Semesta Aksara
Penjelasan Bu Asri tentang lomba yang akan kami ikuti sama sekali tak sanggup keterima dengan baik. Pikiranku penuh dengan sosok perempuan yang duduk di sampingku. Tetap tanpa ekspresi.
Sebenarnya sudah lama aku memperhatikan gadis manis yang duduk di sampingku itu. Lebih tepatnya saat malam akrab jurusan dua tahun lalu.
Sebagai ketua Himaprodi yang bertanggung jawab pada kegiatan, aku memperhatikan setiap maba yang mengikuti acara. Tidak ada seorang pun yang luput dari pantauanku. Bahkan aku benar-benar memastikan apakah ada maba yang kabur dari rumah demi mengikuti kegiatan dan memalsukan tanda tangan persetujuan orang tuanya.
Atau yang paling parah, kabur di tengah-tengah acara demi bertemu pacar maupun gebetan. Dari semua kemungkinan yang bisa saja terjadi, kasus terakhir adalah hal yang paling rawan dan tak bisa kubiarkan begitu saja.
Meski begitu, dari semua maba yang mengikuti kegiatan, hanya Rain yang bisa memikat perhatianku. Bukan dari kesan pandangan pertama. Sebab, pertama kali aku melihat Rain saat apel pembukaan, tidak ada kesan apa pun pada perempuan berwajah datar dan sedingin es itu. Wajahnya bahkan begitu kaku mengalahkan kanebo kering yang sering kali lupa kumasukkan ke tempat semula ketika selesai menggunakannya untuk mengelap motor. Tanpa ekspresi. Sama sekali tak ada yang menarik.
Aku tak mau munafik. Aku termasuk tipe orang yang akan menilai penampilan terlebih dahulu sebelum menilai apa yang ada di dalam kepala mereka. Bukan berarti tampilan fisik, tetapi lebih bagaimana cara orang itu membawa dirinya di tengah sosial bermasyarakat. Aku lebih suka seseorang yang berpenampilan sederhana, tetapi memiliki inner beauty yang terpancar. Bukan hanya soal kecerdasan, tetapi lebih pada apa yang dimiliki mereka sebagai bentuk rasa percaya diri. Aku tidak suka perempuan cantik yang dandan berlebihan demi menarik perhatian para kumbang. Terlebih ketika bertemu perempuan sok cantik, tapi isi kepalanya kosong melompong. Namun, Rain bukan termasuk dalam keduanya.
Siapa yang sangka, gadis yang sama sekali tidak menarik perhatianku itu, justru menjadi urutan pertama yang ingin kukenal lebih dekat, sejak ia membacakan sebuah puisi untuk malam pementasan.
Suara Rain serupa gerimis yang menyentuh dedaunan. Lembut dan dalam. Suatu ketika, serupa pedang yang mendesing dalam peperangan. Keras dan tajam. Seirama dengan puisi yang dia bacakan. Namun, wajahnya tetap dingin dan datar. Tanpa ekspresi berlebihan. Meski begitu, suaranya mampu menyihir siapa pun untuk tenggelam dalam penjiwaan puisi yang dia bacakan. Termasuk aku yang diakui sebagai rajanya pembaca puisi terbaik di jurusan.
Begitulah cara Rain menyihirku untuk tunduk padanya. Meskipun segala cara sudah kulakukan untuk mendekati gadis itu - termasuk menyapanya lebih dulu saat kami berpapasan - tetap saja dia serupa bunga es yang tak akan mencair selama musim dingin masih menyelimutinya.
"Aksa, bagaimana? Kapan bisa mulai latihan?" Suara Bu Asri membawaku kembali dari dunia lamunan. Kupandangi Bu Asri dengan wajah bingung. Aku tak tahu harus memberikan jawaban apa.
"Oh, jadi segini kemampuan si wakil presma atau si ketua hima yang katanya orator andal? Kok nggak nyambung kalo diajak ngobrol." Kali ini suara serupa gerimis itu yang tertangkap gendang telingaku.
Sial, mengapa lidahku mendadak kelu?
"Aksa, kamu baik-baik saja?" Bu Asri tampak khawatir saat aku tak juga merespon pertanyaan beliau. Aku hanya mengangguk. Entah mengapa, mendadak isi kepalaku terasa kosong. Apa semenakutkan itu melamunkan gadis yang masih duduk di sampingku? "Kalau begitu, kapan bisa latihan bersama?"
"Apa latihannya harus bersama ya, Bu?" Akhirnya aku sanggup mengeluarkan suara. Tapi, Bu Asri justru melotot mendengar pertanyaanku.
"Kamu tidak mendengarkan penjelasan saya dari tadi?"
Aku meringis sebagai tanggapan. Sebab, aku memang tidak mendengarkan penjelasan Bu Asri sejak keberadaan Rain menyita seluruh lamunanku.
