“Izumi-kun—” panggil Tsubaki ketika Izumi telah menghabiskan potongan terakhir steak-nya. Wanita itu tak langsung melanjutkan ucapannya. Sebaliknya ia menunggu Izumi terlebih dulu meneguk isi gelasnya. Lalu ketika pemuda itu meletakkan kembali gelasnya yang sudah kosong, Tsubaki meneruskan kalimatnya. “—bagaimana kabarmu?” mungkin sedikit terlambat kalau ia baru menanyakannya sekarang. Namun Tsubaki tahu, Izumi menangkap maksud pertanyaannya.
“Kami baik-baik saja selama sepuluh tahun ini jika itu yang ingin Anda ketahui. Meskipun Anda meninggalkan kami,” jawab Izumi. Ia mengucapkan kalimat terakhirnya dengan nada lirih. Sangat lirih hampir tak terdengar bahkan oleh Tsubaki.
“Takumi— ”
Mendengar nama ayahnya disebut Izumi tersenyum sinis. Ia membalas tatapan ibunya dengan ekspresi mencibir. “Untuk apa bertanya tentang ayahku? Mengharapkan cerita kalau beliau memanggil nama Anda di saat terakhirnya?”
“Izumi-kun—”
“Aku akan kembali ke atas. Terimakasih atas makanannya.” Izumi memotong ucapan Tsubaki lalu beranjak dari kursinya dan melangkah keluar meninggalkan ibunya sendirian yang kini tengah menatap kepergiannya dengan mata berkaca-kaca. Sampai di dalam kamarnya Izumi mengunci pintu lalu melangkah ke menuju jendela. Dibukanya jendela kaca itu lebar-lebar hingga angin malam yang sejuk leluasa masuk ke dalam kamarnya. Izumi menyandarkan punggungnya pada kusen jendela. Seluruh organ di dalam tubuhnya saat ini terasa seperti diremas kuat membuat Izumi ingin berteriak sekuat tenaga. Namun pada akhirnya keinginan itu hanya bisa tersalurkan dengan sebuah helaan napas panjang nan berat yang keluar dari bibir Izumi beberapa saat kemudian. Menyebalkan!
Esok harinya setelah menghabiskan sarapannya dengan cepat, Izumi bergegas berangkat menuju sekolah barunya. Waktu baru menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit—seharusnya masih terlalu pagi untuk terburu-buru berangkat karena takut terlambat. Namun Izumi memilih untuk pergi lebih awal karena entah mengapa perasaannya menjadi sesak jika lebih lama berada di rumah.
Menolak tawaran ayah Ryu yang ingin mengantarnya, Izumi memilih untuk berjalan kaki dipandu dengan aplikasi Maps dari ponselnya. Ia berharap setidaknya dengan berjalan emosinya yang sedikit bergejolak dari tadi malam bisa mereda. Jarak kediaman keluarga Nakagawa dengan Sakurai Goukou hanya tiga puluh lima menit dengan berjalan kaki—tidak terlalu lama menurut Izumi. Dengan mengikuti petunjuk dari ponselnya ia mengira semuanya akan lancar. Namun ternyata tidak. Di tengah perjalanan Maps Izumi tiba-tiba error dan berakhir membuatnya tersesat di tempat yang penuh dengan persimpangan jalan. Pemuda itu merutuk pelan pada kesialan di hari pertamanya. Ia menatap ke sekeliling berharap ada orang yang bisa ia tanyai. Sayangnya entah karena masih pagi atau dia yang terlalu sial, tak ada satupun orang yang melintas di tempat itu. Yah mungkin karena jalanan itu memang bukan jalan raya yang biasa dilalui oleh kendaraan banyak. Akhirnya Izumi memilih berjalan sesuai kemauan kakinya melangkah. Meskipun pada akhirnya pilihan itu malah membuatnya semakin tersesat. Pukul delapan kurang lima belas menit–sepuluh menit setelah ia berjalan tanpa arah, Izumi masih belum menemukan sekolahnya. Kenapa persimpangannya banyak sekali? sungut Izumi dalam hati ketika ia kembali dihadapkan dengan persimpangan jalan. Izumi mendengus pelan sambil terus melangkah. Kali ini ia beruntung, ketika berbelok iris obsidiannya melihat sosok gadis yang mengenakan seragam yang sama dengannya tengah berjalan beberapa langkah di depannya. Ia mempercepat langkahnya mengejar gadis itu.
