Selama ini, Dara merasa baik-baik saja dengan kehidupan barunya yang jauh dari harta dan hingar-bingar kehidupan mewahnya. Meski awalnya memang sulit untuk menerima semua ini, tapi mau bagaimana lagi, mau tidak mau ia harus menerima semuanya. Walau pun, ibunya masih belum bisa menerima semua yang telah terjadi padahal sudah tiga tahun terjadi. Tapi, Dara percaya jika tuhan sedang mempersiapkan rencana yang baik untuk mereka.
Mungkin, dulu ia yang paling marah ketika para kejaksaan mengambil semua milik mereka. Dara yang paling kesal atas semua yang menimpa mereka. Tapi, sekarang berkat kejadian itu, Dara bisa keluar dari keterpurukan nya dan sudah menjadi orang yang mandiri serta pekerja keras, dan menjadi tulang punggung keluarga.
Hari ini, seperti yang ia lakukan setiap bulannya ia akan menjenguk ayahnya Febri Sandjaya di penjara dengan membawakan dua bungkus nasi padang, untuk mereka makan bersama-sama di sana sambil berbincang mengenai banyak hal. Sudah hampir tiga tahun lamanya mereka hidup terpisah seperti ini, terkadang Dara sering membayangkan kapan mereka bisa berkumpul kembali bersama-sama dan menghabiskan banyak waktu bersama di rumah mereka yang sederhana. Tapi, sayangnya kepolisian telah menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara kepada ayahnya. Ah, seandainya saat ini Dara memiliki banyak uang untuk bisa menjamin kebebasan ayahnya, Dara pasti akan melakukannya.
Tapi, jangankan untuk itu. Untuk makan sehari-hari pun, mereka masih sangat kesulitan.
"Nak .... " panggil sang ayah.
Dara bergegas menghapus air mata di wajahnya, dan tersenyum lebar kepada sang ayah sembari menunjukkan sebuah kantung plastik berisi dua bungkus nasi padang itu.
Febri tersenyum, namun air mata jatuh dari pelupuk matanya secara tak terduga, melihat putrinya yang dahulu begitu sangat manja dan terlihat glamour itu telah berubah menjadi gadis pekerja keras, dan telah berperan sebagai tulang punggung keluarga menggantikan dirinya entah sampai kapan.
"Duduk ayah! " ujar Dara, dengan wajah penuh senyum ceria.
"Kalian hanya memiliki waktu selama 30 menit!" seru sang sipir penjara yang baru saja mengantarkan ayahnya ke ruang besuk.
Dara mengangguk, "Iya pak. Terima kasih," ucapnya, lalu kemudian sipir penjara itu meninggalkan mereka berdua.
Febri menggenggam erat lengan putrinya. "Nak, maaf karena ayah telah menyusahkanmu. Maaf karena ayah tidak bisa menjadi ayah yang baik untukmu,"
Dara menggelengkan kepalanya, mencoba mati-matian menghalau air matanya agar tidak jatuh, ia tidak boleh menangis di depan ayahnya sekarang.
"Ayah ... Dara selalu bilang untuk berhenti menyalahkan diri ayah sendiri. Dara baik-baik saja, justru karena adanya kejadian ini, Dara banyak belajar tentang hidup," jawabnya, Dara membalas genggaman lengan ayahnya. "Dara mohon, berhenti menyalahkan diri ayah sendiri ya. Dan soal Ibu, Dara akan membahagiakannya, ayah jangan terlalu khawatir ya .... "
Kemudian tangis Febri mulai pecah, bersama Dara. Tuhan, lihatlah bagaimana bijaknya dan dewasanya Dara, anak itu masih bisa tersenyum di hadapannya meskipun kehidupan dan waktu begitu sangat kejam kepadanya. Ia benar-benar beruntung memiliki putri seperti Dara ini.
"Ayah, sudah Dara bilang jangan menangis ...." isak Dara.
Febri malah semakin terisak. Ia berdiri dari duduknya dan menghampiri Dara lalu memeluknya dengan erat. "Maafkan ayah Dara. Maafkan Ayah ...."
*****
"Waktu kalian sudah habis!" Sipir penjara kembali datang, dan bergegas membawa ayahnya kembali ke sel tahanan.
Dara bergegas membereskan bungkusan nasi padang yang telah habis mereka makan, kemudian pamit kepada ayahnya, bersamaan dengan ayahnya yang telah di bawa masuk kembali ke dalam sel tahanan. Dara menghela napas pelan, ia harus kuat demi ayah dan ibunya.
