Beranda / Romansa / Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar / Bab 2 : Hangat yang Salah

Share

Bab 2 : Hangat yang Salah

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-22 18:13:32

“Itu … dia pergi,” jawab Maura sambil menunduk.

“Pergi?” Revan memicingkan mata. “Meninggalkanmu sendirian di sini?”

Maura menelan ludah, berusaha menahan suara gemetar di tenggorokannya. “Dia … pergi untuk bekerja, Kak.”

“Bekerja? Malam-malam seperti ini? Meninggalkanmu sendirian? Apa pekerjaannya lebih penting daripada kamu?”

Suara Revan yang tegas membuat Maura semakin terdiam. Lelaki itu kemudian menatap wajah polos Maura yang basah kuyup oleh hujan, bukan hanya wajahnya, tapi seluruh tubuhnya yang kini menggigil kedinginan.

Tak terasa air mata Maura mengalir begitu saja, bersamaan dengan hujan yang menetes di wajahnya. Maura hanya berharap Revan tidak tahu bahwa dirinya sedang menangis.

“Kak, aku ingin pulang,” ucap Maura lirih.

“Hm, baiklah.”

Mereka berdua pun berjalan menuju arah di mana mobil Revan terparkir.

Sesampainya di dalam mobil, Revan melirik ke arah Maura yang duduk diam di sampingnya. Rambut gadis itu masih lembab, beberapa helaian menempel di wajah pucatnya. Revan menghela napas panjang, tanpa banyak bicara, ia meraih sesuatu dari kursi belakang.

“Lepas bajumu,” titah Revan datar.

Sepasang netra coklat Maura langsung membulat sempurna. “A—apa maksudmu?” suara Maura bergetar, ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Kamu tidak dengar? Aku bilang, lepas bajumu.” Revan lalu menyerahkan handuk kecil dan pakaian bersih itu ke pangkuan Maura. “Ganti bajumu. Aku tidak mau kamu sakit.”

“T-tapi …” gumam Maura, sambil memeluk handuk itu di dada. Apakah lelaki itu berpikir ia akan mengganti pakaian begitu saja … di depannya?

“Kamu tidak perlu khawatir, aku akan menutup mata.” Suara Revan memang terdengar tenang, namun dari sorot matanya tadi, Maura tahu lelaki itu sempat memperhatikan wajahnya yang kini tampak begitu gugup.

Maura menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya saling meremas di pangkuan. “Mm …” Ia ragu. Dalam pikirannya masih terlintas ketakutan, bagaimana kalau Revan tiba-tiba membuka matanya saat ia berganti pakaian?

“Kenapa? Kamu tidak percaya padaku?”

“E … mm … bukan begitu,” jawab Maura, meski masih terdengar ragu. “Aku percaya kok.”

“Kalau begitu, cepat ganti bajumu.”

Maura menatap wajah Revan beberapa detik, memastikan kelopak mata pria itu tak bergerak sedikit pun. Setelah yakin, barulah ia menarik napas panjang dan mulai melepas pakaiannya yang basah. Rasa takut dan canggung bergulat di dalam dadanya, tetapi ia tahu tubuhnya sudah menggigil hebat. Gaun hitamnya terasa dingin menempel di kulit, membuat setiap gerakan terasa tak nyaman.

Tangannya bergetar saat mengenakan pakaian kering yang diberikan Revan.

“Sudah selesai?” tanya Revan setelah beberapa saat berlalu.

“S-sudah,” jawab Maura pelan, sambil merapikan kemeja Revan yang kebesaran di tubuhnya. Lengan bajunya menjuntai panjang hingga menutupi hampir seluruh telapak tangan.

Begitu mendengar jawaban itu, Revan membuka matanya perlahan. Sekilas pandangannya sempat terpaku, Maura tampak begitu kecil dalam balutan kemeja hitamnya. Rambutnya masih sedikit lembab, pipinya memerah entah karena dingin atau gugup.

Namun kemudian kening Revan berkerut. “Tunggu … kenapa kamu tidak pakai celana?”

