Share

11. Mengunjungi Oma Eliyas

Author: Kafkaika
last update Last Updated: 2025-10-25 13:20:54

Setiba di rumah keluarga Eliyas Aura kembali bertemu dengan Pras. Waktu itu Pras baru mau masuk ke dalam mobil dan hendak pergi. Namun melihat mobil Aura datang, dia menahan diri. Menunggu hingga Aura keluar dari mobil.

Pras membeku melihat gadis itu keluar dengan senyum manisnya. Peristiwa semalam terputar lagi di otaknya. Ketika gadis itu hampir saja akan digarapnya. Untung pengendalian dirinya kuat. Hingga hari ini matahari masih bersinar dengan terasa indah.

“Om kok di sini?” sapa Aura berjalan menghampiri.

Lamunan Pras tersentak oleh sapaan Aura. Dia hanya tersenyum kecil sembari menanggapi, “Pertanyaanmu lucu, Ra. Ini rumahku, kenapa heran kalau aku terlihat ada di sini.”

Tawa kecil Aura terkembang manis, seketika menghapus segala urusan pekerjaan dari benak Pras.

“Maaf, Om. Biasanya jam segini Om sudah di kantor, kan?” ucap Aura lembut. Ia tahu, pria itu tak pernah lepas dari pekerjaannya.

Pras tersenyum tipis lalu bertanya, “Mau ketemu Oma?”

“Iya, Om.”

“Baiklah, temui Oma. Di
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   142. Oma Eliyas Sakit

    Mendengar kabar bahwa Oma Eliyas harus dilarikan ke rumah sakit, Pras langsung panik. Bahkan sebelum sempat menarik napas panjang, dia sudah menyampaikan semuanya pada Aura. Aura—yang tahu bagaimana hubungan Pras dan ibunya—tentu saja tidak menghalangi.Seharusnya liburan kecil mereka di vila masih dua-tiga hari lagi. Mereka bahkan berniat menghabiskan malam dengan saling memeluk di tengah udara dingin pegunungan. Tapi tak satu pun dari itu penting begitu kabar buruk datang. Aura justru yang lebih dulu berdiri dan menyuruh Pras menyiapkan barang-barangnya.Hanya saja, di tengah perjalanan, Aura tiba-tiba meringis sambil memegang perutnya. Kramnya datang cepat. Terlihat sekali rasa sakit itu membuat tubuhnya menegang. Tanpa ragu Pras langsung membelokkan mobil ke klinik kecil yang mereka lewati.“Ini sudah malam, mungkin Nyonya kelelahan. Baby-nya protes. Lebih baik beristirahat dulu. Besok saja lanjut perjalanannya,” saran dokter itu. Suaranya lembut, tapi tegas.Pras tidak perlu dibe

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   141. Pernikahan Pras Dan Aura

    Ketika kepalanya serasa mau pecah oleh semua kekacauan ini, barulah wanita itu benar-benar merindukan putranya.Andaikan Pras tahu dirinya sedang bermasalah… anak itu pasti langsung datang, memeluk bahunya, dan berkata, “Ada apa, Ma? Biar Pras yang atasi.”Namun semua mungkin sudah berbeda. Pras tak lagi datang setelah waktu itu dirinya tak sudi barang menoleh sedikitpun pada putranya itu. Masih menganggap bahwa semua kerumitan ini karena kelakuannya.Padahal kenyataannya, justru Pras dan Aura-lah korbannya. Dan takdir mempertemukan mereka karena ketidakadilan itu sudah terlalu lama membuat keduanya menderita.“Aku terlalu memanjakan Arman, Tari… Aku selalu percaya cucuku yang tersakiti. Aku pikir semua kelakuannya hanya imbas masa kecilnya yang tidak bahagia. Tapi lihatlah… semuanya malah mengecohku…” suara Oma Eliyas pecah lagi. Tangisnya tak kunjung mereda.Tari, sambil memijit pelan kaki majikannya, ikut menghela napas sedih. “Sabar, Nyonya…”“Aku malu sekali pada Aura. Malu pada

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   140. Kenyataan yang Mengejutkan Oma

