Home / Rumah Tangga / Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah / Bab 1 Menemukan KB Bekas Pakai

Share

Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah
Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah
Author: Dinara L.A

Bab 1 Menemukan KB Bekas Pakai

Author: Dinara L.A
last update Last Updated: 2023-05-04 06:13:08

“Ini apa, ya?” Aku bergumam saat satu telapak tangan menyentuh sesuatu di bawah bantal yang sedang kutiduri.

Aku terbangun dan lekas mengangkat bantal tersebut. Pupil mata langsung melebar saat netra menangkap alat kontrasepsi yang berisi cairan khas itu. Terkejut bukan main. Pasalnya selama ini setiap kali kami melakukan hubungan suami-istri, tidak pernah suami memakai KB berbahan lateks itu.

Lantas kenapa kontrasepsi bekas pakai ini bisa ada diranjangku? Apa jangan-jangan selama aku bekerja, Mas Hans … Tidak! Dia adalah sosok suami yang begitu setia. Akan tetapi, bukankah tidak ada yang tidak mungkin?

“Awas saja kalau berani mengkhianatiku, akan kujadikan gembel kamu, Mas!”

Kedua tangan mengepal, napas berat naik turun dan mukaku terasa sangat memanas. Seperti lava yang meletup-letup dari puncak gunung berapi.

Terdengar suara dari handle pintu kamar ada yang memutar. Segera kututup kembali apa yang telah kutemukan dengan bantal. Dalam keadaan marah, biasanya keputusan yang keluar tidak akan bijak. Aku tidak mau gegabah. Harus kuselidiki terlebih dahulu apa sebenarnya yang terjadi?

“Ayang, ini susu hangatnya,” seru Hans setelah daun pintu terbuka.

Lalu, ia duduk di tepi ranjang dan memberikan segelas susu hangat untukku. Hal ini sudah biasa dilakukannya setiap malam.

“Terima kasih.”

Aku meneguk susu hangat tersebut langsung hingga tandas. Sebagai bentuk emosiku yang tidak terlampiaskan.

“Ayang, kenapa wajahmu memerah sekali?” Ia pun segera mengecek suhu tubuhku dengan menempelkan telapak tangan di dahi, “tapi, enggak panas,” sambung Hans.

“Oh, aku kegerahan. Panas sekali udaranya,” jawabku asal.

“Panas?” dahinya mengernyit. Kemudian ia meraih remot AC di atas meja.

“Jangan!”

“Lho, katanya kegerahan?”

“Sudah, lebih baik kita tidur saja. Besok aku harus pagi-pagi berangkat ke kantor,” tukasku.

“Baiklah.”

Sejatinya, Hans memang suami penurut.

Aku memejamkan mata. Pura-pura beranjak menjemput mimpi. Hans berbaring di sampingku, seperti biasa tangannya akan memeluk. Setelah sekitar satu jam, dengkur halusnya baru terdengar sebagai tanda ia sudah pulas.

Dengan pelan kuangkat tangannya yang menempel di tubuh. Hal pertama yang kulakukan adalah mengecek ponsel milik Hans. Tentu, aku leluasa memeriksa apa saja yang ada di dalamnya. Sebab, ponsel dia tidak pernah memakai PIN atau pun kata sandi sebagai pengaman. Hans memang sangat terbuka kepadaku. Rasanya tidak mungkin kalau dia berkhianat. Tetapi, apa salahnya jika aku waspada?

Kubuka aplikasi chat berwarna hijau. Bisa dilihat riwayat chatingan, hanya seputar teman-temannya dulu sewaktu bekerja di pabrik. Ya, suamiku sebelumnya adalah salah satu karyawan pabrik sepatu. Ia memegang jabatan Supervisor (SPV) dengan gaji sekitar enam juta. Sayang sekali, karirnya harus berakhir karena dituduh korupsi. Kalau mengingat hal itu, aku merasa kasihan sekali. Masih jelas dalam bayangan, bagaimana terpuruknya ia waktu itu.

Padahal, tidak mungkin suamiku korupsi. Untuk apa coba? Gajinya sangat cukup untuk biaya bensin dan rokok hingga sebulan. Sementara untuk kebutuhan hidup kami sehari-hari, penghasilanku sudah jauh mencukupi. Bukannya sombong, aku sebagai istri memang tidak pernah perhitungan.

