LOGINSasha mematung mendengarnya.
“Sasha?” “I.. iya, Pak. Maaf, semalam saya…,” Sasha terbata menimbang-nimbang. Rasanya, tidak perlu diberitahu juga William seolah akan mengetahui alasan keterlambatan Sasha hari ini. William menatap Sasha. Matanya lagi-lagi tak terbaca. “Duduk, Sasha,” pinta William dingin. “Kelas sudah dimulai.” Sasha mengangguk pasrah. Ia membawa langkahnya menuju kursi kosong di sebelah Nina. Dari balik punggungnya, Sasha seolah masih bisa merasakan tatapan tajam milik William. “Sini, Sasha,” bisik Nina setelah Sasha tiba di kursi. “Kamu begadang semalam? Banyak pikiran, Shal?” “Begitulah, Win, tapi aku nggak apa-apa kok,” Sasha berdalih lagi. Ia segera duduk dan mengeluarkan buku-bukunya. Suara William yang menjelaskan materi kuliah langsung menyita perhatian Sasha. Sekeras apapun Sasha berharap, William tetaplah seorang dosennya sekarang. Sasha betul-betul takut apabila William membongkar rahasianya, identitas yang mati-matian ia sembunyikan. Ia belum bisa kehilangan pekerjaan itu, tidak sampai sang nenek sembuh. Di tengah lamunan dan isi kepala yang semakin rumit, Sasha tersentak ketika William memanggil namanya. “Sasha,” berat terdengar suaranya. “Perhatikan ke depan.” Sasha menelan ludahnya. Ia tahu betul bahwa William hanya ingin menunjukkan bentuk kuasanya. Sepanjang kelas, Sasha memandang ke depan dengan dengan mantap meski kepalanya kosong dan tak sepenuhnya mendengarkan penjelasan William. Kemudian Sasha memperhatikan William dari tempat duduknya. Tubuh laki-laki itu tegap dengan bahu yang lebar. Rambutnya disisir rapi dengan beberapa helai yang nakal jatuh di atas dahi. Harus Sasha akui bahwa William memang menarik, tetapi bukan itu yang harus ia pikirkan sekarang. Nenek. Pikiran Sasha melayang lagi. Nasibnya kini seolah berada di ujung tanduk. Namun karena ia begitu terdesak, pekerjaan sebagai pemandu karaoke itu tak bisa ia lepas begitu saja. Uang cuma-cuma yang dikeluarkan oleh klien-klien kaya adalah jalan keluarnya sementara ini. Barangkali Sasha akan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak setelah ia lulus nanti. Maka, ia juga tak bisa menelantarkan kuliahnya. Tetapi semuanya sekarang bersinggungan. Pekerjaannya, kuliah, dan William. Sasha bisa kehilangan salah satu di antara kuliah dan pekerjaannya jika William mulai bertindak. Bahkan mungkin keduanya jika William benar-benar tak tutup mulut. Sasha mengusap wajahnya kasar dan membenamkan wajahnya di balik telapak tangan untuk beberapa saat. Namun mimpi buruknya datang lagi menghampiri. “Sasha,” suara pria itu kini begitu dekat. William tiba-tiba sudah berdiri di sisinya. “Kelas saya bukan ruang untuk tidur,” ucapannya penuh sindiran. Seisi kelas pun menoleh ke sumber suara. Beberapa tertawa dan beberapa terlihat tak peduli. Sasha mengerjap seketika. Cepat-cepat ia membetulkan posisi duduknya. Ia tidak tertidur, sungguh. Namun sial saja, pria itu sepertinya selalu memperhatikan gerak-geriknya. “Maaf, Pak William…,” ucap Sasha lirih. Balasan William yang tak kunjung datang membuat Sasha gelisah. Pria itu lalu berjalan meninggalkan area tempat duduk Sasha. Belum sempat Sasha menghela napas lega, William menoleh. “Selesai kelas, ke ruangan saya, Sasha.” “Ba- baik, Pak,” Sasha tergagap. Jika biasanya Sasha