LOGINSasha masih dihantui bayang-bayang William sebagai sosok dosennya ketika ia melangkah cepat ke luar kelas setelah kelas selesai.
Kini kepalanya bercabang. Bagaimana bisa William muncul sebagai dosennya setelah semalam pria menjadi kliennya? Hanya dalam satu malam, keadaannya berubah drastis. Sasha bisa merasakan bulir-bulir keringat yang menetes dari dahinya. Ia memikirkan nasibnya, setidaknya sesingkat esok hari. Sasha tidak akan membiarkan skenario terburuk terjadi: orang-orang di kampus akan mengetahui pekerjaan hina itu. Jika ia kehilangan pekerjaan itu, lantas bagaimana ia dapat membayar biaya perawatan neneknya? Sasha jadi teringat bahwa ia harus segera ke rumah sakit untuk mengurus administrasi. Ia percepat langkahnya menuju gerbang kampus, sebelum berhenti sejenak ketika dipanggil oleh Nina. “Sasha!” seru Nina. “Aku cariin kamu dari tadi. Kenapa buru-buru banget?” Sasha menjawabnya cepat, “Aku harus segera ke rumah sakit, Win. Nenekku masuk rumah sakit tadi pagi.” Melihat wajah sahabatnya yang pucat dibalut panik, Nina langsung mengusap-usap punggung Sasha. “Mau aku temani, Sasha?” “Nggak perlu, Win, terima kasih,” Sasha menggeleng. “Aku pergi dulu, ya, Nina.” Sasha melambai kepada sahabatnya dan ia berlalu pergi. Sasha pergi naik angkutan umum ke rumah sakit, sambil pikirannya terus dibayangi William yang muncul sebagai dosennya. Nenek yang sedang sakit, pekerjaannya, kehidupannya, ditambah kehadiran William… Sasha ingin mengubur diri rasanya. Setelah tiba di rumah sakit, Sasha langsung bergegas masuk dan membuka ponselnya lagi, melihat nomor kamar yang tadi diinfokan oleh Mbak Ana. Pasien atas nama Wati Kusuma, kamar nomor 221. Sasha menyusuri lorong yang terasa begitu panjang dengan langkah yang cepat. Itu dia nomor kamar 221. Dari luar kaca kecil di jendela, Sasha melihat Mbak Ana yang tengah menunggu. Sasha pun masuk kamar rawat itu, kali ini langkahnya terasa berat. “Nenek?” panggil Sasha. Nenek Wati menoleh lemah namun ia tersenyum. Ia terbaring di atas ranjang, mengenakan pakaian ganti yang disiapkan rumah sakit. Ada selang infus di tangannya. Melihat itu, dada Sasha langsung terasa sesak. “Sasha…,” jawab nenek Wati. “Kamu datang, sayang? Nggak kuliah?” “Udah selesai, Nek,” Sasha berjalan mendekati ranjang neneknya, kemudian meraih tangan sang nenek yang terasa hangat. “Nenek dadanya sakit?” Nenek Wati menatap Sasha dengan mata sayu. Dulu sebelum sakit, mata neneknya begitu berbinar tiap kali menatapnya. Sasha bertekad untuk mengembalikan binar itu lagi. “Bukan masalah besar, Sasha. Mungkin karena nenek sudah tua…” Sasha menahan tangisnya. Sementara itu tangannya mengelus lembut tangan neneknya. “Nek, nggak apa-apa kalau dada nenek memang sakit. Sasha akan mengurus semuanya untuk nenek supaya nenek sembuh.” “Tidak perlu, Sasha. Nenek sudah bisa pulang sekarang, tadi sepertinya sesak sedikit saja,” kata nenek Wati. Sasha pun tahu neneknya mengatakan itu karena tidak ingin merepotkan Sasha. “Jangan, nek. Nenek biar dirawat di sini saja,” Sasha berpaling kepada Mbak Ana. “Mbak Ana, aku akan mengurus administrasi dulu.” Mbak Ana mengangguk sopan. Sasha pun mengecup dahi neneknya sebelum meninggalkan