Mataku menyipit kepada akun tanpa nama. Telunjuk langsung mengetuk hingga layar chat terbuka.

[Ini Hans Pratama, kan?] Chat dimulai dari akun tak dikenal.

[Iya. Ini siapa?]

[Coba cek foto profilku]

Refleks jariku ikut menyentuh akun tersebut. Tampak jelas foto seorang wanita berlesum pipi dan berkaca mata square. Deg! Jantungku memompa cepat. Sehingga darah terasa mendesir.

Apa Hans berselingkuh dengannya?

Kubaca kembali riwayat chat mereka.

[Clarisa, ya?]

[Kamu sudah lupa sama aku?] Diikuti emot meneteskan air mata.

[Tidaklah. Tidak mungkin lupa]

[Serius?]

[Iya]

[Ketemuan, yuk?]

Busyet ini cewek to the poin banget. Tanganku mulai bergetar dengan bibir yang kian mengatup.

[Tidak bisa]

Bikin anyep nih, jawaban Hans.

[Lho, kenapa?] Kali ini diikuti emot cemberut.

[Untuk apa? Tidak ada urusan]

Membaca balasan Hans, hatiku girang.

[Kamu, kok gitu banget. Sombongnya tidak pernah berubah dari dulu]

Jadi, Hans memang selalu seperti ini kepada cewek lain? Kedua pipiku terangkat menarik garis senyuman.

[Waktuku selalu habis bersama seseorang]

[Ih, kamu ini menjengkelkan! Habis dengan siapa, Hah?]

Mulutku yang terbuka lebar ditangkup cepat oleh telapak tangan. Agar tidak mengeluarkan suara cekikikan. Kedua sudut mata ikut mengkerut. Sebuah senyum tertahan terbit di wajah. Riang hati melihat foto mesra kami berdua yang dikirim Hans kepadanya.

[....] Balasan chatnya penuh dengan emot bertanduk sebagai tanda dia marah.

“Rasain kamu! Makanya jangan gatel sama suami orang.” Aku bergumam nyaris tak terdengar.

Jadi merasa bersalah sudah curiga sama suami sebaik dan seromantis Hans. Kupandangi wajah polosnya kala tertidur lelap.

Tiba-tiba ponsel Hans yang masih dalam genggaman bergetar. Nama 'Alam' menari-nari di layar.

Hah, ini siapa? Kenapa malam-malam menelepon? Alam? Temannya yang mana? Kok, aku merasa asing. Atau jangan-jangan ini sebuah nama yang dibalik.

ALAM = MALA

Seketika napasku kembali memburu cepat disusul gigi bergemeletuk.

Mataku masih menyalang melihat nama ‘Alam’ menari-nari di layar ponsel milik Hans.

“Lho, Ayang, kenapa enggak dianggkat saja?”

Suara Hans mengejutkanku. Entah sejak kapan dia sudah terbangun.

“Ini!” Kusodorkan ponselnya.

“Kamu saja yang angkat. Aku ngantuk banget.” Dia berujar enteng sambil menguap. Kemudian menarik selimutnya lagi.

“Mas ….”

“Heuh,” sahutnya dengan mata yang sudah terpejam.

Kugeser gambar telepon berwarna hijau ke atas. Kontak yang memanggil pun langsung tersambung.

“Halo, Pak Hans. Maaf nih, saya ganggu malam-malam.” Terdengar suara lelaki yang bicara. “Besok bunganya mau diantar jam berapa?” tanyanya.

Menit itu juga kuputuskan sambungan.

Apa Hans pesan bunga? Hatiku semakin gusar. Mana besok aku ada meeting penting lagi dengan klien. Aduh, gimana nih? Bagaimana pun ini tidak bisa dibiarkan. Harus terus diselidiki.

*

“Pagi, Ayang,” sapa Hans seraya menghujaniku dengan kecupan.

Aku menggeliat dan perlahan membuka mata. Setiap pagi, beginilah cara dia membangunkan istrinya. Apa indera penciumannya berfungsi dengan baik saat mengendus aroma orang yang baru bangun tidur?

“Hoam … Sudah jam berapa?”

“Jam tujuh. Oya, malam yang telepon mau apa?”

“Apa jam tujuh?” Kedua alisku hampir menyatu. Tidak kuhiraukan pertanyaannya.

Aku bergegas mandi dan siap-siap berangkat kerja. Pasalnya meeting penting itu akan dimulai jam delapan pagi.

