Zergan, anak miskin dari desa kumuh, hidup dari darah dan pedang. Ia tak tahu arti kelembutan, apalagi cinta. Baginya, hidup hanya berisi perang, dendam, dan perintah. Tapi setelah kemenangan besarnya di medan perang, kekaisaran memanggilnya. Ia mengira akan diberi tanah atau gelar. Yang ia dapat... adalah putri kekaisaran yang dianggap gila dan dikucilkan. Zoey, putri yang ditakuti dan dibenci karena konon membawa kutukan. Tak pernah berbicara. Tak pernah keluar dari Istana Merah. "Kau telah memenangkan perang. Sebagai hadiah... nikahilah dia. Dan bawa dia pergi dari istana ini selamanya."
View MoreLangkah boot besi menghantam lantai marmer putih, keras dan berat. Suaranya menggema di seluruh ruang tahta, memantul di dinding-dinding tinggi yang dipenuhi ukiran emas dan lambang kekaisaran. Ruangan itu sunyi, tapi penuh mata.
Zergan melangkah masuk tanpa ragu. Tingginya menjulang, hampir dua meter, bahunya lebar, tubuhnya masih terbungkus armor yang belum sempat diganti. Pedang di pinggangnya masih berlumur darah yang sudah mengering—jejak pertempuran terakhir yang belum sempat dihapus. Di sekelilingnya, para bangsawan berdiri dalam diam. Jubah mereka harum, wajah mereka bersih, tangan mereka kosong dari luka. Mereka menatap Zergan seolah ia kotoran yang tak sengaja masuk ke ruang suci ini. Tapi tak satu pun berani berkata apa-apa. Ia adalah pahlawan hari ini. Komandan tertinggi pasukan kekaisaran Geneuine. Zergan berhenti tiga langkah dari singgasana. "Yang Mulia," ucapnya serak. Lalu, ia menunduk. Dalam. Menekuk lutut, membungkuk dalam diam. Punggungnya yang penuh luka perang kini membungkuk di hadapan pria yang tak pernah ia temui, tapi tak bisa ia tolak. Kaisar hanya menatap. Diam. Seolah sedang menilai. Kaisar hanya menatap. Diam. Matanya tidak memperlihatkan kebanggaan, tidak pula ketidaksukaan. Hanya datar, seperti sedang menimbang apakah Zergan manusia... atau sekadar alat. "Bangun." Suara itu dalam, berat, dan tanpa emosi. Zergan berdiri perlahan. Ia mengangkat kepalanya, namun tidak langsung menatap mata Kaisar. Ia tahu batasnya. Ia tahu tempatnya. “Kau telah memenangkan perang,” ujar sang Kaisar, nadanya seperti membacakan laporan cuaca. “Empat provinsi telah kembali ke tangan kami. Tiga benteng ditaklukkan. Kepala Jenderal Niraks telah kau seret ke kakiku. Dan semua itu... dilakukan oleh seorang rakyat kumuh tanpa nama.” Di sisi ruangan, para bangsawan bergeming. Beberapa memalingkan wajah seolah bau darah Zergan bisa merusak wibawa ruangan marmer itu. “Mulai hari ini, kutinggikan derajatmu.” “Sebagai tanda penghormatan atas jasamu, kau akan menerima tiga hal.” Zergan tetap diam. Seperti biasa, ia menunggu, bukan berharap. “Pertama, kau akan menikahi Putri Zoey Zachracy Of Geneuine.”Ada keheningan. Berat. Pekat.
Nama itu seperti duri yang tersembunyi di bawah karpet megah istana. Putri Zoey. Anak kaisar yang tak pernah disebut, tak pernah disapa. Gadis yang dibuang dari pesta, dijauhkan dari istana utama. Kabarnya, ia tak pernah berbicara. Tak pernah keluar dari tembok merah tempatnya dikurung. Zergan menunduk sedikit, hanya mengangguk kecil. Tak ada tanya. Tak ada penolakan. Baginya, hidup memang bukan soal memilih. “Kedua, kau akan menerima gelar bangsawan. Duke Ezaquile” “Dan ketiga...” “...kastil di perbatasan San Jequine akan menjadi milikmu.” Bisikan pelan mulai terdengar. Suara kain bergesekan, sepatu menggesek lantai. Itu hadiah besar. Terlalu besar untuk rakyat biasa. Terlalu mencolok. Terlalu berbahaya. Kaisar menyandarkan punggung ke singgasananya. “Jaga dia. Lindungi dia. Dan jauhkan dia dari istana ini. Itu satu-satunya syarat.” Zergan mengangkat pandangan—bukan menantang, hanya ingin mengerti. “Apakah ini perintah, Yang Mulia?” Kaisar tersenyum, kecil dan dingin. “Tidak, ini... hadiah.” Hatiku berkata lirih—apakah ini pantas atas pengorbananku? Kepala yang nyaris putus. Tubuh-tubuh beku di parit. Nafas kawan yang terputus dalam pelukanku. Semua itu... lalu yang kupetik adalah pernikahan? Menikah? Aku tahu usiaku tak lagi muda. Usia pernikahan sudah lama kulewati. Tapi tetap saja, ini terlalu ganjil. Terlalu mendadak. Terlalu... diam. Kenapa suara para bangsawan tadi tiba-tiba melenyap ketika nama Princess Zoey disebut? Aku tak bertanya. Aku hanya menunduk, menegakkan tubuhku kembali. “Saya berterima kasih atas hadiah ini, Yang Mulia.” Itu jawabanku. Datar. Biasa saja. Lalu aku melangkah mundur. Tanpa menoleh. Langkahku bergema sendirian ketika keluar dari ruang tahta. 