Dara bergegas keluar dari kantor kepolisian yang sudah sangat tidak asing baginya itu, bahkan Dara sudah berteman baik dengan beberapa anggota kepolisian di sini. Salah satunya adalah Farhan, anggota kepolisian yang kebetulan sepantaran dengannya.
"Kau sudah mau pulang?"
Dara mengangguk pelan, "Iya, aku harus kembali bekerja,"
Farhan nampak mengerutkan keningnya, "Bagaimana jika ku antar sampai ke tempat kerjamu?" tawar Farhan.
Dara langsung menggeleng, "Ah, jangan Farhan! Aku bisa sendiri, lagi pula aku tidak ingin merepotkanmu," tolaknya halus.
Farhan mendengus kesal, "Aku sama sekali tidak repot Dara. Bagaimana?"
Namun, sekali lagi Dara menggeleng. "Tidak Farhan. Begini saja, jika semua tugasmu sudah selesai, aku akan mentraktir mu makan. Bagaimana?"
Kedua mata Farhan langsung berbinar. "Benarkah?"
Dara mengangguk, ia tahu jika Farhan sedang menangani banyak kasus kali ini, ia juga tidak ingin terus bergantung kepada Farhan. "Bagaimana? Deal?" ucap Dara sembari menjulurkan lengannya kepada Farhan.
Farhan tertawa, kemudian menjabat lengan Dara. "Oke Deal! Kalau begitu, sampai jumpa nanti," lalu keduanya terkekeh bersama.
"Oke, sampai jumpa Farhan," pamit Dara.
Dan siapa yang menyangka jika ada sebuah mobil yang berhenti tidak jauh dari kantor kepolisian itu, dan memperhatikan segala interaksi mereka berdua dari dalam mobilnya. Pria itu tampak sedikit terusik dengan pemandangan di depan matanya itu.
"Tuan?" Sang sopir kembali berseru, pasalnya mereka sudah lama berhenti di sana.
Danu tidak menjawab, ia hanya memberikan isyarat kepada sang sopir untuk diam. Sedang kedua matanya tetap fokus menatap kedua orang yang kini masih tertawa dengan lepas. Danu tidak mengerti, bagaimana Dara masih bisa tertawa selepas itu, padahal keadaannya sangat memprihatinkan.
Sebelumnya, Danu memang berniat datang ke kantor kepolisian untuk melihat ayah Dara yang sudah tiga tahun mendekam di sel tahanan. Namun siapa sangka jika sebelum ia masuk, ia melihat Dara tengah bersama seorang anggota kepolisian. Mereka terlihat begitu sangat akrab, apakah mereka adalah sepasang kekasih?
Danu mengepalkan tangannya. Lihatlah, bahkan wanita itu sempat tertawa dan bercanda dengan pria itu.
Danu mendengus tidak suka, 'Nikmati waktumu sekarang, sebelum aku merenggut semua kebahagiaanmu.' Batin Danu.
"Tuan Muda?" Sang sopir pribadinya kembali bersuara.
Danu berdeham pelan, "Kita putar balik saja. Aku lupa ada banyak berkas yang harus ku tanda tangani,"
Rio, sang sopir sekaligus asistent pribadi Danu itu merasa sedikit aneh. Pasalnya tidak ada berkas masuk yang perlu di tanda tangani, tuan mudanya itu bahkan memiliki banyak wktu luang hari ini.
"Rio? Kau mendengarku?" ucap Danu.
Rio langsung mengangguk. "Iya tuan." ucapnya, kemudian Rio langsung mengemudikan mobilnya untuk putar arah kembali ke perusahaan Danu Alfarez.
Otak Danu kembali menyusun rencana, memikirkan ia akan memulai balas dendamnya darimana, apakah ia langsung saja menghancurkan hidup Dara? Atau ia harus melakukannya perlahan-lahan dan membuat Dara merasakan kehancuran yang perlahan-lahan juga?
Danu masih perlu waktu untuk memikirkan bagaimana cara ia membalas dendam kepada Dara, dan membuatnya tidak boleh goyah sedikit pun hanya karena Dara adalah seorang wanita. Ia akan balas dendam, meski pun Dara adalah seorang wanita yang pernah merajai hatinya.
******
Bekerja seharian tentu saja sangat menguras tenaga, terlihat sosok wanita tengah menghela napas pelan, sedang jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 11 malam. Itu artinya tugasnya telah selesai, dan ia bisa bergegas pulang. Sembari merapikan kursi-kursi dan meja yang berantakan, dengan senyuman manis masih terbit di wajah lelah milik Dara.
