Share

Dalam Dekap Hangat Pak Profesor
Dalam Dekap Hangat Pak Profesor
Author: Azzura Rei

bab 1

Author: Azzura Rei
last update Last Updated: 2025-12-29 12:19:14

“Sasha. Malam ini kita kedatangan tamu spesial. Service-mu harus oke, ya,” suara Mammi, perempuan paruh baya yang mengatur semua jadwal pemandu karaoke di tempat itu, memanggilnya dari meja resepsionis. Wajahnya yang dipoles tebal tampak serius.

Sasha menaikkan alisnya. “Tamu spesial? Siapa? Dan kenapa harus aku?”

Mammi tersenyum kecil, seperti menyimpan rahasia. “Ali yang minta. Kamu kenal Ali, kan? Dia pelanggan lama. Ada temannya yang ulang tahun hari ini. Mereka mau kasih hadiah berbeda buat si temannya itu.”

Sasha mendesah pelan. Ali memang salah satu klien tetap yang cukup loyal. Ia bukan orang yang sulit dilayani, justru seringkali baik dan royal memberikan tip. Jika malam ini dia meminta sesuatu, kemungkinan besar ada imbalan yang sepadan.

“Siapa temannya itu?” tanya Sasha, sekadar ingin tahu.

“Namanya William. Belum pernah ke sini sebelumnya. Katanya, pria kalem, beda sama rombongannya yang suka heboh. Justru itu, Ali pengin bikin malam ulang tahunnya berkesan. Dan kamu yang harus bikin dia betah.”

Sasha terdiam sejenak.

Kalem? Bagi Sasha, pria-pria seperti itu biasanya sulit ditebak, tidak seperti macam-macam pria yang terbiasa dihadapinya, entah yang terlalu agresif, terlalu cerewet, atau hanya ingin ditemani bernyanyi.

Sasha melamun sambil memperhatikan sekelilingnya. Lampu neon berkelap-kelip, suara musik berdentum dari balik pintu-pintu ruangan yang tertutup rapat, dan gelas-gelas berisi minuman beralkohol berderet di meja bar.

Malam-malam Sasha adalah rahasia yang hanya sedikit orang tahu. Ia terpaksa menjadi seorang pemandu karaoke: bernyanyi dengan gaun-gaun pendek dan melayani tamu-tamu yang datang, demi membiayai biaya kuilahnya, juga biaya neneknya yang butuh pengobatan.

Ah, Sasha masih ingat pertemuan awalnya dengan Mammi dulu yang membuatnya berakhir menjadi seorang pemandu karaoke. Kala itu ia tak sempat pikir panjang, pikirannya hanya satu yaitu sang nenek.

Mungkin suatu hari ia akan mendapat pekerjaan yang lebih layak dan tidak perlu ditutup-tutupi dari neneknya.

Di tengah lamunannya, Sasha mendengar suara tawa dari kejauhan. Tawa yang membahana, dicampur dengan teriakan-teriakan fals mengikuti musik yang keras. Itu pasti rombongan Ali, batin Sasha.

Ia melangkah menuju ruang VIP, kemudian membuka pintu dengan senyum profesional. “Selamat malam, Tuan-tuan!”

Sekelompok pria segera menoleh. Ali, dengan wajah memerah karena minuman, langsung bangkit menyambutnya. “Nah, ini dia bintang malam kita! Sasha! Akhirnya kamu datang juga. Sini, sini, duduk sini!”

Sasha tersenyum sambil melangkah masuk. Ruangan itu dipenuhi asap rokok dan aroma minuman keras.

“Sasha, kemari!” perintah Ali dengan riang.

Tangan Ali meraih lengan Sasha dengan akrab, kemudian ia berbisik. “Aku akan beri tip kalau kamu bisa memeluk temanku itu, si William,” Ali berhenti sejenak sebelum melanjutkan. “Tip lebih besar kalau kamu berhasil … menciumnya.”

Di tengah keramaian itu, pandangan mata Sasha langsung jatuh pada seorang pria yang duduk di sudut sofa. Wajahnya berbeda, lebih tenang, lebih dewasa, dengan sorot mata yang tidak ikut larut dalam tawa berlebihan.

Ali segera berpaling dari Sasha, untuk kemudian menuju William, dan merangkul bahu pria itu. “Kenalin, ini William! Hari ini ulang tahunnya, dan kami semua sepakat kasih hadiah paling spesial: ditemani sama Sasha. Sasha itu pemandu paling top di sini.”

