“Ini apa, ya?” Aku bergumam saat satu telapak tangan menyentuh sesuatu di bawah bantal yang sedang kutiduri.
Aku terbangun dan lekas mengangkat bantal tersebut. Pupil mata langsung melebar saat netra menangkap alat kontrasepsi yang berisi cairan khas itu. Terkejut bukan main. Pasalnya selama ini setiap kali kami melakukan hubungan suami-istri, tidak pernah suami memakai KB berbahan lateks itu.Lantas kenapa kontrasepsi bekas pakai ini bisa ada diranjangku? Apa jangan-jangan selama aku bekerja, Mas Hans … Tidak! Dia adalah sosok suami yang begitu setia. Akan tetapi, bukankah tidak ada yang tidak mungkin?“Awas saja kalau berani mengkhianatiku, akan kujadikan gembel kamu, Mas!”Kedua tangan mengepal, napas berat naik turun dan mukaku terasa sangat memanas. Seperti lava yang meletup-letup dari puncak gunung berapi. Terdengar suara dari handle pintu kamar ada yang memutar. Segera kututup kembali apa yang telah kutemukan dengan bantal. Dalam keadaan marah, biasanya keputusan yang keluar tidak akan bijak. Aku tidak mau gegabah. Harus kuselidiki terlebih dahulu apa sebenarnya yang terjadi? “Ayang, ini susu hangatnya,” seru Hans setelah daun pintu terbuka. Lalu, ia duduk di tepi ranjang dan memberikan segelas susu hangat untukku. Hal ini sudah biasa dilakukannya setiap malam. “Terima kasih.” Aku meneguk susu hangat tersebut langsung hingga tandas. Sebagai bentuk emosiku yang tidak terlampiaskan. “Ayang, kenapa wajahmu memerah sekali?” Ia pun segera mengecek suhu tubuhku dengan menempelkan telapak tangan di dahi, “tapi, enggak panas,” sambung Hans. “Oh, aku kegerahan. Panas sekali udaranya,” jawabku asal. “Panas?” dahinya mengernyit. Kemudian ia meraih remot AC di atas meja. “Jangan!” “Lho, katanya kegerahan?”“Sudah, lebih baik kita tidur saja. Besok aku harus pagi-pagi berangkat ke kantor,” tukasku.“Baiklah.”Sejatinya, Hans memang suami penurut.Aku memejamkan mata. Pura-pura beranjak menjemput mimpi. Hans berbaring di sampingku, seperti biasa tangannya akan memeluk. Setelah sekitar satu jam, dengkur halusnya baru terdengar sebagai tanda ia sudah pulas.Dengan pelan kuangkat tangannya yang menempel di tubuh. Hal pertama yang kulakukan adalah mengecek ponsel milik Hans. Tentu, aku leluasa memeriksa apa saja yang ada di dalamnya. Sebab, ponsel dia tidak pernah memakai PIN atau pun kata sandi sebagai pengaman. Hans memang sangat terbuka kepadaku. Rasanya tidak mungkin kalau dia berkhianat. Tetapi, apa salahnya jika aku waspada?Kubuka aplikasi chat berwarna hijau. Bisa dilihat riwayat chatingan, hanya seputar teman-temannya dulu sewaktu bekerja di pabrik. Ya, suamiku sebelumnya adalah salah satu karyawan pabrik sepatu. Ia memegang jabatan Supervisor (SPV) dengan gaji sekitar enam juta. Sayang sekali, karirnya harus berakhir karena dituduh korupsi. Kalau mengingat hal itu, aku merasa kasihan sekali. Masih jelas dalam bayangan, bagaimana terpuruknya ia waktu itu.Padahal, tidak mungkin suamiku korupsi. Untuk apa coba? Gajinya sangat cukup untuk biaya bensin dan rokok hingga sebulan. Sementara untuk kebutuhan hidup kami sehari-hari, penghasilanku sudah jauh mencukupi. Bukannya sombong, aku sebagai istri memang tidak pernah perhitungan.Mataku menyipit kepada akun tanpa nama. Telunjuk langsung mengetuk hingga layar chat terbuka.