Share

7. Tragedi Secangkir Kopi

Author: Kafkaika
last update Last Updated: 2025-10-23 00:47:13

Aura langsung menarik tangannya. Tertunduk dan gugup. Takut Pras marah atas kelakuannya itu.

Namun pria itu hanya berkata dengan tenang, “Tidak apa, ini bisa kuatasi. Biarkan aku zoom dulu.”

“B-baik, Om…” ujar Aura, bangkit dan berlalu meninggalkan Pras.

Aura segera masuk ke dapur, bersandar pada dinding ruangan itu untuk menetralkan debaran jantungnya. 

Dari tempat itu, Aura bisa mendengar dengan jelas suara Pras yang memimpin rapat. Tegas, berwibawa, dan jelas. Sempat membandingkan, kenapa suaminya tidak bisa seperti pamannya itu? 

Kalau Arman sedikit saja memiliki sikap seperti sang paman, Aura akan lebih jatuh cinta padanya... 

Sayangnya, meski mereka memiliki ikatan darah, Arman dan sang paman adalah dua pria dengan pribadi yang berbeda. 

Tanpa sadar, ia menatap ke arah ruang tamu. Lelaki itu duduk tegap, memberi arahan ke timnya. Aura menatap lebih lama daripada yang seharusnya.

Dalam hati, ada kekaguman yang tumbuh. Diam-diam dan lembut.

Namun Aura cepat-cepat membuang wajah. Ia tak ingin berpikir macam-macam.

Ini hanya rasa kagum… bukan yang lain. Tidak boleh lebih dari itu. Itu adalah suami orang. Lebih tepatnya, suami dari tante suaminya.

“Ra, aku harus balik. Terima kasih kopinya.”

Aura tergugah dari lamunannya ketika menyadari Pras sudah berdiri di dapur, membawa cangkir kopi yang tadi disuguhkannya.

“Oh! Om Pras... kenapa repot-repot bawa cangkir ke dapur?” Aura tergagap, terkejut oleh kehadiran Pras yang muncul tiba-tiba, tepat saat ia baru saja melamunkan betapa mengesankannya pria itu.

“Tidak apa, Ra. Sekalian mau bersihkan tumpahan kopinya.” Pras mengingatkan bahwa barusan Aura membuat kemeja dan celananya kotor.

Untung pria itu memakai celana jeans saat tumpahan kopi panas itu. Kalau tidak, Aura benar-benar harus dihukum karena membuat kulitnya melepuh.

Ketika pria itu tiba-tiba membuka kancing kemejanya satu per satu, menampakkan dada bidang dan perut berototnya yang terbentuk sempurna, Aura terbengong. Menelan salivanya. Antara mengagumi dan resah.

Apa yang akan dilakukan paman suaminya itu dengan membuka kemejanya di depan matanya?

Sejenak dunia seolah berhenti berputar.

Tiba-tiba, Pras menghampiri. Menarik tubuh Aura ke dadanya dan mencium bibirnya. Tangan kekarnya mengangkat tubuh ramping itu dan mendudukkannya di meja bar dapur. Lalu mereka akan berlanjut ke—

“Aura?”

Panggilan itu membuatnya tersentak. Ternyata Aura terlalu over thinking

Lamunan itu buyar. Pras masih berdiri di sana, menatapnya yang terbengong.

“Apa? Eh, iya, Om?”

“Kenapa kau malah melamun?”

“B-bukan, Om. Aku hanya…” Aura tergagap menyembunyikan betapa malunya kalau Pras tahu apa yang barusan dilamunkannya.

“Bisakah pinjami kemeja Arman? Aku harus langsung ke kantor setelah ini.” Pras menyahut.

“O-oh, baik, Om. Akan aku ambilkan.” Menyembunyikan kegugupannya, Aura langsung berlalu untuk mengambilkan kemeja milik suaminya.

Sementara Pras hanya tersenyum tipis dan menggeleng pelan mentaap gadis itu.  

Di dalam kamar, Aura menepuk kepalanya sendiri. Konyol. Gelisah melihat dirinya yang tiba-tiba berhalusinasi.

Kenapa bisa sampai membayangkan yang bukan-bukan?

Apa karena dirinya sedang... begitu kritis? Merasa kesepian? Tak pernah terpuaskan di ranjang oleh sang suami? Hingga sampai sebegitunya membayangkan bermesraan dengan sang paman suaminya?

Masih dia terus terganggu. Dia tak sepantasnya sampai membayangkan bermesraan dengan Pras. Dia paman suaminya. Dan dia juga sudah punya istri, Tante Veni. Apa layak Aura berpikir Pras akan menyerangnya tadi?

Astaga…

Teringat Pras sedang menunggunya, Aura langsung mengambilkan kemeja Arman—juga celananya. Ia memilihkan yang ukurannya sedikit lebih besar, karena Pras lebih tinggi dari Arman. Semoga tidak terlalu jauh selisihnya.

