Malam itu aku duduk sendiri di ruang pertemuan kecil yang disiapkan untukku.
Mike telah menyalakan perapian dan meninggalkan ruangan tanpa suara.Pelayan yang tahu kapan harus bicara—dan kapan sebaiknya diam.
Tak lama kemudian Ruth datang membawa laporan singkat dari penjaga perbatasan. Katanya, wilayah San Jequine sedang panas. Ada kerusuhan kecil dua minggu lalu. Kaisar mungkin sengaja mengirimku ke sini karena tahu—aku tahu cara menjaga batas. Tapi kenapa harus dengan seorang istri? Kenapa Zoey? “Apa menurutmu dia tahu alasan sebenarnya dia dikirim bersamaku?” tanyaku pelan. Ruth duduk di sisi lain meja.Ia membuka botol wine kecil dari kotak perjalanan kami. Mengisinya setengah.
“Menurutku... dia lebih tahu dari yang kau pikirkan,” katanya.
“Dan itu justru yang membuatnya menakutkan.”
Aku tak menjawab.
Angin luar bertiup lebih kencang malam itu.
Suara serigala terdengar samar dari kejauhan, seperti nyanyian sedih dari batas dunia.
Di tempat asing ini, bersama seorang istri yang hampir tak bicara dan rakyat yang belum mengenalku…
aku menyadari satu hal: Pernikahan mungkin sudah terjadi. Tapi perjalananku baru saja dimulai. Ruth menyandarkan punggung ke kursinya, satu kakinya bersilang, dan memutar-mutar gelas wine. “Frendell ini benar-benar seperti bangunan terkutuk,” gumamnya sambil menatap ke langit-langit batu yang retak. “Aku bersumpah, tadi kulihat kelelawar sebesar anjing.” Aku tak menanggapi. Mataku tetap mengarah ke api perapian yang bergoyang perlahan. “Dan kau,” lanjut Ruth, menoleh padaku. “Sudah sah menjadi Duke. Sehari lalu kau masih tidur di barak bersama kami yang bau keringat dan besi.” Aku mendengus pelan. “Itu tidak berubah banyak. Tempat ini pun masih bau keringat dan besi.” Ruth tertawa singkat. Lalu suaranya merendah. “Kau serius soal putri itu?”Aku menoleh pelan.
“Aku serius menerima apa pun yang diberikan padaku,” jawabku datar. “Tapi dia bukan hadiah biasa. Ini terasa seperti... jebakan,” bisik Ruth. Aku tak segera menjawab. Suara perapian seperti satu-satunya yang bergerak di ruangan itu. “Aku juga merasa begitu,” akhirnya aku berkata. “Terlalu banyak hal yang ganjil.” “Seperti?” “Seperti—kenapa semua bangsawan langsung diam saat namanya disebut di ruang tahta tadi siang.” Ruth meneguk sisa minumannya, lalu mengangguk. “Karena mereka takut. Atau jijik. Atau dua-duanya. Putri Zoey dikenal seperti bayangan buruk dari masa lalu istana. Kabarnya dia tidak pernah ikut perjamuan kerajaan, tidak pernah menunjukkan wajahnya di depan umum. Tapi... bukan itu yang paling aneh.” Aku menoleh. “Apa yang lebih aneh?” “Orang-orang bilang, dia bukan disembunyikan oleh istana. Tapi dia sendiri yang menjauh,” jawab Ruth serius. “Seolah-olah dia tahu dirinya membawa kutukan.” Aku mengepalkan tangan di atas meja. “Aku tidak percaya takhayul.”“Bukan soal percaya atau tidak, Zergan. Ini soal... peringatan. Kau tahu kekaisaran. Mereka tak memberi tanpa maksud. Memberimu gelar Duke, kastil, istri berdarah kerajaan—semuanya dalam satu hari? Ini seperti membuatmu bidak utama, dan menaruhmu langsung di papan paling depan.”
“Karena aku bisa bertarung,” sahutku.
“Dan karena mereka butuh tameng hidup.”
Keheningan kembali memenuhi ruangan. Angin dari celah jendela mendesir pelan, menusuk kulit seperti bisikan tak bersuara. “Aku tidak masalah menjadi tameng,” kataku lirih. “Tapi aku ingin tahu siapa yang ingin mereka lindungi... dan dari siapa.” Ruth mendengus. “Kalau kutebak: mereka melindungi reputasi kekaisaran... dari rahasia yang hidup dalam diri istrimu.” Aku menggeleng pelan. “Dia terlalu tenang untuk orang yang disalahkan.” “Atau terlalu lelah untuk membela diri.” Aku mengangkat gelasku, memandang permukaan wine yang gelap. “Aku tidak akan mengusiknya. Tidak malam ini. Tapi aku ingin tahu—bukan siapa dia di masa lalu... tapi siapa dia sekarang.” Ruth memiringkan kepala. “Kau mulai peduli?” “Bukan. Aku hanya tidak ingin mati karena sesuatu yang tidak kumengerti. Ruth mengisi kembali gelasnya, kali ini hanya setengah. “Aku memperhatikan satu hal tadi,” katanya, suaranya lebih pelan, seperti tak ingin terdengar dinding. “Topi itu.” Aku menoleh. “Topi militerku?” tanyaku. “Iya. Dia masih memakainya. Sepanjang perjalanan. Bahkan sekarang pun, saat naik ke kamarnya.” Aku menarik napas, perlahan. “Dia sendiri yang memintanya,” jawabku. “Katanya, dia ingin penutup wajah.” “Dan kau memberinya topi yang mungkin masih berbau darah dan abu?”Aku mengangkat bahu. “Itu satu-satunya yang kupunya.”