ruang kamar. Begitu pintu tertutup, Sasha langsung memejamkan mata sekilas, memikirkan biaya yang harus ia keluarkan. Begitu sampai di meja administrasi rumah sakit. Sasha langsung menanyakan itu. “Permisi, saya ingin mengurus administrasi untuk pasien Wati Kusuma di kamar 221.” “Baik, Nona,” wanita di belakang meja administrasi itu segera menyiapkan lembar detail transaksi. Kemudian ia menjelaskan, “Berikut rinciannya. Ibu Wati Kusuma mendapatkan beberapa tindakan untuk sesak di dada, lalu ada biaya kamar dan infus.” Sasha menelaah angka-angka yang terpapar di atas kertas, matanya melebar seketika. 11 juta untuk biaya perawatan satu hari! Sasha menelan ludahnya. Sakit jantung memang memerlukan biaya mahal, apalagi nenek Wati juga memiliki komplikasi dalam tubuhnya. Namun, tiap kali Sasha dihadapkan dengan nominal-nominal yang besar, ia masih selalu tersentak. “Baik, saya akan membayarnya,” Sasha mengeluarkan kartu atm dari dompetnya. 11 juta. Itu sama sekali tidak sedikit. Sasha berarti harus menguras hampir seluruh tabungannya. Ia memang menyiapkan uang darurat untuk pengobatan nenek, namun ternyata belum cukup karena biaya untuk nenek akan semakin mahal. Setelah selesai membayar, Sasha mengecek sisa saldo di rekeningnya melalui aplikasi bank di ponsel. Tabungannya benar-benar hampir habis sedangkan ia masih harus membayar sewa kosan dan biaya makan sehari-hari. Ah, aku harus bekerja lebih keras, pikir Sasha. Sasha pun kembali ke kamar rawat untuk berpamitan. “Nenek?” Sasha memanggil neneknya ketika melangkah masuk. Ia mendekati ranjang nenek Wati dan mengelus wajah neneknya yang tersenyum. “Berapa biaya pengobatan nenek, Sasha?” tanya nenek Wati. Sasha menggeleng. “Nenek tidak perlu khawatir. Sasha sudah urus semuanya.” “Sasha… kamu pasti lelah kuliah sambil bekerja. Apa Sasha masih bekerja di kantor yang lama?” ‘Kantor’… itu adalah dalih Sasha sejak dulu. Nenek Wati hanya tau Sasha lah yang menyokong biaya perawatannya. Sedangkan pekerjaan Sasha … tetap Sasha simpan rapat-rapat. Ia tidak akan membiarkan neneknya tahu. Neneknya pasti akan sangat kecewa. Sasha sempat diam sebelum pada akhirnya menjawab. “Masih, Nek. Pokoknya nenek nggak perlu khawatir, ya. Mbak Ana juga langsung memberitahu aku tiap saat.” Nenek Wati mengangguk, matanya semakin sayu, barangkali efek obat yang diminum. Namun, neneknya kembali bertanya. “Sasha… bagaimana kabar ibumu?” Sasha mematung sebentar mendengarnya, kemudian cepat-cepat ia tersenyum. “Aku rasa Ibu baik, Nek.” Ada raut khawatir yang Sasha tangkap pada wajah neneknya. Ia rasa sudah bukan rahasia bahwa hubungannya tidak baik. Neneknya lantas meraih tangan Sasha dengan lemah. “Maaf, Sasha sayang. Nenek gagal mendidik ibumu itu, jadi…” “Nek,” potong Sasha. “Nenek tidak perlu khawatir. Aku dan Ibu … kami baik-baik saja.” Sasha berdalih. Ia tahu bahwa itu adalah sebuah kebohongan selanjutnya yang ia selalu utarakan kepada neneknya. Pasalnya, Sasha tidak akan lupa bagaimana ibunya seolah menganggap Sasha tak terlihat. Sejak kecil, ia seperti ditelantarkan. Ibunya seakan-akan hanya memiliki satu anak kesayangan, kakaknya. Hidup Sasha selalu ditutupi bayang-bayang seorang kakak