"Astaga, Aksa! Kamu kira pekerjaan saya cuma mengurus lomba kalian saja? Rain, tolong beri pemahaman sama bocah edan ini. Bisa-bisanya dia mengabaikan ucapan saya dari awal." Bu Asri tampak semakin kesal. Wanita itu melirik jam di pergelangan tangan kanannya dan memohon pamit kemudian. "Saya masih ada kelas. Rain, tolong sampaikan apa yang harus dia lakukan."
"Baik, Bu," ucap perempuan itu datar. Namun, suaranya masih serupa gerimis di gendang telingaku. Lembut dan dalam.
Tak lama, Bu Asri meninggalkan kami berdua di perpustakaan. Lagi-lagi suasana menjadi canggung dan sunyi. Bisa-bisanya pula aku kehilangan kata di hadapan Rain. Padahal aku selalu bisa menggodanya setiap kali dia lewat bersama temannya di tongkorongan anak-anak jurusan di kantin belakang.
"Jadi ... ."
"Itu urusan lo kenapa nggak memperhatikan ucapan Bu Asri. Kalau harus latihan bersama, gue hanya bisa hari Selasa, Rabu, Kamis, dan Sabtu setelah pukul tiga sampai lima sore. Sebelum ataupun sesudah jam itu, gue nggak bisa. Selain hari itu juga, gue nggak bisa. Permisi."
Setelah mengucapkan kalimatnya yang membuatku syok, Rain meninggalkan perpustakaan tanpa menjelaskan apa pun. Jangankan perkara lomba, dia hanya menyebutkan hari yang bisa diajak latihan bersama. Sedangkan pada hari itu, aku memiliki banyak kegiatan luar kampus yang tidak bisa diganggu gugat.
Menyadari hal itu, aku bergegas mengejar Rain. Untung gadis itu belum lama meninggalkan perpustakaan. Dia masih terkejar di tikungan koridor menuju tempat parkir.
"Hei, hei, Raina! Tunggu!"
Gadis itu berhenti. Ditatap ya aku dengan pandangan dingin dan tanpa ekspresi yang mematikan. Aku tidak pernah menyasari jika aura perempuan itu sekuat ini bila berada di dekatnya.
"Apa lagi? Ah, dan satu yang perlu lo ingat, nama gue bukan Raina, tapi Rain!"
"Oh, sori, gue nggak tahu. Gue kira Rain itu dari Raina seperti nama kebanyakan."
"Ck, gue bukan seperti orang kebanyakan. Jadi mau lo apa sekarang? Kalau lo mau gue jelasin apa yang disampaikan Bu Asri tadi, sori, gue males buat ngulang penjelasan. Lebih baik lo baca sendiri juknis yang dikasih Bu Asri."
"Bukan itu yang mau gue bahas. Ini soal jadwal latihan kita. Gue nggak bisa di hari yang lo sebutkan tadi. Ada kegiatan luar kampus yang nggak bisa gue tinggalkan. Kita atur ulang jadwal."
"Selain hari itu gue juga nggak bisa tuh. Ini ada kaitannya dengan bertahan hidup supaya gue nggak mati kelaparan."
"Iya makanya kita mesti atur ulang baiknya gimana latihan kita, Nona Rain," kata gemas. Sungguh ingin kucubit pipi gadis itu supaya wajahnya tidak terlalu kaku.
"Terserah lo deh maunya gimana. Gue hanya perlu tekankan sekali lagi, gue hanya bisa hari Selasa, Rabu, Kamis, dan Sabtu setelah pukul tiga sampai lima sore. Sebelum ataupun sesudah jam itu, gue nggak bisa. Selain hari itu juga, gue nggak bisa. Paham 'kan sama omongan gue?"
Lagi, Rain pergi setelah mengucapkan kalimatnya. Meninggalkanku yang frustrasi harus berbuat bagaimana.
Dengan kesal, aku mengacak-acak rambut gondrongku yang kini sudah melewati batas krah baju.
"Sadis bener. Baru ini gue lihat seorang Baruna Aksara, si lautannya kata-kata, mental ngadepin adik kelas. Ups, sori, adik kelas yang ini tipe si bunga es sih."
Seorang teman sekelas sekaligus sahabat yang sudah kukenal sejak mengenakan popok - Narendra - mengejekku saat melihat adegan yang baru saja terjadi. Dengan kesal aku menendang bokong laki-laki itu. Bisa-bisanya dia muncul di saat momen memalukan tadi.
"Brengsek, lo!"
"Hahaha ... ada juga akhirnya cewek yang nggak mempan sama rayuan lo."
"Sial, gue bahkan belum sempat ngerayu dia, njir."
"Sudah terima nasib aja kalau si bunga esnya jurusan kita itu memang nggak mudah dideketin. Dapat jackpot lo kalau sampai bisa naklukin dia."