“Ayang, sarapan dulu,” bujuk Hans dengan satu sendok nasi goreng yang siap meluncur ke mulutku.

“Enggak, Mas. Kan sudah aku bilang, aku tidak mau sarapan yang berat-berat. Badanku tambah melar, nih!”

“Yah, padahal aku sudah buatkan dengan penuh cinta.”

Hans tampak kecewa. Kulirik sepiring nasi goreng dengan telor ceplok berbentuk hati. Meski di rumah ini ada pembantu, tapi untuk urusan makan, dia selalu menyiapkannya untukku.

Seperti biasa aku tidak tega jika melihat raut wajahnya yang kecewa. “Ya, sudah lima sendok aja,” kataku pada akhirnya.

Hans selalu menggagalkan program dietku. Padahal berat badanku kini sudah jauh dari ideal. Bahkan lemak sudah mulai terlihat menumpuk di perut. Bagaimana tidak, Hans yang memang pintar masak, membuatku terus makan.

“Ayang, kamu itu ‘kan kerja setiap hari. Jadi, harus selalu sehat. Harus makan banyak.” Hans berujar sambil menyuapiku. Sementara aku sibuk dengan ponsel di tangan.

Suamiku memang selalu bilang, mau segendut apa pun, dia tidak akan mempermasalahkannya. Justru ia mengaku senang dengan perubahan badanku yang melar. Tambah seksi, pujinya.

Setelah rutinitas sarapan selesai, aku lekas menuju garasi tempat mobil kesayanganku berada.

“Mas, aku berangkat dulu. Uang buat jajan sudah aku transfer.”

“Aku jadi malu. Sampai kapan akan terus bergantung kepadamu?” Ia menunduk lesu.

“Tidak apa, Mas. Selagi aku bisa, kenapa tidak?”

“Aku janji, akan lebih giat lagi mencari kerja. Doakan, ya!”

“Iya, Mas. Assalamualaikum,” salamku mengakhiri obrolan.

Setiap bulan aku selalu mentransfer sejumlah uang ke rekening Hans. Dengan rincian untuk keperluan dia jajan termasuk rokok. Sisanya buat biaya adiknya yang masih kuliah juga biaya hidup ibu mertua sehari-hari. Sebab, ayah Hans yang menjadi tulang punggung sudah meninggal. Hans yang seharusnya menggantikan tanggung jawab nafkah, posisinya lagi nganggur juga. Jadi apa salahnya sebagai istri dan menantu yang baik, aku ikut berbakti. Toh, uang sejumlah itu tidaklah sulit aku dapatkan.

*

“Pagi Bu Salma,” sapa salah satu karyawanku.

“Pagi juga.”

Setiba di kantor aku langusng menuju ruang meeting karena jam sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima menit.

Terdengar ketukan bunyi high heel-ku beradu dengan lantai keramik. Kupercepat langkah setengah berlari.

“Hai, tumben datangnya mepet?” tegur Li Chen, si mata sipit.

“Iya, Bos,” jawabku sedikit terengah.

“Kamu lari? Ini minum dulu?” Dia menyodorkan sebotol air mineral yang segelnya sudah dibuka di depan mataku.

Aku lekas meneguknya hingga habis setengahnya. Untung di ruangan belum ada siapa-siapa. Sisa waktu sebelum klien datang, aku dan Li gunakan untuk membahas proyek yang akan segera digarap.

Perusahaan kami adalah perusahaan real estate yang terkenal di kota ini. Bisa dibilang aku adalah orang kepercayaan Li. Maka dari itu, walau secara jabatan dia adalah Bos dan aku bawahan, kami sangat akrab. Jika tidak ada rekan kerja lain, bahasa santai selalu menjadi pilihan.

“Permisi, Pak, Bu.” Siska, sekretaris Li datang ke ruangan.

“Iya, Sis.”

“Klien sudah datang di lobi dan sudah diarahkan menuju ruang meeting,” lapornya.

“Oh, iya. Terima kasih.”

Kami pun bersiap-siap dan menyambutnya. Kurapikan lagi baju dan rambut ala kadarnya. Li turut mebantu dengan membetulkan cepolku yang sedikit kusut.

Alhamdulillah, meeting berjalan lancar dan klien puas dengan penjelasan kami. Kesibukkan hari ini cukup menguras waktu sampai aku lupa dengan telepon semalam. Aku harus menyelidiki bunga yang dimaksudkan. Apa Hans memesan bunga? Untuk apa dan Siapa?