yang dinilai jauh lebih sempurna. Dalam keadaan itu, neneknya selalu melangkah di depan, menjadi tameng bagi Sasha, memeluk Sasha di malam-malam yang begitu sepi, begitu sedih. Maka, ketika Sasha sadar bahwa ia hanya memiliki neneknya dalam hidup, Sasha berjanji pada dirinya sendiri akan selalu melakukan apa saja demi neneknya. Mengingat itu membuat air mata Sasha menggenang. Sebelum air matanya jatuh di hadapan sang nenek dan membuat neneknya khawatir, Sasha memutuskan untuk segera pamit. Ia mencium pipi neneknya sebelum berjalan pulang. Setelah menjalani hari yang terasa begitu panjang, Sasha pulang ke kosannya untuk sekadar istirahat di dalam kamar. Badannya rileks, namun pikirannya gagal tenang. Belum sempat menguntai benang yang kusut dalam hatinya, Sasha mendapat pesan masuk di ponselnya. Pesan itu dari Mammi, mengingatkan untuk pergi ke tempat karaokenya karena akan ada tamu-tamu yang datang. Sasha pun bergegas bersiap menuju tempat karaokenya. Langkah Sasha menuju tempat itu masih berat, sampai kapanpun ini akan selalu berat bagi Sasha. Ia mendorong pintu masuknya dan langsung disambut oleh suara-suara yang menggema dari tiap ruang juga lampu-lampu yang berkilauan. “Sasha,” Mammi memanggilnya. “Sebentar lagi para tamu akan datang.” Sasha mengangguk perlahan sambil mulai mempersiapkan personanya. Ia harus tetap profesional dan tak membawa urusan hati ke tempat “kerja”. Ruang demi ruang terisi dan Sasha menyambut klien-kliennya dengan senyum manis. “Selamat datang, Tuan-tuan!” Sasha sudah terbiasa dengan ini, namun kadang ia juga kaget dengan jumlah tamu yang tak henti datang dan pergi. Terlebih lagi malam ini, ruang-ruang itu tak pernah kosong. Sedikit kewalahan bukan jadi masalah, Sasha membutuhkan uang-uang yang dikeluarkan secara cuma-cuma oleh para kliennya. Ia mengesampingkan rasa enggan melayani dan menghibur para klien demi sang nenek. Sasha takut menyesal apabila semua sudah terlambat. Tanpa sadar malam sudah semakin larut. Sasha melirik jam dinding dan matanya melebar. Jam setengah satu pagi! “Mammi, aku ada kelas pagi besok,” seru Sasha sambil membereskan barang bawaannya. “Aku boleh pulang lebih dulu?” “Tentu Sasha.” Setelah mendapat lampu hijau dari Mammi, Sasha langsung bergegas pulang. Kelas pagi besok adalah kelas filsafat yang diampu oleh William. Membayangkan terlambat datang ke kelas dan harus berhadapan dengan William sudah membuat Sasha mual. Sesampainya di kos, Sasha cepat-cepat membasuh diri lalu melempar tubuhnya ke atas ranjang. Sasha hanya bisa berharap bahwa alarm ponselnya tidak akan mengkhianatinya besok pagi. Tetapi harapan hanyalah harapan dan semesta masih enggan mengasihi Sasha. Alarm yang berbunyi nyaring gagal didengarnya, membuat Sasha lagi-lagi ingin mengutuk dirinya sendiri. Kelas akan dimulai dalam 10 menit dan Sasha belum bersiap sama sekali. Ia bangun dengan mata terbelalak dan hati yang berdebar. Gawat, gawat, gawat! Ia bersiap terburu-buru, barangkali meninggalkan buku yang seharusnya dibawa untuk kelas hari ini. Namun Sasha tidak memikirkan itu. Fokus Sasha hanya satu: ia tak ingin terlambat untuk kelas yang diampu William. Tetapi tentu saja takdir masih berkata