Dara bekerja sebagai waitress di sebuah cafe, karena ia masih terbilang baru jadi ia bertugas membersihkan cafe setelah selesai bekerja.
"Dara!" seru Charlie, si pemilik cafe berjalan menghampiri dirinya, dengan sebuah amplop coklat di tangannya, senyum Dara semakin melebar, tepat hari ini adalah hari ia akan mendapatkan uang gaji bulanannya.
"Ini uang gajimu bulan ini," ucapnya, sembari memberikan amplop itu kepada Dara.
Dara terlihat begitu sangat senang, "Terima kasih pak," ucap Dara penuh syukur. Ia sudah merencanakan akan pergi ke suatu tempat bersama ibunya besok, dan ibunya pasti akan senang. Dan siapa tahu setelah itu, ibunya akan kembali ceria dan tidak lagi terpuruk berlarut-larut dalam kesedihan.
Charlie menghela napas pelan, sebelum akhirnya menatap wajah Dara dengan serius. "Dara?" panggil Charlie lagi.
Dara menatap Charlie, "Ya, pak?"
"Besok, kau tidak perlu datang lagi kemari," ucapnya tiba-tiba.
Binar di wajah Dara mulai meredup, ia tidak mengerti apa maksud dari pemilik cafe tersebut. Kenapa ia tidak boleh datang lagi besok?
"Pak--"
Charlie memotong ucapan Dara, "Kamu saya pecat!" ujarnya. Bahkan Charlie tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan ucapannya.
Dunia Dara benar-benar runtuh. Di pecat? Tapi kenapa?
"Pak, bukankah Anda mengatakan jika kinerja saya selama ini sangat bagus? Lalu kenapa tiba-tiba--"
"Tidak ada alasan apa pun, kau di pecat Dara!" Sela Charlie lagi.
Tubuh Dara terkulai lemas, beruntung ia mencengkeram meja di sampingnya untuk menahan tubuhnya. "Pak, kenapa?" lirihnya.
Namun, Charlie langsung pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Dara terisak pelan, kenapa rasanya tuhan senang sekali mempermainkan hidupnya? Mengapa di saat ia sudah mendapatkan pekerjaan dengan susah payah, secepat itu tuhan membuat semua perjuangannya itu tak berarti.
Kini, ke mana ia harus mencari pekerjaan yang mau menerima dirinya yang berstatus sebagai anak koruptor?
Dara mengusap wajahnya yang berurai air mata, mencoba menguatkan dirinya jika ia tidak boleh menyerah secepat ini. Bukankah ia masih bisa bekerja sebagai tukang cuci gosok dari rumah ke rumah?
Iya Dara tidak boleh menyerah. Dengan menyeret langkahnya yang lemah, Dara meninggalkan cafe itu setelah mengambil tas dan memasukkan uang gajinya ke dalam tas.
Dara tertawa miris, ketika tetesan air hujan membasahi kepalanya. "Kenapa rasanya menyedihkan sekali ...." lirihnya, kemudian ia menangis di bawah derasnya air hujan. Ia tidak tahu dosa apa yang pernah ia lakukan di masa lalu, hingga tuhan menghukumnya dengan sangat kejam seperti ini, tidak cukupkah semua penderitaan yang Dara dan ibunya rasakan selama ini?
Dara terus berjalan menerobos derasnya hujan dengan langkahnya yang gontai. Dara merasa jika kali ini kehidupan sangat kejam kepadanya, sangat ingin meruntuhkan segala ketegarannya dengan cobaan yang begitu bertubi-tubi.
Apa yang akan ia katakan pada ibunya nanti? Ia tentu tidak ingin membuat ibunya semakin sedih mendengar kabar pemecatan dirinya. 'Tuhan, kenapa engkau begitu tega melakukan ini padaku?' Batinnya.
"Dara!" di tengah derasnya hujan, Dara melihat sosok Raisa berlari ke arahnya dengan sebuah payung yang ia gunakan untuk menghalau air hujan agar tidak membasahinya.
Dara semakin terisak, sampai Raisa berada di hadapannya dan menatapnya sangat khawatir, Dara masih menangis. "Dara, kenapa hujanan begini? Tante Amara mencarimu. Tante--"
"Raisa ... kenapa tuhan begitu kejam pada kami?" lirih Dara, sembari terisak pelan.
