Saraswati menatap langit yang semakin gelap di atas mereka. Ia tahu bahwa mulai malam ini, segalanya akan berbeda. Ia tidak bisa lagi menunggu atau hanya mengikuti perintah. Ia harus bertindak, harus menemukan cara untuk keluar dari sangkar ini sebelum mereka menjebaknya lebih jauh.
Dan dengan seseorang seperti Raka di sisinya, mungkin, untuk pertama kalinya, ia memiliki harapan.
Fajar hampir menyingsing ketika Saraswati kembali ke kamarnya, menyelipkan gulungan rahasia itu ke dalam peti kayu kecil di bawah ranjangnya. Tangannya masih sedikit gemetar, tetapi bukan karena ketakutan—melainkan karena adrenalin yang masih mengalir deras dalam tubuhnya.
Di luar, Raka berdiri berjaga di depan pintu,
Gelap dan lembap, lorong bawah tanah yang dilewati Saraswati seakan menelannya dalam kesunyian yang mencekam. Ia bisa mendengar tetesan air dari langit-langit batu yang kasar, menciptakan suara berulang yang menggema di sepanjang terowongan sempit. Dinding di sekelilingnya terasa dingin dan licin, seolah-olah telah menyimpan rahasia yang tak terhitung jumlahnya selama berabad-abad.Ia tidak tahu sudah berapa lama ia berjalan. Kakinya terasa semakin berat, dan udara di dalam lorong semakin tipis, membuatnya sulit bernapas. Namun, ia tidak bisa berhenti. Setiap langkah yang ia ambil menjauhkannya dari istana, dari cengkeraman mereka yang telah menipunya seumur hidupnya. Lalu, di ujung lorong, samar-samar terlihat cahaya redup.
Prajurit itu masih menatapnya dengan penuh keraguan. Saraswati merasakan ketegangan semakin menumpuk, tetapi ia menolak untuk menunjukkan kelemahan.Akhirnya, pria itu mendengus. “Pastikan kau bekerja dengan benar,” katanya dingin. “Dan jangan membuat masalah.”Tanpa menunggu lebih lama, ia berbalik dan berjalan menjauh, membiarkan mereka melanjutkan perjalanan. Saraswati hanya bisa menarik napas lega begitu pria itu benar-benar menghilang di balik bayangan.Mirah menggenggam tangannya erat, lalu berbisik, &ldq
Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak. Ia bergegas menutup kembali petinya, lalu berdiri dengan waspada. Tidak ada seorang pun yang seharusnya datang ke kamarnya pada waktu selarut ini. Tangannya bergerak ke gagang pintu dengan ragu, tetapi sebelum ia sempat membuka, sebuah suara berbisik dari balik kayu yang dingin.“Sang Cahaya, ini aku.”Saraswati mengenali suara itu seketika. Mirah. Ia membuka pintu sedikit, cukup untuk melihat wajah Mirah yang pucat diterpa cahaya lentera di lorong. Pelayan itu tampak gelisah, matanya bergerak cepat ke kiri dan kanan sebelum akhirnya masuk ke dalam dengan cepat, lalu menutup pintu di belakangnya.“Andai ada orang lain yang melihatku datang ke sini, nyawaku past
Darah Saraswati membeku. Tangannya mencengkeram kertas itu lebih erat, tetapi tubuhnya seakan kehilangan keseimbangan. Ini adalah jawaban yang selama ini ia cari, tetapi juga jawaban yang tidak pernah ia inginkan.“Apa ini...?” suaranya nyaris tak terdengar, hampir seperti bisikan.Pria itu menatapnya dengan tatapan penuh pemahaman. “Itu adalah nasibmu. Sebuah kebenaran yang mereka sembunyikan darimu sejak kau lahir.”Saraswati menggeleng, mencoba memahami sesuatu yang terasa begitu tidak masuk akal tetapi sekaligus begitu nyata. “Aku... aku bukan harapan mereka. Aku hanyalah korban yang dipersiapkan untuk mati?”Pria itu menghela napas panjang, seakan tahu bahwa beban ini terlalu berat untuk seorang gadis yang baru saja menemukan keben
Dengan langkah hati-hati, Saraswati melangkah ke jendela kamarnya, menatap taman di luar yang masih dibalut kegelapan malam. Dari kejauhan, ia bisa melihat penjaga yang berjaga di gerbang utama istana, tombak mereka berkilat dalam cahaya obor yang remang. Tidak ada tanda-tanda gerakan mencurigakan di sekitar taman air suci, tetapi itu tidak berarti tempat itu benar-benar aman. Ia mengembuskan napas pelan, berusaha menenangkan degup jantungnya yang semakin cepat. Jika ia pergi ke sana dan ini ternyata jebakan, maka semuanya akan berakhir malam ini. Namun, jika ia tetap tinggal, ia mungkin tidak akan pernah mendapatkan kesempatan lain untuk mengetahui kebenaran sepenuhnya.Pilihan ini bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang semua yang telah
Malam semakin larut di Istana Airlangga. Angin dingin menyelinap melewati celah-celah jendela, membelai kulit Saraswati yang masih duduk di lantai kamarnya, dikelilingi oleh gulungan kertas dan dokumen tua yang telah ia bongkar dalam beberapa jam terakhir. Cahaya lentera yang temaram menciptakan bayangan bergerak di sekelilingnya, seakan menari bersama ketegangan yang menggantung di udara.Di hadapannya, terbuka sebuah surat dengan tinta yang mulai pudar, tetapi kata-katanya masih jelas terbaca. Jemarinya mencengkeram lembaran itu erat-erat, napasnya tertahan saat matanya menelusuri isi yang kini mengubah seluruh pandangannya tentang siapa dirinya.“Sang Cahaya bukanlah anugerah, melainkan kunci. Dan kunci harus dikorbankan agar gerbang tetap tertutup.”