begitu tidak sabar ingin kelas usai, kali ini ia lebih ingin kelas ini berlangsung lebih lama lagi, agar dirinya tidak perlu mati gaya di ruangan William. Selang waktu berlalu, William menyelesaikan kelasnya, meninggalkan ruangan lebih dahulu. Setelah itu para mahasiswa berangsur keluar ruangan. Sempat Sasha terpikir untuk kabur saja dan sembunyi di antara lautan mahasiswa itu, namun ia urungkan niat dan berjalan lemas menuju ruangan William. Tok tok tok. “Masuk,” suara William sedikit teredam di sana. “Permisi.” William duduk di atas kursi, tatapannya sudah mengintimidasi membuat Sasha sedikit gemetar. Ruangan itu sedikit temaram. Sepertinya William hanya memanfaatkan sinar matahari dari luar jendela yang ditutupi tirai. “Sasha,” mulainya. William bangkit seraya menggulung lengan kemejanya, memperlihatkan otot-otot di tangan. Ia berjalan ke arah Sasha berdiri, matanya belum menatap Sasha lagi. Ketika Sasha tidak menjawab, William menambahkan lagi, “Yang sopan, Sasha. Kalau dipanggil biasakan menjawab.” “I… iya, Pak William,” jawab Sasha. William berhenti tepat di depan Sasha. “Kenapa terlambat, Sasha?” William menyilangkan kedua tangannya di depan dada, sebuah tanda intimidasi lain. “Uh.. saya…,” Sasha kesulitan mencari jawabannya. “Saya…” Di hadapannya, William masih menatapnya tajam, menunggu jawaban Sasha. Ruangan yang sunyi menambah ketegangan di antara keduanya. “Maaf, Pak,” pada akhirnya Sasha hanya bisa mengucap maaf, bentuk akhir dari dirinya yang tak mampu berdalih. “Saya … telat bangun karena tidur terlalu larut.” “Tidur terlalu larut…,” ulang William. “Memang habis melakukan apa, Sasha?” Itu dia. Sasha tahu itu pertanyaan sindiran. Bagaimana tidak, William pasti tahu betul apa yang membuat Sasha terjaga hingga larut malam. Alih-alih menunggu jawaban Sasha dalam diam, William tiba-tiba mengambil langkah maju. Pergerakan tiba-tiba itu mengejutkan Sasha. Ia refleks mundur. “Tidak menjawab lagi, Sasha? Padahal malam itu kamu pandai bicara, lho.” Mata Sasha melebar. Ia tidak menyangka William akan mengungkit pertemuan mereka malam itu sekarang, di sini, di lingkungan kampusnya. Belum selesai memproses pertanyaan William barusan, ia sudah dikejutkan lagi dengan tangan William yang tiba-tiba naik ke dagu Sasha. Tangan kekar itu menuntun gerakan kepala Sasha, memaksanya untuk menatap William tanpa berpaling. “Pandai sekali bicaramu, Sasha. Sampai-sampai berkata bahwa saya gay.” Sasha menelan ludahnya. Tangan William kemudian turun ke pinggang Sasha tiba-tiba. Sasha mengerjap kaget, namun ia tak bisa berkutik. William seolah menguncinya dengan satu sentuhan itu. William mengelus pinggang itu perlahan. Lalu tangannya berpaling menuju bokong Sasha, kemudian meremasnya cepat. “Ah!” Sasha tersentak. Saat Sasha baru ingin memproses keadaan, tangan William kini maju ke depan, meraba bagian terlarang di antara kedua kaki Sasha. Sasha dapat merasakan kakinya yang tiba-tiba lemas ketika jari-jari William mulai bergerak, mengusap-usap milik Sasha dari balik kain tipis yang menyekatnya. “A-ah…,” Sasha pun refleks memegang lengan William. Sasha dapat merasakan lembab yang datang di bagian bawah miliknya. Tatapan William masih datar, seolah tidak terjadi apa-apa. Sementara itu, wajah Sasha memanas. Sentuhan