Ruth tersenyum kecil, tapi bukan senyum geli. Lebih seperti... simpati. Atau iba. “Zergan, kau mungkin satu-satunya pria di kerajaan ini yang bisa memperlakukan seorang putri seperti manusia biasa.”Aku menatapnya tajam, mencoba menebak maksudnya.
“Dia takut dilihat,” lanjut Ruth. “Tapi bukan olehmu. Entah kenapa, dia cukup nyaman menerima perlindunganmu.” Aku terdiam.“Dan itu bukan hal kecil,” tambahnya. “Karena biasanya, yang seperti dia... bahkan tak percaya siapa pun.”
Aku menatap nyala api. Hangat, tapi tak menjangkau dada. “Ruth.”“Hmm?”
“Aku tidak tahu bagaimana cara menjadi suami.” “Aku juga tidak tahu bagaimana cara jadi Duke,” sahutnya cepat. Kami tertawa pelan—satu-satunya tawa sejak tiba di Frendell. Lalu aku bersandar. “Aku tahu cara menjaga pasukan, mengatur strategi, membunuh dengan cepat. Tapi... memahami perempuan yang bahkan tak berani menatapku?” Aku menggeleng. “Itu medan perang yang lebih luas dari apa pun.” Ruth berdiri, meregangkan bahu. “Kau tak harus memenangkannya malam ini,” katanya sambil melangkah ke arah pintu. “Cukup bertahan. Itu sudah lebih dari cukup untuk awalnya.” Dia berhenti di ambang pintu, lalu menoleh lagi. “Oh, dan satu lagi.” “Apa?” “Kalau kau butuh informasi soal apa pun—istri, istana, sejarah, makanan, atau mungkin... rumor gelap kekaisaran—” “Kau teman paket komplit, ya, aku tahu,” potongku dengan senyum tipis.Langkah sepatu hak tinggi bergema di lantai marmer yang dingin. Wanita itu berjalan perlahan, nyaris angkuh, dengan gaun mewah berwarna merah marun menyapu lantai seperti darah mengalir. Setiap perhiasan di tubuhnya.Ada sesuatu yang ia cari didalam kamar ini… dan ia menemukannya.Sehelai rambut. Lalu dua. Lalu tiga.Ia meraihnya perlahan, hati-hati, seakan menyentuh pusaka rapuh. Diselipkannya rambut-rambut itu ke dalam sapu tangan sutra putihnya, lalu dilipatnya rapi.Namun sebelum ia sempat berbalik, suara langkah lain menggema dari lorong. Tegas. Berwibawa.Kenop pintu berputar keras. Pintu terbuka. BRAK!Sosok kaisar muncul, berdiri tegak di ambang pintu dengan wajah murka. Heran dengan sikap wanita didepannya.“Apa yang kamu lakukan di sini?” lanjut kaisar. “Aku tidak pernah mengizinkan siapa pun masuk ke kamar putriku sejak ia menikah.”Diam.“Di mana Pangeran Ketiga?” desaknya. “Atau... apa sekarang kau akan mengulangi kejadian mengerikan yang menimpa Axa?”Sorot mata Elira se
Siang turun cepat. Para prajurit duduk terengah-engah di bawah naungan kecil. Air disediakan dalam kendi besar, dan luka ringan diobati oleh dua orang maid.Zergan masih berdiri, tidak minum. Tapi tatapannya berputar, menghitung, mengukur siapa yang cepat lelah, siapa yang bertahan meski kehabisan tenaga.Kemudian, bayangan lembut bergerak di pinggir lapangan.Zoey.Ia berjalan perlahan, diiringi Lily yang membawa tas berisi kuas dan kain lap. Di tangan Zoey, ia membawa lukisan setengah jadi—yang kini warnanya mulai hidup.“Apakah aku mengganggu?” tanyanya pelan dari sisi lapangan.Zergan berjalan menghampirinya, ekspresinya tidak berubah, tapi nada suaranya sedikit melunak.“Kau tidak pernah mengganggu.”Zoey tersenyum kecil. “Aku pikir… tempat ini terlalu banyak warna abu-abu. Jadi aku datang membawa sedikit warna.”Ia menunjukkan lukisannya. Di dalamnya, langit sedikit lebih jingga dari aslinya. Kabut lebih tipis, dan prajurit-prajurit digambar seperti siluet yang tumbuh dari tanah
