Share

Bab 2 Kesaksian Li Chen

Kugedor lagi pintu kamar dengan tak sabar. Grasak-grusuk itu masih terdengar.

Setelah sekian purnama menunggu, pintu akhirnya dibuka.

“Surprise!” seru Hans dengan kue tart berlilinkan angka 5 dan bertuliskan ‘Happy anniversary’. “Selamat hari pernikahan kita Ayang, istriku yang Solehah,” lanjut Hans.

“Jadi, Mas bikin kejutan untukku?” Mata ini mulai berkabut.

Sungguh terharu dengan momen yang Hans ciptakan. Jadi merasa bersalah karena sudah berpikiran negatif.

“Iya, dong Ayang.”

“Ih, aku pikir tadi ….”

“Sudah, jangan mikir aneh-aneh. Ayo kita tiup lilinnya! Satu, dua, tiga!"

Setelah lilin mati, aku digandengnya masuk lebih jauh ke dalam kamar. Mataku membeliak saat melihat lantai bertabur mawar. Di tengah kasur ada kelopak mawar merah berbentuk hati. Deretan lampu tumblr di dinding dengan tone warm menambah suasana semakin romantis dan intim.

Mataku yang berkabut meleleh tanpa bisa kucegah lagi. Setelah menyimpan kue di meja, Hans langusng mendudukkanku di tepi ranjang.

“Ayang, kenapa menangis?” Tangannya mengelus-elus punggungku.

“Maafkan aku, Mas ….” Tangisku menyeruak.

“Lha, kok minta maaf?”

“Aku … sudah berprasangka buruk," ucapku tersendat-sendat karena menangis.

“Maksudnya?”

“Iya. Aku berpikiran macam-macam, yang enggak-enggak."

“Oh, pasti karena aku tidak menghubungimu seharian, ya? Aku sengaja Ayang. Kan aku siapkan kejutan ini. Aku udah nunggu kamu dari sore, tapi ternyata istriku ini lembur.”

“Pokoknya, aku minta maaf.”

“Cup, cup, cup, tak apa Ayang.”

Hans menyeka air mataku yang terus luruh.

“Terima kasih.” Kuhela napas panjang dan kuembuskan kembali.

“Ayang, emang kamu tidak ingat kalau hari ini, hari anniversary kita?”

“Maaf, juga. Lupa.” Nadaku berubah manja.

“Tidak apa. Asal jangan lupa dengan rutinitas selanjutnya,” ucap Hans dengan alis terangkat sebelah penuh kode.

Wajahku terasa menghangat. Kuyakin tulang pipiku merona melebihi warna blush on yang kupoles tadi pagi. “Tapi aku belum mandi. Badanku lengket.”

Hans hanya menanggapi dengan ulasan senyum singkat. Kedua tangannya langsung menangkup pipiku. Kemudian bibir kami bertemu secara intim. Atmosfer g4irah kini telah berjejal memenuhi ruang kamar. Kami tenggelam di dalamnya dengan rasa senang.

*

Pagi ini begitu cerah, secerah cinta Hans yang selalu bersinar di hidupku. Lelaki yang tengah sibuk memanggang roti untuk sarapan istrinya tampak begitu sempurna. Lima tahun bersama, ia masih sama dengan awal-awal kami menikah. Tak banyak yang berubah.

Hans seorang suami yang pengalah, pengertian dan romantis. Ia selalu punya cara untuk membuatku merasa berharga. Jika aku bekerja, maka setiap jam makan siang, ia rutin melakukan panggilan video call hanya untuk memastikan kalau aku benar-benar makan.

“Mas, maaf, aku belum bisa memberi anak,” sesalku.

“Tidak apa, Ayang. Sudah, jangan pikirkan terus!” Dia berujar santai.

Sebenarnya, bukan aku tidak subur. Aku sudah dua kali hamil. Akan tetapi, selalu keguguran. Sampai saat ini kami belum memutuskan untuk promil lagi. Pasalnya Hans tidak mau melihatku kesakitan saat keguguran seperti terakhir kali.

“Mas, kemarin aku liat status Dea di medsos.

Katanya dia mau ada study tour ke Bali, ya?”

Dea adalah adik satu-satunya Hans yang tengah berkuliah itu.

“Oh, iya. Kemarin dia juga telepon aku, biasa minta tambahan uang saku.”

“Terus, apa Mas kasih?”

“Maunya sih, aku kasih. Tapi, uang jatah dari kamu ‘kan mau dipakai buat ongkos cari kerja ke sana ke mari. Bertemu teman-teman juga sekadar mencari info lowongan.”

“Tumben, kenapa dia tidak minta kepadaku?”

“Aku melarangnya. Makanya kemarin dia merajuk dan mengadu kepada ibu. Untung saja ibu sependapat denganku.”

“Lho, kenapa dilarang?”

“Ya tidak enaklah, Ayang. Masa kami minta uang terus sama kamu.”

