Share

Entah Apa Rencana Semesta

Semesta Rain

Perasaanku mendadak tidak enak saat mendengar suara yang tidak asing sedang berbicara dengan Bu Asri, ketika aku sampai di perpustakaan. Suaranya yang dalam dan berat akan mudah dikenali oleh siapa pun. Apalagi, suara itulah yang sering kali menggerakkan mahasiswa untuk turun ke jalan pada momen-momen tertentu. Sang orator yang lebih dikenal slengekan ketika berada di kampus dan manusia paling absurd satu jurusan, terlebih ketika turun hujan. 

Benar saja dugaanku. Laki-laki itu duduk di sana. Saling berhadapan dengan Bu Asri yang terlihat kesal. Aku melihat beliau memukulkan sebuah buku yang sedang dibaca dan dihindari oleh laki-laki itu. 

Aksara. Wakil presma sekaligus ketua himpunan mahasiswa program studi di jurusanku itu selalu membuat ulah saat berhadapan dengan siapa pun. Tak heran jika Bu Asri terlihat kesal kepadanya. Lihat saja sikap usilnya itu, ingin rasanya aku menendang tulang kering laki-laki itu agar berhenti menggoda Bu Asri. 

"Oh Rain, datang juga kamu akhirnya," sambut Bu Asri sesaat setelah aku menyapa beliau dan meminta maaf karena sudah terlambat datang. "Aksa, kok malah bengong. Dia yang akan menjadi partner satu tim kamu."

Laki-laki itu menoleh ke arahku dan tersenyum seperti biasa. Senyum yang kata Aruna bisa meluluhkan hati perempuan mana pun yang melihatnya. Bahkan para kaum hawa di jurusan - terutama di kelasku - mengaminkan hal yang sama. Benarkah? Bagiku senyum laki-laki itu begitu menyebalkan. 

"Ada yang salah sama mata kau!"

Begitu kata Aruna saat aku mengatakan jika senyum yang ditunjukkan oleh Aksara hanyalah kepalsuan. Dia hanya dituntut untuk menjaga image tanpa pernah tulus tersenyum. Itulah yang kulihat dari senyumnya. Tidak ada ketulusan. 

"Hai adik, manis."

Lihat saja, caranya menyapa sangat menyebalkan. Sampah. Itu pula yang sering dia lakukan saat aku dan Aruna melewati tongkrongan anak jurusan di kantin belakang. Dia sering kali menggodaku dengan panggilan adik manis. Apa dia kira aku mau menjadi adik manisnya? Jangan harap!

Aku mengabaikan sapaan laki-laki itu dan duduk di kursi kosong di sampingnya. Siap menerima mandat dari Bu Asri. Aku yakin sekali, kali ini pun pasti akan diminta sebagai perwakilan kampus untuk mengikuti lomba. Entah baca ataupun tulis. Keahlian yang diwariskan oleh Mama. 

Huft ... Mengingat hal itu mendadak membuat dadaku terasa sesak. Tidak ada yang boleh mengetahui masa lalu yang ingin kukubur dalam-dalam. Tidak untuk saat ini. Hujan hari ini sudah cukup menguras tenaga. Aku tidak ingin terpuruk semakin dalam. 

"Ini sih bukan Herder, tapi Cihuahua. Kesannya boleh lucu, tetap saja menakutkan kalau sudah keluar taringnya."

"Aksa."

Aku tidak tahu pasti apa yang mereka obrolan sebelumnya, tapi aku mendengar dengan jelas ucapan Aksara yang kuyakini ditujukan padaku. Dia bahkan sampai ditegur oleh Bu Asri. Dan apa katanya? Aku dia bilang mirip Cihuahua? Heh, sepertinya memang tidak ada hal baik yang melekat padanya. Semua menyebalkan. 

"Maaf, Bu," ucapnya meminta maaf. Aku tidak begitu peduli. 

"Jadi, kalian sudah saling kenal 'kan?" tanya Bu Asri pada kami yang mendadak bisu.

"Tidak, Bu," jawabku tegas. Sepertinya dia kaget dengan jawabanku. Apa yang dia harapkan? Mengakuinya sebagai ketua jurusan yang suka menggoda adik kelas? 

"Wah, sepertinya saya tidak dikenali dengan anak kesayangan, Ibu," katanya seperti bocah yang merajuk. Bukannya membela, Bu Asri justru membentak laki-laki itu dan mengatakan jika saat ini tidak sedang bermain teater. Sudut bibirku berkedut. 

"Mampus!"

Dia menoleh ke arahku. Entah apa arti tatapannya itu. Aku tak peduli dan fokus menatap Bu Asri yang semakin tampak kesal. 

