Frendell tidak terlihat seperti hadiah.
Benteng batu itu berdiri tinggi di atas tanah dingin yang dipeluk kabut sepanjang hari. Angin berhembus dari arah utara, membawa aroma tanah basah dan cemara busuk. Dindingnya berlumut. Jendela-jendelanya kecil, seperti mata yang selalu waspada. Gerbang besinya berat, tua, dan berderit saat dibuka seolah menyesali kedatangan siapa pun yang memasukinya. Frendell bukan kastil utama. Ia hanyalah benteng pengawas di wilayah timur Kekaisaran—San Jequine, daerah perbatasan yang terkenal dengan hutannya yang pernah menjadi kuburan ratusan pasukan. Hutan Darah, begitu rakyat menyebutnya. Tempat ini lebih seperti hukuman daripada kehormatan. Aku turun dari kereta lebih dulu, mengamati bangunan besar itu dari halaman depan. Tak ada suara penyambutan. Hanya beberapa prajurit lokal dan pelayan tua yang berdiri kaku, tampak seperti mereka belum pernah melihat bangsawan sebelumnya. Lalu pintu kereta di belakangku dibuka perlahan. Aku menoleh. Zoey turun tanpa menatap siapa pun. Topi militerku masih ia pakai. Terlalu besar untuknya, namun ia tidak melepasnya.Dia masih tak menyangka, topi militer yang dulu berbau perang, kini bertengger dikepala wanita yang sudah terikat dengan janji suci sehidup semati dengannya.
Kata-katanya yang berbisik diotaknya, saat Zoey meminta perlindungan. "Apakah ada penutup untuk pandanganku? Aku harus bersembunyi dari mata-mata orang yang serakah."
Angin menggoyangkan ujung kain itu, membuatnya tampak seperti bayangan. Aku menawarkan tanganku. Dia menerimanya. Untuk beberapa detik... hanya itu. Tidak ada kata, tidak ada gestur, hanya genggaman ringan—dan dingin. “Ini... tempat tinggal kalian sekarang?” tanya Ruth pelan dari belakangku. Nada suaranya tidak menyembunyikan rasa tidak terkesannya. “Untuk sementara,” jawabku pendek. Dan entah kenapa, aku tahu, sementara bisa berarti bertahun-tahun. Kami dipandu masuk. Seorang pria paruh baya dengan rambut putih rapi dan jubah pelayan berdiri menanti di ambang pintu. Wajahnya cekung, namun tatapannya jernih. “Selamat datang, Yang Mulia Duke Zergan. Saya Mike, kepala pelayan Frendell,” katanya sambil menunduk dalam. Lalu ia menoleh pada Zoey, memberi hormat lebih dalam lagi. Zoey hanya menunduk ringan, memandang karpet tua yang membentang di lorong. Mike tidak banyak bicara. Tapi tatapannya padaku tulus—seperti seseorang yang sudah terlalu lama menunggu seseorang mengambil alih tempat ini. Setiap langkah kami bergema di dinding batu. Frendell seperti menelan suara-suara, seolah tak terbiasa dihuni manusia. Ruangan tempat kami berdua akan tinggal disiapkan di menara timur. “Tempat ini... seperti perut monster yang tertidur.” Aku menoleh sekilas. “Kau takut?” Ruth mendengus. “Takut tidak. Tapi... aku lebih suka tidur di luar dengan api unggun daripada di dalam dinding yang seolah menguping.” “Kau bisa pergi kapan pun kalau mau,” jawabku datar. Ruth berhenti sebentar. “Bukan maksudku mengeluh, Zergan.” Aku menahan napas. “Lalu?” Dia menatapku, lebih dalam kali ini. “Aku hanya ingin kau sadar. Tempat ini tak ramah. Bukan hanya secara fisik… tapi secara jiwa. Jika kau berharap hidup di sini seperti di markas militer, kau salah.” Aku menahan balasannya. Zoey melangkah beberapa langkah di depan kami. Diam, memeluk dirinya sendiri. Suaranya tak terdengar sejak turun dari kereta. “Aku tahu ini tidak mudah,” kata Ruth lebih pelan, nadanya menurun. “Tapi dia bukan prajurit. Dia seorang putri… yang kau bawa ke sarang bayangan.” Aku memandang punggung Zoey. Rambutnya ditiup angin dari jendela yang terbuka sedikit. Langkahnya ragu-ragu, tapi ia tidak pernah meminta untuk dibimbing. “Aku tidak memilih tempat ini, Ruth,” ujarku, lirih. Ruth menatapku lama. Lalu angguk kecil. “Tapi sekarang tempat ini memilihmu. Maka kau harus menjadikannya hidup… sebelum ia menelan kalian satu per satu.” Kami melanjutkan langkah dalam diam. Hanya suara sepatu yang menyentuh lantai batu tua, dan bayangan lampu minyak yang menari di dinding. Dan entah kenapa, suara Ruth terasa lebih panjang dari lorong itu sendiri. Kami melanjutkan langkah dalam diam. Hanya suara sepatu yang menyentuh lantai batu tua, dan bayangan lampu minyak yang menari di dinding. Dan entah kenapa, suara Ruth terasa lebih panjang dari lorong itu sendiri.“Menjadikannya hidup…” gumamku dalam hati.
