Share

bab 5

Author: Azzura Rei
last update Last Updated: 2025-12-29 12:22:34

Wajah Sasha panas bukan main. Bulir keringat turun membasahi tengkuknya.

Ia seolah disihir untuk tetap diam tak melawan. Bahkan ketika tangan William bergerak naik ke pinggangnya lagi, Sasha masih membeku. Ia hanya mampu menatap William dengan kosong.

Yang membuat Sasha buyar dari pikirannya adalah suara seruan mahasiswa yang bercengkrama di luar ruangan. Mengingatkan dirinya bahwa ia masih sedang berada di kampus.

Merasa habis disentuh dengan hina, perasaan Sasha semakin campur aduk. Wajah yang tadinya memanas karena malu, kini berganti menjadi amarah. Sasha kemudian menepis tangan William yang masih bertengger di sana.

“Jangan kurang ajar, Pak William!” seru Sasha dengan suara bergetar.

Ia langsung berbalik dan melangkah cepat meninggalkan ruangan itu. Air matanya menggenang di ujung mata, siap kapan saja untuk jatuh ke atas pipinya. Ini sangat hina!

Rasa yang bergolak di hatinya tak bisa ia jelaskan. Sebelum berpikiran ingin mengutarakan kemarahannya kepada William, Sasha terlebih dahulu mengutuk dirinya sendiri. Mengapa tubuhnya harus bereaksi seperti itu? Mengapa dirinya menikmati sentuhan hina itu!?

Langkahnya terburu-buru. Sasha belum bisa percaya apa yang baru saja terjadi. Belum selesai ia memikirkan nasibnya, sudah ada hal lain yang menimpa.

Sasha memutuskan untuk duduk di salah satu selasar gedung. Di sana, tidak banyak mahasiswa yang lalu lalang karena tidak berada di gedung utama. Sasha memilih ujung selasar yang sejuk sebab pohon-pohon di depan selasar itu rindang menutupi sinar matahari.

Tangannya kemudian mengacak-acak rambutnya sendiri. Kini rambutnya mencuat ke segala arah tanda frustasi. Ingin rasanya Sasha teriak kencang jika tak sedang berada di lingkungan kampus.

Di tengah pikirannya yang terlalu kacau, Sasha mendapat panggilan telepon.

Mbak Ana. Hatinya kembali jatuh ke tanah.

“Halo?”

“Non Sasha, selamat siang,” suara Mbak Ana terdengar panik.

“Iya, ada apa?”

“Non, kondisi nenek memburuk. Nenek kesulitan napas dan langsung ditangani. Pihak rumah sakit berkata ada komplikasi yang terjadi pada paru-paru nenek… dan harus segera ditindak. Nenek harus segera operasi, Non.”

Ini betul-betul mimpi buruk. Cobaan demi cobaan terus menimpa Sasha tanpa henti. Lemas Sasha mendengar berita yang dibawa Mbak Ana.

“Nenek… harus operasi…?”

“Iya, Non. Untuk biaya operasi sekitar 23 juta. Namun kami sudah meminta pihak rumah sakit untuk memberi keringanan sedikit, setidaknya sampai Non Sasha datang lagi untuk mengurus administrasi lebih lanjut.”

Keringanan? Keringanan seperti apapun rasanya tak akan cukup mengurangi beban yang ditanggung Sasha. Tetapi wajah nenek yang berseri sehat begitu Sasha rindukan. Ia tidak akan menyerah begitu saja.

“Mbak Ana, kapan operasinya akan dilakukan?”

“Setelah ditindak, nenek harus berpuasa. Jadi, operasi dapat dilakukan besok pagi, Non.”

“Baik, aku akan kesana besok pagi.”

Rasanya, Sasha ingin menangis. Helaan napas panjang kembali Sasha keluarkan. Entah sudah yang keberapa kali minggu ini.

23 juta? Jumlah yang begitu fantastis. Ia bahkan tidak memiliki barang separuhnya. Sasha baru saja membayar 11 juta kemarin, jelas sekarang uang tabungannya tidak cukup. Tentu saja tidak cukup.

Roda gigi di kepalanya terus berputar. Sibuk mencari-cari cara untuk mendapatkan uang puluhan juta dalam satu malam. Tip-tip dari kliennya saja tentu tidak akan cukup. Haruskah Sasha meminjam? Tidak mungkin, itu hanya akan memberatkannya di kemudian hari.

Sasha menggerutu sambil mengusap wajahnya kasar. Di tengah dunianya yang seolah runtuh, Sasha dapat mendengar seseorang melangkah di selasar, suaranya berjalan mendekati Sasha. Ia menoleh. Pria itu lagi, William.

Sepertinya William tidak berniat menghampiri Sasha, sebab ia juga terlihat terkejut dengan kehadiran Sasha yang sedang duduk di pojok yang rindang dengan wajah yang pucat. Ada lembaran berkas yang menghiasi tangan William, mungkin ia berniat memberikannya ke bagian administrasi kampus yang ada di belakang gedung selasar tempat mereka berada sekarang.

“Sasha?”

