisa cerita sama aku, sayang..." ucap Wildan dengan penuh perhatian. Lelaki itu menyentuh kedua bahu Isna.

Isna masih terdiam dengan tatapan sinisnya.

Seandainya saja ponsel miliknya tidak hilang karena kejadian pemerkosaan itu, Isna tak perlu lagi menjelaskan apapun pada Wildan, dia hanya perlu memperlihatkan video mesum Wildan bersama wanita lain di dalam kostan lelaki itu saja.

Isna pikir hal itu sudah cukup membuat Wildan mengerti.

"Apa kamu marah karena aku nggak langsung temuin kamu pas aku baru tiba di Jakarta? Kan aku udah kirim pesan ke kamu kalau aku harus mampir ke Bandung dulu sebelum ke Jakarta. Tadi pagi aku juga telepon kamu, tapi nomor kamu nggak aktif. Aku baru sampai Jakarta tadi malam sayang," jelas Wildan panjang lebar.

Setelah berpikir keras cukup lama, akhirnya Isna memiliki ide yang cukup bagus untuk membalas perbuatan Wildan terhadapnya.

Meski sulit, Isna berusaha memulas senyum tipis. "Maaf kalau begitu, aku udah salah paham sama kamu," ucap Isna dengan sandiwaranya. "Hpku hilang, kecopetan. Makanya aku nggak tau kalau kamu ke Bandung dulu sebelum ke Jakarta," tambahnya lagi.

"Ya ampun, jadi sekarang kamu nggak pegang Hp dong?" Wildan terlihat prihatin. Sebab dia tahu bagaimana kesulitan hidup Isna selama ini.

"Tenang aja, nanti aku beli yang baru kalau gajian," jawab Isna santai.

"Kita beli sekarang ya," Wildan menggandeng lengan Isna hendak mengajak Isna masuk ke dalam mobilnya.

"Nggak usah!" tegas Isna menolak. Bahkan dia melepas genggaman tangan Wildan di lengannya.

Hal itu membuat Wildan semakin kebingungan. Sikap Isna benar-benar berbeda dari biasanya.

"Berhenti untuk mengasihani aku, Wil. Aku bisa mencukupi kebutuhan hidupku sendiri, terima kasih atas niat baik kamu," ucap Isna. "Sekarang, anterin aku aja ke Resto, aku nggak mau telat," Isna langsung masuk ke dalam mobil sang kekasih.

Wildan mengedikkan bahu. Berusaha memaklumi apa yang menjadi keputusan Isna. Sejauh ini, Wildan cukup paham bagaimana sejatinya sosok Isna yang mandiri dan tangguh. Isna yang pekerja keras dengan kepribadiannya yang tegas, membuat wanita itu memang terlihat kuat. Dan sebagai seorang lelaki, Wildan sangat bangga memiliki kekasih seperti Isna.

Selain cantik, lucu, menggemaskan, Isna itu sosok wanita yang sangat sederhana dan apa adanya. Jauh dari kesan matre. Bahkan tak jarang Isna menolak jika Wildan hendak membelikannya barang-barang mewah.

Contohnya seperti tadi.

Setengah jam perjalanan, akhirnya Wildan dan Isna sampai di restoran seafood tempat Isna bekerja.

"Aku pamit dulu ya, makasih udah anterin sampai sini," ucap Isna saat dirinya hendak keluar dari mobil Wildan.

Isna tersentak saat merasakan sebuah tangan menarik tangannya cukup kuat hingga tubuh Isna berbalik ke arah Wildan yang langsung memeluknya.

Wildan mendekap tubuh Isna dengan pelukan yang cukup erat. "Aku kangen banget sama kamu, Isna, maafin aku karena belum punya cukup banyak waktu untuk kamu. Tapi, aku janji, selepas aku lulus kuliah nanti, aku akan langsung lamar kamu. Kamu maukan menikah sama aku, Isna?" tutur Wildan panjang lebar. Wajahnya terbenam di ceruk leher Isna. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh Isna yang sangat dia rindukan.

Hati wanita mana yang tidak meleleh mendengar apa yang baru saja diucapkan sang kekasih padanya. Sama halnya dengan Isna yang lagi-lagi merasakan nyeri di ulu hatinya ketika dia harus kembali teringat akan adegan demi adegan yang terjadi dalam video itu.

Bagaimana mungkin Wildan bisa begitu terlihat tulus di hadapannya, padahal di belakang Isna, lelaki ini sama brengseknya dengan lelaki kebanyakan yang hanya menginginkan selangkangan perempuan.

Tubuh Isna masih membeku dalam pelukan Wildan ketika pelukan itu tiba-tiba merenggang.

Wildan memang tak melepaskan tubuh Isna sepenuhnya karena dia masih ingin menikmati keromantisan mereka meski hanya untuk waktu yang singkat.

Kali ini Wildan hendak mencium bibir Isna namun aksinya gagal karena Isna yang langsung mengelak.

"Maaf, aku udah telat, Wil. Bye!"

Saat itu, Isna berlari keluar dari mobil Wildan sambil terus menyeka air matanya yang terus lolos keluar membanjiri pipinya.

Ternyata, sesakit ini rasanya dikhianati?

Terlebih, membohongi perasaan sendiri!

Membenci di saat hati masih sangat mencintai itu rasanya sangat sulit!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status