Raisa bergeming, ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi kepada Dara, tapi ia yakin jika saat ini Dara sedang tidak baik-baik saja. "Dara, jangan begini. Sebaiknya kita cari tempat berteduh ya?" ajak Raisa.
Dara bahkan sudah pasrah ketika Raisa merangkul bahunya dan mereka berdua berlindung di bawah payung yang sama. Raisa juga membawanya ke sebuah warung soto pinggir jalan, berharap bisa mengurangi sedikit rasa sedih yang di rasakan oleh sahabatnya itu.
"Ibu, pesan soto ayam dua porsi ya bu!" seru Raisa.
"Duduklah Dara." ucap Raisa.
Raisa ikut menyusul duduk di samping Dara setelah menutup payung miliknya. "Dara, apa yang terjadi?" tanya Raisa.
Dara bergeming, namun air mata terus mengalir dari kedua matanya. Raisa lantas memeluk tubuh basah Dara dengan erat, membiarkan sahabatnya itu menumpahkan tangisnya di pelukannya.
"Kenapa tuhan begitu jahat? Kenapa?" keluhnya. Tangis Dara tumpah, dan Raisa ikut terisak pelan. Selama mengenal Dara, ia sudah tahu hal apa yang terusnmenimpa Dara dan Ibunya, dan kali ini Raisa setuju jika tuhan sangat kejam kepada mereka.
Sementara itu di tempat lain, terlihat seorang pria tengah duduk di ruang kerjanya dengan botol wine serta sloki yang berada di atas meja kerjanya Pria itu tampak tengah berbicara dengan seseorang melalui telepon.
"Tuan, nona Dara sudah meninggalkan cafe itu dan Charlie juga sudah menjalankan tugasnya dengan baik," suara Rio, asistennya terdengar.
Danu menyesap winenya, dengan santai. "Bagus! Apa kau sudah meminta seluruh pemilik cafe, restorant hingga pabrik untuk menolak Dara?" tanyanya. Ya, benar! Semua yang terjadi pada Dara hari ini adalah ulahnya.
Rio berdehem, "Sudah tuan. Tapi tuan, apakah ini tidak--"
Danu bangkit dari duduknya, memandang pemandangan gelapnya malam yang di temani deras hujan, dari kantornya. "Aku tidak mempekerjakanmu untuk ikut campur urusanku. Baiklah Rio, kau hanya perlu menunggu perintah dariku, dan jangan lupa, untuk memberikan sejumlah uang yang sudah ku janjikan kepada Charlie." serunya dingin.
"Baik tuan,"
Danu memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Dara Ameera, apakah perempuan itu baik-baik saja? Atau perempuan itu masih bisa tersenyum seperti hari-hari biasanya?
Danu menggebrak meja kerjanya dengan keras, ini baru permulaan Dara ....
Ini semua memang sangat awal bagi Danu, karena lain waktu ia akan membuat Dara lebih menderita dan membuat wanita itu memohon kepadanya untuk mengembalikan semuanya seperti semula, dan pada saat itu Danu akan mengikat Dara dengan erat hingga perempuan itu lebih menderita.
Dara ....
Danu mengerang pelan, ketika ia menyebut nama itu. Nama yang pertama kali membuatnya jatuh cinta, dan patah hati secara bersamaan. Berulang kali Danu mencoba mencari sesuatu untuk menyembuhkan luka hatinya, namun di saat ia telah sembuh dari lukanya, tuhan kembali mempertemukannya dengan Dara, yang semakin membuat luka di hatinya kembali menganga.
Dan kini, di masa dan keadaan yang berbeda, ia akan datang sebagai malaikat maut untuk Dara, dan membalaskan semua rasa sakitnya kepada Dara.
Dara, ini masih belum selesai.
Apakah tuhan akan terus memihak kepadanya, atau suatu saat tuhan membalikkan hatinya. Kita lihat saja nanti, apakah Danu akan masih tetap ingin menjalankan semua rencananya, atau sebaliknya, ia akan kasihan kepada Dara?
