Mag-log inDihentikan seperti itu membuat wajah Sasha memanas. Malu dan kaget bercampur menjadi satu. Alih-alih bingung dengan penolakan William, Sasha lebih bingung dengan kalimat ancaman yang dilontarkan William. William mengucapkannya sambil berbisik, Sasha tak yakin ada yang mendengarnya. Di tengah kebingungannya, ia harus cepat memasang ekspresi profesionalnya lagi.
Meski mendapat penolakan, Sasha harus mengakhiri permainannya dengan apik. Tangannya masih membelai kepala William dengan lembut sebelum turun dari pangkuan pria itu. Sasha juga mendapati Ali tertawa melihatnya dan mengangkat kedua bahunya. “Payah lo, Will!” seru Ali. Sasha ikut tertawa, mengikuti tiap tindak klien-kliennya. Sungguh profesional. “Jangan-jangan…,” Sasha bersuara, melirik William. “Om William … gay?” Seketika seisi ruang dipenuhi gelak tawa. Ada yang memasang wajah jijik palsu, ada yang ikut menambah-nambahkan narasi itu, ada pula yang menyinggung tentang hubungan buruk William dengan mantan kekasihnya dahulu. Sasha hanya bisa mengira-ngira sambil terkekeh. Namun, Sasha berhasil menangkap ekspresi di wajah William yang mengeras. Lampu yang berkelap-kelip bergantian menyinari wajah pria itu, membuat pikiran Sasha sedikit berputar. Tak berlama-lama, Sasha segera berpaling. Gagal mendapat tip ekstra malam ini, batin Sasha menggerutu. Pikirannya hanya tertuju pada uang yang gagal dikantonginya. Namun, tidak apa-apa. Harusnya biaya yang dibayarkan tamu VIP ini lebih besar. Bisa jadi Sasha akan dapat bonus dari Mammi. Sasha tetap bersikap profesional, menemani pria-pria dengan gelas-gelas minuman dalam genggaman, membawa percakapan mengalir, dan sesekali menggoda. Sasha menemani hingga larut malam. Di ujung hari, setelah melambaikan tangan kepada klien-kliennya, Sasha pulang menyusuri jalanan yang sepi. Ia langsung memikirkan kegiatannya di kampus esok hari. Tugas-tugas dan makalah yang menggunung, belum lagi kegiatan organisasi. Jari Sasha bergulir di atas ponsel, melihat notifikasi dari grup kuliah yang belum sempat terbaca. Ah, tugas kelompok dan presentasi. Sasha juga dikenal cukup berprestasi di antara teman-temannya, maka ia tidak akan membiarkan orang-orang di kampus tahu tentang pekerjaan malamnya ini. Ketika jarinya bergulir lagi, Sasha menangkap pesan berbunyi: TAGIHAN BIAYA PERAWATAN. Sasha hampir tersandung langkahnya sendiri. Wajah sang nenek tercinta yang terbaring lemah di atas ranjang, berjuang melawan penyakit sambil dimakan usia, terus muncul dalam kepala Sasha. Berawal dari jantung yang lemah hingga menyebabkan komplikasi organ dalam tubuhnya, nenek Sasha harus mendapat perawatan ekstra. Setiap hari sang nenek hanya bersinggungan dengan perawat di panti, belum sanggup Sasha membiayai apabila menjalani perawatan terus-menerus di rumah sakit. Perjalanan pulang yang terasa lebih lama membuat Sasha lelah. Pagi harinya, Sasha menuju kampus setelah bersiap-siap, berusaha mengusir kantuk yang terus menghantui. Sesampainya di sana, ia melangkah cepat menyusuri koridor. Rambut panjangnya diikat sederhana, sedikit berantakan. Wajahnya bersih tanpa polesan berlebih, hanya lip balm tipis yang membuat bibirnya tidak pucat. Ia memang jarang berdandan saat kuliah, berbeda jauh dengan sosoknya di malam hari. Di kampus, ia hanya ingin menjadi mahasiswa biasa. Ia ingin hidupnya di pagi dan siang hari tetap sederhana, selalu memastikan bahwa tidak ada yang mencurigai dunia ganda yang ia jalani. Hari ini, Sasha bersiap mengikuti kelas Filsafat. Sudah hampir sebulan mata kuliah ini kosong karena dosen pengampu sedang ada urusan di luar negeri. Begitu ia memasuki ruang kelas, suasana sudah cukup ramai. Sasha memilih duduk di bangku tengah. Itu posisi aman, tidak terlalu depan yang bisa menarik perhatian dosen tapi juga tidak terlalu belakang yang bisa memberi kesan malas. Beberapa menit kemudian, semua mata tertuju ke arah pintu ketika seorang perempuan berseragam staf administrasi masuk ke ruangan. Sasha mengenalnya, Mbak Dina, seorang staf administrasi. Kelas pun hening. “Selamat pagi semuanya,” sapa Mbak Dina sambil tersenyum. “Hari ini kita kedatangan dosen pengganti untuk mata kuliah Filsafat. Beliau akan mengajar sampai