“Aku sudah bersihkan celanaku, mungkin sebentar lagi kering. Pinjam kemejanya saja,” ujar Pras yang baru keluar dari kamar mandi.

“Oh, maaf ya, Om. Aku kurang hati-hati. Kemeja Om jadi ikut kotor.”

“Tidak apa. Aku langsung ke kantor,” jawab Pras datar, lalu berlalu begitu saja setelah mengenakan kemeja Arman yang terasa sedikit ketat di bahunya.

Aura menatap kemeja Pras yang tertinggal di kursi. Ia mengambilnya. Niatnya: mencuci sendiri, menyetrika, dan mengantarkannya langsung besok—sekalian mengunjungi Oma Eliyas.

Selesai dicuci, dikeringkan, dan disetrika, Aura memfoto kemeja itu, lalu mengirimkan pesan:

[Om, kemejanya sudah bersih lagi. Besok aku antar ke rumah, ya?]

Tidak ada balasan. Mungkin Pras sedang sibuk. Aura kembali membuka laptopnya, mencoba fokus. Tapi tangannya gatal terus ingin mengecek layar ponsel. Barangkali Pras sudah membaca dan membalasnya.

Tapi sepertinya... belum.

Aura jadi heran. Kenapa dia jadi tidak sabar menunggu pesan dari paman suaminya? Padahal ia hanya ingin memastikan kemeja itu sampai ke tangan yang benar.

Saat hendak meletakkan ponselnya, tiba-tiba muncul notifikasi pop-up dari Pras.

[Tidak perlu. Kapan-kapan saja aku ambil sendiri.]

Membaca itu, Aura menghela napas. Entah karena perasaannya yang masih tidak enak, atau karena kata-kata dalam pesan itu terasa dingin—bahkan seperti menyiratkan kejengahan.

Bagaimana jika Pras menilainya lancang? Atau terlalu perhatian?

Aura berharap, jangan sampai paman suaminya itu berpikir seolah-olah dirinya mencari alasan untuk bertemu dengannya lagi.

.

.

.

<Next>

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   7. Tragedi Secangkir Kopi

    Aura langsung menarik tangannya. Tertunduk dan gugup. Takut Pras marah atas kelakuannya itu.Namun pria itu hanya berkata dengan tenang, “Tidak apa, ini bisa kuatasi. Biarkan aku zoom dulu.”“B-baik, Om…” ujar Aura, bangkit dan berlalu meninggalkan Pras.Aura segera masuk ke dapur, bersandar pada dinding ruangan itu untuk menetralkan debaran jantungnya. Dari tempat itu, Aura bisa mendengar dengan jelas suara Pras yang memimpin rapat. Tegas, berwibawa, dan jelas. Sempat membandingkan, kenapa suaminya tidak bisa seperti pamannya itu? Kalau Arman sedikit saja memiliki sikap seperti sang paman, Aura akan lebih jatuh cinta padanya... Sayangnya, meski mereka memiliki ikatan darah, Arman dan sang paman adalah dua pria dengan pribadi yang berbeda. Tanpa sadar, ia menatap ke arah ruang tamu. Lelaki itu duduk tegap, memberi arahan ke timnya. Aura menatap lebih lama daripada yang seharusnya.Dalam hati, ada kekaguman yang tumbuh. Diam-diam dan lembut.Namun Aura cepat-cepat membuang wajah. I

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   6. Mengantar Suami Berangkat

    Aura dan Arman tiba di rumah Oma Eliyas pagi itu. Sang Nyonya Besar sudah menunggu mereka di ruang makan, dengan sarapan yang tersaji rapi. Wajahnya berseri melihat pasangan muda itu datang.“Wah, kau tambah cantik saja, Aura. Berapa lama kita tak bertemu? Oma sampai pangling,” ucapnya hangat.Aura tersenyum malu. “Ah, Oma bisa saja...”Arman memandang istrinya penuh kebanggaan. Aura memang berdandan lebih cantik pagi ini. Ia ingin tampil sempurna, agar suaminya membawa kenangan yang indah sebelum berangkat ke Oxford.“Dukung semua langkah suamimu, Ra,” ucap Oma kemudian, serius namun lembut. “Dia sedang meniti masa depannya.”“Iya, Oma. Aura pasti dukung Mas Arman sepenuhnya.”Nyonya Eliyas mengelus lembut lengan Aura, isyarat kasih yang tak banyak kata. Ia memang sangat menyayangi cucunya, dan kini berusaha juga menyayangi menantunya seperti anak sendiri.Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar. Pras muncul dari arah lorong, hanya mengenakan kaus abu-abu yang melekat pas di