“Ano, permisi!”
Gadis itu menoleh. Sosok gadis berambut silver panjang—gadis yang kemarin tak sengaja bertemu dengannya—Fujihara Yuki, berhenti melangkah dan menoleh ke belakang ke arah Izumi. “Izumi-san?” pandangannya kemudian tertuju pada seragam yang dikenakan Izumi. “Seragam itu … Izumi-san juga di Sakurai Goukou?” lanjutnya.
“Fujihara-san?” Izumi menghela napas lega. Kali ini ia tidak perlu tersesat lagi.
“Tersesat?” tanya Yuki selagi mereka berjalan.
Izumi mengangguk. “Daritadi aku hanya berjalan berputar-putar,” keluhnya.
Yuki tersenyum kecil mendengar jawaban Izumi. “Kenapa tidak berangkat bersama dengan Nakagawa-kun?”
“Dia sudah berangkat duluan. Kudengar ada latihan pagi atau semacamnya,” balas Izumi. Ia tadi sempat mendengar ibunya mengatakan hal seperti itu kepadanya.
“Ah, benar juga. Anak-anak klub basket sekarang rutin latihan tiap pagi dan sore untuk persiapan turnamen musim panas nanti,” jelas Yuki. “Ne, tak keberatan jika aku memanggil Izumi-san dengan sebutan Senpai mulai sekarang?” tanya Yuki.
“Tak apa. Tapi darimana kau tahu kalau aku akan menjadi seniormu?” tanya Izumi balik.
Yuki menunjuk sekilas ke arah dasi yang dikenakan Izumi. Pemuda itu ikut melihat dasinya sendiri lalu melempar tatapan penuh tanda tanya kepada Yuki. “Di Sakurai-Goukou warna dasi menunjukkan di kelas berapa mereka berada. Biru untuk siswa kelas satu, merah untuk kelas dua, dan hijau untuk siswa kelas tiga,” jelas Yuki.
“Aa jadi begitu.”
Izumi menganggukkan kepala mengerti dan tak mengatakan apa-apa setelah itu. Dia dan Yuki berjalan dalam diam. Di sekeliling mereka kini sudah mulai ramai dengan para siswa yang juga mengenakan seragam yang sama. Dan di ujung jalan gerbang sekolah bertuliskan Sakurai Goukou sudah terlihat. Tiba di sekolah Izumi langsung menuju ruang guru—yang sebelumnya ditunjukkan oleh Yuki—untuk menyerahkan dokumen kepindahannya. Setelah urusannya di ruang guru selesai, Izumi berjalan menuju kelasnya bersama dengan seorang guru laki-laki bernama Asahi yang sebelumnya memperkenalkan diri sebagai wali kelasnya.
“Bahasa Jepangmu sangat lancar walaupun kau tinggal di luar negeri,” ujar Asahi-Sensei dalam perjalanan menuju kelas.
“Di rumah Ayah saya selalu menggunakan bahasa jepang untuk mengobrol,” balas Izumi. Sudah dua orang yang mengatakan hal yang sama kepadanya. Kemarin Fujihara Yuki dan sekarang gurunya.
“Begitu, ma Sensei rasa kau tak akan kesulitan beradaptasi dengan kehidupan di sekolah jepang.” Izumi mengangguk sopan menanggapi hal itu.
Langkah Izumi dan Asahi-Sensei berhenti di depan kelas 3-A. Dari luar terdengar suara beberapa orang tertawa dan mengobrol yang kemudian berubah menjadi hening seketika begitu pintu kelas dibuka. Izumi bisa melihat ekspresi penasaran di wajah sebagian penghuni kelas ketika dirinya masuk bersama dengan Asahi-Sensei. Ekspresi itu tak bertahan lama karena sesudahnya Asahi-Sensei memperkenalkan Izumi, membuat rasa penasaran mereka terjawab.
