Share

Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah
Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah
Penulis: Dinara L.A

Bab 1 Menemukan KB Bekas Pakai

“Ini apa, ya?” Aku bergumam saat satu telapak tangan menyentuh sesuatu di bawah bantal yang sedang kutiduri.

Aku terbangun dan lekas mengangkat bantal tersebut. Pupil mata langsung melebar saat netra menangkap alat kontrasepsi yang berisi cairan khas itu. Terkejut bukan main. Pasalnya selama ini setiap kali kami melakukan hubungan suami-istri, tidak pernah suami memakai KB berbahan lateks itu.

Lantas kenapa kontrasepsi bekas pakai ini bisa ada diranjangku? Apa jangan-jangan selama aku bekerja, Mas Hans … Tidak! Dia adalah sosok suami yang begitu setia. Akan tetapi, bukankah tidak ada yang tidak mungkin?

“Awas saja kalau berani mengkhianatiku, akan kujadikan gembel kamu, Mas!”

Kedua tangan mengepal, napas berat naik turun dan mukaku terasa sangat memanas. Seperti lava yang meletup-letup dari puncak gunung berapi.

Terdengar suara dari handle pintu kamar ada yang memutar. Segera kututup kembali apa yang telah kutemukan dengan bantal. Dalam keadaan marah, biasanya keputusan yang keluar tidak akan bijak. Aku tidak mau gegabah. Harus kuselidiki terlebih dahulu apa sebenarnya yang terjadi?

“Ayang, ini susu hangatnya,” seru Hans setelah daun pintu terbuka.

Lalu, ia duduk di tepi ranjang dan memberikan segelas susu hangat untukku. Hal ini sudah biasa dilakukannya setiap malam.

“Terima kasih.”

Aku meneguk susu hangat tersebut langsung hingga tandas. Sebagai bentuk emosiku yang tidak terlampiaskan.

“Ayang, kenapa wajahmu memerah sekali?” Ia pun segera mengecek suhu tubuhku dengan menempelkan telapak tangan di dahi, “tapi, enggak panas,” sambung Hans.

“Oh, aku kegerahan. Panas sekali udaranya,” jawabku asal.

“Panas?” dahinya mengernyit. Kemudian ia meraih remot AC di atas meja.

“Jangan!”

“Lho, katanya kegerahan?”

“Sudah, lebih baik kita tidur saja. Besok aku harus pagi-pagi berangkat ke kantor,” tukasku.

“Baiklah.”

Sejatinya, Hans memang suami penurut.

Aku memejamkan mata. Pura-pura beranjak menjemput mimpi. Hans berbaring di sampingku, seperti biasa tangannya akan memeluk. Setelah sekitar satu jam, dengkur halusnya baru terdengar sebagai tanda ia sudah pulas.

Dengan pelan kuangkat tangannya yang menempel di tubuh. Hal pertama yang kulakukan adalah mengecek ponsel milik Hans. Tentu, aku leluasa memeriksa apa saja yang ada di dalamnya. Sebab, ponsel dia tidak pernah memakai PIN atau pun kata sandi sebagai pengaman. Hans memang sangat terbuka kepadaku. Rasanya tidak mungkin kalau dia berkhianat. Tetapi, apa salahnya jika aku waspada?

Kubuka aplikasi chat berwarna hijau. Bisa dilihat riwayat chatingan, hanya seputar teman-temannya dulu sewaktu bekerja di pabrik. Ya, suamiku sebelumnya adalah salah satu karyawan pabrik sepatu. Ia memegang jabatan Supervisor (SPV) dengan gaji sekitar enam juta. Sayang sekali, karirnya harus berakhir karena dituduh korupsi. Kalau mengingat hal itu, aku merasa kasihan sekali. Masih jelas dalam bayangan, bagaimana terpuruknya ia waktu itu.

Padahal, tidak mungkin suamiku korupsi. Untuk apa coba? Gajinya sangat cukup untuk biaya bensin dan rokok hingga sebulan. Sementara untuk kebutuhan hidup kami sehari-hari, penghasilanku sudah jauh mencukupi. Bukannya sombong, aku sebagai istri memang tidak pernah perhitungan.

Mataku menyipit kepada akun tanpa nama. Telunjuk langsung mengetuk hingga layar chat terbuka.

[Ini Hans Pratama, kan?] Chat dimulai dari akun tak dikenal.

[Iya. Ini siapa?]

[Coba cek foto profilku]

Refleks jariku ikut menyentuh akun tersebut. Tampak jelas foto seorang wanita berlesum pipi dan berkaca mata square. Deg! Jantungku memompa cepat. Sehingga darah terasa mendesir.

Apa Hans berselingkuh dengannya?

Kubaca kembali riwayat chat mereka.

[Clarisa, ya?]

[Kamu sudah lupa sama aku?] Diikuti emot meneteskan air mata.

