Home / Romansa / Darah & Bisikan Istri Terkutuk / Bab 2 (Janji suci atau jebakan?)

Share

Bab 2 (Janji suci atau jebakan?)

Author: Lovaera
last update Last Updated: 2025-06-26 15:05:45

Kami tak langsung meninggalkan istana.

Sebelum pergi, kami diarahkan ke ruang doa—

sebuah tempat kecil yang sunyi, jauh dari aula megah dan pilar-pilar emas istana pusat. Tak ada bunga. Tak ada musik.

Hanya lantai batu dingin, dinding batu tua, dan jendela tinggi tempat cahaya masuk seperti doa yang tertahan.

Tamu undangan hanya satu: Ruth.

Dan seorang pendeta tua yang memandang kami dengan ragu, seperti bertanya-tanya apakah ini benar-benar disebut upacara pernikahan.

Zoey berdiri di sampingku, kepala masih tertutup topi militerku.

Ia tak menatap siapa pun. Tapi tidak mundur.

Pendeta membaca doa. Suaranya rendah, khusyuk, tidak terburu-buru.

Lalu saatnya tiba: aku mengambil sebuah cincin sederhana dari saku dalam mantelku.

Perak polos, tanpa ukiran. Benda kecil yang terasa terlalu ringan dibandingkan berat hidup yang sedang kami ikat.

Aku mengulurkan tangan.

Berniat menyematkan cincin itu ke jari manisnya.

Namun Zoey... menarik tangannya.

Refleks. Pelan. Tapi pasti.

Aku terdiam sejenak.

“Apakah Anda tak menyukai pernikahan ini, Yang Mulia?”

Suara ku tak naik, tak kecewa. Hanya bertanya.

Zoey menggeleng pelan.

“Bukan pernikahannya.”

Aku mengangguk sedikit. Memutar pertanyaanku.

“Apakah Anda tak suka cincin?”

Kali ini, ia mengangguk.

Pendeta memandang kami, tak bicara. Ruth tetap diam di ujung ruangan.

Aku menghela napas perlahan, lalu menyelipkan cincin itu kembali ke telapak tanganku.

Tanganku merogoh ke bagian dalam leher bajuku.

Mengambil seuntai rantai tipis, sangat tipis. Hampir seperti helai rambut.

Rantai itu dulunya kupakai untuk menggantung peluit perak militer saat perang.

Kini... kupakai untuk benda lain.

Aku mengaitkan cincin ke rantai itu, membuatnya menjadi kalung.

Lalu aku menggenggamnya di depan Zoey.

“Bagaimana dengan kalung... apakah Anda suka?”

Ia menatap benda itu sejenak.

Lalu mengangguk. Pelan. Sekali lagi.

Aku mendekat, memasangkan kalung itu dengan hati-hati di lehernya.

Sentuhan kami tidak menyentuh. Tapi kalung itu tergantung di dada Zoey seperti janji yang tak perlu dipaksa.

Pernikahan ini tak diwarnai bunga. Tak diwarnai sorak.

Hanya bisikan hati yang tak berani keluar.

Dan dua orang asing...

yang perlahan, menyesuaikan diri pada luka masing-masing.

Zoey hanya menunduk ketika para pelayan mulai menyiapkan kereta.

Gaunnya menyentuh tanah dengan anggun, tapi tubuhnya seperti menghindar dari sorotan.

Aku sempat bertanya dalam hati, apa gadis ini tahu apa yang baru saja ia ikuti?

Atau apakah dia hanya menjalani… karena tak punya pilihan?

🥁

Aku membantunya naik ke dalam kereta.

Tanganku menahan lengannya perlahan, ringan—sekadar memastikan ia tak terjatuh.

Dia tak menatapku. Tapi juga tak menarik diri.

Sebenarnya aku belum siap menerima semua ini.

Istri. Gelar. Kastil.

Apakah aku terlalu egois jika masih bertanya-tanya... apakah ini benar-benar hadiah?

Atau jebakan yang dibungkus kehormatan?

Setelah memastikan Zoey duduk dengan aman, selimut tipis disampirkan ke kakinya,

aku menutup pintu dan mundur.

Dia tak bicara sepatah kata pun.

Aku naik ke kereta kedua, bersama Ruth.

Satu kereta untuk sang putri.

Satu kereta untuk Duke yang baru diangkat—dan tangan kanannya.

Ruth menyilangkan tangan di dadanya, mengangkat satu alis.

"Yah... walaupun pernikahan ini terlalu tiba-tiba..."

Ia menatapku dari sudut mata, tersenyum kecil.

"...Selamat atas pernikahan Anda... Duke?"

Aku mendesah pendek, menoleh padanya.

Ia masih dengan wajah tak berdosa, seolah menunggu aku bereaksi seperti anak muda yang baru saja diberi gelar kebangsawanan di dalam drama opera.

"Aku bahkan belum menyentuh makan siangku hari ini, Ruth."

