Home / Young Adult / Dance in the Rain / Pria Menyebalkan

Share

Pria Menyebalkan

Author: Yoru Akira
last update Last Updated: 2021-08-03 07:02:31

Semesta Rain

Pria menyebalkan! 

Itulah kesan yang melekat setiap kali bertemu dengan Aksara. Bermula sejak dua tahun yang lalu saat malam akrab jurusan. 

Bukan tanpa sebab, kakak kelas yang berada tepat satu tingkat di atasku itu, bersikap sok senioritas yang membuatku ingin sekali menendang tulang keringnya. 

Saat itu, hampir menjelang pukul dua belas malam. Serangkaian kegiatan malam keakraban dan pementasan baru saja tuntas dan harus ditutup dengan ceramah panjang yang menunjukkan betapa sombongnya laki-laki itu. 

Dengan gayanya yang sok keren - kemeja flanel, celana jeans sobek di bagian lutut, serta rambut panjang yang dicepol berantakan - dia mengenalkan namanya di atas panggung mini yang disiapkan panitia. Panggung yang sama untuk pementasan sebelumnya. 

Baruna Aksara. Harusnya menjadi nama yang bagus jika yang menyandangnya bukan laki-laki itu. Laki-laki yang sejak pagi hanya bisa marah-marah sambil mengatur peserta makrab. Mungkin, tidak sepenuhnya keliru dia bernama Baruna Aksara yang berarti lautan kata-kata. Terbukti, mulut laki-laki itu memang tidak pernah berhenti meluncurkan kata-kata. 

Kata-kata seperti, "Ayo, Dek, yang bener dong jalannya. Lelet banget sih!" atau "Woi, Junior, bisa nggak sopan sama kakak kelas!". Bahkan, " Siapa di sini yang masuk jurusan Sastra Indonesia karena menganggap jurusan buangan atau paling mudah dimasuki?" dan "Jangan harap kalian bisa bersantai-santai karena memilih jurusan Sastra Indonesia." Tidak pernah berhenti dia ulang-ulang selama kegiatan makrab.

Anehnya, semua kaum hawa yang mengikuti kegiatan makrab justru tersihir dengan kelakuan laki-laki itu. Bahkan Aruna - yang beberapa jam baru kukenal karena insiden air mineral (mungkin kelak aku akan ceritakan) - yang mengaku cuma cinta mati dengan biasnya, juga bertekuk lutut pada Aksara. 

Sebenarnya, semua itu bukanlah perkara yang membuatku membenci Aksara. Hanya saja, kami terlibat insiden menyebalkan yang mungkin hanya kita yang tahu. 

Sebelum Aksara meminta kami berkumpul di halaman villa yang cukup luas, kami sempat bertemu di ruang istirahat perempuan. Dia sedang mengecek apakah masih ada mahasiswa yang luput dari pengawasannya dan tidak mengikuti pembinaan malam. 

Kondisiku tidak cukup baik sebelum berangkat mengikuti kegiatan makrab. Tamu bulanan hari pertama membuatku merasa tidak nyaman dan dilanda sakit perut yang tidak bisa kutahan. Namun, senior menyebalkan itu masih memaksaku untuk segera ke halaman. 

"Cepat, Dek, jangan lelet dong! Masa mahasiswa mentalnya kayak anak TK?" gertaknya sambil menatapku sok galak. 

"Maaf, Kak, boleh saya tidak ikut kegiatan malam? Perut saya sakit. Ini  ... ." Belum selesai aku mengucapkan alasanku, Aksara sudah memotongnya dengan cepat. 

"Jangan alasan! Aku lihat kamu baik-baik saja selama kegiatan. Mana ada mendadak sakit perut?"

"Saya halangan, Kak."

"Memangnya tidak kuat buat mengikuti kegiatan yang cuma beberapa menit saja?" Aksara tidak mau mengerti. 

Aku tidak mau berdebat. Malas menjelaskan pada laki-laki yang tidak mau tahu bagaimana rasanya ketika mendapatkan tamu bulanan yang kadang sampai membuatku pingsan. Aku mengikuti perintah laki-laki itu dan mengutuk dalam hati, semoga saja aku pingsan saat kegiatan. 