Maura menunduk dalam, wajahnya memanas. “A-aku juga bingung. Kamu cuma kasih aku handuk sama kemeja, nggak ada celananya.”

Revan mengusap tengkuknya dengan canggung, lalu menghela napas pendek. “Aku lupa bawa,” katanya lirih, sambil menahan tawa. “Lagipula, kalaupun aku bawa, kamu yakin mau pakai celana aku yang segede itu?”

Maura hanya menunduk makin dalam, menatap ujung kemeja yang hampir menutupi pahanya. “Ya … nggak juga sih.”

Melihat tubuh Maura yang masih menggigil, Revan lalu melepas jaketnya dan menyerahkannya pada Maura. “Tutup saja pahamu dengan ini. Setidaknya biar tidak kedinginan.”

“Oh …” gumam Maura pelan. Ia menerima jaket itu dan segera mengenakannya. Jaket hitam itu masih hangat, aroma parfum Revan yang lembut langsung tercium begitu menyentuh kulitnya.

Maura menatap sekilas ke arah Revan. Entah kenapa, hatinya terasa hangat sekaligus aneh. Lelaki itu … kenapa bisa sebaik ini padanya? Padahal, suaminya sendiri bahkan tak pernah memperhatikannya sedalam itu.

“Kak …” panggil Maura lirih.

“Iya?” Revan menoleh sekilas.

“Kenapa kamu begitu baik padaku?”

Revan tersenyum samar. “Kamu lupa, ya? Kamu itu sahabatku. Bahkan sebelum kamu mengenal Dimas, aku sudah mengenal kamu lebih dulu.”

Maura terdiam. Ia ingat masa-masa dulu. Dulu, ia dan Revan memang sangat dekat, bahkan sebelum ia mengenal Dimas. Mereka sering pulang sekolah bersama, mengerjakan tugas bareng, saling bertukar cerita. Sebelum hubungan mereka berubah jadi keluarga ipar.

Revan selalu jadi sosok yang mudah diajak bicara, penyayang, dan punya cara sendiri membuat suasana tenang. Sementara Dimas … entah sejak kapan, lelaki itu berubah dingin padanya.

“Maura, aku ingin bertanya padamu, tapi kamu harus menjawab dengan jujur.”

Maura menoleh perlahan. Tatapan lembut di mata lelaki itu membuat dadanya bergetar aneh. “Memangnya … apa yang ingin kamu tanyakan?”

Revan menarik napas dalam, menimbang-nimbang setiap kata yang akan keluar dari mulutnya. “Apa kamu bahagia dengan pernikahan ini?”

Pertanyaan itu seperti anak panah yang melesat tepat ke dada Maura. Untuk sesaat, bibirnya kelu, tapi kemudian ia tersenyum. “Tentu saja aku bahagia,” jawabnya sambil meremas ujung jaket Revan. “Aku sangat bahagia, Kak.”

“Tapi kenapa matamu berkaca-kaca?”

Maura mencoba berkedip, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Tapi satu bulir tak sempat tertahan, jatuh, mengalir di pipinya, menggelinding tanpa permisi.

“A-aku …” Maura menunduk cepat, menyembunyikan wajahnya di balik helaian rambut yang basah.

Tanpa banyak kata, Revan mengulurkan tangan, ibu jarinya menyeka air mata di pipi Maura dengan hati-hati.

“Aku tidak suka melihatmu menangis,” bisik Revan, matanya menatap penuh iba.

Maura menatap balik, dan entah kenapa, untuk sesaat dunia terasa hening. Hanya ada mereka berdua di tengah hujan yang tak kunjung reda.

Ada sesuatu di mata Revan, sesuatu yang tak semestinya dilihat seorang kakak ipar pada istri adiknya.

Dan Maura … tak tahu kenapa, kali ini ia tidak mampu mengalihkan pandangannya.

***

Beberapa hari setelah malam itu …

Dimas belum juga pulang ke rumah. Telepon dan pesan yang Maura kirim pun tak kunjung dibalas. Rasa khawatir yang semula ia tahan kini berubah menjadi gelisah yang tak tertahankan. Akhirnya, dengan bekal makan siang yang ia siapkan sendiri, Maura memutuskan untuk datang ke kantor suaminya.

