Share

Part-16 Matahari Kedua

Pukul 12.40 (GMT +2) pesawat landing di Bandara Internasional Malpensa-Milan-Italy. Savanna mempersiapkan barang bawaannya, dari kaca jendela pesawat Savanna melihat awan putih berarak dan hamparan pegunungan yang menghijau, indahnya hari ini. Dihembusnya nafas panjang. Hari baru, semangat baru semoga semuanya berjalan lancar, doanya.

Diruang tunggu managemen Hanny Hananto sudah menunggunya, seorang wanita memperkenalkan diri sebagai managernya.

"Verga..." wanita cantik itu mengulurkan tangannya dengan sepotong senyum manis. Orang Italia cenderung berbicara dengan gerakan tangan dan ekspresi muka yang menonjol sehingga terlihat sangat ekspresif.

"Savanna..." Savanna menyambut uluran tangan Verga dan memeluknya hangat.

" Nama yang cantik, serasi dengan-ku."

"Serasi..?" kening Savanna berkerut, tak mengerti apa yang dimaksud Verga.

"Savanna artinya padang rumput luas tak berpohon sedang arti namaku dalam bahasa Italy adalah tongkat gembala..." jelas Verga tersenyum.

"Wow...amazing, semoga kita partner yang cocok" Savanna menepuk punggung Verga.

Seorang porter membawakan travel bag Savanna ke mobil yang menjemputnya, ia mengangguk hormat saat mata keduanya bertemu. Orang Italy sangat ramah dengan orang yang baru dikenalnya. Mobil melaju dan membawanya ke apartemen, sepanjang jalan ia melihat orang berlalu-lalang dengan busana modis. Busana menjadi salah satu aspek diri yang diperhatikan dan penting bagi orang Italia. Tak dilihatnya orang memakai baju sobek-sobek yang menurut beberapa orang identik dengan keunikan. Tak salah Milan mendapat julukan "The fashion capital of the world".

Laķi-laki Italia adalah impian wanita dunia, berambut coklat gelap dengan bola mata coklat menyala. Sangat memperhatikan penampilan, selalu terlihat rapi dan harum. Romantis, cerdas, berpendidikan dan sangat menghormati orang tua, khususnya ibu karenanya laki-laki Italia sangat menghormati wanita dan mencintai keluarga. Bahkan seorang ibu dalam keluarga Italia bisa sangat dominan termasuk menentukan calon menantu anaknya, pemuda Italia adalah milik ibunya.

" Ok Savanna, ini apartemen anda. Istirahatlah, besok aku akan menunjukkan jadwal kerjamu. Bersiap-siaplah" Verga pamit setelah mengantar kekamarnya.

Sepeninggal Verga, Savanna merasa sendiri dan kesepian biasanya ia pergi ke manca negara dengan rombongan kebudayaan atau team managemen-nya. Ada Alin, Lucy, Amira, Luna dan lainnya. Rame dan heboh, apa kabar mereka...? Baru sehari tidak bertemu dan meninggalkan Indonesia terasa kangen luar biasa. Indonesia dan semua yang ada disana tak tergantikan. Kini Savanna baru bisa merasakan arti pepatah, hujan batu di negeri sendiri lebih baik dibanding hujan emas dinegeri orang. Dinyalakannya ponsel dan di hubunginya nomor Mama.

"Assalamualaikum Ma, saya sudah sampai apartemen.."

"Alhamdulillah, semoga anda tetap dalam lindungan Allah, jaga dirimu nak.."

"Ya, Mama juga jaga kesehatan. Savanna kangen Mama dan teman-teman yang ada di sana.."

"Sabar ya nak, tiga bulan lagi anda sudah bisa pulang. Lagi pula kan bisa telpon juga sama Alin dan yang lain..." Mama memberikan semangat.

"Ya Ma, mungkin baru tiba rasanya sangat sepi karena sendiri.." pertama kalinya Savanna mengeluh, sentimentil.

"Sebentar lagi juga akan sibuk, tetap sabar dan jangan tinggalkan sholat ya nak" pesan Mama.

"Insyaallah Ma, dah dulu ya Ma. Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam..."

Ruang apartemen yang nyaman, bersih dan harum, alhamdulillah. Di Milan siang lenbih panjang, matahari terbit pada pukul 05.35 dan tenggelam di pukul 21.15, rentang waktu hampir 16 jam beda dengan Indonesia yang hanya 10 jam. Dilihatnya kaca jendela, orang berlalu-lalang dengan kesibukannya masing-masing. Savanna merasa sendiri tanpa kawan dan saudara, hari ini belum bertemu dengan Hanny Hananto wanita itu hanya menelponnya dan mengucapkan selamat datang.

****

Thoriq menatap ponselnya dengan perasaan berbaur, ditatapnya watsapp berisi Boarding Pass Savanna. Semalam ia tak bisa tidur, menimbang akan membalas atau tidak watsapp gadis itu. Hari ini tidak ada lagi telepon, watsapp atau SMS Savanna untuk dirinya. Thoriq merasa kehilangan, dibukanya beberapa watsapp Savanna yang lalu.