Sasha menundukkan kepala sedikit sambil menyunggingkan senyum. “Selamat ulang tahun, Om William.”

William hanya tersenyum tipis. “Terima kasih.” Suaranya berat, tenang, dan berbeda dari kebanyakan pria yang biasa ditemui Sasha.

Kala malam berlanjut, Ali dan teman-temannya semakin larut dalam nyanyian dan tawa. Botol demi botol minuman dipesan, makanan ringan memenuhi meja, sementara lampu sorot berganti-ganti warna menambah semarak.

Sasha bergerak duduk di samping William, mencoba membuka percakapan, demi tip lebih yang dikatakan Ali tadi. “Jadi, katanya hari ini Om William ulang tahun. Sudah dapat banyak ucapan?”

William menoleh sekilas. “Cukup banyak. Tapi mereka yang paling ribut soal ini,” jawabnya sambil melirik teman-temannya yang masih berteriak-teriak bernyanyi.

Sasha terkekeh kecil. “Itu tandanya mereka peduli.”

“Peduli atau hanya cari alasan buat mabuk bersama?” balas William, datar tapi masih dengan senyum tipis.

Sasha sedikit terkejut. Tidak biasanya seorang klien berbicara seterang itu. Biasanya, mereka hanya ingin suasana senang-senang tanpa banyak berpikir.

Sementara itu, Ali kembali menyodorkan mikrofon pada Sasha. “Ayo, nyanyi bareng William! Biar makin akrab!”

William langsung menggeleng tanda penolakan.

“Yah, lo ini nggak seru banget sih jadi orang, ini hari ulang tahun lo, bro! Manfaatkan hadiah yang udah gue siapin!” ucap Ali kecewa karena William tidak seantusias itu.

“Kalau begitu, biar aku saja yang bernyanyi, ya,” potong Sasha melerai suasana. “Saya akan menyanyikan lagu spesial buat Om William,” katanya, menoleh pada William.

William menatapnya sebentar, setelah itu dia meneguk sedikit minuman yang ada di depannya lalu mengangguk dengan malas. Sasha tidak peduli dengan perasaan William yang sukarela atau hanya terpaksa.

Musik pun dimulai.

Suara Sasha mengalun lembut, mengisi ruangan dengan nada yang jernih. Semua mata sempat tertuju padanya, bahkan William yang sejak tadi terlihat enggan pun mulai memperhatikan.

Suaranya begitu berbeda dari citra “pemandu karaoke” yang biasanya dianggap hanya bisa tertawa dan menggoda. Ada ketulusan dalam nyanyiannya, meski Sasha sendiri tahu itu hanyalah bagian dari peran.

Sasha memperhatikan kliennya itu. Tiap kali Sasha memandangi klien-klien dengan berbagai permintaan dan tip besar sebagai imbalan, wajah sang klien hanya terlihat seperti lembaran uang.

Sasha akan mengesampingkan rasa tidak inginnya, sebab ia selalu meringis ketika memikirkan bagaimana neneknya merintih diam-diam menahan sakit, namun Sasha belum sanggup membiayai pengobatan yang lebih bagus.

Tip lebih besar, kata-kata Ali kembali menggema di telinga Sasha. Ia membatin mantap setelahnya. Ini bukan hal yang berat.

Perlahan namun pasti Sasha menghampiri William.

Sasha dengan yakin mendudukkan dirinya di atas paha kokoh milik William. William sangat terkejut. Sesekali Sasha menggerakkan pinggulnya pelan untuk memancing sang klien.

Sorakan riuh terdengar di antara teman-teman William yang menyaksikan adegan luar biasa yang dimainkan oleh Sasha. Sasha tersenyum tipis, dia merasakan sesuatu yang sedang tegang disana. ‘Ah… Rupanya mudah terangsang juga,’ batin Sasha dalam hati.

Setiap gerakan Sasha memunculkan aroma parfum yang tak kalah menggoda. William sepertinya sudah mulai kelihatan hilang kendali, wajahnya kini sudah memerah dengan keringat dingin yang mengalir di dahinya. Sasha mengetahui itu, tangannya bergerak pelan mengusap keringat dingin di dahinya.

Sasha memeluk William dengan hangat, dengan gerakan pelan ia menenggelamkan kepala William tepat di tengah dua gundukan sintal itu.

“Mmm..,” William mengerang, napasnya berat. Tetapi, dengan gerakan cepat William mengangkat kepalanya sendiri. Di bawah sana, gundukan William semakin terasa, membuat Sasha mengulas senyum

Dalam kepalanya, hanya tip-tip besar yang membayang-bayangi. Permainan Sasha belum berakhir.