semester ini selesai. Baik, silakan masuk, Pak,” Mbak Dina mempersilakan dosen baru itu. Kelas mendadak riuh dengan bisikan penasaran. “Gila, ganteng banget!” bisik salah satu teman Sasha di bangku depan. “Umur berapa ya kira-kira?” timpal yang lain penasaran. Di tengah riuh itu, Sasha mendapat notifikasi dari ponselnya. Ia menunduk untuk membacanya. Itu dari Mbak Ana, perawat nenek! Perasaan Sasha langsung menjadi tidak enak. Pesan itu berbunyi: ‘Non Sasha, nenek mengalami sesak luar biasa di dada. Langsung kami bawa ke rumah sakit untuk ditindak’. Jari-jarinya lantas sibuk bergulir di layar. Pengambilan tindakan untuk perawatan nenek selalu memakan biaya yang besar. Sasha buru-buru mengecek saldo tabungannya sambil berharap uangnya akan cukup. Kemudian ia mengetik pesan balasan: ‘Berapa biaya yang dibutuhkan, Mbak Ana?’ Sasha menunggu balasan dengan tidak tenang. Kakinya berguncang gelisah. Kemudian, ting! Pesan balasannya datang. ‘Rincian biaya akan diberitahu ketika Non Sasha mengurus administrasi lebih lanjut. Non, tolong ke rumah sakit hari ini, ya’. Sasha menutup matanya dan menghela napas. Kepalanya langsung terasa sakit. Ia tebak, biayanya pasti begitu fantastis. Sasha masih berkutat dengan ponselnya, sibuk bertukar pesan dengan Mbak Ana, ingin mengetahui keadaan nenek sebelum berakhir di rumah sakit. Seketika, sebuah senggolan bertubi datang membuatnya tersentak. “Sasha, lihat deh dosennya, ganteng banget!” bisik Nina, sahabat dan juga teman sebangkunya. Sasha belum menoleh, ia sesungguhnya tidak peduli. Neneknya jauh lebih penting dari apa pun sekarang. Jari Sasha masih sibuk mengetik pesan di ponselnya. Ketika itu, seisi kelas tiba-tiba hening. Sasha menangkapnya samar-samar dengan telinganya. Nina menyenggolnya sekali lagi namun Sasha tetap mengabaikannya. Dengan posisi menunduk, pandangan Sasha terbatas. Tiba-tiba, seseorang menghampirinya dan mengetuk-ngetuk mejanya dengan jari telunjuk. Sasha tersentak kaget. Ia menengadah. Kemudian napasnya tercekat dan tangannya langsung berkeringat dingin. Wajah dosennya yang terlihat sangat familier justru membuat Sasha panik. Pria yang semalam ia duduki pangkuannya, yang ia goda demi mendapatkan tip besar, yang semalam ia belai wajahnya… Pria yang semalam hampir Sasha cium! Sekarang tengah berdiri di hadapannya sebagai seorang dosen baru. Pria itu… Dosennya ini… William!?Tangan William mulai bergerak ke depan, menjamah dada Sasha yang masih terbungkus kain. William juga lantas menanggalkannya, lalu langsung menuju ke pusat sensitif Sasha tanpa ragu."Ah... Om...!" Sasha tersentak, desahannya lolos begitu saja."Sstt," William membungkamnya dengan ciuman lagi, kali ini lebih dalam, lebih menuntut, sementara tangannya mulai bekerja dengan ritme yang mematikan di bawah sana. "Jangan panggil Om. Panggil saya William saat kamu mendesah nanti." .Malam itu, logika Sasha mati.Yang tersisa hanyalah gairah dan permainan William yang menenggelamkannya. Ketika tubuhnya diangkat dengan mudah oleh lengan kekar pria itu, Sasha tidak memberontak. Ia seperti boneka porselen yang pasrah, dibawa menuju kamar utama yang pintunya terbuka lebar, menampakkan ranjang luas berseprai abu-abu.William membaringkannya dengan kasar. Pria itu menindihnya, mengunci pergerakan Sasha sepenuhnya. Di bawah sorot lampu tidur yang temaram, mata William tampak berkilat, lapar, dan menu
Sasha menelan ludah, tubuhnya hampir tak mampu menahan diri. Kakinya lemas mendengar perintah William tadi. Wajahnya terasa panas, bulu kuduknya berdiri, dan setiap napas yang ia ambil seolah terbawa oleh aura pria di depannya. “Ma…maksud Om William?”Sebetulnya, Sasha juga sedikit banyak dapat menduga bahwa William akan memintanya melakukan macam-macam. Namun yang tak ia duga adalah fakta bahwa William akan benar-benar meminta itu!Saat Sasha sibuk mencoba mencari alasan penolakan, William mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, wajah mereka hampir bersentuhan. William menatapnya, jarak antara mereka hanya beberapa inci. Tangan William perlahan menurunkan pipi Sasha, lalu menyusuri rahang halusnya dengan gerakan lembut tapi menegaskan dominasi. Sasha menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan diri.“Layani saya,” William mengulanginya berbisik. “Seperti yang kamu lakukan di karaoke, Sasha.”Wajah Sasha merah William mendengar itu. Ia cepat-cepat memalingkan wajahnya. “Maaf,
