Suara dering ponsel terdengar. Callista yang masih tertidur pulas harus terbangun karena dering ponsel yang tak kunjung berhenti. Perlahan Callista membuka matanya, dia mengerjap beberaap kali. Tepat di saat Callista sudah membuka matanya, dia menatap jam dinding kini masih pukul enam pagi. Callista mendengus kala ponselnya kembali berdering. Dia paling tidak suka ada yang mengganggunya.
“Siapa yang menggangguku di pagi hari,” gerutu Callista kesal. Dengan terpaksa dia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas. Seketika Callista berdecak kala melihat nomor Alice, Ibunya muncul di layar ponselnya. Ingin sekali dia tidak menjawab, tapi jika dia tidaj menjawab, itu sama saja mencari masalah dengan Ibunya itu. Kini Callista menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya.
“Ya, Ma,” jawab Callista dengan nada malas saat panggilan terhubung.
“Kau di mana, Callista?” Suara Alice, Ibunya terdengat begitu dingin dari seberang line.
Callista mendengus. “Ma, ini masih ham enam pagi. Aku tentu di apartemenku. Ada apa, Ma menelponku sepagi ini? Aku masih mengantuk.”
“Kapan kau pulang, Callista? Apa kau ingin membuat ayahmu marah padamu? Mama tidak bisa terus menerus membelamu di hadapan ayahmu.”
“Ma, aku bukan anak kecil lagi. Jangan perilakukan aku layaknya anak kecil. Nanti aku akan pulang tapi tidak sekarang. Sudahlah, aku ingin segera ke rumah sakit. Hari ini aku memiliki banyak pekerjaan.”
“Callista, tunggu-“
“Aku mencintaimu, Ma.”
Callista menyela ucapan Alice dan langsung menutup panggilan teleponnya dan meletakan ponselnya ke tempat semula.
Kini Callista beranjak dari ranjang dan segera masuk ke dalam kamar mandi untuk bersiap-siap. Meski sebenarnya dirinya masih mengantuk tapi lebih baik baginya untuk segera berangkat ke rumah sakit.
Tiga puluh menit kemudian, setelah Callista selesai mandi dan telah berias—lalu berjalan meninggalkan apartemennya.
***
“Callista? Kau hari ini datang pagi?” Olivia yang baru saja turun dari mobil, dia menatap Callista yang juga baru turun dari mobil.
“Ya, aku sedang ingin datang pagi.” Callista melangkah mendekat ke arah Olivia. “Kau sendiri, kenapa datang pagi?”
“Tiga jam lagi aku memiliki jadwal operasi,” jawab Olivia.
“Yasudah, kita masuk ke dalam,” balas Callista.
Olivia mengangguk. Kemudian, dia dan Callista melangkah masuk ke dalam lobby rumah sakit.
“Dokter Olivia?” Seorang perawat berlari menghampiri Olivia di area lobby dengan begitu tergesa-gesa.
“Ada apa?” tanya Olivia dengan tatapan bingung pada perawat itu.
“Dokter Olivia, pasien sedang membutuhkan anda,” seru perawat itu dengan wajah panik.
“Minta Dokter lain untuk menggantikanku sebentar. Aku akan segera ke sana,” jawab Olivia cepat.
“Baik, Dokter,” Perawat itu langsung berjalan meninggalkan Olivia.
“Callista, aku duluan. Pasien membutuhkanku,” tukas Olivia seraya menatap Callista.
Callista mengangguk. “Ya, Olivia.”
Tanpa lagi berkata, Olivia melangkah menuju ruang kerjanya. Tepat di saat Olivia pergi, Callista pun hendak menuju ruang kerjanya. Namun, langkah Callista terhenti kala tiba-tiba dia melihat sosok yang melangkah mendekat ke arahnya.
“Well, rupanya kau Dokter yang sangat rajin. Pagi hari kau sudah datang. Padahal tadi aku melihat jadwalmu, kau tidak memiliki jadwal di pagi hari,” tukas Daniel dengan seringai di wajahnya.
