Laras berlari cepat ke parkiran rumah sakit di mana Sarah dirawat. Ketika Dokter Wan mengabarkan bahwa Zubaidah melahirkan di rumah sakit yang sama, dirinya segera menghubungi sang suami. Anton sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit membawa bayi Putri dan neneknya juga Bibi sebagai pengasuh. Mereka harus segera dihentikan agar jangan sampai bertemu Fadhil ataupun Zubaidah yang mungkin saja keluar ruang rawat menjenguk bayinya yang konon dirawat khusus di NICU karena lahir premature.“Ayo dong, Bi … angkat,” gumam Laras sambil terus menekan-nekan keypad gawainya lalu menempelkan ke telinga.Karena panggilan terus saja gagal wanita berjilbab panjang itu berinisiatif menunggu di loby. Benar saja tak berapa lama kendaraan dengan nomor polisi yang dikenalnya memasuki loby utama. Laras mengetuk kaca bagian pengemudi ketika mobil melambat. Jelas Anton jadi mengerutkan dahi melihat istrinya tampak panic.“Buka saja kuncinya biar aku masuk dulu.”Laras segera masuk ke jok tengah kendaraan
Fadhil nanar menatap sekumpulan keluarga besar yang sedang tertawa bahagia di taman sebuah rumah yang telah disulap menjadi aula pesta kebun yang semarak. Semesta seakan merestui hari bahagia itu dengan cuaca cerah langit memamerkan gemerlap bintang bermunculan ketika hari telah beranjak semakin malam. “Seharusnya aku yang ada di sana,” gumamnya sambil tak lepas memandang seorang wanita cantic yang bergelayut manja pada seorang pria tampan berkulit putih dengan anak perempuan mungil dalam gendongan. Itu adalah hari bahagia Sarah pada acara resepsi pernikahannya bersama Dokter Wan. “Sudahlah, Bang tak usah dilihat terus! Apa, Abang tak sadar itu sudah jadi masa lalu? Sekarang lihat kenyataan bahwa Sarah sudah bahagia dan kita juga harus melanjutkan hidup berusaha bahagia dengan keadaan yang ada,” kata Zubaidah sambil menggoyangkan lengan sang suami untuk menyadarkannya. SETAHUN YANG LALU Pada hari Zubaidah melahirkan seorang putra, Sarah sang madu juga tersadar dari baby blues ya
Sarah terkantuk di ruang tv. Kehamilan ketiga membuatnya tampak malas dan tak bertenaga. Usia Sarah memang tidak muda lagi. Demi merindukan seorang anak perempuan Sarah memaksakan diri berusaha hamil lagi. Beberapa kali gagal tidak membuatnya kapok menahan sakit oleh tindakan dokter setiap keguguran. Walaupun tak yakin benar-benar akan melahirkan anak perempuan, Sarah bahagia menjalani hari-hari kehamilan.“Tak apa... kalau memang laki-laki lagi, asalkan sehat pasti itulah yang terbaik Allah berikan padaku,” katanya legowo.Sarah bahkan tidak mau dokter memberitahukan perkiraan jenis kelamin yang terbaca saat di-USG.“Biarlah buat kejutan, Dok, yang penting sehat.”Tidak seperti Sarah yang bahagia dengan kehamilan itu, keluarga besar Sarah justru menatapnya prihatin.“Sarah ... untuk dua putra saja kau berjuang keras. Suamimu bukan lelaki yang berpikir dewasa mengikuti usianya. Bagaimana kau bisa berpikir m
Acara yang lancar siang tadi membuat Fadhil lega. Namun malam pertama ternyata membuatnya gelisah. Bayangan Sarah tak lepas dari kepala. Bukan. Bukan hanya karena secara fisik Sarah jauh lebih bisa membangkitkan hasrat walaupun telah memberinya anak-anak. Fadhil sadar bahwa cinta perlu proses. Begitupun dirinya dengan Sarah di waktu dulu.“Kenapa, Mas? Kau baik baik saja?” tanya Zubaidah lembut. Fadhil tergagap. Panggilan ‘mas’ dari Zubaidah membuatnya merasa tak nyaman.“Em, tak ada apa apa. Anu, kau bisa memanggilku, Abang. Bagaimana?” Dahi Zubaidah berkerur.“Kenapa?”“Tidak. Sarah sudah memanggilku begitu,” kata Fadhil ragu.“O, baiklah.” Wanita yang kini tak menggunakan hijabnya di depan sang suami hanya tersenyum maklum. Sungguh istri yang penurut tanpa banyak protes.Fadhil berteka