    Oma Eliyas tidak bisa hanya diam saja. Dia mondar-mandir tidak tenang. Berpikir apa yang harus dia lakukan untuk bisa mengetahui apa yang terjadi selama ini.Oma Eliyas tidak bisa duduk tenang. Setelah Adriana pulang, pikirannya justru semakin kusut. Ia mondar-mandir di ruang keluarga, satu tangan memegangi dada, satu lagi menahan pinggangnya. Nafasnya terasa berat, bukan karena sakit… tapi karena kecemasan yang menumpuk.Tari, yang selalu mengikuti langkah sang nyonya seperti bayangan, ikut merasa resah melihat kondisi itu. Setiap kali ada masalah, setiap kali ada kabar buruk dari anak cucu, Oma Eliyas selalu menjadi yang paling terpukul. Tari sudah terlalu sering menyaksikannya.“Nyonya, lebih baik tidak perlu memikirkan apa pun dulu,” ucap Tari, lembut tapi tegas.“Tidak bisa, Tari.” Suaranya bergetar. Tanpa menunggu saran lain, Oma Eliyas meraih ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar.Ia bingung harus menghubungi siapa. Arman? Ditelepon pun belum tentu akan jujur. Pras? Nomor

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   139. Tamu

    Oma Eliyas sudah jauh lebih baik hari ini. Tubuhnya memang masih lemah, tapi semangatnya sudah kembali. Ia bangkit dari kursi rodanya dan berjalan pelan menuju kebun sayur kecilnya di belakang rumah. Tempat itu adalah tempat favoritnya—tempat yang membuatnya merasa hidup.Baru saja hendak menyiram tanaman, ia mengangkat teko dan mendapati isinya kosong.Tari yang dari tadi memperhatikan segera menghampiri.“Nyonya, kenapa tiba-tiba mau berkebun? Nyonya masih belum sepenuhnya membaik,” ujarnya khawatir.“Aku bosan hanya duduk-duduk saja, Tari. Tidak apa. Sekalian olahraga,” jawab Oma Eliyas, memaksakan senyum kecil sambil menerima teko yang baru diisi penuh.Tari menunggui sang nyonya menyiram tanaman satu per satu. Seperti biasa, kebun itu menjadi tempat curahan hati kecil seorang nenek yang sedang merindukan seseorang.“Dulu Aura yang selalu menyiram tanaman-tanaman ini,” gumam Oma Eliyas, lirih. “Kami sering memetik tomat, cabai, terong… dia selalu ceria kalau sudah di kebun kecil i

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   138. Drama Nasi Bungkus

    Suara panggilan dari ponselnya membuatnya terbangun. Aura menggapai-gapai nakas dengan mata masih terpejam, mencari sumber suara itu sambil mengerjapkan kantuk yang belum pergi. Dia bangkit setengah, malas dan lunglai, ketika akhirnya berhasil mengusap layar ponselnya.“Iya, Om?” suaranya serak sekali—benar-benar suara bantal.“Belum bangun kamu?” tanya Pras lembut, terdengar seperti senyuman sedang menempel di ujung kalimatnya.“Ah, iya, Om. Maaf.” Aura spontan menunduk saat tak sengaja melihat jam digital di samping tempat tidur.Sudah hampir jam 12 siang. Sementara Pras pasti sudah berkeliling dari satu rapat ke rapat lain, menandatangani kontrak bernilai miliaran rupiah. Sedangkan dirinya? Istri yang cuma “numpang hidup”—begitu istilah yang kadang muncul di kepala Aura—malah molor tanpa tahu malu.“Kenapa minta maaf, sih? Enggak apa-apa. Kalau kamu masih ngantuk, tidur lagi saja,” ujar Pras, tetap terdengar hangat. Dia selalu tahu kapan Aura sedang tidak enak hati.“Hehe… habis Om

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   137. Boleh Pulang

    Siang itu Aura akhirnya diperbolehkan pulang. Begitu mendengarnya, dia langsung senang bukan main dan tak sabar kembali ke apartemen.Dokter bahkan datang lebih cepat untuk memeriksa kondisinya. Entah karena desakan Pras semalam atau memang Aura sudah benar-benar membaik—yang jelas, kabar itu membuat Aura lega. Dia sudah jenuh di rumah sakit selama tiga hari.“Tidak tunggu Pak Pras dulu, Bu?” tanya Tata saat melihat Aura sudah rapi setelah keluar dari kamar mandi.“Enggak ah, Ta. Kita pulang saja, ya? Om Pras juga masih repot, kan?” Aura sudah tidak betah berada di rumah sakit.“Tapi Pak Pras bilang sudah hampir selesai rapat dan akan ke sini, Bu.”“Tadi aku kirim pesan. Katanya masih ada tamu.”Tata tidak membantah lagi. Ia menyiapkan barang-barang Aura dan mulai mencicil membawanya ke mobil.Tak lama, perawat datang membawa kursi roda. Tata pun ikut membantu.“Kamu duluan ke mobil enggak apa-apa, Ta. Biar perawat saja yang dorong aku,” ujar Aura. Dia tak mau membuat Tata repot. Tadi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status