Tawa Narendra semakin kencang. Laki-laki itu menarikku ke tempat parkir dan menuju ke tempat kami biasa nongkrong.
Semesta RainPerasaanku mendadak tidak enak saat mendengar suara yang tidak asing sedang berbicara dengan Bu Asri, ketika aku sampai di perpustakaan. Suaranya yang dalam dan berat akan mudah dikenali oleh siapa pun. Apalagi, suara itulah yang sering kali menggerakkan mahasiswa untuk turun ke jalan pada momen-momen tertentu. Sang orator yang lebih dikenal slengekan ketika berada di kampus dan manusia paling absurd satu jurusan, terlebih ketika turun hujan.Benar saja dugaanku. Laki-laki itu duduk di sana. Saling berhadapan dengan Bu Asri yang terlihat kesal. Aku melihat beliau memukulkan sebuah buku yang sedang dibaca dan dihindari oleh laki-laki itu.Aksara. Wakil presma sekaligus ketua himpunan mahasiswa program studi di jurusanku itu selalu membuat ulah saat berhadapan dengan siapa pun. Tak heran jika Bu Asri terlihat kesal kepadanya. Lihat saja sikap usilnya itu, ingin rasanya aku menendang tulang kering laki-laki itu agar berhenti menggoda Bu Asr
Semesta RainPria menyebalkan!Itulah kesan yang melekat setiap kali bertemu dengan Aksara. Bermula sejak dua tahun yang lalu saat malam akrab jurusan.Bukan tanpa sebab, kakak kelas yang berada tepat satu tingkat di atasku itu, bersikap sok senioritas yang membuatku ingin sekali menendang tulang keringnya.Saat itu, hampir menjelang pukul dua belas malam. Serangkaian kegiatan malam keakraban dan pementasan baru saja tuntas dan harus ditutup dengan ceramah panjang yang menunjukkan betapa sombongnya laki-laki itu.Dengan gayanya yang sok keren - kemeja flanel, celana jeans sobek di bagian lutut, serta rambut panjang yang dicepol berantakan - dia mengenalkan namanya di atas panggung mini yang disiapkan panitia. Panggung yang sama untuk pementasan sebelumnya.Baruna Aksara. Harusnya menjadi nama yang bagus jika yang menyandangnya bukan laki-laki itu. Laki-laki yang sejak pagi hanya bisa marah-marah sambil mengatur
Semesta Aksara "Aduh, siapa sih nendang kerikil nggak lihat kanan kiri?" Aku menggerutu saat sebuah kerikil mengenai kepalaku saat berusaha mencari keberadaan Rain. Aku melihat perempuan itu keluar dari pintu belakang kafe saat aku tidak sengaja akan menuju kamar mandi. Rasa penasaran dengan apa yang dia lakukan tidak bisa aku hindari dan mengikuti gadis itu yang tiba-tiba entah menghilang ke arah mana. Tidak, tidak. Aku tidak segabut itu hingga harus membuntuti Rain. Aku hanya ingin mengobrol dengannya. Lebih tepatnya aku ingin membicarakan dengan gadis itu tentang proyek dari Bu Asri yang meminta kami mengikuti lomba baca puisi. Aku tidak bisa menundanya lebih lama lagi jika tidak ingin berurusan dengan Rain. Atau ... Sebenarnya aku bimbang dengan perasaanku pada perempuan itu. Di satu sisi aku ingin mendekati gadis yang terkesan cuek dan menantang itu. Aku penasaran, apa yang membuatnya begitu dingin dan tidak tersentuh. Terlebi
Semesta AksaraRain sudah tak terlihat begitu pria paruh baya yang baru saja menghampiri kami, melangkah pergi. Perempuan itu melarikan diri dengan cepat dan bersembunyi entah di mana. Aku yakin dia tidak mungkin kembali ke dalam kafe. Sebab, aku pasti melihatnya jika dia berari ke arah kafe tempatnya bekerja. Perempuan itu masih bersembunyi di sekitar taman. Hanya saja dia terlalu pandai bersembunyi sampai aku tak bisa menemukan di mana dia menyemunyikan tubuhnya yang mungil itu. "Sial," umpatku saat tak juga menemukan Rain di mana pun. Sedangkan aku tidak lagi memiliki banyak waktu. Kesempatanku untuk membicarakan perihal lomba dengan Rain hanya sampai hari ini. Sebagai Ketua Hima sekaligus Wakil Presiden Mahasiswa, kegiatanku tidak cuma iseng mengikuti lomba saja. Masih banyak kegiatan lain yang harus aku selesaikan. Sialnya, si bocah tengil itu, justru sengaja ingin bermain-main denganku. "Rain, kita mesti bicara! Gue nggak ada waktu buat ladenin main petak umpet sama lo ya