Dan, ya, aku hampir saja ambruk di tengah-tengah dia memberikan "petuah". Lalu, apa yang dia katakan? Inilah sumber kebencianku pada Aksara sebagai pria yang menyebalkan. 

"Halah, paling dia juga cuma alasan. Aku lihat dia baik-baik saja selama kegiatan. Penampilan inagurasi juga masih baik-baik saja tuh."

Seketika ingin rasanya aku mengumpat di muka Aksara. Bagaimana bisa seorang leader mengucapkan hal sejahat itu yang tidak menunjukkan sikap kepemimpinannya. Kalau saja aku memiliki tenaga lebih, saat itu juga aku ingin menendang tulang keringnya sekuat yang aku bisa. 

"Dia hampir pingsan bisa-bisanya lo bilang cuma alasan doang?" Narendra mengingatkan. "Lihat tuh, muka udah kayak vampir masih aja lo bilang pura-pura. Mau tanggung jawab kalau dia sampai kenapa-kenapa?"

"Ck, bodoh banget sih lo mau dibohongin sama dia? Berapa kali lo dibohongin sama cewek yang pura-pura haid saat kegiatan makrab? Nyatanya begitu dikasih izin istirahat, mereka justru kabur sama pacar mereka. Mau tanggung jawab lo kalau kita dituntut sama orang tua mereka karena menganggap kegiatan kita terlalu bebas?"

"Ya tapi kali beda, Sa. Lo nggak lihat muka dia pucet banget gitu?"

Perdebatan mereka justru membuat kepalaku semakin pusing. Suara mereka semakin terdengar jauh. Aku mulai kehilangan kesadaran. 

Esoknya saat aku bangun dan melanjutkan mengikuti kegiatan, Aksara menatapku dengan pandangan tanpa penyesalan. Dia bahkan seolah menyalahkan aku yang sudah membuat keributan dan mengakibatkan kegiatan malam gagal dilaksanakan.

Sejak saat itu, aku melihatnya sebagai laki-laki paling menyebalkan. 

"Astaga, Rain! Ngelamun tuh cari waktu yang pas dong. Tuh, kopi hampir tumpah!" Kevin mengagetkan aku dengan suara keras. 

Kalau saja dia tidak sigap merebut cangkir kopi mungkin punggung tanganku sudah memerah akibat air panas. Kevin menjauhkan aku dari mesin kopi dan mengambil alih tugasku.

Keributan kecil itu, mengalihkan perhatian beberapa pelanggan. Termasuk Aksara dan Narendra yang duduk tidak jauh dari meja bar. Mereka menatapku seolah ingin tahu apa yang terjadi. 

Aku mengangguk minta maaf pada mereka akibat kecerobohanku yang membuat suasana menjadi kurang nyaman. 

"Maaf," kata dengan suara pelan dan membungkuk pada pelanggan yang sempat teralihkan perhatian mereka pada keributan yang kuciptakan. 

"Coba cek, apa ada yang terluka. Kayaknya ada yang ketumpahan kopi deh," ulang Kevin sambil memperhatikan tanganku yang gemetar karena terkejut. Kali ini dia bicara dengan suara pelan agar tidak mengalihkan perhatian pelanggan. 

Aku menggeleng lemah. Kevin menyelamatkan aku di waktu yang tepat. 

"Makanya, kerja tuh jangan ngelamun. Nggak biasanya juga lo kayak gini. Kenapa sih?"

"Bukan masalah penting, lupakan! Sori, gue boleh izin cari angin sebentar nggak?" tanyaku meminta persetujuan Kevin.

Kondisi kafe tidak terlalu ramai dan aku yakin, Kevin masih mengatasinya seorang diri. Terlebih, tempatku bekerja saat ini hanyalah kedai kecil. Namun sudah memiliki peminatnya sendiri. Terlebih kedai ini diperuntukkan bagi para pecinta kopi yang menginginkan ketenangan, sambil menikmati secangkir kopi tanpa gangguan suara bising pengunjung yang lain. Memang, kesan eksklusif sengaja dimunculkan untuk memberikan kenyaman pada pelanggan. 

"Ya udah, rehat dulu sana gih. Kelihatan suntuk banget muka kamu."

Aku bergegas keluar saat Kevin mengiyakan permintaanku. Lewat pintu belakang, aku menuju taman kecil tak jauh dari kedai untuk melepaskan penat. 