Ruangan itu masih berbau debu tua dan arang terbakar. Namun begitu Zoey duduk, keheningan berubah jadi sesuatu yang lembut—seperti lembaran kain tipis yang melayang dan menyelimuti mereka berdua.Zergan menatap istrinya sebentar, lalu bertanya dengan nada rendah dan hati-hati, “Bolehkah aku mendekat, Zoey?”Zoey menoleh perlahan, matanya menyapu wajah Zergan yang selama ini ia rindukan dari balik mimpi-mimpi kabur. Ia mengangguk kecil.Zergan menggeser duduknya, kini berada tepat di samping perempuan itu.Ia tidak langsung menyentuhnya. Tapi melihat rambut pirang yang kusut oleh tidur panjang itu, Zergan mengangkat satu tangannya dan merapikannya perlahan. Beberapa helai tersangkut di bahunya, seperti bekas dari bantal yang tak pernah nyaman.“Rambutmu... seperti belum disentuh tangan siapa pun sejak semalam,” gumamnya.“Kau masih sedikit demam,” ujar Zergan sambil menyentuh pelan keningnya dengan punggung jari.“Hanya sedikit Zergan,” balas Zoey, suaranya pelan namun jelas.Zergan me
Hari berikutnya, embun masih menempel di rerumputan ketika Ruth berdiri di pelataran, mengenakan jubah coklat tebal dan ikat pinggang berisi tiga gulungan simbolik. Kuda perak miliknya meringkik pelan, tak sabar. Di hadapannya, Zergan menatap tanpa ekspresi.Zergan tidak langsung menjawab. Ia menatap jendela lantai atas, kamar Zoey.Ruth menaiki kudanya,dia harus pergi keperbatasan San Jequine dengan Geneuine, siluetnya memudar.Dan Zergan pun berbalik.------------------------Satu jam kemudian, tanah lapang dalam halaman kastil mulai terisi.Zergan berdiri di tengah, mengenakan mantel kulit hitam dengan lambang Frendell disulam di sisi kanan dadanya. Di sekelilingnya, dua puluh pemuda dari desa-desa sekitar, sebagian besar belum pernah memegang pedang kecuali untuk menebas semak.Tak satu pun dari mereka bicara.Karena Zergan tidak membuka sesi ini dengan sambutan, pujian, atau janji.Yang ia lakukan adalah melempar tombak ke tanah.Keras.“Satu dari kalian akan mati jika ini adalah
Ruangan itu masih berbau debu tua dan arang terbakar. Namun begitu Zoey duduk, keheningan berubah jadi sesuatu yang lembut—seperti lembaran kain tipis yang melayang dan menyelimuti mereka berdua.Zergan menatap istrinya sebentar, lalu bertanya dengan nada rendah dan hati-hati, “Bolehkah aku mendekat, Zoey?”Zoey menoleh perlahan, matanya menyapu wajah Zergan yang selama ini ia rindukan dari balik mimpi-mimpi kabur. Ia mengangguk kecil.Zergan menggeser duduknya, kini berada tepat di samping perempuan itu.Ia tidak langsung menyentuhnya. Tapi melihat rambut pirang yang kusut oleh tidur panjang itu, Zergan mengangkat satu tangannya dan merapikannya perlahan. Beberapa helai tersangkut di bahunya, seperti bekas dari bantal yang tak pernah nyaman.“Rambutmu... seperti belum disentuh tangan siapa pun sejak semalam,” gumamnya.“Kau masih sedikit demam,” ujar Zergan sambil menyentuh pelan keningnya dengan punggung jari.“Hanya sedikit, Suamiku,” balas Zoey, suaranya pelan namun jelas.Zergan
Hari berikutnya, embun masih menempel di rerumputan ketika Ruth berdiri di pelataran, mengenakan jubah coklat tebal dan ikat pinggang berisi tiga gulungan simbolik. Kuda perak miliknya meringkik pelan, tak sabar. Di hadapannya, Zergan menatap tanpa ekspresi.Zergan tidak langsung menjawab. Ia menatap jendela lantai atas, tempat Zoey masih belum bangun.Ruth menaiki kudanya, menarik tali kekang, dan dalam satu hentakan, kuda itu berlari melintasi jembatan batu Frendell. Di balik kabut pagi, siluetnya memudar.Dan Zergan pun berbalik.------------------------Satu jam kemudian, tanah lapang dalam halaman kastil mulai terisi.Zergan berdiri di tengah, mengenakan mantel kulit hitam dengan lambang Frendell disulam di sisi kanan dadanya. Di sekelilingnya, dua puluh pemuda dari desa-desa sekitar, sebagian besar belum pernah memegang pedang kecuali untuk menebas semak.Tak satu pun dari mereka bicara.Karena Zergan tidak membuka sesi ini dengan sambutan, pujian, atau janji.Yang ia lakukan ad