*

Setiba di rumah ternyata sudah pukul sepuluh malam. Sebab tadi ada lembur dadakan. Kalau tidak dibereskan sayang sekali. Kerjaan itu akan memberiku bonus jutaan rupiah.

Kurebahkan badan yang letih di sofa. Rumah sepi sekali. Apa Hans sudah tidur? Hari ini dia sama sekali tidak menghubungiku. Ada kesibukkan apa dia sampai lupa dengan istrinya? Jangan-jangan ada kaitannya dengan bunga yang dipesannya.

Tidak! Sebaiknya aku jangan berpikiran jauh dulu dalam keadaan lelah seperti ini. Aku berjalan gontai menuju kamar.

Kuputar handle, "lho, kok, dikunci?” Kugedor-gedor pintu, “Mas, buka!”

Malah terdengar grasak grusuk dari dalam kamar.

“Iya, sebentar!” sahutnya tergagap.

“Ngapain, sih? Kenapa harus dikunci segala? Cepat buka, Mas!” titahku tak sabar. Sebelumnya Hans belum pernah seperti ini.

“Bentar, Yang!”

“Cepetan! Aku capek!” nadaku semakin menghentak.

Sebenarnya sedang apa suamiku di dalam? Bahkan aku mendengar seperti ada suara yang tengah berbisik-bisik. Apa artinya ada dua orang?

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ana Widarti
seru ceritanya. bab awal sudah dibuat tegang
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 75 Cinta Sejati

    Kami menyerahkan masalah terkait teman Daffa yang melecehkan Qia kepada pengacara. Biarlah pengacara yang mengurusi segalanya. Sedangkan aku dan Irsyad fokus kepada dampak psikologis putri kami itu.Irsyad mengkonsultasikan masalah Qia kepada psikolog anak terbaik di kota Bandung. Kami masih beruntung, karena dampaknya belum terlalu jauh. Mungkin karena efek ada pembelaan juga dari Daffa sebagai kakak. Jadi rasa aman itu masih ada. Meski ada trauma berupa sedikit ketakutan kepada semua teman laki-laki di sekolahnya.Setelah 3 kali konsultasi, Alhamdulillah bisa dibilang Qia pulih. Kami memutuskan kalau Qia tidak masuk ke sekolah terlebih dahulu.“Bagaimana kalau kita liburan. Kalian mau ke negara mana?” tanya Irsyad di suatu sore.“Negara?” Daffa membelalak tak percaya. Sungguh terasa mimpi. Selama ini ingin sekedar berlibur ke tempat wisata terdekat saja tidak pernah kesampaian. Lalu tiba-tiba ia diajak ayah angkatnya berlibur ke luar negri.“Iya. Dafa sukanya Negara mana?” t

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 74 Masalah Daffa

    Aku dan Irsyad tentu panik saat Qia mengatakan kalau Daffa hilang. Orang dalam rumah semua berlarian mencari ke setiap sudut. Termasuk kami sebagai orang tua baru. Daffa benar-benar tak ditemukan.Lemas. Tungkaiku mendadak tak ada daya dan melorot ke lantai.“Dek!” Irsyad memburu dan memapahku untuk duduk di sofa. Sedangkan salah seorang asisten rumah bergegas membawakan segelas air minum. “Bang, kenapa Daffa pergi? Kemana dia? Bukankah ini baru pertama kali di Bandung? Kalau dia diculik atau dalam bahaya gimana?” Aku mencecar suami dengan segala pikiran burukku.Sungguh tak pernah terpikirkan jika Daffa akan pergi dari rumah. Dia tampak baik-baik saja dan tidak keberatan. Lalu hal apa yang membuat ia akhirnya memutuskan pergi? Kepala ini sakit sekali saat berusaha mencari jawabannya.“Tuan, apa kita nggak lapor polisi saja?” saran satpam rumah kami.“Belum 24 jam. Tidak bisa,” tangkas Irsyad.“Lagian, kenapa juga sampai tidak ada yang melhat Daffa pergi?” Nadaku ngegas kal