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   5. Dikecewakan Lagi

    “Maaf untuk yang tadi, Om…” ucap Aura pelan, menunduk. Wajahnya masih menyisakan rona malu. Perilakunya barusan, memeluk pria ini dalam keadaan berpakaian minim, sungguh tak pantas. Pria ini adalah paman suaminya. Tapi tadi Aura bertingkah seolah kehilangan akal sehat.Pras hanya tersenyum. Ia menyodorkan segelas air. “Tak apa. Kau tadi ketakutan.”Hanya jawaban sederhana. Tapi terasa menenangkan.Mereka sempat berbincang sebentar tentang malam perpisahan yang berakhir kacau karena Arman meninggalkannya. Pras, yang jelas-jelas kesal pada Arman, bahkan sempat menghubungi keponakannya itu.“Kalau kau tidak bisa menjemput istrimu sendiri, biar aku yang antar!” ucapnya tadi, tegas. Aura bisa merasakan nada marah di balik suara tenangnya.Kini, di perjalanan pulang, mobil terasa senyap. Aura duduk di kursi penumpang dengan tubuh kaku, pikirannya berkecamuk. Kejadian tadi—tak sengaja memeluk Pras dengan tubuh setengah telanjang, lalu melihat ekspresi paman suaminya itu saat lampu menyala—se

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   4. Meminta Tolong Paman

    Meski hatinya terasa pedih karena setiap umpatan sang suami, Aura tetap berlari mengejar Arman. Dia tidak ingin ditinggalkan begitu saja—tidak seperti ini.Namun langkahnya terhenti saat menyadari ia masih mengenakan gaun "haram" itu—gaun yang sejak awal Arman tentang. Napasnya memburu. Dada sesak. Tapi ia mencoba menenangkan diri.Dengan tangan gemetar, Aura meraih ponsel dari atas meja dan segera mencoba menghubungi Arman. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tidak diangkat. Napasnya makin tak beraturan, tapi ia terus mencoba. Baru pada panggilan kelima, suara itu terdengar.“Mas Arman... maaf,” ucap Aura lirih, nadanya memelas. “Tolong jangan marah...”Ia berharap Arman melunak, berharap suaminya kembali ke kamar hotel yang telah mereka pesan bersama—bukan begini akhir malam mereka.Tapi suara Arman dingin. Bahkan lebih dingin dari AC kamar yang tak ia rasakan lagi sejak tadi.“Aku sudah di perjalanan pulang. Kalau kamu masih mau pulang, pesan taksi atau ojek online!”“Mas...”Tapi panggil

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   3. Tak Bisa Memuaskan

    Aura tidak mau kehilangan momen ini. Besok suaminya akan berangkat ke Oxford dan tidak tahu kapan bisa pulang untuk mengunjunginya. Jadi dia berdandan dengan begitu seksi. Hanya memakai lingeri warna merah menyala, menerawang, hingga apa yang ada di baliknya terlihat mengintip nakal.Aura sengaja tak memakai apapun lagi agar Arman bisa lebih bergairah.“Mas?” panggilnya sembari tersenyum menggoda.Sesaat melihat istrinya secantik itu, Arman melongo. Jakunnya naik turun dan tatapannya menyala.“Kau cantik sekali, Ra.” Pujinya sembari mengeratkan rahangnya. Namun ada sorot keraguan yang terpancar saat Aura menyentaknya.“Kok diam saja, Mas? Ayo, serang aku sayang.” goda Aura dengan nada nakal. Arman mendekat, menarik tubuh Aura lalu menciuminya dengan intens.Aura baru menikmati ciuman itu. Hanya saja tiba-tiba Arman langsung mengangkat tubuh Aura dan menidurkannya di ranjang. Gerakannya kasar membuka kedua paha Aura dan tanpa aba-aba dia langsung memasukinya.“AHH, MAS!” Jerit

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   2. Selalu Mengalah Demi Cinta

    “Kau kelihatan tidak suka mendengar hal itu, Ra?” Arman perhitungan melihat istrinya tak memberikan selamat dan senyum atas kabar yang menurutnya bahagia ini.“Tentu suka, Mas. Selamat…” ucapan itu tak sepenuh hati keluar namun Aura sudah terbiasa memulas kesedihannya dengan senyuman di depan suaminya itu. Lelaki ini, seakan tak pernah cukup dengan pencapaian yang sudah didapat.Sudah mengoleksi gelar, jabatan, kehormatan. Tapi masih ingin lebih. Dan jelas, pendidikan itu tidak hanya akan memakan waktu sebulan atau dua bulan, bukan?“Semalam aku sibuk mempersiapkan banyak hal karena ini, Sayang. Kau tahu kan, aku ini dosen. Selayaknya punya gelar yang lebih tinggi dan kualifikasi yang memadahi.”Aura hanya bisa mengangguk. Dia tahu kalau suaminya sudah memutuskan, maka tidak akan bisa berubah. “Berapa lama, Mas?” tanya Aura, tidak ada kata lain selain mendukung suaminya itu.“Setahun saja, Sayang. Aku bakal sering pulang kok,” katanya santai.Seolah satu tahun adalah waktu yang seb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status