“Kalian ‘kan jarang minta. Memberi adalah kemauanku sendiri.”

“Justru karena itu, Ayang. Kami malu. Kamu terlalu baik. Sedangkan kami belum tentu bisa membalas jasa-jasamu.”

“Ya ampun, Mas. Aku tidak mengharapkan balasan. Dengan kamu tetap seperti ini saja, sudah cukup bagiku. Tanyakan saja pada Dea, dia butuh berapa buat ke Bali? Nanti aku transfer uangnya.” Aku sewot.

“Iya-iya. Nanti aku tanyakan. Terima kasih, Ayang.” Hans mengusap pucuk kepalaku.

“Oya, Mas. Aku juga ada kejutan untukmu.”

“Kejutan?”

“Nih!” Kusodorkan ponsel dengan layar yang menyala.

“Ini foto-foto mobil?”

“Iya. Pilihlah!”

“Maksud Ayang?”

“Pilih satu mobil yang Mas suka.”

“Kamu mau beli mobil baru? Terus mobil yang di garasi mau dikemanakan?”

“Aku memang mau beli mobil baru, Mas. Tapi bukan untukku. Pilihlah! Aku belikan untuk Mas.”

“Tidak, Ayang. Aku enggak enak. Sumpah! Emang sih, aku memimpikan untuk memiliki sebuah mobil. Tapi tentunya, beli dengan uangku sendiri nanti kalau sudah bekerja.”

“Sudah, pilih saja, Mas! Ini hadiah anniversary kita. Jangan tolak! Kalau enggak, aku akan merajuk, nih!” ancamku dengan bibir mengerucut.

“Eum … baiklah kalau kamu maksa. Aku tidak tahan jika kamu merajuk.”

Hans pun menggeser foto mobil satu demi satu di layar ponselku. Netranya terhenti di sebuah foto mobil pajero Sport.

“Mau yang itu, Mas?”

“Kalau kamu enggak keberatan.”

“Enggak mungkinlah, Mas. Kan aku yang tawarin. Jadi yang itu saja?”

Hans mengangguk. “Terima kasih, Ayang,” ucapnya disusul air mata yang menetes.

“Mas kenapa menangis?”

“Aku terharu, senang sekaligus sedih karena terus-terusan memakai uangmu.”

“Ampun, Mas. Aku ikhlas kok. Uangku, uangmu juga.”

Hans menghujaniku dengan kecupan. “Emmuach!”

“Sudah Mas, sudah! Make up-ku nanti luntur.”

“Oh, iya. Lupa.”

Kami pun tergelak bersama.

*

Hari ini aku lebih cepat menyelesaikan dokumen-dokumen yang menumpuk di meja kerja. Sesekali kutengok arloji yang setia melingkar di pergelangan tangan.

“Kamu kayak yang buru-buru, Sal,” tegur Li.

“Kebiasaan, masuk ruangan itu ketuk dulu.”

“Orang pintunya tidak tertutup sempurna.”

“Eh, Bos. Habis selesai ini, aku mau langsung balik," laporku.

“Kan kita mau survei tanah yang di desa Telaga.”

“Besok aja lagi, ya!”

“Emang kamu buru-buru balik mau ngapain?”

“Ada janji sama Hans, mau ke Dealer mobil.”

“Kamu serius mau belikan suamimu itu mobil?”

“Seriuslah.”

“Kamu jangan terlalu royal sama suami. Keenakan dia.”

“Suka-suka, dong.”

“Mentang-mentang dapat bonusan gedi kemaren.”

“Jadi nyesel kamu udah kasih aku bonus gedi?”

“Enggaklah. Itu sesuai dengan nilai kerja kamu.”

“Ya sudah. Enggak usah kepo.”

“Dibilangin kamu ini enggak pernah mau dengar. Kamu pasti nyesel nanti. Soalnya tadi aku lihat suamimu--”

“Apa? Kok, enggak dilanjut?”

“Tapi janji dulu, kamu akan baik-baik saja mendengarnya.”

“Iya, buruan apa?”

“Dia sama cewek di Resto Kenanga.”

Deg! Aku terlonjak. Darah mendesir menghantarkan panas tidak karuan.

“Serius kamu?”

“Serius.”

“Mungkin temannya.”

Aku mencoba untuk tidak berprasangka buruk terlebih dahulu.

“Sama teman kok, mesra. Ceweknya bergelayut manja.”

Pernyataannya seketika mematahkan argumen. Selama ini, setahuku Li bukanlah tipe orang yang suka berbohong. Jadi, apa yang dikatakannya bisa dipercaya.

“Kalau begitu antarkan aku ke Resto Kenanga sekarang juga!” titahku dengan tangan mengepal.

Mari kita buktikan ucapan Li Chen.

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
salah Cucuk
biji burung
goodnovel comment avatar
Aisah Muhammad
Lagi seru membaca kok bab selanjutnya ga bisa dibuka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status