Kami tak langsung meninggalkan istana.
Sebelum pergi, kami diarahkan ke ruang doa— sebuah tempat kecil yang sunyi, jauh dari aula megah dan pilar-pilar emas istana pusat. Tak ada bunga. Tak ada musik. Hanya lantai batu dingin, dinding batu tua, dan jendela tinggi tempat cahaya masuk seperti doa yang tertahan. Tamu undangan hanya satu: Ruth. Dan seorang pendeta tua yang memandang kami dengan ragu, seperti bertanya-tanya apakah ini benar-benar disebut upacara pernikahan. Zoey berdiri di sampingku, kepala masih tertutup topi militerku. Ia tak menatap siapa pun. Tapi tidak mundur. Pendeta membaca doa. Suaranya rendah, khusyuk, tidak terburu-buru. Lalu saatnya tiba: aku mengambil sebuah cincin sederhana dari saku dalam mantelku. Perak polos, tanpa ukiran. Benda kecil yang terasa terlalu ringan dibandingkan berat hidup yang sedang kami ikat. Aku mengulurkan tangan. Berniat menyematkan cincin itu ke jari manisnya. Namun Zoey... menarik tangannya. Refleks. Pelan. Tapi pasti. Aku terdiam sejenak. “Apakah Anda tak menyukai pernikahan ini, Yang Mulia?” Suara ku tak naik, tak kecewa. Hanya bertanya. Zoey menggeleng pelan. “Bukan pernikahannya.” Aku mengangguk sedikit. Memutar pertanyaanku. “Apakah Anda tak suka cincin?” Kali ini, ia mengangguk. Pendeta memandang kami, tak bicara. Ruth tetap diam di ujung ruangan. Aku menghela napas perlahan, lalu menyelipkan cincin itu kembali ke telapak tanganku. Tanganku merogoh ke bagian dalam leher bajuku. Mengambil seuntai rantai tipis, sangat tipis. Hampir seperti helai rambut. Rantai itu dulunya kupakai untuk menggantung peluit perak militer saat perang. Kini... kupakai untuk benda lain. Aku mengaitkan cincin ke rantai itu, membuatnya menjadi kalung. Lalu aku menggenggamnya di depan Zoey. “Bagaimana dengan kalung... apakah Anda suka?” Ia menatap benda itu sejenak. Lalu mengangguk. Pelan. Sekali lagi. Aku mendekat, memasangkan kalung itu dengan hati-hati di lehernya. Sentuhan kami tidak menyentuh. Tapi kalung itu tergantung di dada Zoey seperti janji yang tak perlu dipaksa. Pernikahan ini tak diwarnai bunga. Tak diwarnai sorak. Hanya bisikan hati yang tak berani keluar. Dan dua orang asing... yang perlahan, menyesuaikan diri pada luka masing-masing. Zoey hanya menunduk ketika para pelayan mulai menyiapkan kereta. Gaunnya menyentuh tanah dengan anggun, tapi tubuhnya seperti menghindar dari sorotan. Aku sempat bertanya dalam hati, apa gadis ini tahu apa yang baru saja ia ikuti? Atau apakah dia hanya menjalani… karena tak punya pilihan? 🥁 Aku membantunya naik ke dalam kereta. Tanganku menahan lengannya perlahan, ringan—sekadar memastikan ia tak terjatuh. Dia tak menatapku. Tapi juga tak menarik diri. Sebenarnya aku belum siap menerima semua ini. Istri. Gelar. Kastil. Apakah aku terlalu egois jika masih bertanya-tanya... apakah ini benar-benar hadiah? Atau jebakan yang dibungkus kehormatan? Setelah memastikan Zoey duduk dengan aman, selimut tipis disampirkan ke kakinya, aku menutup pintu dan mundur. Dia tak bicara sepatah kata pun. Aku naik ke kereta kedua, bersama Ruth. Satu kereta untuk sang putri. Satu kereta untuk Duke yang baru diangkat—dan tangan kanannya. Ruth menyilangkan tangan di dadanya, mengangkat satu alis. "Yah... walaupun pernikahan ini terlalu tiba-tiba..." Ia menatapku dari sudut mata, tersenyum kecil. "...Selamat atas pernikahan Anda... Duke?" Aku mendesah pendek, menoleh padanya. Ia masih dengan wajah tak berdosa, seolah menunggu aku bereaksi seperti anak muda yang baru saja diberi gelar kebangsawanan di dalam drama opera. "Aku bahkan belum menyentuh makan siangku hari ini, Ruth." Suaraku datar. "Tapi kau menyentuh tangan sang putri." Ia menyeringai. Aku menoleh ke jendela, mengabaikannya. Langit mulai gelap, awan berat menggantung. Jalanan menuju Frendell panjang dan lembap, dibingkai hutan rimbun yang mulai memerah. "Dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, statusmu dari rakyat miskin jadi bangsawan tinggi, dari komandan perang jadi suami putri... gila, bukan?" Ruth bersandar. Aku tak menjawab. Karena memang