Sarah menyadari perubahan sikap Fadhil. Kalau dulu suaminya cenderung padanya, kini sebaliknya. Fadhil kerap berlaku curang pada jatah kunjungan padanya. Lebih sering tidur di kamar anak dengan dalih kangen atau di depan tv sambil nonton bola kesukaan dan tertidur hingga pagi. Sarah tak punya waktu untuk merayunya pindah ke kamar karena kesibukan siang hari sudah menyita tenaganya hingga tertidur lelap saat menemukan bantal di ranjangnya.“Sibuk.” Begitu alasan yang di dapat saat Sarah minta penjelasan.“Kau, kan juga sibuk sama anak-anak, nanti kecapekan kalau aku sering pulang ke rumahmu dan minta jatah lebih,” katanya sambil tersenyum tengil menutupi kesalahannya.Sarah ingin membantah dan mengingatkan kembali agar suami berlaku adil. Namun Sarah memilih diam. Percuma mengajak diskusi suami yang pasti akan berakhir dengan naiknya temperamen masing masing. Pembagian waktu bergilir antara Zubaida
Fadhil melangkah pelan-pelan menuju rumah Sarah. Ia menyusupkan tangan ke saku celana. Udara malam mebuatnya merasa sejuk. Sampai depan pagar dirinya tertegun. Suasana sangat sepi. Tak seorang pun terlihat di luar rumah. Hari memang sudah larut.“Ah, iya, kuncinya. Aku lupa di mana menyimpannya.” Fadhil hanya bisa terpaku menatap rumah.Pandangannya menyapu ke seluruh bagian di area depan rumahnya. Bangunan yang menjadi saksi perjuangannya bersama Sarah. Saat dirinya hanyalah pegawai lapangan dengan gaji mingguan yang sangat minim untuk mencukupin kebutuhan keluarga, Istrinya masih bisa menyisihkan untuk ditabung sampai terbeli sebuah rumah sederhana yang bangunannya telah rusak di sana sini.“Kita bangun rumah ini dengan keringat dan akrab sama lapar demi satu sak semen.” Fadhil menyentuk ujung matanya yang basah.Baru disadari rumah itu lebih asri dari sebelumnya. Tana
Di rumahnya, Zubaidah bersimbah air mata. Kepalanya dipenuhi bayangan sang suami. Selama di tanah suci kemarin Fadhil khusuk beribadah. Bersikap dingin padanya dan tidak banyak bicara. Berbeda sekali dengan awal rencana keberangkatan yang disambut dengan suka cita .Hingga pulang ke tanah air, lelaki yang kini telah merampas utuh seluruh hatinya itu tak bersemangat di setiap acara yang digelar di rumah istri keduanya. Hanya kata seperlunya saja yang keluar jika dimintai pendapat dan bantuan. Cukup dikerjakannya saja apa pun yang diminta Zubaidah tanpa banyak suara.Terakhir menyelinap pergi diam-diam saat keluarga besar sang istri masih berkumpul dan berbincang hangat. Sekarang telah dini hari tanpa kabar dan juga enggan menjawab panggilan. Hal itu jelas meresahkan hati dan pikirannya.“Ada apa kak?” Laras yang malam itu menginap tengah menidurkan anaknya di kamar tamu, mendengar isak tanggis kakaknya.
Laras meninggalkan rumah Zubaidah tanpa pamit. Kakaknya itu berdiam di kamar sampai siang. Setelah perdebatan bersama kakaknya hingga pagi, Laras tidak tidur lagi. Ia menguping segala yang terjadi di luar kamar. Laras tahu, kakaknya sangat sedih dan menyesal. Laras bertahan pura-pura mengabaikannya.“Kakak harus belajar.” Tekadnya bulat untuk membantu jangan sampai kakaknya itu salah jalan.Cinta dan kecemburuan memang acap kali membuat kecerdasan seseorang tiba tiba menghilang. Sebagai seorang guru di sekolah yang berbasis dakwa, Zubaidah sebenarnya sangat paham akan hukum agama juga hokum pernikahan poligami yang dilakukannya. Sayang ego dan napsunya membuat ilmu yang tinggi tak berfungsi sebagaimana mestinya.~Sore hari Laras membawa anaknya mengunjungi Sarah. Langkahnya pelan sambil menimbang, apa yang perlu disampaikan pada sahabatnya. Ada rasa bersalah akan sikap kakaknya. Bagaimanapun dirinyalah yang mendoro