“Hari ini kita kedatangan murid pindahan dari Amerika. Bapak harap kalian bisa berteman baik dengannya.” Asahi-Sensei melemparkan pandangan ke seluruh siswa sebelum akhirnya ia kembali menatap Izumi yang berdiri di sampingnya lalu berujar, “Silakan perkenalkan dirimu, Nak!”
“Yoshino Izumi desu. Yoroshiku onegaishimasu.”
Sebagian siswa di kelas itu membalasnya dengan kalimat ‘salam kenal’ dan sebagian lagi menepukkan tangan. Asahi-Sensei setelah itu meminta Izumi duduk di kursi ketiga dari belakang yang terletak persis di pinggir jendela. Beberapa siswa memberinya tatapan ramah saat Izumi tengah berjalan ke tempat duduknya. Setelah itu kegiatan belajar dimulai dan Izumi memulai harinya sebagai seorang siswa di SMA Jepang untuk pertama kalinya.
"Pagi!" Seperti biasa Yuki membalas sapaan anak yang menyapanya dengan ceria. Gadis itu melangkah dengan santai menuju loker sepatunya sambil sesekali bersenandung kecil. Ditariknya pintu loker besi itu dengan pelan. Tak disangka puluhan kaleng bekas berkelontang dari dalam lokernya dan jatuh berserakan di lantai, mengundang perhatian anak-anak yang lainnya untuk melihat apa yang terjadi. "Apa-apaan ini?!" Yuki menatap lokernya sendiri yang dipenuhi oleh sampah kaleng bekas. Terdapat secarik kertas ditempel dengan selotip di bagian dalam lokernya. Yuki menarik lepas kertas itu, membaca rangkaian huruf yang ditulis dengan tinta merah menyala. 'ENYAH KAU!!' begitu bunyi kalimat yang tertulis di sana. "Yuki!" Terlihat seorang gadis menyeruak di antara kerumunan anak-anak yang ada di sana, menghampiri Yuki dengan tergesa. "Anna." "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya gadis yang dipanggil Anna itu. Raut wajah Anna penuh dengan kekhawatiran melihat kejadian yang
Waktu berlalu, hari berganti. Para siswa kelas tiga semakin disibukkan dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Kesibukan itu, membuat Izumi perlahan lupa dengan suratnya. Eksistensi benda itu hampir menghilang sepenuhnya dari kepala Izumi, kalau saja dia tak menemukan setangkai krisan putih di loker sepatunya, kira-kira satu minggu setelah kejadian surat tanpa nama itu. Terdapat selembar kertas yang digulung kemudian diikat pada tangkai krisan itu, seolah seperti sebuah pita. Izumi melepas ikatannya, membaca sebaris kalimat pendek yang tertulis di sana. Musim ujian semakin dekat. Senpai, semangat! Izumi menengok kiri-kanan, berpikir mungkin masih ada jejak keberadaan orang yang meletakkan krisan itu di sekitar sana namun nihil. Memang area loker cukup ramai dengan lalu datang anak-anak yang berganti sepatu. Akan tetapi mereka terlihat tak terlalu peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing. Menghela napas pendek, Izumi melipat kertas itu, mengikatnya kembali ke bentuk semul
Selesai makan malam dan mengerjakan tugasnya, Izumi mengutak-atik kameranya. Foto-foto hasil jepretannya beberapa hari yang lalu dia pindahkan ke dalam laptopnya. Izumi lantas memilih salah satu dari sekian foto, mengeditnya agar terlihat lebih menarik. Raut wajahnya terlihat fokus. Waktu semakin berlalu dan Izumi semakin tenggelam dalam kegiatannya. Sesekali dia membuka ponselnya, mencari tutorial di internet saat menemukan kesulitan dalam menggunakan fungsi fitur-fitur yang tersedia pada perangkat lunak yang dia gunakan untuk mengedit. "Sulit juga," ujar Izumi. Setidaknya butuh waktu satu setengah jam baginya untuk selesai mengedit satu foto. Setelah lama tidak berkecimpung lagi dengan hal-hal yang berkaitan dengan fotografi, Izumi merasa kemampuannya di bidang itu juga ikut menurun. Dulu ketika masih aktif di klub fotografi, untuk mengedit satu foto biasanya dia hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit dan sekitar satu jam jika itu berupa foto potret. Setelah menyimpan hasil ker