Sial, kalau saja bukan karena pria menyebalkan itu, hariku tidak akan menjadi seburuk ini, umpatku dalam hati. 

Dengan kesal, aku menendang kaleng softdrink yang dibuang sembarangan di atas trotoar. Kaleng itu mengenai tong sampah pinggir jalan dan menimbulkan bunyi cukup berisik. 

"Ck, emang dasar manusia, udah dikasih tempat sampah, masih aja buang sembarangan."

Aku menggerutu kesal. Sepertinya, kekesalanku pada Aksara berakibat pada kekesalan-kekesalan lain yang tidak diperlukan.

"Arrgghhh ... Monyet ompong, ngapain sih gue mesti terlibat sama orang kayak dia?!"

Aku menghempaskan pantat ke beton dingin dan menendang kerikil di ujung sepatuku. Rasanya lebih lega jika sudah melepas kemarahan yang tertahan. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dance in the Rain   Dance in the Rain

    Semesta KamiBogor membawa kabar baik dan buruk. Aku (Rain) bisa sedikit demi sedikit pulih dari rasa takut terhadap hujan. Sementara aku (Aksara) harus terbaring di rumah akibat flu yang menyerang. Aksara: Beruntung, sakit yang kuderita tidak berlangsung lama. Setidaknya tidak sampai mengganggu persiapan lomba baca puisi yang akan kami ikuti. Ya, sebenarnya cukup menganggu. Bu Asri sampai marah besar. Tapi, tidak berlangsung lama karena aku bisa mengejar ketinggalan. Semua juga berkat dukungan partner sepanggung yang kini jadi kekasihku. Haha ... cukup cepat kan progres kami? Ya, kalau aku boleh jujur, sudah lama sebenarnya aku tertarik sama Rain. Hanya saja, dia bukan gadis yang mudah didekati. Rain: Tidak, aku bukan gadis yang sulit didekati. Itu hanya omong kosong Aksara saja. Dia hanya tidak percaya diri dengan kemampuannya. Lagian, siapa sih yang tidak kesal, jika dari awal dia sudah mengibarkan bendara perang. Kan dia yang tidak percaya kalau aku sakit datang bulan saat

  • Dance in the Rain   Pluviophile

    Semesta RainIde Aksara selalu terdengar gila. Apa yang ia harapkan dari pemburuan hujan bagi seseorang yang sudah puluhan tahun membenci hujan? Apa dia berharap rasa takut itu bakal sembuh dalam satu hari saja? Anehnya, aku justru tak merasa resah ataupun khawatir, meski ketakutan itu masih ada. Terlebih ketika aku menyadari bahwa motor yang dikendarai Aksara membawa kami ke Bogor. Bogor, kota penuh kenangan sebelum Jakarta menarik kami - ibu, ayah dan Kak Mahen - dengan paksa untuk tinggal di sana. Menjadi bagian dari manusia yang bergerak cepat di antara hiruk-pikuk dunia. Ada rindu yang diam-diam menyusup. Mengisi celah kosong yang tak lagi pernah terisi. Seandainya ayah dulu tak menerima mutasi kerja ke kejaksaan pusat, apakah kami masih tetap bersama-sama? Tinggal di lereng pegunungan dengan kota yang memiliki intensitas cukup tinggi di negeri ini. Mataku basah akibat andai-andai yang dengan cepat menguap menjadi asa. Juga akibat hujan yang kini semakin deras mendera bumi.

  • Dance in the Rain   Berburu Hujan

    Semesta AksaraTanpa sadar aku merangkul pundak Rain dan membawanya ke dalam pelukan ketika mendung di wajah gadis itu menjadi hujan. Rasanya hatiku ikut perih melihatnya menitikkan air mata. Bahkan tangisan yang semula terdengar samar - akibat Rain menahan diri - kini makin tergugu dalam pelukanku. Siapa yang menyangka, jika sosok gadis mungil dalam pelukanku kini, menjalani kehidupannya dengan begitu berat. Aku menjadi paham, mengapa wajah Rain selalu terlihat muram dan terkesan sukar untuk didekati. Masa lalu membuatnya seperti itu. Tentu tak mudah kehilangan orang tua dengan cara yang kejam seperti itu. Mati tertembak di hadapannya demi melindungi gadis serta sang kakak yang turut mati hari itu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana terkoyaknya jiwa Rain saat itu hingga sekarang. Aku tahu, ia belum sepenuhnya sembuh dari trauma. Bisa terbukti ketika hujan turun dan kami terjebak di halte bus lebih dari seminggu yang lalu. Dia bahkan harus mengalami nasib buruk dari sang paman