Setibanya di sana, Maura langsung disambut oleh salah satu karyawan yang sudah ia kenal cukup lama.

“Bu Maura?” sapa Mila, resepsionis yang ramah itu, tampak sedikit terkejut melihat Maura. “Tumben ke sini?”

Maura tersenyum sambil mengangkat kotak bekal di tangannya. “Iya, kebetulan aku mau bawain makan untuk Dimas. Dia pasti belum makan.”

Namun ekspresi Mila mendadak berubah canggung. “Bekal? Tapi …”

Maura menatapnya heran. “Tapi kenapa, Mila?”

“Pak Dimas nggak ada di kantor, Bu.”

Alis Maura langsung bertaut. “Nggak ada? Bukannya dia sering lembur?”

Mila menggeleng pelan. “Lembur? Nggak, Bu. Malah … Pak Dimas lagi cuti.”

“Cuti?” Maura mengulang pelan, tak percaya dengan yang ia dengar.

“Iya,” jawab Mila hati-hati. “Beliau ngajuin cuti sejak minggu lalu. Apa Bu Maura belum tahu?”

Jantung Maura seakan berhenti berdetak. Bibirnya bergetar, saat ia berkata, “Tidak .…”

Bekal di tangannya terasa berat, seluruh harapannya ikut jatuh bersama kabar itu. Dimas bilang sedang sibuk di kantor, tapi nyatanya ia malah cuti?

Lalu … kalau bukan di kantor, selama ini Dimas di mana?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 5 : Bisikan yang Menggoda

    Sontak Maura mundur beberapa langkah, menjaga jarak dari Revan ketika mendengar suara suaminya dari luar. “Dimas sudah pulang …” gumam Maura gugup, jantungnya berdegup kencang. Revan mengangkat alis. “Kenapa kamu terlihat gugup? Harusnya kamu senang, bukan?” “Kak, cepatlah pergi! Aku tidak ingin Dimas melihat kamu di sini,” bisik Maura panik, jemarinya mencengkeram ujung handuk yang membalut tubuhnya. Revan hanya berdiri diam, senyum tipis muncul di wajahnya. “Kenapa? Bukankah kamu bilang ingin membalas dendam padanya? Aku juga ingin tahu bagaimana reaksi suamimu itu kalau melihat kita begini.” “Tapi, Kak—” Belum sempat Maura menyelesaikan kalimatnya, suara Dimas kembali terdengar, kali ini lebih dekat. “Maura … kamu di mana?” Panik semakin menjadi-jadi. Maura menatap Revan dengan mata memohon. “Kak, tolong pergilah. Aku mohon,” ucapnya setengah berbisik, ia hampir merengek. Namun Revan masih belum beranjak, sengaja menantang keadaan, membuat Maura kian cemas. Pegang

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 4 : Godaan yang Tak Terelakkan

    Maura mengepalkan tangannya erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih, darahnya terasa berdesir cepat seiring matanya yang tak bisa lepas dari pemandangan itu. Suaminya, lelaki yang selalu ia banggakan, yang dulu ia perjuangkan mati-matian, tengah bercinta dengan wanita lain. Dan yang paling menusuk jantungnya, wanita itu adalah adik sepupunya sendiri.“Sejak kapan mereka bermain di belakangku?” “Sudah lama,” jawab Revan.Sontak Maura menoleh, menatap lelaki itu tak percaya. “Kamu tahu?”Revan menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Aku sudah tahu. Aku tak sengaja memergoki mereka dulu.”“K-Kenapa kamu tidak pernah bilang padaku?” “Aku sudah mengingatkanmu berkali-kali, Maura. Tapi kamu selalu mengacuhkan perkataanku. Kamu terlalu percaya pada dia.”Benar, Revan memang seringkali menasihatinya, mengingatkannya tentang sikap Dimas yang mulai berubah, sering pulang terlambat, terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dan Maura selalu membela Dimas, selalu menolak untuk curiga.Namun kini,