lain. Sasha tidak dapat mencapai kampus tepat waktu dan harus mati-matian berlari menyusuri selasar untuk mencapai kelasnya. Sasha menelan ludah ketika melihat William sudah berdiri di depan kelas melalui jendela pintu. Ia meraih gagang pintu dengan gemetar dan mempersiapkan diri. Pintu terbuka dan William menoleh. “Ini sudah jam berapa, Sasha?”Tangan William mulai bergerak ke depan, menjamah dada Sasha yang masih terbungkus kain. William juga lantas menanggalkannya, lalu langsung menuju ke pusat sensitif Sasha tanpa ragu."Ah... Om...!" Sasha tersentak, desahannya lolos begitu saja."Sstt," William membungkamnya dengan ciuman lagi, kali ini lebih dalam, lebih menuntut, sementara tangannya mulai bekerja dengan ritme yang mematikan di bawah sana. "Jangan panggil Om. Panggil saya William saat kamu mendesah nanti." .Malam itu, logika Sasha mati.Yang tersisa hanyalah gairah dan permainan William yang menenggelamkannya. Ketika tubuhnya diangkat dengan mudah oleh lengan kekar pria itu, Sasha tidak memberontak. Ia seperti boneka porselen yang pasrah, dibawa menuju kamar utama yang pintunya terbuka lebar, menampakkan ranjang luas berseprai abu-abu.William membaringkannya dengan kasar. Pria itu menindihnya, mengunci pergerakan Sasha sepenuhnya. Di bawah sorot lampu tidur yang temaram, mata William tampak berkilat, lapar, dan menu
Sasha menelan ludah, tubuhnya hampir tak mampu menahan diri. Kakinya lemas mendengar perintah William tadi. Wajahnya terasa panas, bulu kuduknya berdiri, dan setiap napas yang ia ambil seolah terbawa oleh aura pria di depannya. “Ma…maksud Om William?”Sebetulnya, Sasha juga sedikit banyak dapat menduga bahwa William akan memintanya melakukan macam-macam. Namun yang tak ia duga adalah fakta bahwa William akan benar-benar meminta itu!Saat Sasha sibuk mencoba mencari alasan penolakan, William mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, wajah mereka hampir bersentuhan. William menatapnya, jarak antara mereka hanya beberapa inci. Tangan William perlahan menurunkan pipi Sasha, lalu menyusuri rahang halusnya dengan gerakan lembut tapi menegaskan dominasi. Sasha menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan diri.“Layani saya,” William mengulanginya berbisik. “Seperti yang kamu lakukan di karaoke, Sasha.”Wajah Sasha merah William mendengar itu. Ia cepat-cepat memalingkan wajahnya. “Maaf,
Sasha kehabisan kata-kata. Mulutnya sedikit terbuka mendengar itu. Sasha memang yakin William sewaktu-waktu akan mengeluarkan kartu AS miliknya itu. Tetapi, sekarang!?“Saya tunggu nanti malam. Prau Residence, lantai 17 nomor 1.”Begitu selesai mengatakannya, William berpaling pergi. Ia menelaah berkas-berkas yang sedari tadi dihiraukannya, seolah William juga berdalih tentang suruhan barusan. Atau Sasha lebih suka menyebutnya sebagai sebuah ancaman. Sasha mematung di selasar itu. Angin yang berembus menerpa wajahnya bahkan tak mampu mendinginkan pikiran. Ia menatap punggung William yang lama kelamaan hilang dimakan jarak. Mata Sasha masih berkedip beberapa kali dengan cepat, tidak percaya obrolannya barusan. Ia kembali menimbang-nimbang dan apapun langkah yang dipilih, rasanya salah. Tetapi nyawa neneknya seolah menjadi pertaruhan sekarang. Ia benar-benar tidak boleh kehilangan pekerjaannya!Sepulang kuliah, Sasha lemas duduk di dalam kosannya, memandangi ke luar jendela. Langit su