Satu tangan Sasha ia bawa untuk mengelus wajah William. Jari-jari rampingnya menyusuri tiap sudut wajah William. Sasha dapat merasakan napas William yang membara di depan wajahnya. Sasha langsung membawa maju wajahnya.

“Om…”

Jarak yang tersisa antara wajah keduanya semakin tipis. Hanya butuh sedikit dorongan lagi agar bibir-bibir mereka saling menempel.

Di tengah riuh ruang dan nyanyian tak karuan, Sasha masih menaruh fokus pada pria di hadapannya.

Sedikit lagi.

Sedikit lagi.

Sedikit lagi…

‘Apa?’

Mata Sasha terbelalak. Ia mengerjap terkejut bukan main. Napasnya tak beraturan, bukan karena William menciumnya, tetapi karena Sasha malah disambut oleh tangan kekar William yang kini mencengkram pergelangan tangannya. Tenaganya begitu besar, Sasha mengerutkan dahinya.

“O.. om…!?” ia terbata. Rasa panik mulai menjalar ke seluruh tubuh.

Dilihatnya William tidak berkutik. Tangan pria itu masih memegang pergelangan tangan Sasha.

“Cukup,” William berbisik. Ia memalingkan wajahnya dan mendorong tubuh Sasha. “Atau kamu akan menyesal.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dalam Dekap Hangat Pak Profesor   bab 8

    Tangan William mulai bergerak ke depan, menjamah dada Sasha yang masih terbungkus kain. William juga lantas menanggalkannya, lalu langsung menuju ke pusat sensitif Sasha tanpa ragu."Ah... Om...!" Sasha tersentak, desahannya lolos begitu saja."Sstt," William membungkamnya dengan ciuman lagi, kali ini lebih dalam, lebih menuntut, sementara tangannya mulai bekerja dengan ritme yang mematikan di bawah sana. "Jangan panggil Om. Panggil saya William saat kamu mendesah nanti." .Malam itu, logika Sasha mati.Yang tersisa hanyalah gairah dan permainan William yang menenggelamkannya. Ketika tubuhnya diangkat dengan mudah oleh lengan kekar pria itu, Sasha tidak memberontak. Ia seperti boneka porselen yang pasrah, dibawa menuju kamar utama yang pintunya terbuka lebar, menampakkan ranjang luas berseprai abu-abu.William membaringkannya dengan kasar. Pria itu menindihnya, mengunci pergerakan Sasha sepenuhnya. Di bawah sorot lampu tidur yang temaram, mata William tampak berkilat, lapar, dan menu

  • Dalam Dekap Hangat Pak Profesor   bab 7

    Sasha menelan ludah, tubuhnya hampir tak mampu menahan diri. Kakinya lemas mendengar perintah William tadi. Wajahnya terasa panas, bulu kuduknya berdiri, dan setiap napas yang ia ambil seolah terbawa oleh aura pria di depannya. “Ma…maksud Om William?”Sebetulnya, Sasha juga sedikit banyak dapat menduga bahwa William akan memintanya melakukan macam-macam. Namun yang tak ia duga adalah fakta bahwa William akan benar-benar meminta itu!Saat Sasha sibuk mencoba mencari alasan penolakan, William mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, wajah mereka hampir bersentuhan. William menatapnya, jarak antara mereka hanya beberapa inci. Tangan William perlahan menurunkan pipi Sasha, lalu menyusuri rahang halusnya dengan gerakan lembut tapi menegaskan dominasi. Sasha menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan diri.“Layani saya,” William mengulanginya berbisik. “Seperti yang kamu lakukan di karaoke, Sasha.”Wajah Sasha merah William mendengar itu. Ia cepat-cepat memalingkan wajahnya. “Maaf,

  • Dalam Dekap Hangat Pak Profesor   bab 6

    Sasha kehabisan kata-kata. Mulutnya sedikit terbuka mendengar itu. Sasha memang yakin William sewaktu-waktu akan mengeluarkan kartu AS miliknya itu. Tetapi, sekarang!?“Saya tunggu nanti malam. Prau Residence, lantai 17 nomor 1.”Begitu selesai mengatakannya, William berpaling pergi. Ia menelaah berkas-berkas yang sedari tadi dihiraukannya, seolah William juga berdalih tentang suruhan barusan. Atau Sasha lebih suka menyebutnya sebagai sebuah ancaman. Sasha mematung di selasar itu. Angin yang berembus menerpa wajahnya bahkan tak mampu mendinginkan pikiran. Ia menatap punggung William yang lama kelamaan hilang dimakan jarak. Mata Sasha masih berkedip beberapa kali dengan cepat, tidak percaya obrolannya barusan. Ia kembali menimbang-nimbang dan apapun langkah yang dipilih, rasanya salah. Tetapi nyawa neneknya seolah menjadi pertaruhan sekarang. Ia benar-benar tidak boleh kehilangan pekerjaannya!Sepulang kuliah, Sasha lemas duduk di dalam kosannya, memandangi ke luar jendela. Langit su