[Tidaklah. Tidak mungkin lupa]

[Serius?]

[Iya]

[Ketemuan, yuk?]

Busyet ini cewek to the poin banget. Tanganku mulai bergetar dengan bibir yang kian mengatup.

[Tidak bisa]

Bikin anyep nih, jawaban Hans.

[Lho, kenapa?] Kali ini diikuti emot cemberut.

[Untuk apa? Tidak ada urusan]

Membaca balasan Hans, hatiku girang.

[Kamu, kok gitu banget. Sombongnya tidak pernah berubah dari dulu]

Jadi, Hans memang selalu seperti ini kepada cewek lain? Kedua pipiku terangkat menarik garis senyuman.

[Waktuku selalu habis bersama seseorang]

[Ih, kamu ini menjengkelkan! Habis dengan siapa, Hah?]

Mulutku yang terbuka lebar ditangkup cepat oleh telapak tangan. Agar tidak mengeluarkan suara cekikikan. Kedua sudut mata ikut mengkerut. Sebuah senyum tertahan terbit di wajah. Riang hati melihat foto mesra kami berdua yang dikirim Hans kepadanya.

[....] Balasan chatnya penuh dengan emot bertanduk sebagai tanda dia marah.

“Rasain kamu! Makanya jangan gatel sama suami orang.” Aku bergumam nyaris tak terdengar.

Jadi merasa bersalah sudah curiga sama suami sebaik dan seromantis Hans. Kupandangi wajah polosnya kala tertidur lelap.

Tiba-tiba ponsel Hans yang masih dalam genggaman bergetar. Nama 'Alam' menari-nari di layar.

Hah, ini siapa? Kenapa malam-malam menelepon? Alam? Temannya yang mana? Kok, aku merasa asing. Atau jangan-jangan ini sebuah nama yang dibalik.

ALAM = MALA

Seketika napasku kembali memburu cepat disusul gigi bergemeletuk.

Mataku masih menyalang melihat nama ‘Alam’ menari-nari di layar ponsel milik Hans.

“Lho, Ayang, kenapa enggak dianggkat saja?”

Suara Hans mengejutkanku. Entah sejak kapan dia sudah terbangun.

“Ini!” Kusodorkan ponselnya.

“Kamu saja yang angkat. Aku ngantuk banget.” Dia berujar enteng sambil menguap. Kemudian menarik selimutnya lagi.

“Mas ….”

“Heuh,” sahutnya dengan mata yang sudah terpejam.

Kugeser gambar telepon berwarna hijau ke atas. Kontak yang memanggil pun langsung tersambung.

“Halo, Pak Hans. Maaf nih, saya ganggu malam-malam.” Terdengar suara lelaki yang bicara. “Besok bunganya mau diantar jam berapa?” tanyanya.

Menit itu juga kuputuskan sambungan.

Apa Hans pesan bunga? Hatiku semakin gusar. Mana besok aku ada meeting penting lagi dengan klien. Aduh, gimana nih? Bagaimana pun ini tidak bisa dibiarkan. Harus terus diselidiki.

*

“Pagi, Ayang,” sapa Hans seraya menghujaniku dengan kecupan.

Aku menggeliat dan perlahan membuka mata. Setiap pagi, beginilah cara dia membangunkan istrinya. Apa indera penciumannya berfungsi dengan baik saat mengendus aroma orang yang baru bangun tidur?

“Hoam … Sudah jam berapa?”

“Jam tujuh. Oya, malam yang telepon mau apa?”

“Apa jam tujuh?” Kedua alisku hampir menyatu. Tidak kuhiraukan pertanyaannya.

Aku bergegas mandi dan siap-siap berangkat kerja. Pasalnya meeting penting itu akan dimulai jam delapan pagi.

“Ayang, sarapan dulu,” bujuk Hans dengan satu sendok nasi goreng yang siap meluncur ke mulutku.

“Enggak, Mas. Kan sudah aku bilang, aku tidak mau sarapan yang berat-berat. Badanku tambah melar, nih!”

“Yah, padahal aku sudah buatkan dengan penuh cinta.”

Hans tampak kecewa. Kulirik sepiring nasi goreng dengan telor ceplok berbentuk hati. Meski di rumah ini ada pembantu, tapi untuk urusan makan, dia selalu menyiapkannya untukku.

Seperti biasa aku tidak tega jika melihat raut wajahnya yang kecewa. “Ya, sudah lima sendok aja,” kataku pada akhirnya.

Hans selalu menggagalkan program dietku. Padahal berat badanku kini sudah jauh dari ideal. Bahkan lemak sudah mulai terlihat menumpuk di perut. Bagaimana tidak, Hans yang memang pintar masak, membuatku terus makan.