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 3 : Kenyataan yang Menyakitkan

    “Berapa lama dia cuti?” tanya Maura, suaranya bergetar.Mila menatap Maura sejenak sebelum menjawab, “Sekitar satu minggu, Bu.”Maura menahan napas. Seminggu? Jadi selama ini Dimas tidak bekerja sama sekali?“Kamu tahu dia pergi ke mana?” tanya Maura lagi, kini nada suaranya terdengar lebih mendesak.Mila menggeleng pelan. “Tidak, Bu. Saya tidak tahu pasti.”Maura hampir berbalik pergi, tapi saat itu, Mila menambahkan dengan ragu, “Tapi .…”Langkah Maura terhenti. “Tapi apa?”Mila terlihat bimbang, seperti takut ucapannya membuat masalah. “Tapi saya pernah dengar Pak Dimas bilang … dia ingin sekali pergi ke Bungku.”“Bungku?” Dahi Maura berkerut. “Bukankah itu cukup jauh?”“Iya, Bu. Katanya di sana ada proyek besar yang sedang dia perhatikan. Tapi … setahu saya, belum ada jadwal resmi kunjungan dari kantor.”Maura menggenggam erat kotak bekal di tangannya, berusaha meredam gejolak di dada. Rasanya semakin sulit bernapas. Jadi, selama ini Dimas tidak di kantor, tidak bekerja lembur sep

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 2 : Hangat yang Salah

    “Itu … dia pergi,” jawab Maura sambil menunduk.“Pergi?” Revan memicingkan mata. “Meninggalkanmu sendirian di sini?”Maura menelan ludah, berusaha menahan suara gemetar di tenggorokannya. “Dia … pergi untuk bekerja, Kak.”“Bekerja? Malam-malam seperti ini? Meninggalkanmu sendirian? Apa pekerjaannya lebih penting daripada kamu?”Suara Revan yang tegas membuat Maura semakin terdiam. Lelaki itu kemudian menatap wajah polos Maura yang basah kuyup oleh hujan, bukan hanya wajahnya, tapi seluruh tubuhnya yang kini menggigil kedinginan.Tak terasa air mata Maura mengalir begitu saja, bersamaan dengan hujan yang menetes di wajahnya. Maura hanya berharap Revan tidak tahu bahwa dirinya sedang menangis.“Kak, aku ingin pulang,” ucap Maura lirih.“Hm, baiklah.”Mereka berdua pun berjalan menuju arah di mana mobil Revan terparkir.Sesampainya di dalam mobil, Revan melirik ke arah Maura yang duduk diam di sampingnya. Rambut gadis itu masih lembab, beberapa helaian menempel di wajah pucatnya. Revan m

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 1 : Masa Subur?

    “Ah, Mas~ Aku sedang masa subur. Apa kamu nggak mau makan aku aja?”Tubuh Maura membeku. Tiba-tiba perutnya terasa mual.Ia baru saja akan mengejutkan suaminya dengan sebuah pelukan dari belakang, tapi batal setelah mendengar suara dari ponsel sang suami. Seketika ia kaku, tidak mampu berpikir jernih.Suara siapa itu? Kenapa terdengar familier?Apakah suaminya selingkuh?“Lho, Ra. Sejak kapan di sini?” Dimas, suaminya, tampak terkejut. “Nggak ada suaranya.”Maura menggigit bibir. “Itu tadi siapa, Mas?”“Siapa maksudmu?”“Perempuan,” kejar Maura. “Yang kamu telepon.”“Telepon…? Oh!” Dimas menghela napas. “Tadi pesan suara teman kerjaku. Salah kirim dia, harusnya ke suaminya.”Maura mengernyit. Benarkah demikian? “Sudahlah. Kan kita mau makan malam. Duduk.”Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang kedua. Karenanya, mereka menjadwalkan makan malam bersama.Maura berangkat sendiri, karena Dimas langsung datang ke restoran langsung dari kantor. Ia berpikir, Dimas akan memberinya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status