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 73 Anugerah

    Hari ini, kami mempersiapkan kamar untuk Daffa. Salah satu kamar tamu, akan disulap jadi kamar anak. Qia turut serta memilihkan segala macam fortnitur untuk keperluar kamar kakaknya itu. Sedangkan Daffa sendiri lebih banyak terdiam. Keceriaan belum kembali hiasi hari-harinya. Tentu saja jejak kesedihan ditinggal Meti masih berbekas luka.“Daf, kamu mau gambar apa?” tanyaku saat memilih seprei.“Bagaimana Ibu saja,” jawabnya pasrah.Ada rasa kagum di hati ini. Umumnya anak kekurangan seperti Daffa saat ditawari kemewahan akan antusias dan senang. Berbeda dengannya yang seolah semua ini tidak ada arti bila dibandingkan dengan kehadiran sang mama. Sekali pun Meti bukanlah orang tua yang baik. Sekali pun hidup bersama Meti, ia harus bekerja keras.Karena Daffa menyerahkan semua pilihan, jadi aku dan Qia saja yang memutuskan. Tak ingin berlama-lama belanja, kami segera menyelesaikannya. Aku juga tidak mau pusing-pusing menimbang untuk memilih. Asalkan sesuai dengan anak lelaki seumuran Daf

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 72 Keputusan

    Tiga bulan kemudian. “Hallo, Bu … Ma-ma, mama su-dah dipang-gil oleh Allah,” ucapnya terdengar serak di sambungan telepon. “Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Aku, Irsyad dan Qia langsung berangkat ke Sukabumi untuk melayat.Sesampainya ternyata Meti baru saja sudah dikebumikan. Masih beruntung warga sekitar peduli dan mau mengurusi. Dengar-dengar marbot mesjid yang paling berjasa membantu. Karena beliau katanya cukup dekat dengan Daffa meski tidak ada hubungan darah.Di rumah duka, aku tidak melihat ibunya Hans atau Dea. Kata Daffa, merek memang belum dikasih tahu.Kini bocah hitam kurus itu tampak sembab juga kuyu. Kepergian sang mama benar-benar menyisakan duka yang mendalam."Maaf sudah menghubungi ibu dan bapak. Itu permintaan terakhir mama." Daffa merasa bersalah."Tidak perlu minta maaf, Nak. Kami pasti datang saat seperti ini." Irsyad yang menyahut."Iya, Nak." Aku duduk di tepat di sampingnya. Membelai lembut Surai Daffa. Terbersit rasa iba dan tak tega kepadanya.Kini di

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 71 Rencana

    POV. 3Dengan tubuh yang ringkih Meti berusaha untuk ke kamar mandi. Setidaknya ia harus cuci muka sebelum memutuskan keluar rumah.Daffa yang baru datang beli nasi uduk pagi ini terkejut melihat mamanya kepayahan. Ia lekas memburu untuk membantu."Mama mau kemana? Kenapa nggak tunggu aku aja?""Cuma mau ke kamar mandi. Mama kuat kok, Daffa."Meti menolak untuk dibantu. Ia ingin melakukannya sendiri meski dengan gerakan lamban. Daffa hanya memperhatikan tak berani membantah. Sebab, kalau mamanya sudah bersikukuh dan jika ia memaksa, maka akan kena marah.Meti sampai juga di kamar mandi yang langsung aroma tak sedap tercium dari dalam. Begitu masuk, lantainya juga kotor serta licin. Jika ia sedang kuat, biasanya ia sendiri yang sikat dan kuras. Namun, akhir-akhir ini tenaganya seolah terus tersedot oleh rasa nyeri.Masih dalam gerakan lamban Meti menggosok gigi serta mencuci muka. Setelah itu kembali ke kamar dan memilih pakaian terbaiknya."Mama mau kemana?""Mama ada perlu sama papam

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 70 Mendung

    Meti tampak sudah putus asa. “Apa kamu melakukan pengobatan?” “Sekarang sudah tidak lagi."“Lho, kenapa? Kamu jangan menyerah, demi Daffa.” Aku mengulanginya. Berharap, Meti tetap hidup dan Daffa tetap tumbuh bersamanya. Maaf, aku merasa tidak siap mengurus anak itu.“Sudah kubilang jangan beri aku harapan!” nadanya penuh penekanan. “Semuanya akan sia-sia. Lihatlah ini!” sambung Meti seraya membuka ciputnya.Aku terperangah saat melihat kepala tanpa sehelai rambut. Sepertinya Meti sudah benar-benar hilang harapan.Hari beranjak semakin sore. Sebentar lagi magrib datang. Setelah mengobrol panjang, Daffa tetap mau tinggal dengan mama-nya. Sebetulnya yang merayu untuk tinggal bersama kami hanya Irsyad. Aku hanya diam dan tak berani membantah. Sebelum pulang, aku meninggalkan nomer kontak. Jadi kalau ada apa-apa, mereka tinggal menghubungi. Kurasa kebaikanku sudah lebih dari cukup.Namun saat Irsyad berikan sejumlah uang, baik anak ata

