LOGINPras menahan panik dan cemasnya dengan susah payah. Dadanya sesak, pikirannya bercabang ke mana-mana—tentang Aura yang masih terbaring di meja operasi, dan tentang putranya yang bahkan belum sempat ia lihat dengan utuh.Namun proses operasi belum benar-benar selesai. Aura masih harus dibersihkan pasca jahitan, monitor masih terpasang, suara alat medis masih berdetak ritmis di ruangan itu. Pras tidak akan meninggalkannya.“Mas…” suara Aura terdengar lemah, nyaris tenggelam oleh suara alat-alat di sekelilingnya. “Lihat anak kita. Tolong, aku tak mau dia kenapa-kenapa.”Pras menunduk, menggenggam tangan Aura yang dingin. “Dia akan baik-baik saja. Jaga emosimu, Sayang. Kamu masih di ruang operasi. Jangan memaksakan diri.”Namun nasihat itu tak serta-merta membuat Aura tenang. Air matanya justru menetes, satu per satu, tanpa bisa ia tahan. Pras buru-buru mengusapnya, berulang kali menenangkan.“Tidak apa-apa. Jangan nangis lagi, ya. Aku di sini.”Tapi Aura tetap tak bisa tenang.Di saat s
“Dasar pria labil!” gerutu Julie sambil mendorong meja di depannya. Vas bunga di atasnya terguncang, lalu jatuh dan pecah berserakan di lantai.Arman kembali masuk ke ruangan itu. Ia menatap Julie dengan wajah lelah, napasnya tertahan sejenak sebelum bicara.“Tidak bisakah kau lebih berhati-hati, Jul?”Julie langsung menyahut dengan nada tinggi, penuh kesal.“Kenapa? Itu cuma vas bunga. Pecah juga tinggal beli lagi.”Ia melangkah mendekat, berdiri tepat di hadapan Arman, menatapnya tanpa berkedip.“Jangan-jangan Aura yang beli vas itu, ya?”Nada suaranya menajam, sarat rasa tersingkir yang tak sempat ia sembunyikan.Arman tak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, lalu berbalik mengambil sapu dan pengki. Berjongkok membersihkan pecahan kaca seolah ingin menghindari tatapan Julie.Julie memperhatikannya beberapa detik. Amarahnya perlahan mengendur, digantikan rasa bersalah yang datang terlambat. Ia mendekat, lalu merebut sapu dari tangan Arman.“Aku yang bikin ini pecah. Biar aku y
“Besok, kalau kamu enggak mau menemui Om Pras, biar aku saja yang menemuinya.”Julie mengucapkan itu sambil merapikan riasannya di depan cermin. Tangannya lincah, suaranya mantap, seolah keputusan itu sudah final. Dari pantulan cermin, ia menangkap bayangan Arman yang masih bermalas-malasan di atas ranjang, selimut menutup sebagian tubuhnya.Julie memutar badan. Sebuah tisu ia lemparkan ke arah Arman.“Arman? Kamu dengar enggak sih?”“Hah?” Arman baru menyahut, membuka mata setengah malas. “Apa?”“Pergi ke Om Pras. Minta semua hakmu.” Nada Julie meninggi. “Bukannya kamu bilang kita akan pergi dari negara ini? Tinggal di London?”Arman bangkit, duduk di tepi ranjang. Wajahnya mengeras.“Itu rencana kita dulu, Jul. Waktu aku masih patah hati karena Aura minta cerai.”“Maksud kamu apa?” Julie berhenti memoles bibirnya. “Kamu berubah pikiran?”Arman menatapnya dengan sebal. “Kamu enggak lihat kondisi Oma? Dia masih sakit. Belum sembuh. Bagaimana caranya aku tiba-tiba datang minta hak wari
Brak!Suara bantingan keras terdengar dari arah kamar. Arman yang sedang di ruang tengah langsung melangkah cepat, jantungnya berdegup tak karuan.Begitu pintu terbuka, dia mendapati Julie tengah membongkar lemari. Beberapa koper tergeletak sembarangan di lantai. Arman langsung mengenali koper-koper itu—barang-barang Aura yang dulu tak sempat dibawanya, namun selama ini tersimpan rapi.“Apa yang kau lakukan, Julie?” tanya Arman terkejut.Julie menoleh dengan wajah penuh amarah. “Wanita itu benar-benar niat, ya. Barang-barangnya masih ditinggal semua, seolah kau akan memakainya lagi.” Tangannya menunjuk koper-koper itu dengan jijik. “Kalau mau pergi, ya pergi sekalian! Apa dia pikir kau masih akan menunggunya?”“Mungkin cuma tak sengaja tertinggal,” jawab Arman pelan. “Atau nanti akan diambil. Tapi Om Pras pasti tidak akan membiarkannya kembali ke rumah ini.”Julie tertawa sinis. “Ya jelas! Om Pras bisa memberinya segalanya. Tapi kenapa juga dia tega meninggalkan sampah-sampah begini?”
“Kak Della?” sapa Aura ragu.Wanita itu menoleh, lalu tersenyum. “Oh, kita ketemu di sini, Ra.”Della—sepupu Vanesha, sekaligus pegawai di perusahaan keluarga Eliyas. Berbeda dengan Vanesha yang begitu terpukul saat tahu hubungan Aura dengan Pras, Della justru tipe yang santai dan cenderung masa bodoh. Ia tak suka ikut campur urusan orang lain.“Kak Della tinggal di sini?” tanya Aura penasaran. Sudah berbulan-bulan ia tinggal di apartemen ini, tapi sama sekali tak tahu kalau Della juga penghuni di sini.“Baru seminggu pindah, Ra,” jawab Della ringan. “Itu pun karena dapat bonus perusahaan. Patungan sama suami. Pengen juga punya apartemen yang nyaman dan berkelas begini.”Della sendiri tampak sedikit terkejut melihat Aura. “Jadi kamu dan Pak Pras tinggal di sini, ya?”Aura mengangguk.“Wah, kebanggaan dong. Bisa tetanggaan sama big boss dan istrinya yang cantik,” canda Della.“Kak Della bisa saja,” balas Aura sambil tersenyum tipis.Aura memang ingat betul, Della suka bercanda dan pemb
“Dasar gila!”Aura menggerutu sambil langsung menghapus pesan-pesan itu tanpa perlu membacanya.Arman seharusnya paham, dia tak lagi membutuhkan penjelasan apa pun. Mereka sudah bercerai. Sudah memilih jalan masing-masing. Harusnya selesai. Kenapa harus mengirim pesan-pesan seperti itu padanya?Kalau Pras sampai tahu soal ini, dia bisa benar-benar marah.Aura mulai menyadari satu hal—Pras ternyata tak selalu sedewasa yang selama ini dia kira, terutama jika menyangkut rasa cemburu.Tadi saja, kalau Aura tak segera menahannya, Pras pasti sudah menghajar Arman. Padahal mereka masih berada di rumah sakit.Sambil membuat segelas susu hangat dan mengupas buah untuk camilan, pikiran Aura terus terusik oleh sikap Arman. Dia benar-benar tak mengerti, sebenarnya bagaimana hubungan pria itu dengan Julie. Kenapa Arman bersikap seolah tak mencintainya? Padahal kehampaan rumah tangga mereka dulu jelas-jelas karena Arman tak pernah sepenuhnya tertarik pada Aura—dan diam-diam masih terikat dengan wan