[Ini Hans Pratama, kan?] Chat dimulai dari akun tak dikenal.[Iya. Ini siapa?][Coba cek foto profilku]Refleks jariku ikut menyentuh akun tersebut. Tampak jelas foto seorang wanita berlesum pipi dan berkaca mata square. Deg! Jantungku memompa cepat. Sehingga darah terasa mendesir.Apa Hans berselingkuh dengannya?Kubaca kembali riwayat chat mereka.[Clarisa, ya?][Kamu sudah lupa sama aku?] Diikuti emot meneteskan air mata.[Tidaklah. Tidak mungkin lupa][Serius?][Iya][Ketemuan, yuk?]Busyet ini cewek to the poin banget. Tanganku mulai bergetar dengan bibir yang kian mengatup.[Tidak bisa]Bikin anyep nih, jawaban Hans.[Lho, kenapa?] Kali ini diikuti emot cemberut.[Untuk apa? Tidak ada urusan]Membaca balasan Hans, hatiku girang.[Kamu, kok gitu banget. Sombongnya tidak pernah berubah dari dulu]Jadi, Hans memang selalu seperti ini kepada cewek lain? Kedua pipiku terangkat menarik garis senyuman.[Waktuku selalu habis bersama seseorang][Ih, kamu ini menjengkelkan! Habis dengan siapa, Hah?]Mulutku yang terbuka lebar ditangkup cepat oleh telapak tangan. Agar tidak mengeluarkan suara cekikikan. Kedua sudut mata ikut mengkerut. Sebuah senyum tertahan terbit di wajah. Riang hati melihat foto mesra kami berdua yang dikirim Hans kepadanya.[....] Balasan chatnya penuh dengan emot bertanduk sebagai tanda dia marah.“Rasain kamu! Makanya jangan gatel sama suami orang.” Aku bergumam nyaris tak terdengar.Jadi merasa bersalah sudah curiga sama suami sebaik dan seromantis Hans. Kupandangi wajah polosnya kala tertidur lelap.Tiba-tiba ponsel Hans yang masih dalam genggaman bergetar. Nama 'Alam' menari-nari di layar.Hah, ini siapa? Kenapa malam-malam menelepon? Alam? Temannya yang mana? Kok, aku merasa asing. Atau jangan-jangan ini sebuah nama yang dibalik.ALAM = MALASeketika napasku kembali memburu cepat disusul gigi bergemeletuk. Mataku masih menyalang melihat nama ‘Alam’ menari-nari di layar ponsel milik Hans. “Lho, Ayang, kenapa enggak dianggkat saja?” Suara Hans mengejutkanku. Entah sejak kapan dia sudah terbangun. “Ini!” Kusodorkan ponselnya.“Kamu saja yang angkat. Aku ngantuk banget.” Dia berujar enteng sambil menguap. Kemudian menarik selimutnya lagi.“Mas ….”“Heuh,” sahutnya dengan mata yang sudah terpejam.Kugeser gambar telepon berwarna hijau ke atas. Kontak yang memanggil pun langsung tersambung.“Halo, Pak Hans. Maaf nih, saya ganggu malam-malam.” Terdengar suara lelaki yang bicara. “Besok bunganya mau diantar jam berapa?” tanyanya.Menit itu juga kuputuskan sambungan.Apa Hans pesan bunga? Hatiku semakin gusar. Mana besok aku ada meeting penting lagi dengan klien. Aduh, gimana nih? Bagaimana pun ini tidak bisa dibiarkan. Harus terus diselidiki.*“Pagi, Ayang,” sapa Hans seraya menghujaniku dengan kecupan.Aku menggeliat dan perlahan membuka mata. Setiap pagi, beginilah cara dia membangunkan istrinya. Apa indera penciumannya berfungsi dengan baik saat mengendus aroma orang yang baru bangun tidur?“Hoam … Sudah jam berapa?”“Jam tujuh. Oya, malam yang telepon mau apa?”