  • Dance in the Rain   Masa Lalu yang Tersimpan

    Semesta RainObrolanku dengan Aksara memaksaku memutar adegan belasan tahun lalu saat usiaku baru menginjak tujuh tahun. Hari itu, hari ulang tahunku - hari yang kemudian di masa depan ingin kulupakan saja dari hidup yang kejam dan telah merenggut nyawa orang-orang yang kusayangi. Ayah berjanji untuk menyelesaikan dengan cepat persidangan yang dia pimpin pada hari itu. Dia berjanji akan pulang cepat dan membelikan aku sebuah cake yang akan menemani perayaan hari ulang tahunku. "Aku juga mau dong, Yah. Aku mau brownies!" seruan Mahen pada hari itu kembali terdengar dalam tempurung otakku. Mahen - kakak lelakiku - memang lebih suka brownies ketimbang cake atau kue lainnya. Ayah tertawa menanggapi permintaan anak lelakinya yang berjarak tiga tahun lebih tua dariku. "Kamu memang nggak kalah ya! Oke, Ayah bakal belikan brownies buat jagoan Ayah. Yang kecil aja ya. Kan kamu doang pasti yang bakal makan!""Ih, mana ada kayak gitu. Nggak bisalah. Harus yang ukuran besar. Mau makan sendi

  • Dance in the Rain   Rahasia Rain

    Semesta RainAku terlambat menyadari saat Aksara membawaku ke sebuah hotel bintang lima di kawasan Jakarta Pusat. Dia bilang, lelaki itu akan mengenalkanku pada seseorang yang bisa mengajari kami membaca puisi lebih baik lagi untuk keperluan lomba nanti. Namun, aku melupakan satu hal dan justru berdebat serta memperkarakan hal yang justru terdengar kekanak-kanakan. Sampai aku melupakan kemungkinan kecil yang terjadi. Hingga sepasang mataku berotasi cepat ketika menangkap banner pameran seorang seniman di hotel tersebut. Tepat saat seseorang memanggil namaku. "Paman Bara?" ucapku pelan. Tanpa sadar, tubuhku membeku seketika. Gestur yang kerap tanpa sengaja kutunjukkan setiap kali bertemu dengan pria itu. Baik di rumah ataupun saat di luar seperti saat ini. Refleks yang entah sejak kapan tertanam dalam bawah sadarku hingga terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Bukan tanpa alasan. Itu karena perlakuan kasar yang sering kuterima dari Paman Bara. Tubuhku selalu bereaksi lebih dulu ket

  • Dance in the Rain   Pertemuan Tak Terduga

    Semesta AksaraAku tahu, gadis di depanku itu sedang berusaha mengurai canggung di antara kami. Sekali lagi, ia bertanya meski sudah kutegaskan ketiga kali bahwa dirinya boleh memakan apa pun yang dia mau. "Yakin, lo nggak bakal nyesel bilang gitu?" ucap gadis itu seakan masih ragu. "Ya, Rain. Lo boleh makan apa pun. Bukankah gue udah bilang sebelumnya? Ini juga sudah keempat kalinya gue ngomong hal yang sama.""Oke." Rain menjawab singkat. Lantas tanpa sungkan, ia menyendokkan berbagai macam lauk yang hendak ia makan. Mulai dari rendang sampai usus sapi memenuhi piringnya. Kemudian tanpa sungkan, ia mulai menyuapkan nasi ke mulutnya menggunakan tangan. Tanpa sadar, aku tersenyum melihat ekspresi gadis itu ketika makan. Terlihat sangat menyenangkan. Aku baru sadar, bahwa gadis itu juga terlihat sangat antusias ketika aku membawa banyak makanan ke ruang sekretariat BEM lebih dari satu minggu yang lalu. "Gimana bisa badan lo tetep kurus sih, makan sebanyak itu?"Rain tersedak. Mung

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status