Lagi-lagi, ia di tolak. Dara kembali tersenyum pedih, kenapa nasib malangnya tidak pernah berakhir? Bahkan setelah berhari-hari ia menjalani panggilaninterview,semua perusahaan menolaknya, dengan alasan pendidikannya hanya sebatas SLTA saja. Serta tidak memiliki pengalaman pekerjaan di perusahaan besar, ia hanya memiliki pengalaman kerja di cafe kecil yang tidak terlalu ramai. Dara sudah tidak ingin menyalahkan takdirnya begitu menyedihkan. Ia hanya ingin terus semangat mencari pekerjaan untuk menghidupi ia dan ibunya. Tapi, mencari pekerjaan dengan Ijazah SLTA saja tentu sangatlah sulit. Di zaman sekarang ini, tempat mana yang akan mempekerjakannya tanpa peduli dengan Ijazah yang ia miliki. "Aww--" Dara meringis pelan, ketika turun dari angkutan umum. Wanita itu bergegas berjalan dengan kakinya yang sakit, ke sebuah halte. Sampai di sana, ia bergegas membuka sepatuHeelsmiliknya, dan benar saja tumitnya tampak
"Ini untuk upah kerjamu hari ini. Terima kasih ya Dara, saya puas dengan hasil kerja mu," ucap sang wanita paruh baya, yang selalu mempekerjakan Dara di rumahnya sebagai tukang cuci dan gosok. Bukan hanya satu rumah saja, Dara bekerja untuk beberapa rumah di sekitar lingkungannya, dan ia bersyukur karena semuanya sangat puas dengan hasil kerjanya. Ia beruntung, karena sebelumnya sering belajar menggosok pakaiannya sendiri saat keadaan keluarga mereka sedang jaya. Dan siapa sangka, jika hal itu yang kini membantunya untuk mendapatkan biayamakan sehari-hari.Meski uang yang di dapat tidak besar jumlahnya, Dara tetap bersyukur. Jika semakin banyak pakaian yang ia cuci dan ia gosok, semakin banyak pula uang yang akan ia dapatkan dan setidaknya, ia memiliki uang untuk meneruskan kehidupan mereka di kota yang keras ini.Meski setiap malam ia harus mengeluh karena seluruh badannya sakit, tapi Dara tidak pernah kapok untuk terus bekerja sebagai tukang cuci. Mungkin, ini adalah
Rumah kontrakan Dara, begitu heboh dengan kedatangan Raisa yang tiba-tiba. Wanita itu bahkan tidak berhenti berteriak memanggil namanya, dengan wajah yang terlihat penuh senyum nan merekah, Dara sudah dapat menebak jika wanita itu pasti tengah mendapat kabar yang sangat baik. "Dara. Dara! Kau harus tahu ini, kau di terima di perusahaan Alfarez Group! Selamat sayangku, aku sangat senang!" serunya dengan satu tarikan napas. "Apa?!" sosok Amara, langsung mengguncang bahu Raisa. "Apakah yang kau katakan itu benar?" tanyanya. Kemudian Raisa mengangguk. "Ya tuhan, Raisa. Rencana kita berhasil!" seru Amara, lantas keduanya saling memeluk penuh rasa gembira dan syukur. Dara bergeming di tempatnya, mencoba tidak percaya dengan ucapan yang barusan ia dengar. Dara tidak percaya jika ibunya dan juga Raisa telah merencanakan hal yang akan menariknya kepada Danu Alfarez. "Jadi, kalian diam-diam telah mengirim lamaran pekerjaanku ke Alfarez Group?" tan
Danu Kemudian menoleh, menatap ke arah Dara. Sial! Ia langsung mengetatkan rahangnya, ketika melihat kedua pria mesum itu merobek pakaian Dara di bagian depan.Shit!Tanpa memedulikan Andra, ia bergegas berlari ke arah Dara dan membuka jasnya, menutupi tubuh depan wanita itu dengan jasnya. "Jangan sentuh wanitaku!" tegas Danu, dengan tatapan tajam andalannya. Nyali kedua pria tua mesum itu langsung ciut. Mereka tentu tahu, siapa pria yang berdiri melindungi gadis di hadapan mereka itu, kedua pria mesum itu tampak terdiam beberapa saat dengan wajah yang memucat. Sial, mereka telah mengusik seorang Alfarez. "Pergi sekarang juga, atau aku akan membuat kalian kehilangan tangan?!" Teriak Danu. Kedua pria tua itu langsung kabur, setelah membayar tagihan mereka dan meninggalkan bar itu dengan segera sebelum Danu Alfarez melakukan ancamannya. "Bagus sekali Dara Ameera. Alih-alih bekerja di perusahaanku, kau lebih me