“Apa jam tujuh?” Kedua alisku hampir menyatu. Tidak kuhiraukan pertanyaannya.Aku bergegas mandi dan siap-siap berangkat kerja. Pasalnya meeting penting itu akan dimulai jam delapan pagi.“Ayang, sarapan dulu,” bujuk Hans dengan satu sendok nasi goreng yang siap meluncur ke mulutku.“Enggak, Mas. Kan sudah aku bilang, aku tidak mau sarapan yang berat-berat. Badanku tambah melar, nih!”“Yah, padahal aku sudah buatkan dengan penuh cinta.”Hans tampak kecewa. Kulirik sepiring nasi goreng dengan telor ceplok berbentuk hati. Meski di rumah ini ada pembantu, tapi untuk urusan makan, dia selalu menyiapkannya untukku.Seperti biasa aku tidak tega jika melihat raut wajahnya yang kecewa. “Ya, sudah lima sendok aja,” kataku pada akhirnya.Hans selalu menggagalkan program dietku. Padahal berat badanku kini sudah jauh dari ideal. Bahkan lemak sudah mulai terlihat menumpuk di perut. Bagaimana tidak, Hans yang memang pintar masak, membuatku terus makan.“Ayang, kamu itu ‘kan kerja setiap hari. Jadi, harus selalu sehat. Harus makan banyak.” Hans berujar sambil menyuapiku. Sementara aku sibuk dengan ponsel di tangan.Suamiku memang selalu bilang, mau segendut apa pun, dia tidak akan mempermasalahkannya. Justru ia mengaku senang dengan perubahan badanku yang melar. Tambah seksi, pujinya.Setelah rutinitas sarapan selesai, aku lekas menuju garasi tempat mobil kesayanganku berada.“Mas, aku berangkat dulu. Uang buat jajan sudah aku transfer.”“Aku jadi malu. Sampai kapan akan terus bergantung kepadamu?” Ia menunduk lesu.“Tidak apa, Mas. Selagi aku bisa, kenapa tidak?”“Aku janji, akan lebih giat lagi mencari kerja. Doakan, ya!”“Iya, Mas. Assalamualaikum,” salamku mengakhiri obrolan.Setiap bulan aku selalu mentransfer sejumlah uang ke rekening Hans. Dengan rincian untuk keperluan dia jajan termasuk rokok. Sisanya buat biaya adiknya yang masih kuliah juga biaya hidup ibu mertua sehari-hari. Sebab, ayah Hans yang menjadi tulang punggung sudah meninggal. Hans yang seharusnya menggantikan tanggung jawab nafkah, posisinya lagi nganggur juga. Jadi apa salahnya sebagai istri dan menantu yang baik, aku ikut berbakti. Toh, uang sejumlah itu tidaklah sulit aku dapatkan.*“Pagi Bu Salma,” sapa salah satu karyawanku.“Pagi juga.”Setiba di kantor aku langusng menuju ruang meeting karena jam sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima menit.Terdengar ketukan bunyi high heel-ku beradu dengan lantai keramik. Kupercepat langkah setengah berlari.“Hai, tumben datangnya mepet?” tegur Li Chen, si mata sipit.“Iya, Bos,” jawabku sedikit terengah.“Kamu lari? Ini minum dulu?” Dia menyodorkan sebotol air mineral yang segelnya sudah dibuka di depan mataku.Aku lekas meneguknya hingga habis setengahnya. Untung di ruangan belum ada siapa-siapa. Sisa waktu sebelum klien datang, aku dan Li gunakan untuk membahas proyek yang akan segera digarap.Perusahaan kami adalah perusahaan real estate yang terkenal di kota ini. Bisa dibilang aku adalah orang kepercayaan Li. Maka dari itu, walau secara jabatan dia adalah Bos dan aku bawahan, kami sangat akrab. Jika tidak ada rekan kerja lain, bahasa santai selalu menjadi pilihan.