"Ya sudahlah, kalian bisa saling mengenal setelah sering bertemu," kata Bu Asri seakan tampak lelah. "Jadi, Rain, Aksa, saya memanggil kalian untuk mengikuti lomba baca puisi yang akan diselenggarakan dua bulan lagi. Tapi, saya harus segera menyampaikannya agar waktu persiapan kalian matang. Ada tiga kategori yang akan dilombakan. Baca puisi putri, baca puisi putra, dan kolaborasi putra dan putri. Kaprodi mengusulkan untuk mengikuti ketiganya karena percaya dengan kemampuan kalian. Teknisnya ada di lembaran yang akan saya bagikan. Puisinya juga sudah dilampirkan. Satu puisi wajib, dan ada beberapa puisi pilihan yang bisa kalian sesuaikan dengan karakter suara kalian. Sampai sini bisa dipahami?"

Aku mengangguk mengiyakan. Bu Asri memberikan petunjuk teknis yang dimaksudkan kepadaku dan Aksa. Namun, laki-laki itu justru melamun dan membuat Bu Asri geram. 

"Aksa, kamu tidak mendengarkan penjelasan saya dari tadi?"

Nah kan, Bu Asri semakin marah akibat ulah Aksara yang kelewatan. 

"Maaf, Bu." Lagi-lagi dia hanya meminta maaf. Dengan kesal Bu Asri menyerahkan juknis yang justru dia abaikan. Namun, dosen wanita itu tak lagi peduli. Beliau mohon pamit karena ada kelas yang harus diajarnya. 

Sedangkan aku tak mau berbasa-basi dengan Aksara. Ku sebutkan jadwal yang memungkinkan untuk berlatih bersama. 

"Di luar hari itu gue nggak bisa. Permisi!" tegasku sambil meninggalkannya yang masih melamun. Andaikan Aruna tahu jika kakak kelas yang dia idolakan separah itu, dia pasti akan langsung merasa ilfeel. 

"Raina, tunggu!"

Lagi-lagi suara itu membuatku kesal. Dia terengah mengejarku yang keluar dari perpustakaan lebih dulu. Sialnya, aku tidak bisa menghindar. Dengan cepat aku menyelesaikan urusan dengan Aksara dan bergegas meninggalkan laki-laki itu. Ada pekerjaan yang sudah menunggu. 

***

Memang, rencana semesta tidak pernah bisa kita tebak. Begitulah yang terjadi denganku saat ini. Setelah pertemuan menyebalkan dengan Aksara, bisa-bisanya dia muncul lagi di kedai kopi tempatku bekerja paruh waktu sebagai barista.

Di antara ribuan kedai kopi yang ada di Jakarta, kenapa pula semesta harus mengirimnya ke sini. Sungguh, berada dalam radius lima meter bahkan lebih, sudah membuat mood-ku berantakan. Benar-benar sesuatu yang tidak baik bagi kondisi jiwaku. 

Lihat saja, perhatian laki-laki itu kini tertuju padaku yang sedang berada di belakang mesin pembuat kopi. 

"Rain, tolong gantikan sebentar dong. Gue mau ke belakang nih. Kebelet." 

Sial, di saat seperti ini pun, Kevin - rekan satu shift-ku yang bertugas sebagai pramusaji justru tidak bisa diandalkan. Terpaksa aku menghampiri meja duo sejoli yang dianggap pengaren dan putra mahkotanya Sastra Indonesia. Aksara dan Narendra. 

"Selamat malam, Kak. Sudah ada yang ingin dipesan?" tanyaku berusaha agar terdengar sesopan mungkin terhadap pelanggan.

"Eh, adik manis. Kamu kerja di sini?" sapa Aksara sok dekat. Aku tak membalasnya. 

Itulah mengapa aku memilih mengasah keahlian meracik kopi dan bekerja di balik meja tinggi daripada harus bertemu dengan banyak orang. Kata pemilik kedai, aku tidak cocok berperan melayani pelanggan. Sebab, aku tak bisa tersenyum ramah layaknya Kevin ataupun pramusaji lain di kedai ini. Terlebih jika bertemu pelanggan seperti Aksara. 

"Mohon disebutkan pesanannya, Kak," kataku masih mencoba sesopan mungkin. Aku tidak ingin mendapat teguran hanya karena bersikap kurang ajar pada pelanggan. 

"Mampus lo, dicuekin." Narendra menertawakan Aksara. "Tulis saja dulu pesanan gue, Rain. Satu hot caffelatte sama camilannya ... Kira-kira apa nih yang jadi rekomendasi lo?"

"Banyak camilan yang jadi rekomendasi, Kak. Kita punya hottang, bolen lumer, aneka jenis cake, sama yang paling jadi favorit di sini, pisang coklat putri salju."

"Pisang coklat putri salju?" Aksara menimpali penjelasanku. Aku tahu, itu hanya cara untuk mengobrol denganku. 

"Jadi pesan yang mana, Kak?" Aku tak mengacuhkan Aksara. Lagi-lagi Narendra tertawa dan menyebutkan pesanannya. Sedangkan Aksara terlihat kesal. Dia ikut menyebutkan pesanan yang dia mau tanpa mencoba mengajakku bicara lagi. 

"Nanti gue tulis di kotak kritik saran kalau pelayanan di sini nggak ramah," tegas Aksara saat aku hendak melangkah pergi. Aku tidak peduli. Hari ini, aku sudah membuang terlalu banyak energi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status