Callista membuang napas kasar. “Tuan Daniel Renaldy yang terhormat, apa kau tidak memiliki pekerjaan lain hingga membuatmu melihat jadwalku?” jawabnya dengan nada kesal.
Daniel mengedikan bahunya tak acuh. “Datang ke rumah sakit milikku, ini sudah termasuk dengan bekerja.”
Callista mengumpat dalam hati mendengar apa yang dikatakan oleh Daniel. Pasalnya, pria itu mengatakan hal benar. “Sudahlah, aku ingin masuk ke dalam ruang kerjaku.”
“Tunggu.” Daniel menahan lengan Callista.
Callista mengalihkan pandangannya menatap dingin Daniel. “Ada apa, Tuan Daniel?”
“Kau bisa memanggilku cukup dengam namaku,” tukas Daniel.
“Tidak bisa, ini lingkungan kerja. Aku tidak mungkin memanggilmu hanya dengan nama saja,” balas Callista yang tidka menyetujui permintaan pria itu.
“Alright, kau benar. Ini masih lingkungan kerja,” jawab Daniel. “Tapi jika tidak di lingkungan kerja, kau cukup panggil namaku.”
Callista mengangguk singkat. “Sekaranga bisa kau lepaskan tanganmu? Aku ingin segera kembali bekerja.”
“Aku ingin kau menemaniku sarapan.” Tanpa menunggu jawaban dari Callista, Daniel langsung menarik Callista meninggalkan area lobby rumah sakit. Seketika Callista terkejut melihat Daniel menarik tangannya. Dia hendak menolak, namun tidak mungkin karena banyak orang di area lobby. Dengan Daniel menarik tangannya saja sudah menjadi pusat perhatian. Apalagi jika sampai dia memberotak. Itu sudah pasti akan menjadi berita pagi ini. Lebih baik baginya untuk mengikuti keinginan pria itu.
***
“Ada apa, Tuan Daniel? Kenapa kau memintaku untuk menemanimu?” tanya Callista sambil menyesap coklat panas di tangannya. Ya, kini dirinya dna Daniel telah berada di café terdekat dengan rumah sakit.
“Aku hanya ingin sedikit berbicara dengan Dokter yang bekerja di rumah sakit milikku,” jawab Daniel dengan santai.
Callista menarik napas dalam dan menghembuskan perlahan. “Kau ingin berbicara apa?”
“Apa alasanmu menjadi seorang Dokter?” tanya Daniel.
“Kenapa dengan profesionalku menjadi Dokter? Apa itu salah?” Bukannya menjawab, Callista membalikan pertanyaan Daniel dengan nada yang masih kesa.
“Tidak ada yang salah menjadi seorang Dokter. Aku hanya bertanya saja.” Daniel mengambil cangkir yang berisikan kopi espresso lalu dia menyesapnya perlahan.
“Sejak aku kecil, menjadi seorang Dokter adalah mimpiku,” jawab Callista.
Daniel mengangguk. “Mimpi yang berhasil kau wujudkan. Kau termasuk beruntung, Dokter Callista.”
Callista mengangkat sebelah bahunya tak acuh. “Ya, aku bekerja keras mendapatkan apa yang aku impikan.”
‘Walau sebenarnya seluruh keluargaku melarangnya,’ tambah Callista dalam hati.
“Bailah, Tuan Daniel. Aku rasa aku harus segera kembali ke rumah sakit sekarang. Hari ini, banyak pasien yang harus aku periksa.” Callista melihat arlojinya kini sudah pukul sepuluh pagi. “Apa ada lagi hal yang ingin kau bicarakan padaku?” tanyanya sambil menatap Danuel sebelum dia pergi dari café itu.
“Tidak,” Daniel menggelengkan kepalanya. “Terima kasih untuk waktumu, Dokter Callista.”
“Terima kasih juga karena anda telah mentraktirku sarapan,” balas Callista. Kemudian, dia melangkah meninggalkan café itu dan segera kembali menuju rumah sakit.
