“Ranty, kau baik-baik saja?” teriak Axel sekali lagi. Niken menjadi panik di dalam kamar mandi. Dia mondar-mandir mencari apa pun yang bisa digunakan sebagai senjata. Niken pikir Axel bisa saja menerobos masuk dan melakukan sesuatu padanya. “Tunggu!” Niken berpikir sejenak. Dia berbalik menatap diri di depan cermin yang sangat besar di atas wastafel. “Kenapa aku harus panik?” Niken mendekat ke pintu dan menjawab pertanyaan Axel. “Ya, Tuan Marais. Aku baik-baik saja. Aku sedikit membuat kekacauan di sini dengan tak sengaja aku menjatuhkan beberapa peralatan mandi.” “Oh, baiklah. Aku akan meninggalkan handuk bersih di depan pintu kamar mandi. Aku pikir tadi lupa memberikannya padamu.” Niken menekan telinganya ke pintu dan mendengar langkah kaki Axel yang menjauh. Dia menghembuskan napas lega. “Jika aku kabur saat ini, maka aku tidak akan memiliki kesempatan untuk pergi ke Washington DC seperti rencana awalku. Aku hanya perlu keluar menghadapi pria itu dan meyakinkannya untuk membe
"Ya, ini kontrak perjanjian agar kau tinggal denganku sampai utang-utangmu terlunasi!” “Tapi, kau berkata... ini adalah kontrak kerja dan kau akan memotong penghasilanku selama bekerja denganmu? Kau ingin menjebakku?” “Bacalah dengan cermat pada poin berikutnya. Ya, secara tidak langsung kau memang akan bekerja untukku. Dan pekerjaanmu adalah hidup di sampingku. Aku akan menggajimu untuk semua itu.” Niken serasa kehilangan tenaga. “Ini lebih menakutkan dari hal-hal buruk yang pernah aku bayangkan selama ini tentang Axel Marais.” Niken semakin yakin bahwa Axel adalah seorang psikopat dengan kelainan tertentu. “Bubuhkan tanda tanganmu sekarang juga atau....” Axel menunduk dan mendekatkan wajahnya pada Niken. Gadis itu sampai harus menarik mundur kepalanya untuk menjaga jarak dari Axel. “Atau apa?” tanya Niken dengan gugup. Axel menyeringai dan sangat menakutkan. “Atau aku akan menyerahkanmu pada para pembunuh yang saat ini sedang memburumu!” “Kau mengancamku?” Niken berdiri teg
Niken mematung di ambang pintu. Di depannya seorang pria berdiri menjulang dengan tubuh jangkungnya. Wajah pria itu sangat dingin dan dipenuhi dengan brewok. Dia mengenakan setelan serba hitam. Pelantang terpasang di telinga kanannya. “Kau?” Niken hanya menatap ketakutan pada pria itu. Dia juga melirik ke arah kiri. Di sana ada seorang pria lagi. “Sialan!” pikir Niken. “Aku tak akan bisa kabur dari sini. Kedua pengawal Axel berjaga di depan pintu. Kenapa aku tak memikirkan hal ini sebelumnya?” “Selamat pagi, Nona Ranty. Saya Carlos. Saya mendapat tugas dari Tuan Marais untuk membawakan pakaian dan keperluan Anda.” “Pakaianku?” Niken tak mengerti. Dia merasa kikuk ketika Carlos menatap pakaian yang dikenakan Niken. “Apa Carlos mengenali pakaian bosnya yang aku kenakan sekarang?” Niken sangat malu dengan penampilannya. Carlos menjentikkan jari dan empat perempuan datang dengan membawa banyak barang ke kamar hotel. “Apa semua ini? Aku tak mengerti.” Niken kebingungan. Di depannya
Para juru rias berhasil mengubah Niken menjadi seorang putri yang cantik malam itu. Mereka merasa puas dan bangga dengan hasil karya mereka sendiri. Keempat perempuan itu mengelilingi Niken dan menatapnya dengan perasaan kagum. “Kau harus segera turun dan menemui Tuan Marais. Dia pasti akan terpukau dengan kecantikanmu, Nona.” “Yah, kau sudah memiliki kecantikan yang alami. Bahkan sebenarnya tanpa perlu banyak riasan wajah pun, hanya dengan pakaian dan model rambut yang tepat, kau sudah terlihat begitu menawan.” Niken memberanikan diri menatap wajah dan tubuhnya di depan cermin. Dia memang terlihat sangat cantik bahkan seumur hidupnya dia tak pernah merasa secantik itu. Akan tetapi, Niken sama sekali tak bahagia. Ada perasaan jijik dan muak pada dirinya sendiri. “Bukan ini yang aku inginkan!” pikir Niken. “Meskipun orang lain memandangku sebagai gadis yang sangat beruntung karena memiliki kecantikan alami, bahkan sekarang hidup di samping pria yang sangat tampan dan kaya, tapi bu
