Share

Bab 2 Kesaksian Li Chen

Penulis: Dinara L.A
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-04 06:58:18

Kugedor lagi pintu kamar dengan tak sabar. Grasak-grusuk itu masih terdengar.

Setelah sekian purnama menunggu, pintu akhirnya dibuka.

“Surprise!” seru Hans dengan kue tart berlilinkan angka 5 dan bertuliskan ‘Happy anniversary’. “Selamat hari pernikahan kita Ayang, istriku yang Solehah,” lanjut Hans.

“Jadi, Mas bikin kejutan untukku?” Mata ini mulai berkabut.

Sungguh terharu dengan momen yang Hans ciptakan. Jadi merasa bersalah karena sudah berpikiran negatif.

“Iya, dong Ayang.”

“Ih, aku pikir tadi ….”

“Sudah, jangan mikir aneh-aneh. Ayo kita tiup lilinnya! Satu, dua, tiga!"

Setelah lilin mati, aku digandengnya masuk lebih jauh ke dalam kamar. Mataku membeliak saat melihat lantai bertabur mawar. Di tengah kasur ada kelopak mawar merah berbentuk hati. Deretan lampu tumblr di dinding dengan tone warm menambah suasana semakin romantis dan intim.

Mataku yang berkabut meleleh tanpa bisa kucegah lagi. Setelah menyimpan kue di meja, Hans langusng mendudukkanku di tepi ranjang.

“Ayang, kenapa menangis?” Tangannya mengelus-elus punggungku.

“Maafkan aku, Mas ….” Tangisku menyeruak.

“Lha, kok minta maaf?”

“Aku … sudah berprasangka buruk," ucapku tersendat-sendat karena menangis.

“Maksudnya?”

“Iya. Aku berpikiran macam-macam, yang enggak-enggak."

“Oh, pasti karena aku tidak menghubungimu seharian, ya? Aku sengaja Ayang. Kan aku siapkan kejutan ini. Aku udah nunggu kamu dari sore, tapi ternyata istriku ini lembur.”

“Pokoknya, aku minta maaf.”

“Cup, cup, cup, tak apa Ayang.”

Hans menyeka air mataku yang terus luruh.

“Terima kasih.” Kuhela napas panjang dan kuembuskan kembali.

“Ayang, emang kamu tidak ingat kalau hari ini, hari anniversary kita?”

“Maaf, juga. Lupa.” Nadaku berubah manja.

“Tidak apa. Asal jangan lupa dengan rutinitas selanjutnya,” ucap Hans dengan alis terangkat sebelah penuh kode.

Wajahku terasa menghangat. Kuyakin tulang pipiku merona melebihi warna blush on yang kupoles tadi pagi. “Tapi aku belum mandi. Badanku lengket.”

Hans hanya menanggapi dengan ulasan senyum singkat. Kedua tangannya langsung menangkup pipiku. Kemudian bibir kami bertemu secara intim. Atmosfer g4irah kini telah berjejal memenuhi ruang kamar. Kami tenggelam di dalamnya dengan rasa senang.

*

Pagi ini begitu cerah, secerah cinta Hans yang selalu bersinar di hidupku. Lelaki yang tengah sibuk memanggang roti untuk sarapan istrinya tampak begitu sempurna. Lima tahun bersama, ia masih sama dengan awal-awal kami menikah. Tak banyak yang berubah.

Hans seorang suami yang pengalah, pengertian dan romantis. Ia selalu punya cara untuk membuatku merasa berharga. Jika aku bekerja, maka setiap jam makan siang, ia rutin melakukan panggilan video call hanya untuk memastikan kalau aku benar-benar makan.

“Mas, maaf, aku belum bisa memberi anak,” sesalku.

“Tidak apa, Ayang. Sudah, jangan pikirkan terus!” Dia berujar santai.

Sebenarnya, bukan aku tidak subur. Aku sudah dua kali hamil. Akan tetapi, selalu keguguran. Sampai saat ini kami belum memutuskan untuk promil lagi. Pasalnya Hans tidak mau melihatku kesakitan saat keguguran seperti terakhir kali.

“Mas, kemarin aku liat status Dea di medsos.

Katanya dia mau ada study tour ke Bali, ya?”

Dea adalah adik satu-satunya Hans yang tengah berkuliah itu.

“Oh, iya. Kemarin dia juga telepon aku, biasa minta tambahan uang saku.”