Tapi bagaimana menghidupkan sesuatu yang tidak pernah ingin bangkit?
Lorong bercabang dua. Mike berhenti, memberi isyarat.“Kamar Duke Zergan di sisi kanan menara, Putri Zoey di sisi kiri. Semua sudah disiapkan sesuai instruksi,” ujarnya singkat.
Aku hanya mengangguk.
Zoey berhenti, menoleh sebentar ke arah lorongku, lalu kembali memandang pintunya sendiri. Tidak ada kata, tak juga harap.
Aku masih berdiri saat Ruth menarik lengan bajuku pelan. Hanya sedikit—cukup untuk membuatku menoleh.
“Aku tak tahu apa yang menunggumu di sini, Zergan,” bisiknya pelan, “tapi jangan hadapi semua sendirian.”
Aku menatapnya. Mata Ruth bukan mata prajurit saat itu. Tapi sahabat. Satu dari sedikit yang tersisa.
“Kadang, benteng paling rapuh adalah yang tak terlihat,” lanjutnya.
Aku hanya mengangguk tipis, lalu melangkah menuju pintuku.
Ruth pergi menyusul Mike. Langkahnya menjauh tanpa suara.
Zoey sudah berdiri di ambang pintunya. Setengah tubuhnya tenggelam dalam bayangan.
Langkah sepatu hak tinggi bergema di lantai marmer yang dingin. Wanita itu berjalan perlahan, nyaris angkuh, dengan gaun mewah berwarna merah marun menyapu lantai seperti darah mengalir. Setiap perhiasan di tubuhnya.Ada sesuatu yang ia cari didalam kamar ini… dan ia menemukannya.Sehelai rambut. Lalu dua. Lalu tiga.Ia meraihnya perlahan, hati-hati, seakan menyentuh pusaka rapuh. Diselipkannya rambut-rambut itu ke dalam sapu tangan sutra putihnya, lalu dilipatnya rapi.Namun sebelum ia sempat berbalik, suara langkah lain menggema dari lorong. Tegas. Berwibawa.Kenop pintu berputar keras. Pintu terbuka. BRAK!Sosok kaisar muncul, berdiri tegak di ambang pintu dengan wajah murka. Heran dengan sikap wanita didepannya.“Apa yang kamu lakukan di sini?” lanjut kaisar. “Aku tidak pernah mengizinkan siapa pun masuk ke kamar putriku sejak ia menikah.”Diam.“Di mana Pangeran Ketiga?” desaknya. “Atau... apa sekarang kau akan mengulangi kejadian mengerikan yang menimpa Axa?”Sorot mata Elira se
Siang turun cepat. Para prajurit duduk terengah-engah di bawah naungan kecil. Air disediakan dalam kendi besar, dan luka ringan diobati oleh dua orang maid.Zergan masih berdiri, tidak minum. Tapi tatapannya berputar, menghitung, mengukur siapa yang cepat lelah, siapa yang bertahan meski kehabisan tenaga.Kemudian, bayangan lembut bergerak di pinggir lapangan.Zoey.Ia berjalan perlahan, diiringi Lily yang membawa tas berisi kuas dan kain lap. Di tangan Zoey, ia membawa lukisan setengah jadi—yang kini warnanya mulai hidup.“Apakah aku mengganggu?” tanyanya pelan dari sisi lapangan.Zergan berjalan menghampirinya, ekspresinya tidak berubah, tapi nada suaranya sedikit melunak.“Kau tidak pernah mengganggu.”Zoey tersenyum kecil. “Aku pikir… tempat ini terlalu banyak warna abu-abu. Jadi aku datang membawa sedikit warna.”Ia menunjukkan lukisannya. Di dalamnya, langit sedikit lebih jingga dari aslinya. Kabut lebih tipis, dan prajurit-prajurit digambar seperti siluet yang tumbuh dari tanah
Ruangan itu masih berbau debu tua dan arang terbakar. Namun begitu Zoey duduk, keheningan berubah jadi sesuatu yang lembut—seperti lembaran kain tipis yang melayang dan menyelimuti mereka berdua.Zergan menatap istrinya sebentar, lalu bertanya dengan nada rendah dan hati-hati, “Bolehkah aku mendekat, Zoey?”Zoey menoleh perlahan, matanya menyapu wajah Zergan yang selama ini ia rindukan dari balik mimpi-mimpi kabur. Ia mengangguk kecil.Zergan menggeser duduknya, kini berada tepat di samping perempuan itu.Ia tidak langsung menyentuhnya. Tapi melihat rambut pirang yang kusut oleh tidur panjang itu, Zergan mengangkat satu tangannya dan merapikannya perlahan. Beberapa helai tersangkut di bahunya, seperti bekas dari bantal yang tak pernah nyaman.“Rambutmu... seperti belum disentuh tangan siapa pun sejak semalam,” gumamnya.“Kau masih sedikit demam,” ujar Zergan sambil menyentuh pelan keningnya dengan punggung jari.“Hanya sedikit Zergan,” balas Zoey, suaranya pelan namun jelas.Zergan me