"Kakak, jangan marah ya. Percayalah Edward hanya seorang teman, aku juga tak tahu kenapa dia menjemputku di bandara padahal sebelumnya sudah pamit pulang ke London. Semua berita dan foto-foto itu tidak benar, kakak harus percaya padaku."

"Kakak jangan diam terus, maafkan kesalahanku jika selama ini tidak sesuai dengan harapan kakak.." ada emoji yang sedang meneteskan air mata.

Dada Thoriq terasa sesak, ia merindukan gadis itu tapi posisinya sangat sulit saat ini. "Semoga anda sudah sampai di Milan dengan selamat. Humairah" Ada dorongan yang begitu kuat untuk membalas watsapp itu namun harga diri melarangnya. Melihat Edward memeluk dan mencium pipi Savanna dengan bebas hati lelakinya menggeliat, selama ini ia tak pernah menyentuh gadis itu karena menghormatinya. Dalam agamanya wanita halal disentuh ketika sudah menikahinya dan Thoriq sangat menjaga itu. Seandainya tidak ada masalah dengan Umi, Thoriq pasti sudah menikahinya karena sesungguhnya Savanna juga sudah siap dinikahi olehnya.

Sebagai lelaki normal terkadang Thoriq agak susah menahan diri, apalagi Savanna sangat luar biasa. Cantik dan sangat mengundang hasrat, melihat senyum dan mendengar suaranya saja iman Thoriq nyaris rontok. Kenapa Umi tidak mau mengerti, padahal menikah adalah ibadah yang sangat luar biasa. Jika sekarang memandangnya saja dilarang, didalam pernikahan memandang istri adalah pahala, apalagi menyentuhnya. Toriq memasukkan ponsel dalam saku bajunya ketika Umi menghampirinya. Wanita itu mengambil tempat duduk disebelahnya

"Apakah anda masih memikirkan gadis itu, Umi lihat sekarang sering melamun kalau dirumah....?" Umi mulai menyerang.

"Kenapa Umi tidak menyukai Savanna?" Thoriq bertanya hati-hati dengan suara rendah, bagaimanapun ia tak mau bersitegang dengan Umi.

"Anda masih bertanya pada Umi. Bagaimana jika pertanyaan itu dibalik, kenapa anda menyukai gadis seperti itu...?"

"Savanna gadis yang baik, model hanya sebuah profesi yang suatu saat bisa ditinggalkan saat sudah menikah. Thoriq yang akan membimbingnya Umi, dia gadis yang penurut.." Thoriq berusaha meluruhkan hati Umi.

"Anda bicara tentang pernikahan, seakan-akan Umi tak punya peran apa-apa dalam kehidupanmu. Tidak, selama Umi masih hidup. Bahkan karena dia Kanaya membatalkan pernikahannya denganmu" Umi berkeras.

"Umi, gagalnya pernikahan kami bukan salah Savanna. Itu murni keputusan Kanaya..." Thoriq serba salah.

"Salah karena gadismu itu tak tahu diri, harusnya ia mencari pasangan yang sepadan dengannya bukan dengan anak Umi."

"Umi...istighfar..."Abi mendekatinya.

"Lihat cover ditabloid ini Bi, perempuan tak punya etika. Dipeluk dan dicium oleh lelaki yang bukan muhrimnya didepan orang banyak..." Umi membanting tabloid yang tergeletak di meja dengan gemas.

"Umi...sabar..." Abi memegang lengannya

"Wanita seperti itu yang anda inginkan jadi istri, mendidik dirinya sendiri saja tak bisa apalagi mendidik anak-anakmu nantinya..." suara Umi kian tinggi.

"Berita itu tidak benar Umi, bisa aja berita itu dibuat hanya untuk menaikkan rating pembaca" koreksi Thoriq.

"Mungkin, tapi itulah dunianya. Anda akan menjadi pemilik sekaligus kepala pesantren "Al-Kautsar" bisakah anda sedikit memakai akal sehat dalam mencari pasangan hidup?" Umi tambah berang, akhir-akhir ini Thoriq banyak membantahnya.

"Umi....sudahlah..." Abi berusaha melerai.

"Dia gadis yang sering keliling dunia, tiap hari bertemu dengan berbagai macam lelaki, bagaimana dia bisa menjaga diri dan kesuciannya...?" Umi hampir menangis ketika mengucapkan itu, tak rela anak laki-lakinya jatuh dalam pelukan model itu.

Urat dikening Thoriq menegang, jarinya mengepal menahan amarah. Ditinggalkannya kedua orang tuanya dengan langkah cepat menuju kamarnya. Ia masuk kamar mandi dan membasuh mukanya dengan air wudhu untuk mengusir kemarahan dalam dadanya. Umi begitu membenci Savanna, menuduh dan memandangnya rendah padahal Umi belum mengenalnya. Umi juga menuduhnya tak becus mencari calon istri seakan-akan Umi tak lagi mengenal anaknya sendiri. Thoriq melaksanakan sholat sunah dua rakaat untuk mengusir kemarahan dan menenangkan dirinya, setelah itu ia pamit pada Abi untuk pergi kerumah Ilham begitu dilihatnya Umi tidak ada diruang tamu.