“Terus, apa Mas kasih?”

“Maunya sih, aku kasih. Tapi, uang jatah dari kamu ‘kan mau dipakai buat ongkos cari kerja ke sana ke mari. Bertemu teman-teman juga sekadar mencari info lowongan.”

“Tumben, kenapa dia tidak minta kepadaku?”

“Aku melarangnya. Makanya kemarin dia merajuk dan mengadu kepada ibu. Untung saja ibu sependapat denganku.”

“Lho, kenapa dilarang?”

“Ya tidak enaklah, Ayang. Masa kami minta uang terus sama kamu.”

“Kalian ‘kan jarang minta. Memberi adalah kemauanku sendiri.”

“Justru karena itu, Ayang. Kami malu. Kamu terlalu baik. Sedangkan kami belum tentu bisa membalas jasa-jasamu.”

“Ya ampun, Mas. Aku tidak mengharapkan balasan. Dengan kamu tetap seperti ini saja, sudah cukup bagiku. Tanyakan saja pada Dea, dia butuh berapa buat ke Bali? Nanti aku transfer uangnya.” Aku sewot.

“Iya-iya. Nanti aku tanyakan. Terima kasih, Ayang.” Hans mengusap pucuk kepalaku.

“Oya, Mas. Aku juga ada kejutan untukmu.”

“Kejutan?”

“Nih!” Kusodorkan ponsel dengan layar yang menyala.

“Ini foto-foto mobil?”

“Iya. Pilihlah!”

“Maksud Ayang?”

“Pilih satu mobil yang Mas suka.”

“Kamu mau beli mobil baru? Terus mobil yang di garasi mau dikemanakan?”

“Aku memang mau beli mobil baru, Mas. Tapi bukan untukku. Pilihlah! Aku belikan untuk Mas.”

“Tidak, Ayang. Aku enggak enak. Sumpah! Emang sih, aku memimpikan untuk memiliki sebuah mobil. Tapi tentunya, beli dengan uangku sendiri nanti kalau sudah bekerja.”

“Sudah, pilih saja, Mas! Ini hadiah anniversary kita. Jangan tolak! Kalau enggak, aku akan merajuk, nih!” ancamku dengan bibir mengerucut.

“Eum … baiklah kalau kamu maksa. Aku tidak tahan jika kamu merajuk.”

Hans pun menggeser foto mobil satu demi satu di layar ponselku. Netranya terhenti di sebuah foto mobil pajero Sport.

“Mau yang itu, Mas?”

“Kalau kamu enggak keberatan.”

“Enggak mungkinlah, Mas. Kan aku yang tawarin. Jadi yang itu saja?”

Hans mengangguk. “Terima kasih, Ayang,” ucapnya disusul air mata yang menetes.

“Mas kenapa menangis?”

“Aku terharu, senang sekaligus sedih karena terus-terusan memakai uangmu.”

“Ampun, Mas. Aku ikhlas kok. Uangku, uangmu juga.”

Hans menghujaniku dengan kecupan. “Emmuach!”

“Sudah Mas, sudah! Make up-ku nanti luntur.”

“Oh, iya. Lupa.”

Kami pun tergelak bersama.

*

Hari ini aku lebih cepat menyelesaikan dokumen-dokumen yang menumpuk di meja kerja. Sesekali kutengok arloji yang setia melingkar di pergelangan tangan.

“Kamu kayak yang buru-buru, Sal,” tegur Li.

“Kebiasaan, masuk ruangan itu ketuk dulu.”

“Orang pintunya tidak tertutup sempurna.”

“Eh, Bos. Habis selesai ini, aku mau langsung balik," laporku.

“Kan kita mau survei tanah yang di desa Telaga.”

“Besok aja lagi, ya!”

“Emang kamu buru-buru balik mau ngapain?”

“Ada janji sama Hans, mau ke Dealer mobil.”

“Kamu serius mau belikan suamimu itu mobil?”

“Seriuslah.”

“Kamu jangan terlalu royal sama suami. Keenakan dia.”

“Suka-suka, dong.”

“Mentang-mentang dapat bonusan gedi kemaren.”

“Jadi nyesel kamu udah kasih aku bonus gedi?”

“Enggaklah. Itu sesuai dengan nilai kerja kamu.”

“Ya sudah. Enggak usah kepo.”