  • Dalam Dekap Hangat Pak Profesor   bab 5

    Wajah Sasha panas bukan main. Bulir keringat turun membasahi tengkuknya. Ia seolah disihir untuk tetap diam tak melawan. Bahkan ketika tangan William bergerak naik ke pinggangnya lagi, Sasha masih membeku. Ia hanya mampu menatap William dengan kosong.Yang membuat Sasha buyar dari pikirannya adalah suara seruan mahasiswa yang bercengkrama di luar ruangan. Mengingatkan dirinya bahwa ia masih sedang berada di kampus. Merasa habis disentuh dengan hina, perasaan Sasha semakin campur aduk. Wajah yang tadinya memanas karena malu, kini berganti menjadi amarah. Sasha kemudian menepis tangan William yang masih bertengger di sana.“Jangan kurang ajar, Pak William!” seru Sasha dengan suara bergetar.Ia langsung berbalik dan melangkah cepat meninggalkan ruangan itu. Air matanya menggenang di ujung mata, siap kapan saja untuk jatuh ke atas pipinya. Ini sangat hina!Rasa yang bergolak di hatinya tak bisa ia jelaskan. Sebelum berpikiran ingin mengutarakan kemarahannya kepada William, Sasha terlebi

  • Dalam Dekap Hangat Pak Profesor   bab 4

    Sasha mematung mendengarnya. “Sasha?”“I.. iya, Pak. Maaf, semalam saya…,” Sasha terbata menimbang-nimbang. Rasanya, tidak perlu diberitahu juga William seolah akan mengetahui alasan keterlambatan Sasha hari ini. William menatap Sasha. Matanya lagi-lagi tak terbaca. “Duduk, Sasha,” pinta William dingin. “Kelas sudah dimulai.”Sasha mengangguk pasrah. Ia membawa langkahnya menuju kursi kosong di sebelah Nina. Dari balik punggungnya, Sasha seolah masih bisa merasakan tatapan tajam milik William. “Sini, Sasha,” bisik Nina setelah Sasha tiba di kursi. “Kamu begadang semalam? Banyak pikiran, Shal?” “Begitulah, Win, tapi aku nggak apa-apa kok,” Sasha berdalih lagi. Ia segera duduk dan mengeluarkan buku-bukunya.Suara William yang menjelaskan materi kuliah langsung menyita perhatian Sasha. Sekeras apapun Sasha berharap, William tetaplah seorang dosennya sekarang. Sasha betul-betul takut apabila William membongkar rahasianya, identitas yang mati-matian ia sembunyikan. Ia belum bisa kehil

  • Dalam Dekap Hangat Pak Profesor   bab 3

    Sasha masih dihantui bayang-bayang William sebagai sosok dosennya ketika ia melangkah cepat ke luar kelas setelah kelas selesai. Kini kepalanya bercabang. Bagaimana bisa William muncul sebagai dosennya setelah semalam pria menjadi kliennya? Hanya dalam satu malam, keadaannya berubah drastis. Sasha bisa merasakan bulir-bulir keringat yang menetes dari dahinya. Ia memikirkan nasibnya, setidaknya sesingkat esok hari. Sasha tidak akan membiarkan skenario terburuk terjadi: orang-orang di kampus akan mengetahui pekerjaan hina itu. Jika ia kehilangan pekerjaan itu, lantas bagaimana ia dapat membayar biaya perawatan neneknya?Sasha jadi teringat bahwa ia harus segera ke rumah sakit untuk mengurus administrasi. Ia percepat langkahnya menuju gerbang kampus, sebelum berhenti sejenak ketika dipanggil oleh Nina.“Sasha!” seru Nina. “Aku cariin kamu dari tadi. Kenapa buru-buru banget?”Sasha menjawabnya cepat, “Aku harus segera ke rumah sakit, Win. Nenekku masuk rumah sakit tadi pagi.”Melihat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status