Share

Pria Menyebalkan

Semesta Rain

Pria menyebalkan! 

Itulah kesan yang melekat setiap kali bertemu dengan Aksara. Bermula sejak dua tahun yang lalu saat malam akrab jurusan. 

Bukan tanpa sebab, kakak kelas yang berada tepat satu tingkat di atasku itu, bersikap sok senioritas yang membuatku ingin sekali menendang tulang keringnya. 

Saat itu, hampir menjelang pukul dua belas malam. Serangkaian kegiatan malam keakraban dan pementasan baru saja tuntas dan harus ditutup dengan ceramah panjang yang menunjukkan betapa sombongnya laki-laki itu. 

Dengan gayanya yang sok keren - kemeja flanel, celana jeans sobek di bagian lutut, serta rambut panjang yang dicepol berantakan - dia mengenalkan namanya di atas panggung mini yang disiapkan panitia. Panggung yang sama untuk pementasan sebelumnya. 

Baruna Aksara. Harusnya menjadi nama yang bagus jika yang menyandangnya bukan laki-laki itu. Laki-laki yang sejak pagi hanya bisa marah-marah sambil mengatur peserta makrab. Mungkin, tidak sepenuhnya keliru dia bernama Baruna Aksara yang berarti lautan kata-kata. Terbukti, mulut laki-laki itu memang tidak pernah berhenti meluncurkan kata-kata. 

Kata-kata seperti, "Ayo, Dek, yang bener dong jalannya. Lelet banget sih!" atau "Woi, Junior, bisa nggak sopan sama kakak kelas!". Bahkan, " Siapa di sini yang masuk jurusan Sastra Indonesia karena menganggap jurusan buangan atau paling mudah dimasuki?" dan "Jangan harap kalian bisa bersantai-santai karena memilih jurusan Sastra Indonesia." Tidak pernah berhenti dia ulang-ulang selama kegiatan makrab.

Anehnya, semua kaum hawa yang mengikuti kegiatan makrab justru tersihir dengan kelakuan laki-laki itu. Bahkan Aruna - yang beberapa jam baru kukenal karena insiden air mineral (mungkin kelak aku akan ceritakan) - yang mengaku cuma cinta mati dengan biasnya, juga bertekuk lutut pada Aksara. 

Sebenarnya, semua itu bukanlah perkara yang membuatku membenci Aksara. Hanya saja, kami terlibat insiden menyebalkan yang mungkin hanya kita yang tahu. 

Sebelum Aksara meminta kami berkumpul di halaman villa yang cukup luas, kami sempat bertemu di ruang istirahat perempuan. Dia sedang mengecek apakah masih ada mahasiswa yang luput dari pengawasannya dan tidak mengikuti pembinaan malam. 

Kondisiku tidak cukup baik sebelum berangkat mengikuti kegiatan makrab. Tamu bulanan hari pertama membuatku merasa tidak nyaman dan dilanda sakit perut yang tidak bisa kutahan. Namun, senior menyebalkan itu masih memaksaku untuk segera ke halaman. 

"Cepat, Dek, jangan lelet dong! Masa mahasiswa mentalnya kayak anak TK?" gertaknya sambil menatapku sok galak. 

"Maaf, Kak, boleh saya tidak ikut kegiatan malam? Perut saya sakit. Ini  ... ." Belum selesai aku mengucapkan alasanku, Aksara sudah memotongnya dengan cepat. 

"Jangan alasan! Aku lihat kamu baik-baik saja selama kegiatan. Mana ada mendadak sakit perut?"

"Saya halangan, Kak."

"Memangnya tidak kuat buat mengikuti kegiatan yang cuma beberapa menit saja?" Aksara tidak mau mengerti. 

Aku tidak mau berdebat. Malas menjelaskan pada laki-laki yang tidak mau tahu bagaimana rasanya ketika mendapatkan tamu bulanan yang kadang sampai membuatku pingsan. Aku mengikuti perintah laki-laki itu dan mengutuk dalam hati, semoga saja aku pingsan saat kegiatan. 

Dan, ya, aku hampir saja ambruk di tengah-tengah dia memberikan "petuah". Lalu, apa yang dia katakan? Inilah sumber kebencianku pada Aksara sebagai pria yang menyebalkan. 

"Halah, paling dia juga cuma alasan. Aku lihat dia baik-baik saja selama kegiatan. Penampilan inagurasi juga masih baik-baik saja tuh."

Seketika ingin rasanya aku mengumpat di muka Aksara. Bagaimana bisa seorang leader mengucapkan hal sejahat itu yang tidak menunjukkan sikap kepemimpinannya. Kalau saja aku memiliki tenaga lebih, saat itu juga aku ingin menendang tulang keringnya sekuat yang aku bisa. 