🥁 Di luar pintu besar yang dijaga dua penjaga bersenjata lengkap, seorang pria tua berbaju abu-abu telah menunggu. Wajahnya letih, kulitnya mengendur, tapi matanya jernih. Ia membungkuk hormat kepadaku. “Hamba pengasuh pribadi Putri Zoey. Izinkan hamba mengantar Tuan Duke kepada beliau.” Aku hanya mengangguk. Dan berjalan. Di sisi kiriku, Ruth, menyamakan langkah. Kami berjalan di koridor panjang. Tak banyak bicara. Hanya suara langkah sepatu dan bisikan pelan dari pelayan istana yang cepat-cepat menunduk saat kami lewat. “Ruth.” Suaraku pelan. Tak banyak hal yang perlu dikatakan, kecuali satu. “Kau dengar berita desas-desus sang putri ?” “Dengar.” Suaranya rendah. Hati-hati. “Zoey. Putri yang dikurung di Istana Merah.” “Kau tahu rumor tentang dia?” Ia ragu sejenak. Lalu mengangguk. “Orang bilang dia... tak waras.” Aku menoleh sekilas padanya. “Maksudmu?” “Tak pernah bicara. Tak pernah keluar. Beberapa pelayan mengaku melihatnya berbicara sendiri. Ada yang bilang dia bisa melihat hal-hal aneh. Kaisar sendiri menyuruh semua orang menjauh darinya.” Aku tidak menjawab. Kaki kami terus melangkah, menuruni lorong gelap yang menuju wilayah sayap timur—tempat yang katanya hanya dipakai untuk membuang orang-orang yang tak diinginkan istana. Langkah kami berhenti di depan pintu kayu tua. Catnya mengelupas, besinya berkarat. Dua pengawal berdiri di depan pintu, tapi bahkan mereka tidak terlihat tegak. Mereka hanya menatap lurus ke depan, seolah berharap tidak ada yang memanggil mereka masuk. “Silakan,” ucap pengasuh sang putri. Ia membungkuk, lalu mendorong daun pintu yang berat itu. Berderit pelan, dan aroma lembap langsung menyambutku. Lorong kecil menyempit ke dalam. Tak ada karpet merah. Tak ada jendela besar. Hanya cahaya temaram dari lentera di dinding, dan udara yang dingin. Langkahku masuk. Ruth tetap di luar. Aku sendirian sekarang. Langkahku berhenti di ambang ruangan terjauh— dan di sanalah aku melihatnya untuk pertama kali. Ia duduk di atas kursi kecil, menghadap ke jendela yang tertutup tirai tebal. Tubuhnya kurus, dibalut gaun ungu lilac. Rambut keemasan. disanggul dengan rapi, Wajahnya tak menoleh. Ia hanya diam. Punggungnya tegak. Tapi ada sesuatu dalam diam itu yang terasa... rapuh. Seperti benang tipis yang kalau disentuh bisa putus kapan saja. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku bukan pria yang tahu cara menyapa wanita—apalagi wanita seperti ini. “Putri Zoey,” kataku akhirnya, suaraku dalam, kaku. “Aku Zergan. Calon suami anda .” 🥁Karena aku tahu, bahkan di tempat setenang Frendell... luka tidak pernah benar-benar tidur “Ruth,” panggilku sebelum dia benar-benar keluar ruangan. Dia menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Kau yakin tidak ada hal lain yang... perlu aku tahu soal tempat ini?” Dia masuk lagi, menutup pintu dengan punggungnya, lalu menyandarkan diri sebentar. “Frendell?” Aku mengangguk. Dia menyilangkan tangan, tatapannya sedikit berubah. “Kau tahu kastil ini pernah jadi wilayah pengasingan, bukan?” “Untuk siapa?” “Orang-orang penting yang terlalu... berbahaya untuk dibunuh, tapi terlalu rusak untuk dibiarkan di ibu kota.” Aku menarik napas perlahan. “Lalu kenapa sekarang jadi milikku?” “Karena kau berbahaya... dan bisa dikendalikan,” katanya lirih. “Atau setidaknya mereka pikir begitu.” Aku menatap gelasku. “Mereka?” “Kau tahu siapa maksudku.” Ruth mendekat lagi, menarik kursi dan duduk. “Dewan dalam. Menteri pengawasan. Penasihat kekaisaran. Dan mungkin... permaisuri baru.” “