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 69 Luka Lama

    Akhirnya urusan Irsyad sudah selesai. Dia langsung menjemput kami dari rumah neneknya Qia. Mengingat mami sedang kurang fit di rumah, jadi kami memutuskan untuk langsung pulang lagi ke Bandung.Namun, sebelum pulang, kami membeli dulu oleh-oleh khas Sukabumi. Pilihan jatuh kepada Mochi. Sebuah kue yang terbuat dari beras ketan, bertekstur lembut dan lengket. Bercita rasa manis dengan aneka varian isi.Usai membeli oleh-oleh sampai bagasi mobil penuh, kami melanjutkan perjalanan pulang. “Ayah, tolong berhenti!” teriak Qia tiba-tiba.“Ada apa, Sayang?” Irsyad terkejut.“Berhenti dulu, Yah!” pintanya lagi.Irsyad pun menepikan mobil.“Ada apa, Nak?” tanyaku.“Mom, itu anak yang tadi!” tunjuknya kepada sosok anak yang sedang berjalan di trotoar.“Oh, iya.”“Anak yang tadi apa, sih?” Aku pun menceritakan tentang tadi sewaktu di Mesjid.“Kasihan, Yah,” ujar Qia.“Hei, Dek! Sini sebentar!” Irsyad melambaikan tangan ke anak itu.Anak itu tampak celingukan. “Saya?” Ia menunjuk dirinya sendir

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 68 Bocah Hitam

    Jika biasanya pengantin baru berbulan madu hanya berdua, berbeda dengan kami. Aku dan Irsyad memilih untuk memboyong dua keluarga yang baru bersatu ini. Awalnya tentu keluarga kami menolak karena berpikiran akan mengganggu. Akan tetapi kami terus bersikukuh untuk mengajaknya.Aku, Irsyad, Qia, mama, papa, mami serta asisten rumah tangganya yang sudah dianggap keluarga itu menghabiskan waktu keliling Indonesia. Dari mulai Gorontalo, Bangka Belitung, Lombok, Bali, hingga pulau Komodo. Kami benar-benar berlibur.“Mih, malam ini Qia biar tidur sama kita aja,” tawar Irsyad.“Enggak! Qia malam ini giliran tidur dengan Mama lagi, Syad.”“Mah. Aku juga kangen sama Qia,” ucapku.“Kalian ‘kan bisa sama Qia siangnya. Malamnya biar Qia tidur sama Mama, ya!”Sejak pergi bulan muda, belum pernah sekalipun Qia tidur bersama aku dan ayahnya. Oya, anakku memanggil Irsyad dengan sebutan ‘ayah’. Kami sangat paham kenapa orang tuaku dan mami Mohan melakukan semua itu.Mereka hanya ingin agar kami bisa

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 67 Hangat

    Karena kami sudah menyelenggarakan pernikahan di ballroomnya, pihak hotel memberikan hadiah menginap gratis satu malam pasca resepsi.Saat pintu kamar terbuka wewangian langsung menguar dari dalam. Terlihat taburan kelopak mawar merah muda di atas bad ukuran king. Di tengah bad ada sepasang handuk berbentuk angsa dalam posisi beradu. Kemudian ada beberapa balon berbentuk hati menggantung di langit kamar. Serta pencahayaan remang dari lampu tumblr menambah kesan semakin romantis.Irsyad menggandengku untuk duduk di tepi ranjang.Tik tok tik tok, bunyi jarum jam yang berputar begitu terdengar jelas bagi kami saat ini. Jarumnya sudah menunjukkan pukul 22.30 Wib.“Eum … karena kita sudah menikah, enaknya aku panggil apa, ya?”“Tidak tahu,” jawabku seraya menunduk malu.Sungguh tidak disangka, seorang yang sudah lama kukenal, seorang teman, seorang rekan, dan seorang Bos, bisa membuat jantungku dag Dig Duk tidak karuan seperti ini. “Aku panggil kamu … Sayang?” Aku menggeleng karena mirip

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status