Senyum di bibir Daniel terukir saat Callista sudah pergi meninggalkannya. Wanita itu keras kepala, tidak bukan hanya keras kepala tapi wanita itu juga memiliki sifat dingin dan terlihat sangat tangguh. Tidak bisa dipungkiri, wanita itu benar-benar cukup menarik. Karena memang selama ini, Daniel selalu mengenal wanita yang memiliki sifat manja dan kekanakan. Sangat berbeda dengan Callista. Diawal mengenal, tentu pria akan berpikir Callista wanita yang lemah lembut karena memiliki paras begitu cantik. Tapi, nyatanya wanita itu memiliki sifat yang keras dan tangguh.
***
-To Be Continued
“Ah, lelah sekali.” Callista melangkah keluar dari ruang operasi. Setelah hampir sepuluh jam dia melakukan tindakan, kini dirinya begitu kelelahan.“Callista, apa kau langsung pulang?” tanya Olivia yang juga kelelahan. Dia memijat pelan tekuk lehernya. Tubuhnya seolah benar-benar remuk.“Mungkin iya, tubuhku lelah sekali. Aku ingin berendam,” jawab Callista. “Yasudah, aku ingin ke ruang kerjaku dulu, ya?”Olivia mengangguk. “Ya, aku juga ingin langsung pulang ke rumah.”Callista tersenyum. Kemudian melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya. Meski lelah, tapi Callista selalu bahagia setiap kali operasi berhasil menyelamatkan pasiennya.Saat Callista baru saja tiba di ruang kerjanya—dia mendengar suara dering ponsel miliknya terus berdering. Callista mendekat, lalu mengambil ponselnya dan menatap ke layar. Seketika Callista mengembuskan napas kasar ketika melihat nomor Alice, ibunya tert
“Nyonya.” Seorang pelayan menghampiri Alin yang tengah menyirami bunga-bunga di tamannya.“Ada apa?” Alin bertanya pada pelayan yang kini berdiri di hadapannya.“Nyonya, maaf mengganggu anda. Tapi di depan ada tamu yang Bernama Nona Megan Alister ingin bertemu dengan anda. Beliau mengatakan anda sendiri yang mengundangnya,” ujar sang pelayan memberitahu.“Megan sudah datang?” Raut wajah Alin tampak begitu bahagia mendengar Megan Alister sudah datang. Ya, dia mengundang anak dari teman dekatnnya untuk berkunjung ke rumahnya.Sang pelayan menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya.”Alin tersenyum. “Kau siapkan minuman untuknya. Aku akan segera ke depan.”“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Alina.Alin terus mengembangkan senyumannya. Kini dia berjalan meninggalkan taman itu, menuju tempat di mana Megan Alist
Berita tentang Daniel Renaldy menjalin hubungan dengan Callista Hutomo, putri keluarga keluarga Michael Hutumo telah tersebar. Banyak yang berkomentar mereka adalah pasangan yang sempurna. Selama ini publik tidak pernah tahu tentang Callista. Karena memang hanya Putri sulung Michael hutumo, Jessica yang kerap kali muncul di hadapan media. Banyak orang pikir Michael hanya memiliki satu putri saja. Namun kenyataanya Michael memiliki putri yang berprofesi sebagai Dokter di rumah sakit milik Daniel.Semua berita yang tampil pagi ini, membuat raut wajah Alin berubah dipenuhi dengan amarah. Iris matanya penuh dengan kebencian mendalam.“Sialan!” Alin membanting vas bunga yang ada di hadapannya, hingga pecahan belingnya memenuhi lantai. Sorot mata Alin menajam, berkali-kali Alin mengumpat kasar.“Aku tidak akan pernah membiarkan putraku menikah dengan putrimu, Casandra,” geram Alin penuh dengan kebencian.Kini Alin menyambar kunci mobilny