Hari berikutnya, embun masih menempel di rerumputan ketika Ruth berdiri di pelataran, mengenakan jubah coklat tebal dan ikat pinggang berisi tiga gulungan simbolik. Kuda perak miliknya meringkik pelan, tak sabar. Di hadapannya, Zergan menatap tanpa ekspresi.Zergan tidak langsung menjawab. Ia menatap jendela lantai atas, kamar Zoey.Ruth menaiki kudanya,dia harus pergi keperbatasan San Jequine dengan Geneuine, siluetnya memudar.Dan Zergan pun berbalik.------------------------Satu jam kemudian, tanah lapang dalam halaman kastil mulai terisi.Zergan berdiri di tengah, mengenakan mantel kulit hitam dengan lambang Frendell disulam di sisi kanan dadanya. Di sekelilingnya, dua puluh pemuda dari desa-desa sekitar, sebagian besar belum pernah memegang pedang kecuali untuk menebas semak.Tak satu pun dari mereka bicara.Karena Zergan tidak membuka sesi ini dengan sambutan, pujian, atau janji.Yang ia lakukan adalah melempar tombak ke tanah.Keras.“Satu dari kalian akan mati jika ini adalah
Ruangan itu masih berbau debu tua dan arang terbakar. Namun begitu Zoey duduk, keheningan berubah jadi sesuatu yang lembut—seperti lembaran kain tipis yang melayang dan menyelimuti mereka berdua.Zergan menatap istrinya sebentar, lalu bertanya dengan nada rendah dan hati-hati, “Bolehkah aku mendekat, Zoey?”Zoey menoleh perlahan, matanya menyapu wajah Zergan yang selama ini ia rindukan dari balik mimpi-mimpi kabur. Ia mengangguk kecil.Zergan menggeser duduknya, kini berada tepat di samping perempuan itu.Ia tidak langsung menyentuhnya. Tapi melihat rambut pirang yang kusut oleh tidur panjang itu, Zergan mengangkat satu tangannya dan merapikannya perlahan. Beberapa helai tersangkut di bahunya, seperti bekas dari bantal yang tak pernah nyaman.“Rambutmu... seperti belum disentuh tangan siapa pun sejak semalam,” gumamnya.“Kau masih sedikit demam,” ujar Zergan sambil menyentuh pelan keningnya dengan punggung jari.“Hanya sedikit, Suamiku,” balas Zoey, suaranya pelan namun jelas.Zergan
Hari berikutnya, embun masih menempel di rerumputan ketika Ruth berdiri di pelataran, mengenakan jubah coklat tebal dan ikat pinggang berisi tiga gulungan simbolik. Kuda perak miliknya meringkik pelan, tak sabar. Di hadapannya, Zergan menatap tanpa ekspresi.Zergan tidak langsung menjawab. Ia menatap jendela lantai atas, tempat Zoey masih belum bangun.Ruth menaiki kudanya, menarik tali kekang, dan dalam satu hentakan, kuda itu berlari melintasi jembatan batu Frendell. Di balik kabut pagi, siluetnya memudar.Dan Zergan pun berbalik.------------------------Satu jam kemudian, tanah lapang dalam halaman kastil mulai terisi.Zergan berdiri di tengah, mengenakan mantel kulit hitam dengan lambang Frendell disulam di sisi kanan dadanya. Di sekelilingnya, dua puluh pemuda dari desa-desa sekitar, sebagian besar belum pernah memegang pedang kecuali untuk menebas semak.Tak satu pun dari mereka bicara.Karena Zergan tidak membuka sesi ini dengan sambutan, pujian, atau janji.Yang ia lakukan ad