Suaraku datar.

"Tapi kau menyentuh tangan sang putri."

Ia menyeringai.

Aku menoleh ke jendela, mengabaikannya.

Langit mulai gelap, awan berat menggantung. Jalanan menuju Frendell panjang dan lembap, dibingkai hutan rimbun yang mulai memerah.

"Dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, statusmu dari rakyat miskin jadi bangsawan tinggi, dari komandan perang jadi suami putri... gila, bukan?"

Ruth bersandar.

Aku tak menjawab.

Karena memang gila.

Dan lebih dari itu—aku belum tahu apakah ini berkah... atau awal kehancuranku.

Kereta berguncang pelan melewati jalanan berbatu. Di luar, ranting-ranting pohon menggoreskan bayangan tipis ke kaca jendela.

“Aku tadi melihat wajah putri kedua,” ujar Ruth tiba-tiba.

Nada suaranya sinis, seperti biasa.

Aku melirik sekilas. Dia menyender santai di pojok kereta.

“Dia tersenyum manis. Tapi... terlalu menjijikkan.”

Dia menyeringai kecut.

“Desas-desus tentang ‘wanita ular’ ternyata benar adanya. Wajahnya bisa menipu, tapi auranya...”

Dia menggeliat tidak nyaman, seolah membuang sesuatu dari pundaknya.

“Menjijikkan. Mengapa anak-anak kaisar abad ini tidak ada yang menjanjikan?”

Aku mengangguk kecil. “Bukankah pangeran baru saja dilahirkan?”

“Oh, yang baru diumumkan sebelum pemanggilanmu tadi pagi itu?”

Ruth tertawa kecil. “Ya. Anak ketiga Sang Kaisar dan permaisuri barunya—Pangeran Axa. Baru berusia... empat puluh dua jam.”

Aku terdiam.

Empat puluh dua jam. Dan sudah jadi pewaris.

“Betapa uniknya. Setiap anak lahir dari permaisuri berbeda.”

“Politisinya luar biasa, bukan?”

Ruth mendengus.

“Bayangkan, satu anak dari istri tua yang sudah dikurung, satu dari istri yang seperti ular... dan sekarang satu lagi dari permaisuri baru yang tak pernah kita lihat wajahnya.”

Aku menghela napas. “Apakah Yang Mulia Putri memiliki saudara lain?”

“Hmm... kalau kau maksud anak haram, aku belum dengar desas-desus baru.”

Ia berpikir sebentar. “Tapi sejauh ini, yang diakui kekaisaran hanya tiga. Putri Zoey, Putri Belluna, dan Pangeran Axa.”

“Herannya... kau tahu sejarah dan gosip ibukota, ya?”

Ruth menepuk dadanya dramatis. “Kau ini meremehkanku, Zergan.”

“Harusnya kau bersyukur aku ini paket komplit. Informasi, strategi, taktik, dan gosip kerajaan.”

Aku tak bisa menahan sudut bibirku untuk tidak naik sedikit.

“Kalau bukan aku, siapa lagi yang akan memberitahumu? Pangeran bayi itu?”

“Dia bahkan belum bisa membuka matanya.”

Kami sama-sama tertawa pelan, untuk pertama kalinya sejak pagi ini.

Di luar, langit mulai menampakkan warna kelabu lembut, tanda senja akan datang.

Perjalanan masih panjang. Tapi keheningan tak lagi terasa seberat tadi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   Bab 5 (Permulaan)

    Karena aku tahu, bahkan di tempat setenang Frendell... luka tidak pernah benar-benar tidur “Ruth,” panggilku sebelum dia benar-benar keluar ruangan. Dia menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Kau yakin tidak ada hal lain yang... perlu aku tahu soal tempat ini?” Dia masuk lagi, menutup pintu dengan punggungnya, lalu menyandarkan diri sebentar. “Frendell?” Aku mengangguk. Dia menyilangkan tangan, tatapannya sedikit berubah. “Kau tahu kastil ini pernah jadi wilayah pengasingan, bukan?” “Untuk siapa?” “Orang-orang penting yang terlalu... berbahaya untuk dibunuh, tapi terlalu rusak untuk dibiarkan di ibu kota.” Aku menarik napas perlahan. “Lalu kenapa sekarang jadi milikku?” “Karena kau berbahaya... dan bisa dikendalikan,” katanya lirih. “Atau setidaknya mereka pikir begitu.” Aku menatap gelasku. “Mereka?” “Kau tahu siapa maksudku.” Ruth mendekat lagi, menarik kursi dan duduk. “Dewan dalam. Menteri pengawasan. Penasihat kekaisaran. Dan mungkin... permaisuri baru.” “

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   Bab 4 (Teka-teki)

    Malam itu aku duduk sendiri di ruang pertemuan kecil yang disiapkan untukku. Mike telah menyalakan perapian dan meninggalkan ruangan tanpa suara. Pelayan yang tahu kapan harus bicara—dan kapan sebaiknya diam. Tak lama kemudian Ruth datang membawa laporan singkat dari penjaga perbatasan. Katanya, wilayah San Jequine sedang panas. Ada kerusuhan kecil dua minggu lalu. Kaisar mungkin sengaja mengirimku ke sini karena tahu—aku tahu cara menjaga batas. Tapi kenapa harus dengan seorang istri? Kenapa Zoey? “Apa menurutmu dia tahu alasan sebenarnya dia dikirim bersamaku?” tanyaku pelan. Ruth duduk di sisi lain meja. Ia membuka botol wine kecil dari kotak perjalanan kami. Mengisinya setengah. “Menurutku... dia lebih tahu dari yang kau pikirkan,” katanya. “Dan itu justru yang membuatnya menakutkan.” Aku tak menjawab. Angin luar bertiup lebih kencang malam itu. Suara serigala terdengar samar dari kejauhan, seperti nyanyian sedih dari batas dunia. Di tempat asing ini,

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   Bab 3 (Istri Gila)

    "Yang mulia Zoey." Panggilku Tak ada jawaban. Ia bahkan tidak bergerak. Aku menunggu. Satu napas. Dua. Lima. Dan akhirnya, perlahan, ia menoleh. Mata itu... bukan mata orang gila. Tapi juga bukan mata yang hidup. Mata itu... kosong. Seperti telah melihat terlalu banyak, dan memutuskan berhenti melihat. Dan seketika aku sadar: dia bukan takut padaku. Bukan malu. Dia... tidak percaya dunia nyata masih ada. Aku menarik napas pelan. “Aku takkan menyentuhmu,” kataku akhirnya, tenang. “Aku hanya disuruh menjemputmu.” Ia masih menatapku. Hening. Lalu, perlahan—sangat perlahan—Zoey berdiri. Langkahnya pelan, ringan seperti kabut. Ia berjalan ke arahku, dan aku bisa mencium aroma kamarnya—bunga kering dan debu. Ia berhenti tepat di depanku. Lalu mengangguk. Satu kali. Pelan. Mungkin itu caranya bilang: ‘Aku tahu.’ Atau mungkin: ‘Baiklah.’ Atau mungkin... hanya caranya bertahan. Aku menoleh ke belakang. Ruth menunggu di lorong. Kami tak bicara apa-apa saat ka

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   Bab 2 (Janji suci atau jebakan?)

    Kami tak langsung meninggalkan istana. Sebelum pergi, kami diarahkan ke ruang doa— sebuah tempat kecil yang sunyi, jauh dari aula megah dan pilar-pilar emas istana pusat. Tak ada bunga. Tak ada musik. Hanya lantai batu dingin, dinding batu tua, dan jendela tinggi tempat cahaya masuk seperti doa yang tertahan. Tamu undangan hanya satu: Ruth. Dan seorang pendeta tua yang memandang kami dengan ragu, seperti bertanya-tanya apakah ini benar-benar disebut upacara pernikahan. Zoey berdiri di sampingku, kepala masih tertutup topi militerku. Ia tak menatap siapa pun. Tapi tidak mundur. Pendeta membaca doa. Suaranya rendah, khusyuk, tidak terburu-buru. Lalu saatnya tiba: aku mengambil sebuah cincin sederhana dari saku dalam mantelku. Perak polos, tanpa ukiran. Benda kecil yang terasa terlalu ringan dibandingkan berat hidup yang sedang kami ikat. Aku mengulurkan tangan. Berniat menyematkan cincin itu ke jari manisnya. Namun Zoey... menarik tangannya. Refleks. Pelan. T

  • Darah & Bisikan Istri Terkutuk   BAB 1 (Hadiah Perang)

    Langkah boot besi menghantam lantai marmer putih, keras dan berat. Suaranya menggema di seluruh ruang tahta, memantul di dinding-dinding tinggi yang dipenuhi ukiran emas dan lambang kekaisaran. Ruangan itu sunyi, tapi penuh mata.Zergan melangkah masuk tanpa ragu. Tingginya menjulang, hampir dua meter, bahunya lebar, tubuhnya masih terbungkus armor yang belum sempat diganti. Pedang di pinggangnya masih berlumur darah yang sudah mengering—jejak pertempuran terakhir yang belum sempat dihapus.Di sekelilingnya, para bangsawan berdiri dalam diam. Jubah mereka harum, wajah mereka bersih, tangan mereka kosong dari luka. Mereka menatap Zergan seolah ia kotoran yang tak sengaja masuk ke ruang suci ini. Tapi tak satu pun berani berkata apa-apa.Ia adalah pahlawan hari ini.Komandan tertinggi pasukan kekaisaran Geneuine.Zergan berhenti tiga langkah dari singgasana."Yang Mulia," ucapnya serak. Lalu, ia menunduk. Dalam. Menekuk lutut, membungkuk dalam diam. Punggungnya yang penuh luka perang ki

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status