“Permisi, Pak, Bu.” Siska, sekretaris Li datang ke ruangan.“Iya, Sis.”“Klien sudah datang di lobi dan sudah diarahkan menuju ruang meeting,” lapornya.“Oh, iya. Terima kasih.”Kami pun bersiap-siap dan menyambutnya. Kurapikan lagi baju dan rambut ala kadarnya. Li turut mebantu dengan membetulkan cepolku yang sedikit kusut.Alhamdulillah, meeting berjalan lancar dan klien puas dengan penjelasan kami. Kesibukkan hari ini cukup menguras waktu sampai aku lupa dengan telepon semalam. Aku harus menyelidiki bunga yang dimaksudkan. Apa Hans memesan bunga? Untuk apa dan Siapa?*Setiba di rumah ternyata sudah pukul sepuluh malam. Sebab tadi ada lembur dadakan. Kalau tidak dibereskan sayang sekali. Kerjaan itu akan memberiku bonus jutaan rupiah.Kurebahkan badan yang letih di sofa. Rumah sepi sekali. Apa Hans sudah tidur? Hari ini dia sama sekali tidak menghubungiku. Ada kesibukkan apa dia sampai lupa dengan istrinya? Jangan-jangan ada kaitannya dengan bunga yang dipesannya.Tidak! Sebaiknya aku jangan berpikiran jauh dulu dalam keadaan lelah seperti ini. Aku berjalan gontai menuju kamar.Kuputar handle, "lho, kok, dikunci?” Kugedor-gedor pintu, “Mas, buka!”Malah terdengar grasak grusuk dari dalam kamar.“Iya, sebentar!” sahutnya tergagap.“Ngapain, sih? Kenapa harus dikunci segala? Cepat buka, Mas!” titahku tak sabar. Sebelumnya Hans belum pernah seperti ini.“Bentar, Yang!”“Cepetan! Aku capek!” nadaku semakin menghentak.Sebenarnya sedang apa suamiku di dalam? Bahkan aku mendengar seperti ada suara yang tengah berbisik-bisik. Apa artinya ada dua orang?***Kugedor lagi pintu kamar dengan tak sabar. Grasak-grusuk itu masih terdengar. Setelah sekian purnama menunggu, pintu akhirnya dibuka. “Surprise!” seru Hans dengan kue tart berlilinkan angka 5 dan bertuliskan ‘Happy anniversary’. “Selamat hari pernikahan kita Ayang, istriku yang Solehah,” lanjut Hans. “Jadi, Mas bikin kejutan untukku?” Mata ini mulai berkabut.Sungguh terharu dengan momen yang Hans ciptakan. Jadi merasa bersalah karena sudah berpikiran negatif. “Iya, dong Ayang.” “Ih, aku pikir tadi ….”“Sudah, jangan mikir aneh-aneh. Ayo kita tiup lilinnya! Satu, dua, tiga!" Setelah lilin mati, aku digandengnya masuk lebih jauh ke dalam kamar. Mataku membeliak saat melihat lantai bertabur mawar. Di tengah kasur ada kelopak mawar merah berbentuk hati. Deretan lampu tumblr di dinding dengan tone warm menambah suasana semakin romantis dan intim. Mataku yang berkabut meleleh tanpa bisa kucegah lagi. Setelah menyimpan kue di meja, Hans langusng mendudukkanku di tepi ranjang. “Ayang
Aku segera meminta Li untuk mengantarkan ke Resto Kenanga. Jika sampai firasat tak enakku selama ini benar, terbukti Hans berkhianat, jangan harap ada ampun. Aku sudah menahan segala luapan emosi bak bom waktu yang tak lama lagi akan meledak.“Bisa cepatan dikit enggak, sih?" protesku kepada Li Chen.“Sabar, ini jalanan lumayan ramai.”“Tahu-tahu gini, aku tadi naik ojek aja.”“Sabar, Sal.” Li terus berusaha menenangkan.“Ih, sabar-sabar. Kamu mana ngerti. Makanya cepetan kawin, biar tahu rasanya gimana was-was saat pasangan bersama yang lain.”“Kenapa harus was-was? Toh, pasanganku nanti pasti setia.” Li begitu percaya diri.“Ekhm," tanggapku tak berarti apa-apa.Setelah sepuluh menit akhirnya sampai juga di Resto yang dimaksud. Harusnya bisa lebih cepat kalau Li tidak lamban. Mataku langsung membidik sebuah motor di parkiran. Bisa kupastikan itu motornya Hans.Sebisa mungkin kuatur napas agar tidak menderu dan terengah. Kuredam segala gejolak yang berdentum agar tak meledak