Tanpa membuang banyak waktu lagi, Danu bergegas membawa Dara masuk ke dalam rumah sakit Andra. Begitu mereka sampai, ia berteriak meminta perawat membawakan brankar untuk Dara yang sudah tidak sadarkan diri. Lalu, tak lama sosok Andra muncul, dan mengarahkan Danu ke ruang rawat untuk perawatan Dara.Sebelumnya, ia memang sudah menelepon Andra untuk menyiapkan satu kamar rawat untuk Dara. Selain karena jarak yang dekat, Danu juga lebih baik membawa Dara ke rumah sakit Andra, untuk menghindari skandal yang akan membuat lawan bisnisnya senang. Kerutan penuh khawatir terlihat jelas di wajah Danu, bahkan ia sampai mendorong sendiri ranjang itu, ke ruangan yang sudah Andra siapkan untuk Dara. Danu benar-benar sangat mencemaskan kondisi Dara saat ini, entahlah sejak pertemuan mereka di bar malam itu, Danu merasasedikitsimpati kepada Dara.Andra menepuk bahu pria itu dengan pelan. “Tenanglah, aku akan memeriksa keadaannya,” ucap Andra, ke
Hari ini, Dara resmi bekerja di restoran cepat saji, ia bekerja sebagi pengantar makanan pesanan dari konsumen. Beruntung dulu ia sangat mahir menggunakan sepeda motor, dan sekarang ia tidak kesulitan mengendarainya untuk bekerja.Seharian ini, Dara tampak sibuk kesana-kemari mengantarkan pesanan, tapi Dara tidak merasa lelah, ia bersyukur saat ini tuhan tidak lagi menyulitkan kehidupannya. Tapi tetap saja, ia masih bertanya-tanya apakah pekerjaan ini ada hubungannya dengan Danu? Jika benar, apa yang sebenarnya yang sedang pria itu rencanakan untuknya?Tapi, apa pun itu Dara akan mencoba untuk tidak memikirkannya, ia hanya ingin fokus bekerja sebelum Danu kembali membuat ulah dengan kehidupannya."Dara!" seru Farhan yang tiba-tiba saja muncul di depan restoran tempatnya bekerja. Pria itu tampak tampan seperti biasanya, hanya saja saat ini ia sedang tidak memakai seragam kepolisian miliknya.Dara langsung tersenyum lebar. Ah, rasanya sudah lama sekali ia t
Dara menghapus air mata nya dengan kasar, selama ia berada di dalamliftentah mengapa air mata nya tidak pernah berhenti untuk mengalir. Beruntung saat ia menaikilift,tidak ada orang lain yang masuk sampai akhirnya ia sampai dilobbyperusahaan milik Danu ini. Seharusnya, ia memang tidak pernah datang kemari dan akhirnya membiarkan dirinya di hina seperti itu oleh Danu, Salsa serta Andrea. Seharusnya ia tahu, jika Danu pasti tidak akan pernah melepaskannya, dan membiarkannya di hina dan menjadi bahan ejekan mereka."Aku benar-benar bodoh," kekehnya miris."Dara? Kau Dara kan?" suara seseorang, baru saja membuyarkan lamunannya barusan. Ia melirik ke arah suara, dan menemukan sosok Alby yang tengah menggendong seorang anak perempuan berusia kira-kira tiga tahunan, sedangkan di samping pria itu ada sosok wanita cantik dengan perut besar, Dara dapat menebak jika wanita itu tengah hamil."Dara! Kau mengingat
"Lepaskan tanganku!" seru Dara, wanita itu langsung menghempaskan lengan Danu dengan kasar. Persetan jika ia akan menjadi pembicaraan semua orang di kantor ini. Mengingat kini ia dan Danu berada di depan gedung perusahaan Danu, yang tentunya cukup sangat ramai di siang hari.Dara masih menatap Danu yang masih tampak bergeming, menatap tangannya yang baru saja ia hempaskan dengan kasar itu. "Tuan Alfarez yang terhormat, ku mohon ... jangan lagi seperti ini. Kita tidak cukup dekat, untuk berjalan bersama, dengan tangan yang saling menggenggam!" serunya.Danu bergeming, baginya Dara tidaklah berubah. Ia tetap mempesona meski dengan tampilan yang sederhana. Dara juga tetap cantik, bahkan saat wanita itu sedang marah dan kesal seperti ini."Kenapa?" ucapan Danu, berhasil membuat tatapan wanita itu beralih kepadanya."Kau tanya kenapa?" tanya Dara.Danu mengangguk, berjalan satu langkah ke hadapan Dara, hingga kini jarak di antara mereka hanya tersisa be