Sebetulnya, Sasha begitu enggan menatap wajah William sekarang. Ia masih dihantui bayang-bayang William yang menyentuhnya dengan tidak senonoh tadi.

Ingin sekali Sasha menghindar pergi, namun mengingat bagaimana William seolah menggenggam seluruh hidup Sasha dalam kepalan tangannya, apalagi keduanya tengah berada di lingkungan kampus, Sasha cepat-cepat berdiri untuk menyamakan pandangan. Namun ia tidak berkata apa-apa dan hanya mengangguk asal.

“Kamu kelihatan pucat. Sakit?” William membawa tangannya menuju dahi Sasha. Sebelum tangan itu mendarat di atas sana, Sasha menghindar. Untuk sesaat, Sasha kebingungan dengan perlakuan William yang tiba-tiba memperlihatkan kepedulian.

“Tidak, Pak.”

William tidak berkata apa-apa lagi dan Sasha rasa keduanya akan berakhir dalam situasi yang seolah menjebaknya lagi jika tak ada yang mengambil langkah lebih dahulu. Sasha tahu Sasha tidak punya waktu untuk memikirkan apapun selain neneknya sekarang.

Maka, Sasha memutuskan untuk pergi. Ia benar-benar butuh waktu sendiri untuk menghilangkan penat di kepala. Sasha mengambil tasnya yang masih tergeletak di lantai. “Permisi, Pak. Saya ada kelas lagi setelah ini,” katanya berbohong.

Baru berjalan beberapa langkah, ia dihentikan lagi dengan panggilan dari William. “Sasha.”

Sasha menoleh malas. “Ada apa, Pak?”

William menghampirinya, kini pria itu membawa wajahnya sedikit lebih dekat. “Kita perlu bicara.”

“Bicara…?” Sasha mengulur nadanya. “Boleh saya temui Bapak esok pagi? Saya harus ke-”

“Karaoke?” bisik William memotongnya.

“P- Pak…,” Sasha mengedarkan pandangannya. Memastikan tidak ada yang mendengar itu di sini meski suara William sudah begitu kecil.

“Dengar, Sasha,” kata William mantap. “Kita perlu bicara. Datang ke apartemen saya nanti malam.”

Mendengarnya membuat Sasha bergidik tidak percaya. Apartemen? Yang benar saja! Bagaimanapun, sekarang William itu dosennya.

“Maaf, Pak. Saya tidak bisa. Saya-”

William menghela napas. Wajahnya sedikit mengeras, mirip seperti wajah yang Sasha lihat malam itu.

“Datang saja, Sasha. Kamu tidak ingin kehilangan pekerjaanmu atau status mahasiswamu, ‘kan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dalam Dekap Hangat Pak Profesor   bab 8

    Tangan William mulai bergerak ke depan, menjamah dada Sasha yang masih terbungkus kain. William juga lantas menanggalkannya, lalu langsung menuju ke pusat sensitif Sasha tanpa ragu."Ah... Om...!" Sasha tersentak, desahannya lolos begitu saja."Sstt," William membungkamnya dengan ciuman lagi, kali ini lebih dalam, lebih menuntut, sementara tangannya mulai bekerja dengan ritme yang mematikan di bawah sana. "Jangan panggil Om. Panggil saya William saat kamu mendesah nanti." .Malam itu, logika Sasha mati.Yang tersisa hanyalah gairah dan permainan William yang menenggelamkannya. Ketika tubuhnya diangkat dengan mudah oleh lengan kekar pria itu, Sasha tidak memberontak. Ia seperti boneka porselen yang pasrah, dibawa menuju kamar utama yang pintunya terbuka lebar, menampakkan ranjang luas berseprai abu-abu.William membaringkannya dengan kasar. Pria itu menindihnya, mengunci pergerakan Sasha sepenuhnya. Di bawah sorot lampu tidur yang temaram, mata William tampak berkilat, lapar, dan menu

  • Dalam Dekap Hangat Pak Profesor   bab 7

    Sasha menelan ludah, tubuhnya hampir tak mampu menahan diri. Kakinya lemas mendengar perintah William tadi. Wajahnya terasa panas, bulu kuduknya berdiri, dan setiap napas yang ia ambil seolah terbawa oleh aura pria di depannya. “Ma…maksud Om William?”Sebetulnya, Sasha juga sedikit banyak dapat menduga bahwa William akan memintanya melakukan macam-macam. Namun yang tak ia duga adalah fakta bahwa William akan benar-benar meminta itu!Saat Sasha sibuk mencoba mencari alasan penolakan, William mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, wajah mereka hampir bersentuhan. William menatapnya, jarak antara mereka hanya beberapa inci. Tangan William perlahan menurunkan pipi Sasha, lalu menyusuri rahang halusnya dengan gerakan lembut tapi menegaskan dominasi. Sasha menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan diri.“Layani saya,” William mengulanginya berbisik. “Seperti yang kamu lakukan di karaoke, Sasha.”Wajah Sasha merah William mendengar itu. Ia cepat-cepat memalingkan wajahnya. “Maaf,