Sasha kehabisan kata-kata. Mulutnya sedikit terbuka mendengar itu. Sasha memang yakin William sewaktu-waktu akan mengeluarkan kartu AS miliknya itu. Tetapi, sekarang!?“Saya tunggu nanti malam. Prau Residence, lantai 17 nomor 1.”Begitu selesai mengatakannya, William berpaling pergi. Ia menelaah berkas-berkas yang sedari tadi dihiraukannya, seolah William juga berdalih tentang suruhan barusan. Atau Sasha lebih suka menyebutnya sebagai sebuah ancaman. Sasha mematung di selasar itu. Angin yang berembus menerpa wajahnya bahkan tak mampu mendinginkan pikiran. Ia menatap punggung William yang lama kelamaan hilang dimakan jarak. Mata Sasha masih berkedip beberapa kali dengan cepat, tidak percaya obrolannya barusan. Ia kembali menimbang-nimbang dan apapun langkah yang dipilih, rasanya salah. Tetapi nyawa neneknya seolah menjadi pertaruhan sekarang. Ia benar-benar tidak boleh kehilangan pekerjaannya!Sepulang kuliah, Sasha lemas duduk di dalam kosannya, memandangi ke luar jendela. Langit su
Wajah Sasha panas bukan main. Bulir keringat turun membasahi tengkuknya. Ia seolah disihir untuk tetap diam tak melawan. Bahkan ketika tangan William bergerak naik ke pinggangnya lagi, Sasha masih membeku. Ia hanya mampu menatap William dengan kosong.Yang membuat Sasha buyar dari pikirannya adalah suara seruan mahasiswa yang bercengkrama di luar ruangan. Mengingatkan dirinya bahwa ia masih sedang berada di kampus. Merasa habis disentuh dengan hina, perasaan Sasha semakin campur aduk. Wajah yang tadinya memanas karena malu, kini berganti menjadi amarah. Sasha kemudian menepis tangan William yang masih bertengger di sana.“Jangan kurang ajar, Pak William!” seru Sasha dengan suara bergetar.Ia langsung berbalik dan melangkah cepat meninggalkan ruangan itu. Air matanya menggenang di ujung mata, siap kapan saja untuk jatuh ke atas pipinya. Ini sangat hina!Rasa yang bergolak di hatinya tak bisa ia jelaskan. Sebelum berpikiran ingin mengutarakan kemarahannya kepada William, Sasha terlebi
Sasha mematung mendengarnya. “Sasha?”“I.. iya, Pak. Maaf, semalam saya…,” Sasha terbata menimbang-nimbang. Rasanya, tidak perlu diberitahu juga William seolah akan mengetahui alasan keterlambatan Sasha hari ini. William menatap Sasha. Matanya lagi-lagi tak terbaca. “Duduk, Sasha,” pinta William dingin. “Kelas sudah dimulai.”Sasha mengangguk pasrah. Ia membawa langkahnya menuju kursi kosong di sebelah Nina. Dari balik punggungnya, Sasha seolah masih bisa merasakan tatapan tajam milik William. “Sini, Sasha,” bisik Nina setelah Sasha tiba di kursi. “Kamu begadang semalam? Banyak pikiran, Shal?” “Begitulah, Win, tapi aku nggak apa-apa kok,” Sasha berdalih lagi. Ia segera duduk dan mengeluarkan buku-bukunya.Suara William yang menjelaskan materi kuliah langsung menyita perhatian Sasha. Sekeras apapun Sasha berharap, William tetaplah seorang dosennya sekarang. Sasha betul-betul takut apabila William membongkar rahasianya, identitas yang mati-matian ia sembunyikan. Ia belum bisa kehil
Sasha masih dihantui bayang-bayang William sebagai sosok dosennya ketika ia melangkah cepat ke luar kelas setelah kelas selesai. Kini kepalanya bercabang. Bagaimana bisa William muncul sebagai dosennya setelah semalam pria menjadi kliennya? Hanya dalam satu malam, keadaannya berubah drastis. Sasha bisa merasakan bulir-bulir keringat yang menetes dari dahinya. Ia memikirkan nasibnya, setidaknya sesingkat esok hari. Sasha tidak akan membiarkan skenario terburuk terjadi: orang-orang di kampus akan mengetahui pekerjaan hina itu. Jika ia kehilangan pekerjaan itu, lantas bagaimana ia dapat membayar biaya perawatan neneknya?Sasha jadi teringat bahwa ia harus segera ke rumah sakit untuk mengurus administrasi. Ia percepat langkahnya menuju gerbang kampus, sebelum berhenti sejenak ketika dipanggil oleh Nina.“Sasha!” seru Nina. “Aku cariin kamu dari tadi. Kenapa buru-buru banget?”Sasha menjawabnya cepat, “Aku harus segera ke rumah sakit, Win. Nenekku masuk rumah sakit tadi pagi.”Melihat