“Ayang, kamu itu ‘kan kerja setiap hari. Jadi, harus selalu sehat. Harus makan banyak.” Hans berujar sambil menyuapiku. Sementara aku sibuk dengan ponsel di tangan.

Suamiku memang selalu bilang, mau segendut apa pun, dia tidak akan mempermasalahkannya. Justru ia mengaku senang dengan perubahan badanku yang melar. Tambah seksi, pujinya.

Setelah rutinitas sarapan selesai, aku lekas menuju garasi tempat mobil kesayanganku berada.

“Mas, aku berangkat dulu. Uang buat jajan sudah aku transfer.”

“Aku jadi malu. Sampai kapan akan terus bergantung kepadamu?” Ia menunduk lesu.

“Tidak apa, Mas. Selagi aku bisa, kenapa tidak?”

“Aku janji, akan lebih giat lagi mencari kerja. Doakan, ya!”

“Iya, Mas. Assalamualaikum,” salamku mengakhiri obrolan.

Setiap bulan aku selalu mentransfer sejumlah uang ke rekening Hans. Dengan rincian untuk keperluan dia jajan termasuk rokok. Sisanya buat biaya adiknya yang masih kuliah juga biaya hidup ibu mertua sehari-hari. Sebab, ayah Hans yang menjadi tulang punggung sudah meninggal. Hans yang seharusnya menggantikan tanggung jawab nafkah, posisinya lagi nganggur juga. Jadi apa salahnya sebagai istri dan menantu yang baik, aku ikut berbakti. Toh, uang sejumlah itu tidaklah sulit aku dapatkan.

*

“Pagi Bu Salma,” sapa salah satu karyawanku.

“Pagi juga.”

Setiba di kantor aku langusng menuju ruang meeting karena jam sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima menit.

Terdengar ketukan bunyi high heel-ku beradu dengan lantai keramik. Kupercepat langkah setengah berlari.

“Hai, tumben datangnya mepet?” tegur Li Chen, si mata sipit.

“Iya, Bos,” jawabku sedikit terengah.

“Kamu lari? Ini minum dulu?” Dia menyodorkan sebotol air mineral yang segelnya sudah dibuka di depan mataku.

Aku lekas meneguknya hingga habis setengahnya. Untung di ruangan belum ada siapa-siapa. Sisa waktu sebelum klien datang, aku dan Li gunakan untuk membahas proyek yang akan segera digarap.

Perusahaan kami adalah perusahaan real estate yang terkenal di kota ini. Bisa dibilang aku adalah orang kepercayaan Li. Maka dari itu, walau secara jabatan dia adalah Bos dan aku bawahan, kami sangat akrab. Jika tidak ada rekan kerja lain, bahasa santai selalu menjadi pilihan.

“Permisi, Pak, Bu.” Siska, sekretaris Li datang ke ruangan.

“Iya, Sis.”

“Klien sudah datang di lobi dan sudah diarahkan menuju ruang meeting,” lapornya.

“Oh, iya. Terima kasih.”

Kami pun bersiap-siap dan menyambutnya. Kurapikan lagi baju dan rambut ala kadarnya. Li turut mebantu dengan membetulkan cepolku yang sedikit kusut.

Alhamdulillah, meeting berjalan lancar dan klien puas dengan penjelasan kami. Kesibukkan hari ini cukup menguras waktu sampai aku lupa dengan telepon semalam. Aku harus menyelidiki bunga yang dimaksudkan. Apa Hans memesan bunga? Untuk apa dan Siapa?

*

Setiba di rumah ternyata sudah pukul sepuluh malam. Sebab tadi ada lembur dadakan. Kalau tidak dibereskan sayang sekali. Kerjaan itu akan memberiku bonus jutaan rupiah.

Kurebahkan badan yang letih di sofa. Rumah sepi sekali. Apa Hans sudah tidur? Hari ini dia sama sekali tidak menghubungiku. Ada kesibukkan apa dia sampai lupa dengan istrinya? Jangan-jangan ada kaitannya dengan bunga yang dipesannya.

Tidak! Sebaiknya aku jangan berpikiran jauh dulu dalam keadaan lelah seperti ini. Aku berjalan gontai menuju kamar.

Kuputar handle, "lho, kok, dikunci?” Kugedor-gedor pintu, “Mas, buka!”

Malah terdengar grasak grusuk dari dalam kamar.

“Iya, sebentar!” sahutnya tergagap.

“Ngapain, sih? Kenapa harus dikunci segala? Cepat buka, Mas!” titahku tak sabar. Sebelumnya Hans belum pernah seperti ini.

“Bentar, Yang!”

“Cepetan! Aku capek!” nadaku semakin menghentak.

Sebenarnya sedang apa suamiku di dalam? Bahkan aku mendengar seperti ada suara yang tengah berbisik-bisik. Apa artinya ada dua orang?

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ana Widarti
seru ceritanya. bab awal sudah dibuat tegang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status