Langkah kaki Dante terdengar mantap menapaki anak tangga satu per satu. Dari arah dapur, Emily hendak memanggilnya kembali, namun Patrick hanya menggeleng pelan."Biarkan," katanya pelan. "Mereka butuh bicara,"Di lantai atas, Liam berjalan dengan malas menuju kamarnya. Mendorong pintu tanpa tenaga dan membiarkannya terbuka. Dia melempar tubuh ke kasur, membenamkan wajah di bantal.Suara ketukan halus membuatnya mendongak. Belum sempat Liam menanggapi, Dante sudah muncul di ambang pintu. Berdiri dengan tubuh tegak. Tatapannya netral, tapi ada sedikit sorot khawatir di sana.“Boleh bicara sebentar?” tanya Dante.Liam tidak langsung menjawab. Dia hanya berbalik ke sisi ranjang dan duduk sambil menyilangkan tangan, menatap Dante tidak ramah.Dante melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Dia berdiri beberapa langkah dari Liam. “Kau tidak suka aku melamar Belle. Aku mengerti,”Liam mengangkat satu alis. “Kau pikir aku hanya tidak suka? Aku muak,”Dante tetap tenang. “Kenapa?”Lia
Sebuah mobil mewah berwarna hitam mengilat—Rolls-Royce Ghost berhenti perlahan di depan rumah keluarga Belle. Suara mesinnya nyaris tak terdengar, tapi kehadirannya langsung menarik perhatian warga sekitar. Beberapa orang melongok dari jendela, sebagian lain menyapukan pandang kagum.Dante keluar dari mobil. Penampilannya tetap rapi—setelan jas abu gelap, rambut tersisir sempurna, dan aura dingin yang melekat padanya seperti bayangan. Tapi hari ini ada sedikit perubahan. Sorot matanya tak setajam biasanya. Ada sesuatu yang lebih lunak, lebih dalam—sebuah rasa rindu.Dia berdiri beberapa saat di depan pagar rumah sederhana itu. Memandang pintu kayu yang sudah mulai termakan waktu. Rumah ini tidak ada apa-apanya dibanding properti-properti milik Dante. Tapi di dalam rumah inilah Belle menemukan tawa, ketenangan, dan cinta.Pintu terbuka. Belle muncul mengenakan blouse putih sederhana dan celana jeans. Rambutnya diikat longgar ke belakang, dan di tangannya masih tergenggam lap dapur. Dia
Setelah suasana sedikit tenang dan luka Cassie sudah dibalut, Eddie mengajaknya duduk di bangku kayu panjang di teras belakang restoran. Cassie menatap langit, lalu menunduk pelan. "Aku menyesal, Ed,"Eddie yang duduk di sampingnya tak langsung menoleh. "Menyesal yang mana?” timpalnya. “Meninggalkanku demi pangeran itu, atau menyesal karena dia bukan seperti yang kau bayangkan?"Cassie tersenyum pahit."Keduanya, mungkin," Dia menarik napas. "Saat itu, aku pikir aku membuat pilihan terbaik. Demi statusku, demi masa depan. Tapi aku kehilangan satu-satunya pria yang benar-benar peduli padaku… tanpa syarat,"Eddie masih diam. Tangannya terlipat, pandangannya lurus ke kebun kecil di belakang restoran."Aku lihat caramu memandang Belle," lanjut Cassie. "Penuh ketulusan. Dan... aku cemburu. Bukan karena Belle, tapi karena aku tidak pernah bisa menghargaimu saat kau jadi milikku,""Aku mencintaimu dulu, Cass. Tapi aku sudah melepasmu kini," suara Eddie akhirnya terdengar. Tenang, tapi menyim
Di dalam mobil, suasana sempat sunyi sesaat. Cassie menyetir pelan menyusuri jalan desa yang teduh dengan pepohonan. Musik klasik mengalun lembut dari radio mobil. Belle duduk tenang di sampingnya, memandangi jendela.Cassie menoleh sekilas. "Kau memang baik, Belle. Tidak heran Eddie merasa nyaman bersamamu,"Belle menoleh, tersenyum tipis. "Dia juga baik. Banyak membantu keluargaku,"Cassie tertawa pelan. "Aku dulu terlalu sibuk melihat masa depanku sendiri… sampai lupa, hati seseorang tidak bisa dilukai begitu saja,"Belle tidak menjawab. Matanya kembali menatap keluar.Cassie ikut terdiam. Untuk pertama kali sejak mereka masuk mobil, ekspresinya menunjukkan sedikit kerapuhan. Tangannya menggenggam kemudi sedikit lebih erat.“Bolehkah aku menanyakan sesuatu, Belle?”Belle menatapnya, tenang. “Apa?”Cassie menoleh, mata cokelatnya tajam. “Hubunganmu dengan Dante… seperti apa sebenarnya?”Belle terdiam sesaat. Dia menunduk, merasakan detak jantungnya berubah saat nama Dante disebut. “
Restoran kecil keluarga Belle sudah mulai dipadati pelanggan. Belle mengenakan apron berwarna krem, rambutnya diikat rapi ke belakang, tengah melayani pelanggan dengan senyum ramah. Sementara Eddie berada di dapur, membantu mengatur bahan makanan.Suasana riuh itu tiba-tiba mereda ketika sebuah mobil mewah berhenti di depan restoran. Pintu terbuka perlahan dan dari dalamnya keluar seorang wanita anggun dengan setelan linen putih gading yang sempurna. Kacamata hitam besar menutupi separuh wajahnya.Cassie.Eddie yang sedang menyusun bahan di meja langsung membeku begitu sosok itu melangkah masuk. Senyumnya lenyap, ekspresinya menegang dalam sekejap. Eddie mematung di tempat, mata tidak berkedip menatap wanita yang dulu pernah dia lamar—dan yang kemudian meninggalkannya demi gelar bangsawan.Belle juga ikut menoleh begitu melihat Eddie berubah drastis. Tatapannya kemudian beralih ke pintu masuk… dan dia segera memahami segalanya.Cassie membuka kacamatanya dengan anggun, matanya langsun
Sejak pagi, Belle sudah berada di restoran kecil keluarganya. Membantu menyiapkan hidangan, melayani pelanggan, dan membersihkan meja. Tangannya bergerak lincah, namun hatinya terasa berat. Wajah Dante, kata-katanya, semua itu berputar tak henti dalam benak Belle."Belle, tolong ambilkan saus tambahan di dapur!" seru Liam dari balik meja kasir.Belle segera mengangguk dan bergegas ke belakang. Di dapur, Belle bersandar sejenak pada meja, menarik napas panjang. Tangannya gemetar tanpa dia sadari."Kau harus kuat, Belle," gumamnya pelan.Tetapi mengusir Dante dari hidupnya... tidak pernah terasa semenyakitkan ini."Belle?" suara langkah kaki terdengar mendekat.Belle menoleh dan melihat Eddie berdiri di ambang pintu, membawa dua gelas air dingin di tangannya."Kau kelihatan lelah," kata Eddie, menyerahkan salah satu gelas padanya. "Istirahatlah sebentar,"Belle memaksakan senyum kecil dan menerima gelas itu. Eddie mengamati Belle dalam diam."Kalau ada yang mengganggumu, kau tahu kau bi