Kutemukan lagi alat kontrasepsi bekas pakai. Meski merasa jijik, aku terpaksa memungutnya untuk dibuang ke tong sampah.Seketika kepala ini terasa pusing sekali. Entah lelah karena pekerjaan yang menumpuk tadi di kantor, atau karena memikirkan apa yang baru saja kutemukan.Dada ini terasa terus menghimpit membuat ruang oksigen di paru semakin sempit. Usai mandi, tubuh penat menjadi segeran. Kujatuhkan bobot tubuh di sofa bed depan televisi ruang tengah. Bersantai sambil menunggu Hans pulang.Meski kedua mata tertuju ke layar kaca, tetapi pikiranku tak sama. Melayang dan menimbang apa yang harus kulakukan kepada Hans? Mengintrogasinya? Langsung menyerangnya? Apa selidiki diam-diam?Kuteringat akan cctv yang terpasang di depan rumah dan juga di ruangan ini. Lekas beranjak menuju ruang dimana aku dapat mengecek segala aktifitas yang terekam.Kuperiksa secara teliti. Perlahan tapi pasti. Kutonton apa yang tengah diputar di layar monitor PC. Hasilnya tidak ada orang lain yang masuk ke
Meski pesan dari nomer yang tidak dikenal itu cukup menghentak jantungku dan mengusik hati, tetap saja berusaha kuabaikan. Aku anggap saja itu hanya orang iseng.Ponselku bergetar. Mengejutkan aku yang masih melamunkan pesan asing itu. Segera kugeser ikon hijau di layar untuk mengangkat.“Hai Ayang, istriku tercinta. Aku kangen,” seru Hans setelah panggilan video terhubung.“Kalau kangen, kenapa pergi juga ke Bali?” Bibirku mengerucut.“Mohon pengertiannya, Ayang. Aku harus menjaga adikku satu-satunya dari lelaki badboy itu.”“Ya. Mas, sudah makan?”“Ini lagi makan.”“Mana? Kok, makanannya enggak kelihatan?”“Kan menu makannya kamu, Ayang. Hanya dengan melihat dan mendengarmu, aku pasti kenyang.”“Alah, gombal. Paling ada maunya. Apa kehabisan uang? Katakan butuh berapa?”“Idih, bukan! Aku benar-benar lagi butuh kamu. Di sini banyak sekali hilir mudik pasangan yang pamer kemesraan. Bikin hatiku kepanasan. Coba kamu ikut, Ayang. Suamimu ini tidak akan menderita.”“Ya, aku bi
KB-7 Heh, dia pikir aku akan melepaskannya begitu saja? Dengan perginya dari rumah ini, si Meti telah menabuh genderang perang. Nomer yang Anda hubungi sedang tidak aktif. Silahkan coba beberapa saat lagi. Suara operator seluler terdengar saat kucoba menghubungi nomer ponselnya. “Sudah kuduga.” Meski sedang tidak aktif, aku tetap mengirimkan sebuah pesan. Kuyakin sesekali ia akan mengaktifkannya untuk mengecek. [Beritahu aku, kalau tidak akan kudatangi keluargamu dan mempermalukanmu di sana.] Sejam, dua jam, pesan itu masih centang satu. Aku mondar-mandir dengan pikiran semrawut. Kalau sampai terbukti suamiku selingkuh dengannya, awas saja! Kuremas kepala yang kian pusing. Lambat laun, dadaku bergemuruh berdenyut nyeri. Apa mungkin suami sebaik Hans tega melakukan pengkianatan? Setelah apa yang kuberi selama ini. Dia juga selalu ada untukku. Bagaimana mungkin sampai kecolongan? Apa lagi kalau ia melakukannya dengan pembantu sialan itu. Oh, tidak! Kamarku, ranjangku, dipakai ber