gila. Dan lebih dari itu—aku belum tahu apakah ini berkah... atau awal kehancuranku. Kereta berguncang pelan melewati jalanan berbatu. Di luar, ranting-ranting pohon menggoreskan bayangan tipis ke kaca jendela. “Aku tadi melihat wajah putri kedua,” ujar Ruth tiba-tiba. Nada suaranya sinis, seperti biasa. Aku melirik sekilas. Dia menyender santai di pojok kereta. “Dia tersenyum manis. Tapi... terlalu menjijikkan.” Dia menyeringai kecut. “Desas-desus tentang ‘wanita ular’ ternyata benar adanya. Wajahnya bisa menipu, tapi auranya...” Dia menggeliat tidak nyaman, seolah membuang sesuatu dari pundaknya. “Menjijikkan. Mengapa anak-anak kaisar abad ini tidak ada yang menjanjikan?” Aku mengangguk kecil. “Bukankah pangeran baru saja dilahirkan?” “Oh, yang baru diumumkan sebelum pemanggilanmu tadi pagi itu?” Ruth tertawa kecil. “Ya. Anak ketiga Sang Kaisar dan permaisuri barunya—Pangeran Axa. Baru berusia... empat puluh dua jam.” Aku terdiam. Empat puluh dua jam. Dan sudah jadi pewaris. “Betapa uniknya. Setiap anak lahir dari permaisuri berbeda.” “Politisinya luar biasa, bukan?” Ruth mendengus. “Bayangkan, satu anak dari istri tua yang sudah dikurung, satu dari istri yang seperti ular... dan sekarang satu lagi dari permaisuri baru yang tak pernah kita lihat wajahnya.” Aku menghela napas. “Apakah Yang Mulia Putri memiliki saudara lain?” “Hmm... kalau kau maksud anak haram, aku belum dengar desas-desus baru.” Ia berpikir sebentar. “Tapi sejauh ini, yang diakui kekaisaran hanya tiga. Putri Zoey, Putri Belluna, dan Pangeran Axa.” “Herannya... kau tahu sejarah dan gosip ibukota, ya?” Ruth menepuk dadanya dramatis. “Kau ini meremehkanku, Zergan.” “Harusnya kau bersyukur aku ini paket komplit. Informasi, strategi, taktik, dan gosip kerajaan.” Aku tak bisa menahan sudut bibirku untuk tidak naik sedikit. “Kalau bukan aku, siapa lagi yang akan memberitahumu? Pangeran bayi itu?” “Dia bahkan belum bisa membuka matanya.” Kami sama-sama tertawa pelan, untuk pertama kalinya sejak pagi ini. Di luar, langit mulai menampakkan warna kelabu lembut, tanda senja akan datang. Perjalanan masih panjang. Tapi keheningan tak lagi terasa seberat tadi.Langkah sepatu hak tinggi bergema di lantai marmer yang dingin. Wanita itu berjalan perlahan, nyaris angkuh, dengan gaun mewah berwarna merah marun menyapu lantai seperti darah mengalir. Setiap perhiasan di tubuhnya.Ada sesuatu yang ia cari didalam kamar ini… dan ia menemukannya.Sehelai rambut. Lalu dua. Lalu tiga.Ia meraihnya perlahan, hati-hati, seakan menyentuh pusaka rapuh. Diselipkannya rambut-rambut itu ke dalam sapu tangan sutra putihnya, lalu dilipatnya rapi.Namun sebelum ia sempat berbalik, suara langkah lain menggema dari lorong. Tegas. Berwibawa.Kenop pintu berputar keras. Pintu terbuka. BRAK!Sosok kaisar muncul, berdiri tegak di ambang pintu dengan wajah murka. Heran dengan sikap wanita didepannya.“Apa yang kamu lakukan di sini?” lanjut kaisar. “Aku tidak pernah mengizinkan siapa pun masuk ke kamar putriku sejak ia menikah.”Diam.“Di mana Pangeran Ketiga?” desaknya. “Atau... apa sekarang kau akan mengulangi kejadian mengerikan yang menimpa Axa?”Sorot mata Elira se
Siang turun cepat. Para prajurit duduk terengah-engah di bawah naungan kecil. Air disediakan dalam kendi besar, dan luka ringan diobati oleh dua orang maid.Zergan masih berdiri, tidak minum. Tapi tatapannya berputar, menghitung, mengukur siapa yang cepat lelah, siapa yang bertahan meski kehabisan tenaga.Kemudian, bayangan lembut bergerak di pinggir lapangan.Zoey.Ia berjalan perlahan, diiringi Lily yang membawa tas berisi kuas dan kain lap. Di tangan Zoey, ia membawa lukisan setengah jadi—yang kini warnanya mulai hidup.“Apakah aku mengganggu?” tanyanya pelan dari sisi lapangan.Zergan berjalan menghampirinya, ekspresinya tidak berubah, tapi nada suaranya sedikit melunak.“Kau tidak pernah mengganggu.”Zoey tersenyum kecil. “Aku pikir… tempat ini terlalu banyak warna abu-abu. Jadi aku datang membawa sedikit warna.”Ia menunjukkan lukisannya. Di dalamnya, langit sedikit lebih jingga dari aslinya. Kabut lebih tipis, dan prajurit-prajurit digambar seperti siluet yang tumbuh dari tanah