"Dia hampir pingsan bisa-bisanya lo bilang cuma alasan doang?" Narendra mengingatkan. "Lihat tuh, muka udah kayak vampir masih aja lo bilang pura-pura. Mau tanggung jawab kalau dia sampai kenapa-kenapa?"

"Ck, bodoh banget sih lo mau dibohongin sama dia? Berapa kali lo dibohongin sama cewek yang pura-pura haid saat kegiatan makrab? Nyatanya begitu dikasih izin istirahat, mereka justru kabur sama pacar mereka. Mau tanggung jawab lo kalau kita dituntut sama orang tua mereka karena menganggap kegiatan kita terlalu bebas?"

"Ya tapi kali beda, Sa. Lo nggak lihat muka dia pucet banget gitu?"

Perdebatan mereka justru membuat kepalaku semakin pusing. Suara mereka semakin terdengar jauh. Aku mulai kehilangan kesadaran. 

Esoknya saat aku bangun dan melanjutkan mengikuti kegiatan, Aksara menatapku dengan pandangan tanpa penyesalan. Dia bahkan seolah menyalahkan aku yang sudah membuat keributan dan mengakibatkan kegiatan malam gagal dilaksanakan.

Sejak saat itu, aku melihatnya sebagai laki-laki paling menyebalkan. 

"Astaga, Rain! Ngelamun tuh cari waktu yang pas dong. Tuh, kopi hampir tumpah!" Kevin mengagetkan aku dengan suara keras. 

Kalau saja dia tidak sigap merebut cangkir kopi mungkin punggung tanganku sudah memerah akibat air panas. Kevin menjauhkan aku dari mesin kopi dan mengambil alih tugasku.

Keributan kecil itu, mengalihkan perhatian beberapa pelanggan. Termasuk Aksara dan Narendra yang duduk tidak jauh dari meja bar. Mereka menatapku seolah ingin tahu apa yang terjadi. 

Aku mengangguk minta maaf pada mereka akibat kecerobohanku yang membuat suasana menjadi kurang nyaman. 

"Maaf," kata dengan suara pelan dan membungkuk pada pelanggan yang sempat teralihkan perhatian mereka pada keributan yang kuciptakan. 

"Coba cek, apa ada yang terluka. Kayaknya ada yang ketumpahan kopi deh," ulang Kevin sambil memperhatikan tanganku yang gemetar karena terkejut. Kali ini dia bicara dengan suara pelan agar tidak mengalihkan perhatian pelanggan. 

Aku menggeleng lemah. Kevin menyelamatkan aku di waktu yang tepat. 

"Makanya, kerja tuh jangan ngelamun. Nggak biasanya juga lo kayak gini. Kenapa sih?"

"Bukan masalah penting, lupakan! Sori, gue boleh izin cari angin sebentar nggak?" tanyaku meminta persetujuan Kevin.

Kondisi kafe tidak terlalu ramai dan aku yakin, Kevin masih mengatasinya seorang diri. Terlebih, tempatku bekerja saat ini hanyalah kedai kecil. Namun sudah memiliki peminatnya sendiri. Terlebih kedai ini diperuntukkan bagi para pecinta kopi yang menginginkan ketenangan, sambil menikmati secangkir kopi tanpa gangguan suara bising pengunjung yang lain. Memang, kesan eksklusif sengaja dimunculkan untuk memberikan kenyaman pada pelanggan. 

"Ya udah, rehat dulu sana gih. Kelihatan suntuk banget muka kamu."

Aku bergegas keluar saat Kevin mengiyakan permintaanku. Lewat pintu belakang, aku menuju taman kecil tak jauh dari kedai untuk melepaskan penat. 

Sial, kalau saja bukan karena pria menyebalkan itu, hariku tidak akan menjadi seburuk ini, umpatku dalam hati. 

Dengan kesal, aku menendang kaleng softdrink yang dibuang sembarangan di atas trotoar. Kaleng itu mengenai tong sampah pinggir jalan dan menimbulkan bunyi cukup berisik. 

"Ck, emang dasar manusia, udah dikasih tempat sampah, masih aja buang sembarangan."

Aku menggerutu kesal. Sepertinya, kekesalanku pada Aksara berakibat pada kekesalan-kekesalan lain yang tidak diperlukan.

"Arrgghhh ... Monyet ompong, ngapain sih gue mesti terlibat sama orang kayak dia?!"

Aku menghempaskan pantat ke beton dingin dan menendang kerikil di ujung sepatuku. Rasanya lebih lega jika sudah melepas kemarahan yang tertahan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status