Axel terkejut harus bertemu dengan perempuan yang tak pernah dia harapkan kehadirannya. Dia ingin menghindari perempuan itu, apalagi melihat kondisi Niken yang tampaknya tidak sehat. Gadis itu masih menahan mual. Axel lekas membisikkan sesuatu pada Niken. “Hoeek!” Niken tak lagi bisa menahan diri. Dia muntah ke pakaian Axel. Perempuan di depan Axel mengipaskan tangannya dan memalingkan wajah menahan jijik. Axel mual dengan tatapan jijik itu. Dia masih memegangi bahu Niken dan membisikkan sesuatu. “Pergilah ke toilet. Aku akan menyusulmu. Jika kau kesakitan atau mengalami masalah sampaikan pada Carlos atau Marco.” Niken langsung berlari secepat kakinya mampu melangkah. Kedua pengawal Axel mengikuti gadis itu sesuai instruksi dari tatapan Axel. “Dia kekasihmu?” Perempuan yang masih berdiri di depan Axel itu menatap tajam dengan suara yang sinis. “Kau hanya bisa membuat masalah.” “Ada urusan apa kau di sini?” tanya Axel. “Apa pelayan di depan tidak menyampaikan bahwa restoran ini s
“Apa yang kau lakukan?” Axel berteriak tepat di depan wajah Niken. “Kenapa kau masih duduk di sana dengan malas-malasan?” Niken membuka sebelah matanya dan menatap Axel yang masih berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Axel hanya mengenakan celana pendek setelah melucuti seluruh pakaiannya. “Jawablah! Jangan hanya duduk saja!” teriakan Axel semakin keras. “Apa kau akan diam saja di sana dan bermalas-malasan? Mulailah lakukan pekerjaan pertamamu dengan mencuci pakaianku. Kau sudah mengotorinya dengan muntahanmu!” keluh Axel. “A-apa? Jadi kau melepas pakaianmu untuk kucuci?” Niken kebingungan dengan perubahan sikap Axel yang tiba-tiba. Axel tergerak dengan kesal. “Kau pikir untuk apa aku melepas pakaianku? Jangan berpikir aku akan melakukan hal yang akan membuatmu senang! Mulai sekarang, kau harus mengerjakan semua yang aku perintahkan termasuk mencuci pakaianku. Cepat bangun dan kerjakan!” Teriakan Axel menggema hingga membuat Niken terlonjak. Gadis itu berdiri seketika. Anehnya
Axel berbaring miring di ranjang super empuk dan besarnya. Dia menopang kepala menggunakan tangan kanan dan diam-diam tersenyum tanpa tujuan. Di depan Axel ada Niken yang terlelap dengan mulut sedikit terbuka. Niken menggeliat. Perlahan matanya mengerjap. Ketika membuka mata, hal yang pertama yang dia lihat adalah wajah tampan Axel yang terlihat tersenyum geli. Sontak gadis itu terlonjak bangun. “Apa yang kau lakukan?” teriak Niken kebingungan dan panik. “Seharusnya aku yang bertanya, bukan?” gumam Axel masih dalam posisi berbaring miring. “Di mana aku?” Niken kelabakan. “Tidurmu nyenyak sekali, bukan?” Axel mengubah posisi tidur dengan berbaring terlentang dan menarik selimut ke tubuhnya. Niken yang masih setengah sadar dan kebingungan mengucek-ngucek mata sambil duduk. Dia melihat Axel berbaring di sisinya dengan nyaman dan tanpa keraguan. “Maaf,” ujar Niken gugup. “Aku ketiduran. Sebaiknya aku tidur di sofa. Kau pasti terganggu. Aku tidak bermaksud mengotori tempat tidurmu.”
Niken baru saja turun dari pesawat. Dia berjalan sambil menyeret koper kecil. Koper itu hampir tak ada isinya. Karena Niken tak memiliki barang apa pun yang bisa dia bawa selain pakaian yang diberikan oleh Axel ketika bermalam di hotel dan beberapa alat rias yang hampir tak disentuh oleh Niken. Gadis itu mengenakan rok selutut dengan motif bunga dan dilapis sweter kuning yang lembut. Wajahnya terlindung oleh topi lebar dan kacamata gelap. Sepatu hak tinggi Niken mengentak pelan saat dia berjalan dengan tegap. Sejak tiba di bandara, hampir seluruh mata tertuju kepada mereka, terutama Axel. Penampilan Axel yang sangat menawan dan seperti model menjadi pusat perhatian para perempuan dan petugas bandara. Dengan langkah percaya diri, Axel meraih bahu Niken yang berjalan di sampingnya dengan sangat posesif. Perbuatan Axel semakin menjadikan mereka pusat perhatian. Ketika mereka keluar dari bandara, Axel sedikit menunduk kepala dan membisikkan sesuatu pada Niken. “Tersenyumlah dan tunjuk