Semesta RainAku baru saja meletakkan tas di atas meja saat ketukan di pintu mengalihkan perhatian. Tak lama, wajah Paman Bara muncul dari balik pintu. "Kau sudah makan? Paman membeli ayam kalau kau belum makan. Masih ada nasi di dapur," ucap pria awal empat puluhan tahun itu dengan ekspresi muka datar. Setidaknya aku bersyukur tidak mencium aroma alkohol dari tubuhnya. Itu berarti dia cukup waras hari ini dan tak mungkin bertindak brutal. Artinya, aku juga tidak perlu bersembunyi dari incaran amukannya setiap kali pria itu berada di bawah pengaruh alkohol. "Ya, Paman. Aku bakal makan sebentar lagi."Senyum samar membingkai wajah suram Paman Bara. Sudah biasa, sejak kematian bibi bertahun-tahun lalu, tak ada lagi senyum yang membingkai wajah pria itu. Kalaupun terpaksa tersenyum, tetap tak bisa mengubah raut muka suram Paman Bara. Ia hanya tersenyum sekadarnya. Setidaknya itu lebih baik ketimbang saat ia mabuk sepanjang malam dan menjadikan aku sebagai pelampiasan. Ya, pria itu
Semesta Rain"Dosa hukumnya membiarkan pesan seseorang padahal dia sudah membacanya!"Pesan dari lelaki menyebalkan itu muncul lagi meskipun aku sudah mengabaikannya. Sengaja, aku tidak mau berurusan dengan lelaki itu lebih dari urusan lomba. Kalau saja bukan akibat kesalahan memencet notifikasi di layar bar, aku juga tidak berniat membaca pesan dari lelaki menyebalkan itu. Sementara aku masih berusaha menebak-nebak siapa oknum yang telah menyebarkan nomorku kepada lelaki menyebalkan itu, benda pipih yang terletak di atas itu terus bergetar dan menampilkan pesan dari orang yang sama. "Katanya tak ada yang paling tabah selain hujan bulan Juni. Faktanya, aku manusia paling tabah ketika pesan sudah berubah dua centang biru, tapi kamu pura-pura bisu!"Balasan dari lelaki menyebalkan itu membuatku mual. Aku memang sengaja tak membalasnya dan hanya membacanya dari menu notifikasi di layar bar. Itu pun karena sebal akibat getaran ponsel yang cukup mengganggu aktivitas makanku. Namun, tak
Semesta Aksara"Buset, galak banget sih," ucapku saat mendengar jawaban ketus Rain di ujung panggilan telepon. Bukannya sok jaim ataupun berusaha bersikap baik, perempuan itu masih saja menunjukkan sisi galaknya padaku. Padahal, setiap perempuan mengharapkan apa yang kulakukan pada perempuan itu sekarang.Mereka pasti bakal bersorak senang ketika menerima telepon dariku. Tak jarang cewek-cewek itu dalam sekejap menjadi sosok menggemaskan dengan suara yang diimut-imutkan. Bahkan tidak sedikit yang mengirimkan pesan setiap malam, hanya demi memintaku mengirim voice note - telepon jika perlu, sebagai lagu pengantar tidur. Sementara makhluk yang satu ini, manusia bernama Rain - bukan Raina - sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan sedikit pun. Dia memang berbeda. Sangat berbeda. "Ya makanya nggak usah pakai basa-basi segala. Apa yang lo mau?" Suara galak Rain masih terdengar di ujung pelantang suara. "Oke, gue nggak bakal basa-basi lagi. Sekarang, gue ada di depan rumah lo!""Hah
Semesta Aksara"Kenapa wajah lo suntuk gitu?"Pertanyaan Narendra mengalihkan fokusku. Aku memutuskan pergi ke tongkrongan ketimbang pulang ke rumah. Pikiran tentang Rain masih terus menganggu dan aku butuh sesuatu untuk mengalihkan hal itu. Pergi ke tongkrongan menjadi satu-satunya pilihan di saat suntuk seperti sekarang. "Ndra, lo bilang Rain dapat beasiswa kan?""Iya, kenapa? Lo beneran tertarik sama, Rain?""Nggak penting, tapi gue barusan ke rumahnya. Dia anak orang kaya anjir. Rumahnya gede banget. Tinggal di kawasan perumahan mewah. Nggak salah tuh dia dapat beasiswa?"Narendra mengendikkan bahu. Aku menatapnya tak percaya. Temanku itu, dia adalah sumber dari segala informasi. Dari staf hingga rektor, tak ada yang luput dari pengawasan Narendra.Dia juga yang menjadi sumber informan ketika ada hal yang tak beres di kampus. Termasuk penggelapan uang yayasan yang sempat dilakukan sejumlah karyawan baru-baru ini. Narendra mendapatkan semua buktinya hingga membuat mereka tak bi