“Iya, Bu. Foto Dea sewaktu kecil mana?”“Eeu … anu, itu.”“Apa, Bu? Kenapa enggak jelas?”“Foto Dea sewaktu kecil tidak ada.”“Lha, kok bisa?”“Hilang, ya, hilang albumnya.”“Jangan bohong, Bu! Kasih tahu aku yang sebenarnya!” tekanku.“Ibu tidak bohong, Mantu.”“Katakan! Dea itu siapa sebenarnya?” bentakku.“Mantu, kamu bentak Ibu?”“Ya. Memangnya kenapa? Kaget? Aku bisa bertindak lebih jauh dari ini.” Mataku menyalang.“Dea itu adiknya Hans. Memang siapa lagi?”“Jadi Ibu tetap tidak mau bilang? Tidak mau memberitahu aku?”“Apa yang harus Ibu bilang? Dea itu memang adiknya Hans,” kukuhnya.“Justru sikap Ibu menunjukkan sebaliknya.”“Apa maksudnya?”“Heh! Masih menanyakan apa maksudnya?”“Ibu benar-benar tidak mengerti.”“Aku akan memberi Hans, Ibu dan si Dea perhitungan.” Telunjukku mengacung ke mukanya.“Perhitungan apa, Mantu? Memangnya apa yang telah kami lakukan?”“Masih bertanya? Lucu!”Gegas aku beranjak dan menyambar tas untuk pergi dari rumah orang penip
Tubuhku terlonjak mundur saat dinding lemari bergeser pelan. Tak ayal seperti sebuah pintu rahasia yang pernah aku lihat di film. Kini dinding lemari yang terbuka setinggi aku berdiri dan selebar satu meteran membuat mata kian melebar.Kuayunkan langkah dengan pelan tapi pasti, melewati pintu yang baru saja terbuka. Ternyata terhubung ke sebuah ruangan berukuran sekitar 3x3 meter persegi. Di dalam hanya ada kardus-kardus menumpuk serta beberapa barang yang telah usang. Seperti sebuah gudang lebih tepatnya. Aku pikir akan ada banyak harta karun atau paling tidak sebuah rahasia.Tunggu! Kok, ada sebuah pintu lagi? Kumencoba melangkah lebih jauh, menghampiri pintu tersebut. Lalu diputar kenopnya, tetapi terkunci."Bagaimana ini?"Samar getar ponsel terdengar dari arah kamarku. Entah siapa yang menelepon. Aku segera keluar dari ruang rahasia."Hans? Ada apa dia menghubungi?"Mengambil napas panjang, terus embuskan. Aku harus terdengar baik-baik saja. Walau dalam dada bergemuruh. Rasanya i
Aku hanya membalas dengan anggukan."Emang, ya, Hera itu orangnya enggak jelas. Tertutup. Hanya Pak RT yang sering ketangkap basah bolak balik ke rumahnya. Secara Pak RT itu duda," terang salah satu tetangga."Tahun depan, kita ganti saja RT-nya," seru tukang warung."Iya, pasti ada apa-apanya," sahut si ibu tambun.Karena tidak terbiasa bergosip, kupingku berasa panas saat mendengar gunjingan mereka. Menyimak sebentar saja, bahuku diam-diam bergidik. Buru-buru kuselesaikan proses transaksi beli telurnya."Jadi berapa, Bu?""Dua puluh lima ribu, Neng."Kusodorkan uang selembar Soekarno-Hatta. Setelah mendapat kembalian aku lekas meninggalkan warung."Mari semua," pamitku."Iya, silahkan, Mbak."Sehabis dari warung aku langsung menuju dapur. Kuambil wajan dan menuangkan minyak goreng seperti yang biasa Hans lakukan."Telur ceplok sajalah yang gampang." Aku bergumam sendiri.Satu telur kupecahkan ke atas penggorengan dengan hati-hati. Eh, ya Allah, lupa kompornya belum dinyalakan. Karen