“Kurasa pembahasannya sampai di sini dulu. Detailnya akan kita bahas lagi saat rapat berikutnya. Masing-masing divisi jangan lupa untuk merincikan biaya yang diperlukan sebelum diserahkan pada bendahara!” “Baik!” Nana menutup rapat tambahan senja itu dan anak-anak OSIS perlahan membubarkan diri satu persatu dari ruangan. Aizawa-Sensei—pembina OSIS Sakurai Goukou menghampiri Nana, memberikan sejumlah dokumen dan catatan kecil yang akan dibutuhkan dalam persiapan acara ke depannya. Perempuan itu meletakkan tangannya di bahu Nana. “Aku mengandalkanmu.” “Arigatou, Sensei,” balas Nana sopan sembari membungkukkan badan. Setelah mengunci Ruang OSIS dan mengembalikan kuncinya ke ruang guru, Nana berjalan menuju loker untuk mengganti sepatunya. Gadis itu melihat sejenak ke arah loker Izumi meskipun tak ada siapapun di sana. Dering singkat dari ponselnya, membuat Nana tak berlama-lama di sana. Dia berganti sepatu dengan cepat lalu bergegas ke depan sekolah, di mana bibinya sudah menunggu un
Senin, Izumi sudah kembali masuk sekolah seperti biasanya. Tiga hari tak masuk rasanya dia telah melewatkan banyak hal, terutama menyangkut mata pelajarannya. Oleh karena itu dia berusaha mengejar ketertinggalannya dengan meminjam catatan dari Kaito yang secara sukarela memberikannya.Izumi melemaskan persendian tangannya, berusaha mengurangi rasa pegal pada buku-buku jarinya setelah cukup banyak menyalin catatan materi dari Kaito ke bukunya sendiri. Pandangan Izumi menyapu ruang kelas 3-A yang berangsur-angsur sepi. Hanya tinggal dia dan Ichijou yang terlihat sedang bersiap-siap untuk pulang.“Izumi, kau masih belum mau pulang?” tanya Ichijou sambil memasukkan buku terakhir ke dalam tas sekolahnya.Izumi membalasnya dengan gelengan lalu mengangkat catatan yang masih harus dia salin. “Aku akan pulang setelah menyelesaikan ini.”“Kalau begitu, aku duluan. Sampai besok!”“Sampai besok!” balas Izumi.Kelas sudah sepi dan sekarang hanya tinggal dirinya yang ada di sana. Agar tak terlalu b
Izumi mengambil sebuah puding pemberian Yuki dan menyimpan sisanya di dalam kulkas. Saat sedang menyantap pudingnya, tak lama kemudian Ryu yang sudah berganti pakaian ikut bergabung dengan Izumi di ruang makan. Ryu meraih gelas porselen dari atas rak, mengisinya dengan air dari dispenser. Setelah meneguk habis airnya dan meletakkan gelas itu di wastafel, Ryu mendudukkan diri pada kursi berseberangan dengan Izumi.“Mama sedang keluar?” tanya Ryu setelah sepersekian detik melayangkan pandangannya mengitari area dapur dan ruang makan mencari keberadaan Tsubaki.Izumi mengangguk singkat. Dia mengangkat puding apelnya, menawarkannya pada Ryu. “Kau mau? Di kulkas masih ada.”Ryu menggelengkan kepala. Sebaliknya tangan pemuda itu menjangkau toples berisi cookies dan crackers yang sebelumnya dibawa oleh Izumi. “Ini, aku baru melihatnya. Apa mama yang membelinya?”“Ah, itu Mr. Sharon—pemilik rumah yang kami sewa di Amerika dulu, mengirimkannya untukku. Makan saja kalau kau mau,” ujar Izumi.“S