Michael membanting kasar guci yang ada di ruang kerjanya. Kini, keadaan ruang kerja Michael benar-benar tampak begitu kacau. Terlihat jelas kemarahan di wajahnya. Ya, Micahel tidak mampu lagi mengatasi amarahnya, kala melihat pemberitaan tentang putri bungsunya dan putra dari Gio Renaldy. Michael terus mengumpat kasar, merutuki kebodohannya sampai dia tidak tahu pemilik Queen Hospital, tempat di mana Callista bekerja adalah milik Daniel Renaldy. Jika saja, dia tahu sejak awal, maka ini tidak akan pernah terjadi.“Sialan kau, Gio. Aku tidak akan membiarkan putriku menikah dengan putramu!” geram Michael dengan tangan yang terkepal kuat. Rahangnya mengetat. Kilat kemarahan
Daniel duduk di kursi kebesaraannya. Dia menyandarkan punggungnya di kursi seraya memejamkan matanya lelah. Pikirannya terus memikirkan perkataan kedua orang tuanya. Diawal hubungannya dengan Callista, kedua orang tuanya menyetujui hubungannya. Bahkan kedua orang tuanya begitu mendukung. Tapi, setelah mereka tahu Callista adalah putri Michael Hutomo, mereka langsung melarangnya menjalin hubungan dengan Callista. Daniel merasakan sesuatu hal antara keluarganya dan keluarga Callista.Tanpa ingin lagi berpikir, Daniel langsung menekan tombol interkom. Dia meminta Harry, assistantnya untuk segera datang menemuinya. Tidak lama kemudian, Harry melangkah masuk ke dalam
“Mereka baik,” jawab Daniel dengan nada datar dan tatapan begitu serius pada kekasihnya itu. “Callista, ada hal yang ingin aku tanyakan padamu,” lanjutnya yang membuat Callista bingung.“Ada apa, Daniel? Apa yang ingin kau tanyakan?” Alis Callista saling bertautan. Dia terus menatap Daniel. Sesaat, dia memperlihatkan tatapan Daniel yang terlihat ingin mengatakan sesuatu padanya. Sebuah tatapan yang sangat berbeda dari biasanya.“Apa kau mempercayaiku?” Daniel membawa t
Daniel turun dari mobil, dia melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah dinginnya. Para penjaga dan pelayan yang melihat Daniel datang, mereka langsung menundukan kepala mereka, menyapa Daniel. Namun, Daniel mengabaikan sapaan para penjaga dan pelayannya. Rasa kesal dalam dirinya, membuatnya bersikap dingin pada penjaga dan pelayanna. Kini, dia melangkah menuju ruang keluarga, dan segera menemui kedua orang tuanya itu.Saat Daniel tiba di ruang keluarga, dia mengerutkan keningnya kala melihat wajah muram kedua orang tuanya. Tatapan Daniel menatap mata sembab Alin, ibunya yang tampak begitu jelas habis menangis. Sedangkan wajah Gio, ayahnya terlihat jelas menahan amarahnya.
“Sayang, angkatlah. Siapa tahu itu penting. Jangan seperti itu, ponselmu sejak tadi tidak henyi berdering. Kita masih memiliki banyak waktu bersama.” Callista membawa tangannya megelus rambut Daniel.Daniel membuang napas kasar. Dia tampak begitu enggan menjawab teleponnya itu. Tapi apa yang dikatakan Callista itu benar. Dengan terpaksa, Daniel mengambil ponselnya yang terletak di atas meja itu, lalu mengalihkan pandangannya ke layar. Seketika kening Justin berkerut, melihat nomor Gio, ayahnya muncul di layar ponselnya.
Daniel menyandarkan punggungnya di kursi, seraya memejamkan mata sesaat. Entah kenapa sejak tadi malam, dia terus memikirkan Callista. Dia merasa ada sesuatu yang Callista sembunyikan darinya. Ya, tentu karena Daniel sangat mengenal kekasihnya itu. Sejak dulu, Callista memang tidak hebat menyembunyikan sesuatu. Namun, meski demikian, Daniel langsung menepis segala pikiran negative yang muncul di benaknya. Disaat Daniel sedikit bersantai, pandangan dia teralih pada sebuah televisi yang ada diruangannya. Seketika Daniel menatap pembawa berita yang tengah menyampaikan sesuatu.*Kabar hari in datang dari pengusaha muda Daniel Renaldy. Pewaris dai Renaldy Group ini dikabarkan menjali