“Dibilangin kamu ini enggak pernah mau dengar. Kamu pasti nyesel nanti. Soalnya tadi aku lihat suamimu--”

“Apa? Kok, enggak dilanjut?”

“Tapi janji dulu, kamu akan baik-baik saja mendengarnya.”

“Iya, buruan apa?”

“Dia sama cewek di Resto Kenanga.”

Deg! Aku terlonjak. Darah mendesir menghantarkan panas tidak karuan.

“Serius kamu?”

“Serius.”

“Mungkin temannya.”

Aku mencoba untuk tidak berprasangka buruk terlebih dahulu.

“Sama teman kok, mesra. Ceweknya bergelayut manja.”

Pernyataannya seketika mematahkan argumen. Selama ini, setahuku Li bukanlah tipe orang yang suka berbohong. Jadi, apa yang dikatakannya bisa dipercaya.

“Kalau begitu antarkan aku ke Resto Kenanga sekarang juga!” titahku dengan tangan mengepal.

Mari kita buktikan ucapan Li Chen.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
salah Cucuk
biji burung
goodnovel comment avatar
Aisah Muhammad
Lagi seru membaca kok bab selanjutnya ga bisa dibuka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 75 Cinta Sejati

    Kami menyerahkan masalah terkait teman Daffa yang melecehkan Qia kepada pengacara. Biarlah pengacara yang mengurusi segalanya. Sedangkan aku dan Irsyad fokus kepada dampak psikologis putri kami itu.Irsyad mengkonsultasikan masalah Qia kepada psikolog anak terbaik di kota Bandung. Kami masih beruntung, karena dampaknya belum terlalu jauh. Mungkin karena efek ada pembelaan juga dari Daffa sebagai kakak. Jadi rasa aman itu masih ada. Meski ada trauma berupa sedikit ketakutan kepada semua teman laki-laki di sekolahnya.Setelah 3 kali konsultasi, Alhamdulillah bisa dibilang Qia pulih. Kami memutuskan kalau Qia tidak masuk ke sekolah terlebih dahulu.“Bagaimana kalau kita liburan. Kalian mau ke negara mana?” tanya Irsyad di suatu sore.“Negara?” Daffa membelalak tak percaya. Sungguh terasa mimpi. Selama ini ingin sekedar berlibur ke tempat wisata terdekat saja tidak pernah kesampaian. Lalu tiba-tiba ia diajak ayah angkatnya berlibur ke luar negri.“Iya. Dafa sukanya Negara mana?” t

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 74 Masalah Daffa

    Aku dan Irsyad tentu panik saat Qia mengatakan kalau Daffa hilang. Orang dalam rumah semua berlarian mencari ke setiap sudut. Termasuk kami sebagai orang tua baru. Daffa benar-benar tak ditemukan.Lemas. Tungkaiku mendadak tak ada daya dan melorot ke lantai.“Dek!” Irsyad memburu dan memapahku untuk duduk di sofa. Sedangkan salah seorang asisten rumah bergegas membawakan segelas air minum. “Bang, kenapa Daffa pergi? Kemana dia? Bukankah ini baru pertama kali di Bandung? Kalau dia diculik atau dalam bahaya gimana?” Aku mencecar suami dengan segala pikiran burukku.Sungguh tak pernah terpikirkan jika Daffa akan pergi dari rumah. Dia tampak baik-baik saja dan tidak keberatan. Lalu hal apa yang membuat ia akhirnya memutuskan pergi? Kepala ini sakit sekali saat berusaha mencari jawabannya.“Tuan, apa kita nggak lapor polisi saja?” saran satpam rumah kami.“Belum 24 jam. Tidak bisa,” tangkas Irsyad.“Lagian, kenapa juga sampai tidak ada yang melhat Daffa pergi?” Nadaku ngegas kal

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 73 Anugerah

    Hari ini, kami mempersiapkan kamar untuk Daffa. Salah satu kamar tamu, akan disulap jadi kamar anak. Qia turut serta memilihkan segala macam fortnitur untuk keperluar kamar kakaknya itu. Sedangkan Daffa sendiri lebih banyak terdiam. Keceriaan belum kembali hiasi hari-harinya. Tentu saja jejak kesedihan ditinggal Meti masih berbekas luka.“Daf, kamu mau gambar apa?” tanyaku saat memilih seprei.“Bagaimana Ibu saja,” jawabnya pasrah.Ada rasa kagum di hati ini. Umumnya anak kekurangan seperti Daffa saat ditawari kemewahan akan antusias dan senang. Berbeda dengannya yang seolah semua ini tidak ada arti bila dibandingkan dengan kehadiran sang mama. Sekali pun Meti bukanlah orang tua yang baik. Sekali pun hidup bersama Meti, ia harus bekerja keras.Karena Daffa menyerahkan semua pilihan, jadi aku dan Qia saja yang memutuskan. Tak ingin berlama-lama belanja, kami segera menyelesaikannya. Aku juga tidak mau pusing-pusing menimbang untuk memilih. Asalkan sesuai dengan anak lelaki seumuran Daf