  • Dalam Dekap Hangat Pak Profesor   bab 6

    Sasha kehabisan kata-kata. Mulutnya sedikit terbuka mendengar itu. Sasha memang yakin William sewaktu-waktu akan mengeluarkan kartu AS miliknya itu. Tetapi, sekarang!?“Saya tunggu nanti malam. Prau Residence, lantai 17 nomor 1.”Begitu selesai mengatakannya, William berpaling pergi. Ia menelaah berkas-berkas yang sedari tadi dihiraukannya, seolah William juga berdalih tentang suruhan barusan. Atau Sasha lebih suka menyebutnya sebagai sebuah ancaman. Sasha mematung di selasar itu. Angin yang berembus menerpa wajahnya bahkan tak mampu mendinginkan pikiran. Ia menatap punggung William yang lama kelamaan hilang dimakan jarak. Mata Sasha masih berkedip beberapa kali dengan cepat, tidak percaya obrolannya barusan. Ia kembali menimbang-nimbang dan apapun langkah yang dipilih, rasanya salah. Tetapi nyawa neneknya seolah menjadi pertaruhan sekarang. Ia benar-benar tidak boleh kehilangan pekerjaannya!Sepulang kuliah, Sasha lemas duduk di dalam kosannya, memandangi ke luar jendela. Langit su

  • Dalam Dekap Hangat Pak Profesor   bab 5

    Wajah Sasha panas bukan main. Bulir keringat turun membasahi tengkuknya. Ia seolah disihir untuk tetap diam tak melawan. Bahkan ketika tangan William bergerak naik ke pinggangnya lagi, Sasha masih membeku. Ia hanya mampu menatap William dengan kosong.Yang membuat Sasha buyar dari pikirannya adalah suara seruan mahasiswa yang bercengkrama di luar ruangan. Mengingatkan dirinya bahwa ia masih sedang berada di kampus. Merasa habis disentuh dengan hina, perasaan Sasha semakin campur aduk. Wajah yang tadinya memanas karena malu, kini berganti menjadi amarah. Sasha kemudian menepis tangan William yang masih bertengger di sana.“Jangan kurang ajar, Pak William!” seru Sasha dengan suara bergetar.Ia langsung berbalik dan melangkah cepat meninggalkan ruangan itu. Air matanya menggenang di ujung mata, siap kapan saja untuk jatuh ke atas pipinya. Ini sangat hina!Rasa yang bergolak di hatinya tak bisa ia jelaskan. Sebelum berpikiran ingin mengutarakan kemarahannya kepada William, Sasha terlebi

  • Dalam Dekap Hangat Pak Profesor   bab 4

    Sasha mematung mendengarnya. “Sasha?”“I.. iya, Pak. Maaf, semalam saya…,” Sasha terbata menimbang-nimbang. Rasanya, tidak perlu diberitahu juga William seolah akan mengetahui alasan keterlambatan Sasha hari ini. William menatap Sasha. Matanya lagi-lagi tak terbaca. “Duduk, Sasha,” pinta William dingin. “Kelas sudah dimulai.”Sasha mengangguk pasrah. Ia membawa langkahnya menuju kursi kosong di sebelah Nina. Dari balik punggungnya, Sasha seolah masih bisa merasakan tatapan tajam milik William. “Sini, Sasha,” bisik Nina setelah Sasha tiba di kursi. “Kamu begadang semalam? Banyak pikiran, Shal?” “Begitulah, Win, tapi aku nggak apa-apa kok,” Sasha berdalih lagi. Ia segera duduk dan mengeluarkan buku-bukunya.Suara William yang menjelaskan materi kuliah langsung menyita perhatian Sasha. Sekeras apapun Sasha berharap, William tetaplah seorang dosennya sekarang. Sasha betul-betul takut apabila William membongkar rahasianya, identitas yang mati-matian ia sembunyikan. Ia belum bisa kehil

  • Dalam Dekap Hangat Pak Profesor   bab 3

    Sasha masih dihantui bayang-bayang William sebagai sosok dosennya ketika ia melangkah cepat ke luar kelas setelah kelas selesai. Kini kepalanya bercabang. Bagaimana bisa William muncul sebagai dosennya setelah semalam pria menjadi kliennya? Hanya dalam satu malam, keadaannya berubah drastis. Sasha bisa merasakan bulir-bulir keringat yang menetes dari dahinya. Ia memikirkan nasibnya, setidaknya sesingkat esok hari. Sasha tidak akan membiarkan skenario terburuk terjadi: orang-orang di kampus akan mengetahui pekerjaan hina itu. Jika ia kehilangan pekerjaan itu, lantas bagaimana ia dapat membayar biaya perawatan neneknya?Sasha jadi teringat bahwa ia harus segera ke rumah sakit untuk mengurus administrasi. Ia percepat langkahnya menuju gerbang kampus, sebelum berhenti sejenak ketika dipanggil oleh Nina.“Sasha!” seru Nina. “Aku cariin kamu dari tadi. Kenapa buru-buru banget?”Sasha menjawabnya cepat, “Aku harus segera ke rumah sakit, Win. Nenekku masuk rumah sakit tadi pagi.”Melihat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status