singkat yang begitu nakal itu berhasil membuat Sasha kewalahan, napasnya terengah dan berat. Ia rasakan keringat yang mengalir, seolah tak kalah basahnya dari bagian bawahnya. Untuk sesaat, Sasha tahu ia akan menyesali ini, namun perasaannya kepalang bercampur aduk dalam hati juga kepala. Sasha masih merasakan tangan William yang belum berhenti bermain-main lincah di bagian bawahnya ketika pria itu tersenyum tipis. Sasha merasa ada semacam kepuasan yang hadir di wajahnya. “Kalau saya gay, memang bisa membuatmu basah begitu, Sasha?”Tangan William mulai bergerak ke depan, menjamah dada Sasha yang masih terbungkus kain. William juga lantas menanggalkannya, lalu langsung menuju ke pusat sensitif Sasha tanpa ragu."Ah... Om...!" Sasha tersentak, desahannya lolos begitu saja."Sstt," William membungkamnya dengan ciuman lagi, kali ini lebih dalam, lebih menuntut, sementara tangannya mulai bekerja dengan ritme yang mematikan di bawah sana. "Jangan panggil Om. Panggil saya William saat kamu mendesah nanti." .Malam itu, logika Sasha mati.Yang tersisa hanyalah gairah dan permainan William yang menenggelamkannya. Ketika tubuhnya diangkat dengan mudah oleh lengan kekar pria itu, Sasha tidak memberontak. Ia seperti boneka porselen yang pasrah, dibawa menuju kamar utama yang pintunya terbuka lebar, menampakkan ranjang luas berseprai abu-abu.William membaringkannya dengan kasar. Pria itu menindihnya, mengunci pergerakan Sasha sepenuhnya. Di bawah sorot lampu tidur yang temaram, mata William tampak berkilat, lapar, dan menu
Sasha menelan ludah, tubuhnya hampir tak mampu menahan diri. Kakinya lemas mendengar perintah William tadi. Wajahnya terasa panas, bulu kuduknya berdiri, dan setiap napas yang ia ambil seolah terbawa oleh aura pria di depannya. “Ma…maksud Om William?”Sebetulnya, Sasha juga sedikit banyak dapat menduga bahwa William akan memintanya melakukan macam-macam. Namun yang tak ia duga adalah fakta bahwa William akan benar-benar meminta itu!Saat Sasha sibuk mencoba mencari alasan penolakan, William mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, wajah mereka hampir bersentuhan. William menatapnya, jarak antara mereka hanya beberapa inci. Tangan William perlahan menurunkan pipi Sasha, lalu menyusuri rahang halusnya dengan gerakan lembut tapi menegaskan dominasi. Sasha menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan diri.“Layani saya,” William mengulanginya berbisik. “Seperti yang kamu lakukan di karaoke, Sasha.”Wajah Sasha merah William mendengar itu. Ia cepat-cepat memalingkan wajahnya. “Maaf,
Sasha kehabisan kata-kata. Mulutnya sedikit terbuka mendengar itu. Sasha memang yakin William sewaktu-waktu akan mengeluarkan kartu AS miliknya itu. Tetapi, sekarang!?“Saya tunggu nanti malam. Prau Residence, lantai 17 nomor 1.”Begitu selesai mengatakannya, William berpaling pergi. Ia menelaah berkas-berkas yang sedari tadi dihiraukannya, seolah William juga berdalih tentang suruhan barusan. Atau Sasha lebih suka menyebutnya sebagai sebuah ancaman. Sasha mematung di selasar itu. Angin yang berembus menerpa wajahnya bahkan tak mampu mendinginkan pikiran. Ia menatap punggung William yang lama kelamaan hilang dimakan jarak. Mata Sasha masih berkedip beberapa kali dengan cepat, tidak percaya obrolannya barusan. Ia kembali menimbang-nimbang dan apapun langkah yang dipilih, rasanya salah. Tetapi nyawa neneknya seolah menjadi pertaruhan sekarang. Ia benar-benar tidak boleh kehilangan pekerjaannya!Sepulang kuliah, Sasha lemas duduk di dalam kosannya, memandangi ke luar jendela. Langit su