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 72 Keputusan

    Tiga bulan kemudian. “Hallo, Bu … Ma-ma, mama su-dah dipang-gil oleh Allah,” ucapnya terdengar serak di sambungan telepon. “Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Aku, Irsyad dan Qia langsung berangkat ke Sukabumi untuk melayat.Sesampainya ternyata Meti baru saja sudah dikebumikan. Masih beruntung warga sekitar peduli dan mau mengurusi. Dengar-dengar marbot mesjid yang paling berjasa membantu. Karena beliau katanya cukup dekat dengan Daffa meski tidak ada hubungan darah.Di rumah duka, aku tidak melihat ibunya Hans atau Dea. Kata Daffa, merek memang belum dikasih tahu.Kini bocah hitam kurus itu tampak sembab juga kuyu. Kepergian sang mama benar-benar menyisakan duka yang mendalam."Maaf sudah menghubungi ibu dan bapak. Itu permintaan terakhir mama." Daffa merasa bersalah."Tidak perlu minta maaf, Nak. Kami pasti datang saat seperti ini." Irsyad yang menyahut."Iya, Nak." Aku duduk di tepat di sampingnya. Membelai lembut Surai Daffa. Terbersit rasa iba dan tak tega kepadanya.Kini di

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 71 Rencana

    POV. 3Dengan tubuh yang ringkih Meti berusaha untuk ke kamar mandi. Setidaknya ia harus cuci muka sebelum memutuskan keluar rumah.Daffa yang baru datang beli nasi uduk pagi ini terkejut melihat mamanya kepayahan. Ia lekas memburu untuk membantu."Mama mau kemana? Kenapa nggak tunggu aku aja?""Cuma mau ke kamar mandi. Mama kuat kok, Daffa."Meti menolak untuk dibantu. Ia ingin melakukannya sendiri meski dengan gerakan lamban. Daffa hanya memperhatikan tak berani membantah. Sebab, kalau mamanya sudah bersikukuh dan jika ia memaksa, maka akan kena marah.Meti sampai juga di kamar mandi yang langsung aroma tak sedap tercium dari dalam. Begitu masuk, lantainya juga kotor serta licin. Jika ia sedang kuat, biasanya ia sendiri yang sikat dan kuras. Namun, akhir-akhir ini tenaganya seolah terus tersedot oleh rasa nyeri.Masih dalam gerakan lamban Meti menggosok gigi serta mencuci muka. Setelah itu kembali ke kamar dan memilih pakaian terbaiknya."Mama mau kemana?""Mama ada perlu sama papam

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 70 Mendung

    Meti tampak sudah putus asa. “Apa kamu melakukan pengobatan?” “Sekarang sudah tidak lagi."“Lho, kenapa? Kamu jangan menyerah, demi Daffa.” Aku mengulanginya. Berharap, Meti tetap hidup dan Daffa tetap tumbuh bersamanya. Maaf, aku merasa tidak siap mengurus anak itu.“Sudah kubilang jangan beri aku harapan!” nadanya penuh penekanan. “Semuanya akan sia-sia. Lihatlah ini!” sambung Meti seraya membuka ciputnya.Aku terperangah saat melihat kepala tanpa sehelai rambut. Sepertinya Meti sudah benar-benar hilang harapan.Hari beranjak semakin sore. Sebentar lagi magrib datang. Setelah mengobrol panjang, Daffa tetap mau tinggal dengan mama-nya. Sebetulnya yang merayu untuk tinggal bersama kami hanya Irsyad. Aku hanya diam dan tak berani membantah. Sebelum pulang, aku meninggalkan nomer kontak. Jadi kalau ada apa-apa, mereka tinggal menghubungi. Kurasa kebaikanku sudah lebih dari cukup.Namun saat Irsyad berikan sejumlah uang, baik anak ata

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status