Ruangan itu masih berbau debu tua dan arang terbakar. Namun begitu Zoey duduk, keheningan berubah jadi sesuatu yang lembut—seperti lembaran kain tipis yang melayang dan menyelimuti mereka berdua.Zergan menatap istrinya sebentar, lalu bertanya dengan nada rendah dan hati-hati, “Bolehkah aku mendekat, Zoey?”Zoey menoleh perlahan, matanya menyapu wajah Zergan yang selama ini ia rindukan dari balik mimpi-mimpi kabur. Ia mengangguk kecil.Zergan menggeser duduknya, kini berada tepat di samping perempuan itu.Ia tidak langsung menyentuhnya. Tapi melihat rambut pirang yang kusut oleh tidur panjang itu, Zergan mengangkat satu tangannya dan merapikannya perlahan. Beberapa helai tersangkut di bahunya, seperti bekas dari bantal yang tak pernah nyaman.“Rambutmu... seperti belum disentuh tangan siapa pun sejak semalam,” gumamnya.“Kau masih sedikit demam,” ujar Zergan sambil menyentuh pelan keningnya dengan punggung jari.“Hanya sedikit Zergan,” balas Zoey, suaranya pelan namun jelas.Zergan me
Hari berikutnya, embun masih menempel di rerumputan ketika Ruth berdiri di pelataran, mengenakan jubah coklat tebal dan ikat pinggang berisi tiga gulungan simbolik. Kuda perak miliknya meringkik pelan, tak sabar. Di hadapannya, Zergan menatap tanpa ekspresi.Zergan tidak langsung menjawab. Ia menatap jendela lantai atas, kamar Zoey.Ruth menaiki kudanya,dia harus pergi keperbatasan San Jequine dengan Geneuine, siluetnya memudar.Dan Zergan pun berbalik.------------------------Satu jam kemudian, tanah lapang dalam halaman kastil mulai terisi.Zergan berdiri di tengah, mengenakan mantel kulit hitam dengan lambang Frendell disulam di sisi kanan dadanya. Di sekelilingnya, dua puluh pemuda dari desa-desa sekitar, sebagian besar belum pernah memegang pedang kecuali untuk menebas semak.Tak satu pun dari mereka bicara.Karena Zergan tidak membuka sesi ini dengan sambutan, pujian, atau janji.Yang ia lakukan adalah melempar tombak ke tanah.Keras.“Satu dari kalian akan mati jika ini adalah
Ruangan itu masih berbau debu tua dan arang terbakar. Namun begitu Zoey duduk, keheningan berubah jadi sesuatu yang lembut—seperti lembaran kain tipis yang melayang dan menyelimuti mereka berdua.Zergan menatap istrinya sebentar, lalu bertanya dengan nada rendah dan hati-hati, “Bolehkah aku mendekat, Zoey?”Zoey menoleh perlahan, matanya menyapu wajah Zergan yang selama ini ia rindukan dari balik mimpi-mimpi kabur. Ia mengangguk kecil.Zergan menggeser duduknya, kini berada tepat di samping perempuan itu.Ia tidak langsung menyentuhnya. Tapi melihat rambut pirang yang kusut oleh tidur panjang itu, Zergan mengangkat satu tangannya dan merapikannya perlahan. Beberapa helai tersangkut di bahunya, seperti bekas dari bantal yang tak pernah nyaman.“Rambutmu... seperti belum disentuh tangan siapa pun sejak semalam,” gumamnya.“Kau masih sedikit demam,” ujar Zergan sambil menyentuh pelan keningnya dengan punggung jari.“Hanya sedikit, Suamiku,” balas Zoey, suaranya pelan namun jelas.Zergan
Hari berikutnya, embun masih menempel di rerumputan ketika Ruth berdiri di pelataran, mengenakan jubah coklat tebal dan ikat pinggang berisi tiga gulungan simbolik. Kuda perak miliknya meringkik pelan, tak sabar. Di hadapannya, Zergan menatap tanpa ekspresi.Zergan tidak langsung menjawab. Ia menatap jendela lantai atas, tempat Zoey masih belum bangun.Ruth menaiki kudanya, menarik tali kekang, dan dalam satu hentakan, kuda itu berlari melintasi jembatan batu Frendell. Di balik kabut pagi, siluetnya memudar.Dan Zergan pun berbalik.------------------------Satu jam kemudian, tanah lapang dalam halaman kastil mulai terisi.Zergan berdiri di tengah, mengenakan mantel kulit hitam dengan lambang Frendell disulam di sisi kanan dadanya. Di sekelilingnya, dua puluh pemuda dari desa-desa sekitar, sebagian besar belum pernah memegang pedang kecuali untuk menebas semak.Tak satu pun dari mereka bicara.Karena Zergan tidak membuka sesi ini dengan sambutan, pujian, atau janji.Yang ia lakukan ad