*****

Ilham menyambutnya dengan cerah, pemuda itu terlihat lebih rapi dan klimis sekarang. Baju-baju yang dikenakannya juga nampak modis, mungkin Kanaya yang mendandaninya, secara Kanaya adalah seorang designer busana.

"Alhamdulillah didatangi saudara tapi wajahmu terlihat kusut bro..." Ilham menatap menyelidik.

"Biasalah, persoalan anak muda.." Thoriq bicara ringan, menutupi gejolak hatinya.

"Masalahmu dengan Umi masih belum ada penyelesaian...?" tanya Ilham hati-hati.

"Begitulah. Ham, aku mau menerima panggilan pelatihan menjadi asisten imam di Masjidil Haram selama satu tahun..." Thoriq menghembuskan nafas panjang, bola matanya menerawang.

"Serius bro...?" Ilham menatap wajah sahabatnya.

"Serius-lah, masak main-main."

"Terus bagaimana dengan proyek pesantren-mu..?"

"Lanjutlah, untuk itu saya datang kesini."

"Maksudmu...?"

"Aku minta anda dan Kanaya untuk membantu mengawasinya, kita bisa komunikasi lewat telepon jika ada kendala. Abi juga membantu, meski masih semangat tapi kan sudah sepuh."

"Anda yakin dengan keputusan ini Thoriq...?"

"Yakinlah, masih ada waktu seminggu untuk mempersiapkan segalanya sebelum berangkat."

"Aku bangga padamu bro, anda selalu mendapatkan yang terbaik, tak gampang lolos seleksi pelatihan menjadi asisten imam di Masjidil Haram" puji Ilham.

"Alhamdulillah Aamiin ya Rabi.."

"Orang tuamu sudah tahu...?"

"Nanti malam baru akan kukabari."

"Selamat ya bro, aku senang dengan keputusanmu."

"Aku juga titip Umi dan Abi kepadamu."

"Baiklah, akan kulakukan sebisa mungkin untuk membantumu."

"Nanti kukenalkan sama pak Sardi pemimpin proyek pembangunan pesantren" janji Thoriq.

"Oke" Ilham menepuk bahu sahabatnya dan menatap bangga.

"Terima kasih untuk bantuannya, aku pulang dulu ya..."

"Thoriq buru-buru saja, ayo diminum dulu teh hangatnya" Umi Ilham menyapanya dengan membawa nampan berisi dua gelas teh hangat dan cemilan. Uap teh panas mengepul dan menguarkan aroma wangi.

"Alhamdulillah, wangi teh-nya Umi. Terima kasih, nanti main lagi kemari. Pamit dulu ya Umi, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, salam buat Umi dan Abi dirumah ya..."

"Ya Umi, terima kasih kue dan teh manisnya."

"Sama-sama."

Didalam mobil Thoriq teringat kembali dengan gadisnya, meski marah ia tak pernah bisa melupakannya. Tatapannya, air matanya. Savanna terlihat tegar untuk menutupi hatinya yang rapuh. Jika saja Umi tahu bagaimana kerasnya gadis itu dalam mengejar kehidupannya. Berjuang bersama ibunya saat usianya masih tiga tahun, bahkan cita-citanya hanya ingin menjadi hafiz Al-Qur'an. Wajahnya yang eksotik dengan tinggi 175 cm mengantarkannya menjadi model, disanalah rejekinya didapat.

Jika saja Umi tahu betapa gigihnya perjuangan gadis itu untuk meraih mimpinya, dia bangun lebih dini saat anak-anak kecil lain masih bergelung dalam selimutnya. Kehilangan masa remajanya karena harus bekerja sambil sekolah. Bahkan laki-laki pertama yang dicintainya hanya anak Umi, Muhammad Thoriq Al-Farisi! Anakmu tak akan salah pilih Umi dan perjuangan Umi mendidik Thoriq juga tak akan sia-sia. Thoriq akan pergi ke Arab Saudi untuk mengikuti pelatihan menjadi asisten Imam di Masjidil Haram supaya Umi bangga, agar Umi tak sia-sia melahirkan Thoriq!

Semua yang Umi mau selama ini Thoriq sudah berusaha penuhi kecuali satu hal, biarkan pasangan hidup Thoriq yang pilih karena ini menyangkut kontrak seumur hidup Thoriq dengannya! Tapi Savanna sudah pergi, hanya ijin Allah yang akan mempertemukan keduanya. Setetes air luruh disudut matanya. Kehidupannya selama ini begitu mulus, nyaris tanpa kendala sampai ia bertemu Savanna, gadis itu memperkenalkannya pada dunia yang berbeda, dunia penuh onak dan duri yang menyadarkannya bahwa untuk mendapatkan sesuatu seseorang harus berjuang keras. 

Terkadang, kesulitan harus kamu rasakan terlebih dulu sebelum kebahagiaan yang sempurna datang kepadamu" RA. Kartini.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status