Wajah Sasha panas bukan main. Bulir keringat turun membasahi tengkuknya. Ia seolah disihir untuk tetap diam tak melawan. Bahkan ketika tangan William bergerak naik ke pinggangnya lagi, Sasha masih membeku. Ia hanya mampu menatap William dengan kosong.Yang membuat Sasha buyar dari pikirannya adalah suara seruan mahasiswa yang bercengkrama di luar ruangan. Mengingatkan dirinya bahwa ia masih sedang berada di kampus. Merasa habis disentuh dengan hina, perasaan Sasha semakin campur aduk. Wajah yang tadinya memanas karena malu, kini berganti menjadi amarah. Sasha kemudian menepis tangan William yang masih bertengger di sana.“Jangan kurang ajar, Pak William!” seru Sasha dengan suara bergetar.Ia langsung berbalik dan melangkah cepat meninggalkan ruangan itu. Air matanya menggenang di ujung mata, siap kapan saja untuk jatuh ke atas pipinya. Ini sangat hina!Rasa yang bergolak di hatinya tak bisa ia jelaskan. Sebelum berpikiran ingin mengutarakan kemarahannya kepada William, Sasha terlebi
Sasha mematung mendengarnya. “Sasha?”“I.. iya, Pak. Maaf, semalam saya…,” Sasha terbata menimbang-nimbang. Rasanya, tidak perlu diberitahu juga William seolah akan mengetahui alasan keterlambatan Sasha hari ini. William menatap Sasha. Matanya lagi-lagi tak terbaca. “Duduk, Sasha,” pinta William dingin. “Kelas sudah dimulai.”Sasha mengangguk pasrah. Ia membawa langkahnya menuju kursi kosong di sebelah Nina. Dari balik punggungnya, Sasha seolah masih bisa merasakan tatapan tajam milik William. “Sini, Sasha,” bisik Nina setelah Sasha tiba di kursi. “Kamu begadang semalam? Banyak pikiran, Shal?” “Begitulah, Win, tapi aku nggak apa-apa kok,” Sasha berdalih lagi. Ia segera duduk dan mengeluarkan buku-bukunya.Suara William yang menjelaskan materi kuliah langsung menyita perhatian Sasha. Sekeras apapun Sasha berharap, William tetaplah seorang dosennya sekarang. Sasha betul-betul takut apabila William membongkar rahasianya, identitas yang mati-matian ia sembunyikan. Ia belum bisa kehil
Sasha masih dihantui bayang-bayang William sebagai sosok dosennya ketika ia melangkah cepat ke luar kelas setelah kelas selesai. Kini kepalanya bercabang. Bagaimana bisa William muncul sebagai dosennya setelah semalam pria menjadi kliennya? Hanya dalam satu malam, keadaannya berubah drastis. Sasha bisa merasakan bulir-bulir keringat yang menetes dari dahinya. Ia memikirkan nasibnya, setidaknya sesingkat esok hari. Sasha tidak akan membiarkan skenario terburuk terjadi: orang-orang di kampus akan mengetahui pekerjaan hina itu. Jika ia kehilangan pekerjaan itu, lantas bagaimana ia dapat membayar biaya perawatan neneknya?Sasha jadi teringat bahwa ia harus segera ke rumah sakit untuk mengurus administrasi. Ia percepat langkahnya menuju gerbang kampus, sebelum berhenti sejenak ketika dipanggil oleh Nina.“Sasha!” seru Nina. “Aku cariin kamu dari tadi. Kenapa buru-buru banget?”Sasha menjawabnya cepat, “Aku harus segera ke rumah sakit, Win. Nenekku masuk rumah sakit tadi pagi.”Melihat