Wajah Sasha panas bukan main. Bulir keringat turun membasahi tengkuknya. Ia seolah disihir untuk tetap diam tak melawan. Bahkan ketika tangan William bergerak naik ke pinggangnya lagi, Sasha masih membeku. Ia hanya mampu menatap William dengan kosong.Yang membuat Sasha buyar dari pikirannya adalah suara seruan mahasiswa yang bercengkrama di luar ruangan. Mengingatkan dirinya bahwa ia masih sedang berada di kampus. Merasa habis disentuh dengan hina, perasaan Sasha semakin campur aduk. Wajah yang tadinya memanas karena malu, kini berganti menjadi amarah. Sasha kemudian menepis tangan William yang masih bertengger di sana.“Jangan kurang ajar, Pak William!” seru Sasha dengan suara bergetar.Ia langsung berbalik dan melangkah cepat meninggalkan ruangan itu. Air matanya menggenang di ujung mata, siap kapan saja untuk jatuh ke atas pipinya. Ini sangat hina!Rasa yang bergolak di hatinya tak bisa ia jelaskan. Sebelum berpikiran ingin mengutarakan kemarahannya kepada William, Sasha terlebi
Sasha mematung mendengarnya. “Sasha?”“I.. iya, Pak. Maaf, semalam saya…,” Sasha terbata menimbang-nimbang. Rasanya, tidak perlu diberitahu juga William seolah akan mengetahui alasan keterlambatan Sasha hari ini. William menatap Sasha. Matanya lagi-lagi tak terbaca. “Duduk, Sasha,” pinta William dingin. “Kelas sudah dimulai.”Sasha mengangguk pasrah. Ia membawa langkahnya menuju kursi kosong di sebelah Nina. Dari balik punggungnya, Sasha seolah masih bisa merasakan tatapan tajam milik William. “Sini, Sasha,” bisik Nina setelah Sasha tiba di kursi. “Kamu begadang semalam? Banyak pikiran, Shal?” “Begitulah, Win, tapi aku nggak apa-apa kok,” Sasha berdalih lagi. Ia segera duduk dan mengeluarkan buku-bukunya.Suara William yang menjelaskan materi kuliah langsung menyita perhatian Sasha. Sekeras apapun Sasha berharap, William tetaplah seorang dosennya sekarang. Sasha betul-betul takut apabila William membongkar rahasianya, identitas yang mati-matian ia sembunyikan. Ia belum bisa kehil
Sasha masih dihantui bayang-bayang William sebagai sosok dosennya ketika ia melangkah cepat ke luar kelas setelah kelas selesai. Kini kepalanya bercabang. Bagaimana bisa William muncul sebagai dosennya setelah semalam pria menjadi kliennya? Hanya dalam satu malam, keadaannya berubah drastis. Sasha bisa merasakan bulir-bulir keringat yang menetes dari dahinya. Ia memikirkan nasibnya, setidaknya sesingkat esok hari. Sasha tidak akan membiarkan skenario terburuk terjadi: orang-orang di kampus akan mengetahui pekerjaan hina itu. Jika ia kehilangan pekerjaan itu, lantas bagaimana ia dapat membayar biaya perawatan neneknya?Sasha jadi teringat bahwa ia harus segera ke rumah sakit untuk mengurus administrasi. Ia percepat langkahnya menuju gerbang kampus, sebelum berhenti sejenak ketika dipanggil oleh Nina.“Sasha!” seru Nina. “Aku cariin kamu dari tadi. Kenapa buru-buru banget?”Sasha menjawabnya cepat, “Aku harus segera ke rumah sakit, Win. Nenekku masuk rumah sakit tadi pagi.”Melihat