Malam itu aku duduk sendiri di ruang pertemuan kecil yang disiapkan untukku. Mike telah menyalakan perapian dan meninggalkan ruangan tanpa suara. Pelayan yang tahu kapan harus bicara—dan kapan sebaiknya diam. Tak lama kemudian Ruth datang membawa laporan singkat dari penjaga perbatasan. Katanya, wilayah San Jequine sedang panas. Ada kerusuhan kecil dua minggu lalu. Kaisar mungkin sengaja mengirimku ke sini karena tahu—aku tahu cara menjaga batas. Tapi kenapa harus dengan seorang istri? Kenapa Zoey? “Apa menurutmu dia tahu alasan sebenarnya dia dikirim bersamaku?” tanyaku pelan. Ruth duduk di sisi lain meja. Ia membuka botol wine kecil dari kotak perjalanan kami. Mengisinya setengah. “Menurutku... dia lebih tahu dari yang kau pikirkan,” katanya. “Dan itu justru yang membuatnya menakutkan.” Aku tak menjawab. Angin luar bertiup lebih kencang malam itu. Suara serigala terdengar samar dari kejauhan, seperti nyanyian sedih dari batas dunia. Di tempat asing ini,
"Yang mulia Zoey." Panggilku Tak ada jawaban. Ia bahkan tidak bergerak. Aku menunggu. Satu napas. Dua. Lima. Dan akhirnya, perlahan, ia menoleh. Mata itu... bukan mata orang gila. Tapi juga bukan mata yang hidup. Mata itu... kosong. Seperti telah melihat terlalu banyak, dan memutuskan berhenti melihat. Dan seketika aku sadar: dia bukan takut padaku. Bukan malu. Dia... tidak percaya dunia nyata masih ada. Aku menarik napas pelan. “Aku takkan menyentuhmu,” kataku akhirnya, tenang. “Aku hanya disuruh menjemputmu.” Ia masih menatapku. Hening. Lalu, perlahan—sangat perlahan—Zoey berdiri. Langkahnya pelan, ringan seperti kabut. Ia berjalan ke arahku, dan aku bisa mencium aroma kamarnya—bunga kering dan debu. Ia berhenti tepat di depanku. Lalu mengangguk. Satu kali. Pelan. Mungkin itu caranya bilang: ‘Aku tahu.’ Atau mungkin: ‘Baiklah.’ Atau mungkin... hanya caranya bertahan. Aku menoleh ke belakang. Ruth menunggu di lorong. Kami tak bicara apa-apa saat ka
Kami tak langsung meninggalkan istana. Sebelum pergi, kami diarahkan ke ruang doa— sebuah tempat kecil yang sunyi, jauh dari aula megah dan pilar-pilar emas istana pusat. Tak ada bunga. Tak ada musik. Hanya lantai batu dingin, dinding batu tua, dan jendela tinggi tempat cahaya masuk seperti doa yang tertahan. Tamu undangan hanya satu: Ruth. Dan seorang pendeta tua yang memandang kami dengan ragu, seperti bertanya-tanya apakah ini benar-benar disebut upacara pernikahan. Zoey berdiri di sampingku, kepala masih tertutup topi militerku. Ia tak menatap siapa pun. Tapi tidak mundur. Pendeta membaca doa. Suaranya rendah, khusyuk, tidak terburu-buru. Lalu saatnya tiba: aku mengambil sebuah cincin sederhana dari saku dalam mantelku. Perak polos, tanpa ukiran. Benda kecil yang terasa terlalu ringan dibandingkan berat hidup yang sedang kami ikat. Aku mengulurkan tangan. Berniat menyematkan cincin itu ke jari manisnya. Namun Zoey... menarik tangannya. Refleks. Pelan. T
Langkah boot besi menghantam lantai marmer putih, keras dan berat. Suaranya menggema di seluruh ruang tahta, memantul di dinding-dinding tinggi yang dipenuhi ukiran emas dan lambang kekaisaran. Ruangan itu sunyi, tapi penuh mata.Zergan melangkah masuk tanpa ragu. Tingginya menjulang, hampir dua meter, bahunya lebar, tubuhnya masih terbungkus armor yang belum sempat diganti. Pedang di pinggangnya masih berlumur darah yang sudah mengering—jejak pertempuran terakhir yang belum sempat dihapus.Di sekelilingnya, para bangsawan berdiri dalam diam. Jubah mereka harum, wajah mereka bersih, tangan mereka kosong dari luka. Mereka menatap Zergan seolah ia kotoran yang tak sengaja masuk ke ruang suci ini. Tapi tak satu pun berani berkata apa-apa.Ia adalah pahlawan hari ini.Komandan tertinggi pasukan kekaisaran Geneuine.Zergan berhenti tiga langkah dari singgasana."Yang Mulia," ucapnya serak. Lalu, ia menunduk. Dalam. Menekuk lutut, membungkuk dalam diam. Punggungnya yang penuh luka perang ki
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments