Home / Historical / Darah dan Takdir / Bab 2: Mimpi Tentang Dunia Luar

Share

Bab 2: Mimpi Tentang Dunia Luar

Author: A. Rani
last update Huling Na-update: 2025-05-31 00:03:34

Malam turun dengan sunyi di atas Istana Airlangga, menyelimuti menara-menara tinggi dengan kegelapan pekat yang hanya diterangi cahaya purnama yang menggantung muram di langit. Angin berhembus pelan melalui kisi-kisi jendela kamar Saraswati, membelai lembut rambutnya yang tergerai di atas bantal. Di dalam tidurnya, ia mulai bermimpi. Pada awalnya, hanya ada keheningan yang menggantung. Kemudian, samar-samar, suara muncul dari dalam kegelapan.

Sari… Sari… Kau bukan milik mereka.

Ia mengerutkan kening dalam mimpinya, tubuhnya terasa melayang di antara kesadaran dan ketidaksadaran. Suara itu terdengar seperti bisikan yang terbungkus dalam angin malam, begitu halus namun menusuk dalam.

Darahmu bukan darah mereka.

Tiba-tiba, pemandangan di sekelilingnya berubah. Ia tidak lagi berada di dalam kamarnya, tetapi berdiri di tengah ladang luas yang dipenuhi bunga-bunga liar berwarna merah keemasan. Angin berhembus, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang mengering. Di tengah ladang itu, seorang perempuan berdiri dengan gaun putih panjang yang berkibar tertiup angin. Wajahnya samar, seolah tertutup bayangan yang tak mampu ditembus oleh cahaya bulan. Namun, suara yang keluar dari bibirnya terdengar jelas.

Cari kebenaranmu, Sari. Sebelum semuanya terlambat.

Saraswati hendak bertanya siapa perempuan itu, tetapi tubuhnya tiba-tiba tertarik ke belakang dengan kekuatan tak kasatmata. Ia terjatuh ke dalam kegelapan, tubuhnya terasa melayang-layang tanpa arah. Ia terbangun dengan napas memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Keringat dingin membasahi dahinya, sementara suara bisikan itu masih menggema di telinganya. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan mata membelalak. Apa itu tadi?

Ia sudah terbiasa dengan mimpi-mimpi yang aneh, tetapi yang satu ini terasa berbeda. Terlalu nyata, terlalu tajam, seolah-olah itu bukan sekadar ilusi dalam tidurnya, melainkan sebuah pesan.

Dan pesan itu membawa satu hal yang terus berputar dalam pikirannya.

Darahmu bukan darah mereka.

Saraswati bangkit dari ranjangnya, menyibakkan selimut dengan kasar. Ia berjalan ke arah jendela dan menatap ke luar, melihat istana yang megah namun terasa seperti sangkar emas. Selama ini, ia selalu bertanya-tanya mengapa ia dikurung, mengapa dunia luar hanya boleh ia lihat dari kejauhan.

Dan kini, hatinya berkata bahwa ada alasan lebih besar dari sekadar takdir yang selalu mereka katakan padanya.

Ia mengepalkan tangannya. Jika ia tidak bisa mendapatkan jawaban dari orang-orang di dalam istana ini, maka ia harus mencari jawabannya sendiri.

Dan ia tahu harus mulai dari mana.

Pekarangan belakang Istana Airlangga selalu sepi pada malam hari. Tidak ada prajurit yang berpatroli di sini karena tempat ini hanya berupa taman luas yang dipenuhi pohon beringin tua dan batu-batu berlumut.

Di salah satu sudut taman, seorang lelaki tua berdiri dengan tubuh tegap, meskipun usianya telah menua. Ki Wira.

Ia adalah satu-satunya orang di istana ini yang tidak memperlakukannya sebagai boneka yang harus dijaga dengan ketat. Mungkin karena ia telah melihat sesuatu dalam diri Saraswati yang tidak dilihat oleh orang lain.

Saraswati melangkah mendekat, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia telah lama berpikir untuk melakukan ini, tetapi baru sekarang ia memiliki keberanian untuk mengatakannya.

“Ajari aku bertarung,” ucapnya dengan suara mantap.

Ki Wira menoleh, sorot matanya tajam di bawah cahaya bulan. Untuk sesaat, ia hanya diam, seolah menimbang-nimbang permintaan itu.

“Kau tahu ini tidak diizinkan,” katanya akhirnya, suaranya dalam dan berat.

Saraswati mengangguk. “Aku tahu. Tapi aku tidak peduli.”

Ki Wira menatapnya lebih lama kali ini, seolah mencari kebohongan di balik matanya. Namun, yang ia temukan hanyalah tekad yang membara.

“Apa yang membuatmu tiba-tiba menginginkannya?” tanyanya.

Saraswati menggigit bibirnya, ragu apakah ia harus memberitahukan tentang mimpinya. Tetapi sesuatu dalam dirinya berkata bahwa Ki Wira bukan orang yang akan menganggapnya sekadar bunga tidur.

“Aku mendapat mimpi,” jawabnya akhirnya. “Mimpi yang mengatakan bahwa aku bukan milik mereka.”

Ki Wira tidak langsung bereaksi, tetapi dari cara rahangnya mengeras, Saraswati tahu bahwa lelaki itu memahami sesuatu yang tidak ia katakan.

Akhirnya, lelaki tua itu menghela napas. “Aku tidak bisa mengajarkanmu banyak dalam kondisi seperti ini. Tapi aku bisa memberimu dasar-dasar.”

Harapan menyala di mata Saraswati.

“Kita mulai malam ini?” tanyanya.

Ki Wira tersenyum kecil, tetapi ada ketegasan dalam sorot matanya. “Sekarang.”

Saraswati merasakan angin dingin menyusup di antara pakaiannya, tetapi ia tidak peduli. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia mengambil kendali atas hidupnya sendiri.

Ki Wira bergerak ke depan, melangkah ke atas tanah yang dipenuhi akar-akar pohon tua. Ia menurunkan tubuhnya ke posisi kuda-kuda yang stabil, lalu menatap Saraswati dengan tajam.

“Ada tiga hal yang harus kau ingat jika ingin bertahan dalam pertarungan,” katanya. “Pertama, jangan pernah meremehkan lawanmu. Tidak peduli seberapa lemah mereka terlihat, mereka bisa memiliki kekuatan yang tidak kau duga.”

Saraswati mengangguk, memperhatikan setiap gerakan Ki Wira.

“Kedua, jangan biarkan musuh membaca gerakanmu. Jangan pernah menunjukkan kelemahan, bahkan dalam napasmu.”

Ki Wira mengangkat tangannya, menunjukkan posisi bertahan. “Dan yang ketiga… Jangan bertarung hanya dengan tubuhmu. Gunakan otakmu. Kekuatan bisa dikalahkan oleh kecerdikan.”

Saraswati menelan ludah. Ia tahu ini bukan permainan. Ki Wira tidak akan menahannya dengan lembut.

“Sekarang,” kata lelaki tua itu, “serang aku.”

Saraswati menarik napas panjang, lalu melangkah maju, mengayunkan tangannya ke arah Ki Wira. Tapi sebelum ia sempat menyentuhnya, lelaki itu menggeser tubuhnya ke samping dengan gerakan yang nyaris tak terlihat, lalu menjegal kakinya.

Saraswati jatuh dengan keras ke tanah, napasnya terhentak oleh benturan.

Ki Wira berdiri di atasnya, menatapnya dengan dingin. “Terlalu mudah ditebak.”

Saraswati menggeram, bangkit kembali dengan cepat. Ia takkan menyerah semudah itu.

Ia kembali menyerang, tetapi kali ini, ia tidak hanya mengandalkan kekuatan. Ia mengamati cara Ki Wira bergerak, mencoba membaca pola gerakannya.

Dan ketika ia menyerang lagi, kali ini ia berhasil menghindari serangan balasan lelaki itu, membuatnya tersenyum tipis.

“Bagus,” katanya. “Sekarang kita bisa mulai.”

Malam semakin larut, tetapi latihan mereka terus berlanjut. Saraswati jatuh berkali-kali, tubuhnya mulai terasa sakit oleh benturan, tetapi ia menolak menyerah.

Saat Ki Wira akhirnya mengangkat tangan, memberi tanda bahwa latihan malam ini selesai, Saraswati terhuyung lelah.

“Tahukah kau,” ujar lelaki itu sambil membantu Saraswati berdiri, “bahwa kau mengingatkanku pada seseorang?”

Saraswati menatapnya, menunggu jawabannya.

Ki Wira menghela napas pelan. “Ibumu.”

Dada Saraswati mencengkeram.

“Ibuku?” suaranya bergetar.

Ki Wira menatapnya dalam-dalam. “Ya. Dan suatu hari nanti, aku akan menceritakan segalanya padamu.”

Saraswati merasa dunia di sekelilingnya bergetar.Siapa ibunya sebenarnya? Dan mengapa ia merasa bahwa jawabannya akan mengubah segalanya?

Saraswati menatap Ki Wira dengan napas yang masih memburu. Kata-kata lelaki tua itu menggantung di udara, terasa lebih berat daripada rasa nyeri di tubuhnya setelah sesi latihan yang melelahkan. Ia mencoba mencerna makna dari pernyataan yang baru saja diucapkan, tetapi pikirannya masih dipenuhi kebingungan.

"Ibuku?" suaranya terdengar lebih serak dari yang ia kira, campuran antara kelelahan dan keterkejutan yang berputar dalam benaknya. "Apa maksudmu?"

Ki Wira menatapnya dalam-dalam, lalu menghela napas panjang, seolah ada beban berat yang selama ini ia simpan seorang diri. "Aku mengenal ibumu, Sari. Aku pernah bersumpah untuk melindunginya, sama seperti aku melindungimu sekarang."

Saraswati merasa dunianya bergetar. Sejak kecil, ia selalu percaya bahwa ia adalah anak kerajaan, dibesarkan dalam istana sebagai Sang Cahaya, pemegang takdir yang akan membawa kejayaan bagi Tirta Mandala. Namun, tak sekali pun permaisuri menyebut siapa ibunya. Tidak ada catatan, tidak ada lukisan, tidak ada nyanyian yang merayakan kelahirannya. Jika Ki Wira mengenal ibunya, itu berarti ada bagian dari hidupnya yang telah disembunyikan darinya.

"Tapi... siapa dia?" Ia melangkah maju, menatap Ki Wira dengan penuh harap, sekaligus ketakutan akan jawaban yang akan ia dengar.

Lelaki tua itu menggeleng perlahan. "Belum saatnya kau tahu."

Saraswati merasakan api kemarahan menyala dalam dirinya. "Belum saatnya?" suaranya meninggi, meskipun kelelahan masih terasa di sekujur tubuhnya. "Aku berhak tahu! Jika ibuku masih hidup, di mana dia? Jika tidak, apa yang terjadi padanya?"

Ki Wira tetap diam sejenak sebelum akhirnya berbicara dengan suara rendah yang penuh kesedihan. "Ia tidak mati karena sakit, tidak juga karena kecelakaan. Ia dibunuh."

Saraswati terhuyung mundur, seakan kata-kata itu baru saja menamparnya. Tenggorokannya terasa kering, udara di sekitarnya mendadak terasa menekan, seolah malam yang gelap semakin menghimpit tubuhnya. "Oleh siapa?" suaranya hampir tidak terdengar, tetapi ada ketegasan di dalamnya.

Ki Wira menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Oleh mereka yang kini menguasai istana ini."

Jantung Saraswati serasa berhenti berdetak.

Raja. Permaisuri.

Orang-orang yang selama ini merawatnya, yang selalu berkata bahwa ia adalah bagian dari mereka, yang mengajarkan bahwa dirinya adalah bagian dari ramalan suci. Jika apa yang dikatakan Ki Wira benar, maka mereka telah membunuh ibunya—membunuhnya tanpa belas kasihan, lalu mengangkatnya sebagai Sang Cahaya seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Kemarahan bercampur kebingungan menguasai pikirannya. Ia ingin berteriak, ingin melawan, tetapi ia tahu bahwa ini bukan waktunya. Ia tidak bisa membiarkan emosinya menguasai dirinya. Ia harus mengetahui kebenaran lebih jauh sebelum bertindak.

"Apa yang terjadi pada ibuku?" tanyanya akhirnya, suaranya lebih stabil meskipun di dalam dirinya badai sedang bergolak.

Ki Wira menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Itu cerita panjang, dan kau harus bersiap menerima kenyataan yang tidak akan mudah."

Saraswati mengepalkan tangannya. "Aku siap."

Ki Wira tersenyum kecil, tetapi ada kesedihan dalam tatapannya. "Besok malam, kita akan bertemu lagi di sini. Akan kuceritakan apa yang harus kau ketahui. Tapi sebelum itu, kau harus melatih tubuh dan jiwamu, Sari. Apa pun yang akan kau ketahui nanti, kau tidak boleh lemah."

Saraswati mengangguk. Ia tahu, setelah malam ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Saraswati kembali ke kamarnya menjelang fajar, tubuhnya masih terasa lelah tetapi pikirannya terus berputar. Ia tidak bisa tidur. Matanya tetap terbuka, menatap langit-langit ukiran kayu di atasnya sambil mencoba memahami segala sesuatu yang telah ia dengar.

Jika ibunya dibunuh oleh mereka yang kini menguasai istana, maka itu berarti seluruh hidupnya dibangun di atas kebohongan. Jika ibunya dibunuh, itu berarti ada alasan yang lebih besar mengapa mereka menyembunyikan asal-usulnya.

Sebelum ia bisa menenangkan pikirannya, sebuah sensasi aneh kembali menjalar dalam dirinya.

Tiba-tiba, udara di kamarnya terasa berubah, menjadi lebih dingin, lebih berat.

Bisikan itu datang lagi.

Sari… Kau semakin dekat…

Ia menahan napas.

Jangan percayai mereka… Jangan percayai mereka…

Telinganya berdenyut. Ia duduk tegak, matanya melirik ke sekeliling ruangan. Tidak ada siapa pun. Tidak ada suara selain desiran angin dari jendela yang terbuka sedikit. Tetapi bisikan itu masih menggema di dalam kepalanya. Ia tidak tahu apakah ini suara dari mimpinya, apakah itu hanya pikirannya sendiri yang sedang dipenuhi kecurigaan, atau apakah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang mencoba menghubunginya. Namun satu hal yang pasti: Ia tidak bisa kembali menjadi Saraswati yang dulu. Ia harus menemukan kebenarannya. Sebelum mereka menghancurkannya juga.

Saraswati terjaga dalam keheningan yang mencekam, matanya menatap lurus ke langit-langit kayu di atas ranjangnya. Bisikan itu masih terngiang di telinganya, seperti suara yang datang dari tempat yang jauh, namun berakar dalam di dalam dirinya. Angin dingin merayap masuk melalui jendela, mengusik kesadarannya yang masih terombang-ambing di antara ketakutan dan rasa ingin tahu yang membakar.

Perasaan itu tidak bisa diabaikan. Sesuatu di dalam dirinya bergolak, seolah mendesaknya untuk bergerak, mencari, dan menggali kebenaran yang selama ini terkubur di bawah lapisan kebohongan. Ia tahu, setelah perbincangannya dengan Ki Wira, semuanya telah berubah.

Ia tidak lagi bisa mempercayai mereka yang selama ini mengurungnya di dalam istana. Ia tidak bisa lagi melihat permaisuri sebagai ibu yang mengasihinya, atau raja sebagai pelindungnya. Jika mereka membunuh ibunya, maka untuk apa mereka mempertahankannya selama ini? Apa tujuan mereka membesarkannya sebagai Sang Cahaya jika darahnya sendiri adalah ancaman bagi mereka?

Jari-jarinya mencengkeram selimutnya erat, menahan luapan emosi yang semakin sulit dikendalikan. Ia ingin berteriak, ingin menuntut jawaban, tetapi ia tahu tidak ada seorang pun di istana ini yang akan memberikan kebenaran secara cuma-cuma.

Ia harus mengambilnya dengan tangannya sendiri.

Perlahan, Saraswati bangkit dari ranjangnya, berjalan ke arah meja kayu di sudut kamar. Di atasnya, lampu minyak masih menyala redup, cahayanya menari-nari di permukaan perunggu yang berdebu. Ia mengambil kendi air dan menuangkan sedikit ke dalam cawan, meneguknya dalam-dalam untuk mengusir kekeringan di tenggorokannya.

Pikirannya melayang pada latihan yang baru saja ia mulai dengan Ki Wira. Otot-ototnya masih terasa nyeri akibat pukulan dan jatuh berulang kali, tetapi rasa sakit itu terasa kecil dibandingkan dengan pertanyaan besar yang kini menghantui dirinya.

Jika ibunya dibunuh oleh mereka yang berkuasa, maka itu berarti ada sesuatu yang lebih besar yang dipertaruhkan. Sebuah rahasia yang cukup berbahaya hingga membuat keluarga kerajaan memilih untuk membunuh seorang wanita demi menutupinya.

Dan kini, mereka menyimpan dirinya.

Apakah mereka menunggu sesuatu?

Ataukah ia sedang dipersiapkan untuk nasib yang sama?

Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar di pintu kamarnya. Saraswati terlonjak, cawan di tangannya hampir terjatuh. Ia menoleh dengan cepat, jantungnya berdebar keras.

Siapa yang datang di tengah malam seperti ini?

Ia berjalan perlahan ke arah pintu, berhenti sejenak untuk memastikan tidak ada suara langkah lain di luar. Napasnya tertahan di tenggorokan.

Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih pelan, seolah-olah orang di baliknya tidak ingin menimbulkan kecurigaan.

Saraswati menelan ludah, lalu dengan hati-hati, ia membuka pintu sedikit.

Di baliknya, seorang pelayan istana berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk, wajahnya pucat seperti seseorang yang telah menyaksikan sesuatu yang mengerikan. Perempuan itu bernama Mirah, salah satu dayang yang sering melayaninya sejak kecil.

“M-Maafkan hamba, Sang Cahaya,” suaranya bergetar, hampir tidak terdengar. “Tapi ada sesuatu yang harus Anda ketahui.”

Saraswati menatapnya dengan curiga, tetapi juga dengan perasaan aneh yang menyelinap di dadanya. Ia mendorong pintu sedikit lebih lebar, memberi isyarat agar Mirah masuk.

Perempuan itu melangkah masuk dengan gugup, tangannya mencengkeram erat lipatan kain rok yang ia kenakan. Ia menatap Saraswati dengan tatapan yang penuh ketakutan, seolah-olah kata-kata yang akan ia ucapkan bisa membawa kehancuran bagi dirinya sendiri.

"Ada apa, Mirah?" Saraswati bertanya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang.

Mirah menelan ludah, lalu menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Sang Cahaya... Anda harus pergi dari sini."

Dada Saraswati mencengkeram. "Apa maksudmu?"

Mirah melirik ke arah pintu, memastikan tidak ada seorang pun yang menguping. Lalu, dengan suara yang lebih pelan, ia berkata, "Saya mendengar para penasihat kerajaan berbicara malam ini. Mereka berkata bahwa upacara yang akan segera diadakan... bukanlah tentang kejayaan."

Saraswati merasakan kakinya melemas.

“Mereka akan mengorbankan Anda.”

Suara Mirah hampir tidak terdengar, tetapi kata-kata itu menghantamnya seperti gelombang dahsyat.

Pengorbanan.

Semuanya masuk akal.

Upacara Penyatuan Cahaya, semua ritual yang harus ia jalani, semua persiapan yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, semuanya bukan untuk menjadikannya pemimpin.

Melainkan untuk mengakhiri hidupnya.

Saraswati mundur selangkah, tangannya gemetar saat ia menutup mulutnya untuk menahan jeritan. Tubuhnya terasa dingin, seolah semua darahnya telah membeku.

Mirah mencengkeram tangannya dengan erat, tatapannya putus asa. "Anda harus pergi sebelum terlambat, Sang Cahaya. Jika Anda tetap di sini, mereka akan membunuh Anda, seperti yang mereka lakukan pada—"

Mirah menutup mulutnya sendiri, seolah telah mengucapkan sesuatu yang seharusnya tidak boleh keluar dari bibirnya.

Saraswati menatapnya tajam. "Seperti yang mereka lakukan pada siapa, Mirah?"

Dayang itu terguncang, air mata mulai jatuh dari matanya. Ia menunduk, tetapi tidak menjawab. Namun Saraswati tidak membutuhkan jawaban. Ia sudah tahu. Ibunya. Mereka membunuh ibunya. Dan kini, mereka akan melakukan hal yang sama padanya.

Dalam sekejap, semua emosi yang tertahan di dadanya meledak menjadi kemarahan yang mendidih. Tidak lagi ada ketakutan. Tidak ada lagi keraguan. Ia telah dibohongi seumur hidupnya, dijadikan boneka dalam permainan yang tidak pernah ia pahami. Tetapi tidak lagi. Ia tidak akan menunggu hingga mereka menyeretnya ke altar pengorbanan. Ia akan melawan. Dengan tangan yang masih gemetar, ia menatap Mirah dan berkata dengan suara yang tegas, "Bantu aku keluar dari sini." Mirah menatapnya dengan mata membelalak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Namun, dalam sorot matanya, ada sesuatu yang lebih kuat daripada ketakutan—sebuah keputusan yang tidak bisa dibatalkan lagi.

Pelayan itu menarik napas dalam, lalu mengangguk dengan mantap. "Saya tahu jalan keluarnya."

Saraswati menggenggam tangan Mirah, rasa nyeri dari latihan malam itu seolah tak lagi terasa. Malam ini, semuanya akan berubah. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak akan menjadi gadis yang hanya menunggu takdirnya. Ia akan menentukan takdirnya sendiri.

Malam itu, langit di atas Istana Airlangga tampak lebih pekat dari biasanya. Awan-awan kelabu menggantung berat, menyelimuti cahaya bulan yang seharusnya bersinar terang di atas menara-menara tinggi. Angin berembus kencang, membuat tirai kamar Saraswati berkibar liar seperti sayap burung yang hendak melarikan diri dari sangkar emasnya.

Di dalam kamar, Saraswati berdiri tegak, jantungnya berdetak cepat, pikirannya berpacu dengan waktu. Kata-kata Mirah masih terngiang di kepalanya, seperti lonceng kematian yang terus berdentang dalam batinnya.

Mereka akan mengorbankanmu. Ia merasakan aliran darah di tubuhnya menghangat dengan kemarahan yang perlahan menyala. Seumur hidupnya, ia diperlakukan seperti benda suci, dijaga ketat, dijauhkan dari dunia luar, dan dipersiapkan untuk sesuatu yang selalu dikatakan sebagai takdir agung. Namun, semua itu dusta. Selama ini, ia bukanlah pemimpin yang dinanti, bukan seorang pembawa cahaya seperti yang mereka klaim. Ia hanyalah korban yang sedang dipersiapkan dengan sabar untuk disembelih demi sesuatu yang tidak pernah ia pahami.

Mirah masih berdiri di dekat pintu, tubuhnya sedikit membungkuk, napasnya tersengal setelah berlari ke sini dalam ketakutan. Wajahnya pucat, tetapi di matanya ada keteguhan yang membuat Saraswati tahu bahwa ia tidak sedang berbohong.

"Kau yakin tentang ini?" Saraswati bertanya, meskipun hatinya sudah tahu jawaban yang akan ia dengar.

Mirah mengangguk cepat. "Saya mendengarnya sendiri, Sang Cahaya. Mereka berbicara tentang upacara yang akan segera dilakukan. Mereka berkata… darah Anda akan membuka jalan bagi kejayaan kerajaan." Suaranya bergetar di akhir kalimatnya, seolah ia sendiri ngeri dengan kata-kata yang baru saja ia ucapkan.

Saraswati mengepalkan tangannya, kuku-kukunya menekan kulit telapak tangannya hingga nyaris melukai dirinya sendiri. Ia merasakan tubuhnya bergetar, bukan karena ketakutan, melainkan karena keinginan yang membuncah untuk menghancurkan segala kebohongan yang telah mereka bangun di sekelilingnya.

"Jika itu benar, maka aku tidak akan tinggal diam," katanya lirih, tetapi ada ketegasan dalam suaranya. "Aku harus keluar dari sini sebelum mereka bisa menyentuhku."

Mirah tampak ragu sejenak. "Tapi… ke mana Anda akan pergi? Istana ini dijaga ketat. Setiap lorong memiliki prajurit. Bahkan para pelayan pun tidak bisa bergerak bebas tanpa pengawasan."

Saraswati mengangkat dagunya, menatap Mirah dengan penuh keyakinan. "Aku tidak akan lari seperti buronan tanpa tujuan. Aku akan melawan mereka. Tapi sebelum itu, aku harus menjadi lebih kuat. Jika aku keluar dari sini sekarang tanpa persiapan, aku hanya akan menjadi mangsa mudah di luar sana."

Mirah menatapnya dengan kebingungan. "Apa yang Anda maksud?"

Saraswati mengalihkan pandangannya, pikirannya berputar mencari cara terbaik untuk bertahan. "Aku harus belajar bertarung lebih banyak. Aku harus meminta Ki Wira mengajarkanku lebih dari sekadar dasar-dasar. Aku harus siap menghadapi mereka yang ingin mengakhiri hidupku."

Mirah tampak ketakutan. "Tapi… bagaimana jika mereka tahu? Jika mereka mengetahui bahwa Anda berlatih bertarung, mereka tidak akan membiarkan Anda hidup lebih lama lagi."

Saraswati tersenyum miring, tetapi tidak ada kelembutan di baliknya. "Itulah sebabnya aku tidak akan membiarkan mereka tahu."

Malam berikutnya, di pekarangan belakang istana, Saraswati berdiri dengan tubuh yang lebih tegang dari biasanya. Otot-ototnya masih terasa nyeri akibat latihan sebelumnya, tetapi rasa sakit itu tidak lagi berarti baginya. Yang ada hanyalah keteguhan untuk bertahan.

Ki Wira mengamati posturnya, matanya tajam seperti elang yang menilai mangsanya sebelum menyerang. "Kau tampak berbeda malam ini," katanya pelan. "Ada sesuatu yang berubah dalam dirimu."

Saraswati menatapnya dengan mata penuh determinasi. "Aku sudah tahu segalanya, Ki Wira."

Lelaki tua itu mengangkat alisnya, tetapi tidak menunjukkan keterkejutan. "Segalanya?"

Saraswati mengangguk. "Mereka ingin mengorbankanku."

Angin malam berembus lebih kencang di antara mereka, tetapi keheningan yang tercipta setelahnya lebih menusuk dibandingkan dinginnya udara. Ki Wira tidak bertanya bagaimana ia mengetahui kebenaran itu. Ia hanya menghela napas panjang, lalu menatap Saraswati dengan tatapan yang lebih serius.

"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanyanya.

Saraswati mengepalkan tinjunya. "Aku ingin kau melatihku lebih keras. Aku tidak hanya ingin bertahan. Aku ingin melawan mereka."

Ki Wira menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar kebanggaan. Ada kesedihan di baliknya, seolah-olah ia telah menunggu saat ini tiba, tetapi berharap bahwa Saraswati tidak perlu melalui jalan ini.

"Aku akan melatihmu," katanya akhirnya. "Tapi kau harus tahu bahwa jalan yang kau pilih bukanlah jalan yang mudah. Jika kau ingin melawan mereka, kau harus bersiap kehilangan lebih banyak lagi."

Saraswati menegakkan tubuhnya. "Aku sudah kehilangan ibuku. Aku sudah kehilangan kebebasanku. Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil nyawaku juga."

Ki Wira mengangguk pelan. "Baiklah. Kita mulai."

Malam itu, latihan mereka lebih keras dari sebelumnya. Tidak ada lagi latihan dasar, tidak ada lagi pukulan ringan. Setiap serangan Ki Wira benar-benar ditujukan untuk menguji batas tubuh Saraswati, memaksanya berpikir lebih cepat, bergerak lebih cekatan, dan bertahan dengan segala yang ia miliki.

Saraswati jatuh berkali-kali, tetapi ia tidak pernah menyerah. Ia terus bangkit, matanya menyala dengan api yang baru. Ia bukan lagi gadis yang terkurung dalam istana, menunggu nasibnya ditentukan oleh orang lain.

Ia adalah seseorang yang akan mengambil nasibnya sendiri, dengan tangannya sendiri.

Dan ketika malam semakin larut, Ki Wira berhenti, menatapnya dengan mata penuh arti. "Malam ini kau telah mengambil langkah pertamamu menuju sesuatu yang lebih besar. Tapi ingat, Sari, kau harus memilih dengan bijak kapan harus bertarung dan kapan harus menunggu. Kadang, kemenangan terbesar datang bukan dari pertarungan yang dimenangkan, tetapi dari perang yang dihindari."

Saraswati menghela napas, tubuhnya sakit, tetapi hatinya lebih kuat dari sebelumnya.

"Aku tidak ingin menghindari perang ini," katanya mantap. "Aku ingin menyelesaikannya."

Dan di malam yang dingin itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Saraswati benar-benar merasa bebas.

Langit di atas Istana Airlangga masih diselimuti kelam saat Saraswati kembali ke kamarnya setelah latihan yang melelahkan bersama Ki Wira. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, setiap otot seakan menjerit dalam protes, tetapi rasa sakit itu tidak bisa mengalahkan kobaran tekad yang menyala dalam dirinya. Ia kini bukan lagi seorang gadis yang hanya menunggu takdir menjemputnya. Ia telah memilih untuk melawan.

Ia berdiri di depan cermin besar di sudut kamarnya, mengamati pantulan dirinya dengan napas yang masih memburu. Wajahnya basah oleh keringat, helai-helai rambut panjangnya kusut berantakan, dan ada guratan kelelahan yang jelas di bawah matanya. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak melihat kelemahan di balik bayangan itu. Yang ia lihat adalah seseorang yang sedang bangkit dari keterpurukan, seseorang yang siap menemukan kebenaran yang telah lama dikubur.

Ia menyentuh dadanya, merasakan detak jantung yang masih berdegup cepat. Suara bisikan dalam mimpinya kembali terngiang di kepalanya. Cari kebenaranmu, Sari. Sebelum semuanya terlambat.

Pikiran itu membuatnya menggigit bibir, rasa gelisah yang ia pendam sejak mendengar kebenaran dari Mirah dan Ki Wira semakin menyesakkan. Ada sesuatu yang belum ia ketahui, sesuatu yang masih tersembunyi di balik tirai kebohongan yang membelenggu hidupnya.

Perlahan, ia berbalik, langkahnya mendekati meja kayu kecil di sisi ranjangnya. Jemarinya mengusap permukaan kayu yang telah usang, hingga akhirnya menemukan sesuatu yang selama ini ia simpan dengan hati-hati—sebuah liontin kecil berbentuk matahari dengan ukiran halus di bagian tengahnya.

Liontin itu adalah satu-satunya benda yang ia miliki sejak kecil, sesuatu yang selalu ia bawa tanpa pernah mengetahui asal-usulnya. Setiap kali ia menanyakan kepada permaisuri, jawaban yang diberikan selalu sama: “Itu adalah berkah dari para dewa, simbol bahwa kau adalah Sang Cahaya.”

Tetapi kini, Saraswati tidak lagi bisa mempercayai kata-kata itu. Jika para dewa benar-benar menginginkannya, mengapa ia harus dikorbankan? Jika ia adalah Cahaya, mengapa dunia justru menjerumuskan hidupnya dalam kegelapan?

Ia mengepalkan liontin itu erat-erat di telapak tangannya, merasakan ujung-ujungnya yang tajam menusuk kulitnya. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar gelar Sang Cahaya. Ada sesuatu yang disembunyikan darinya, sesuatu yang bisa mengubah seluruh jalan hidupnya.

Keputusan telah dibuat. Ia tidak akan hanya menunggu. Ia akan mencari tahu.

Peristiwa Lanjutan:

Malam berikutnya, Saraswati kembali ke taman belakang istana, tempat Ki Wira selalu menunggunya dalam kesunyian. Kali ini, langkahnya lebih mantap, setiap gerakannya lebih terarah. Ia telah membulatkan tekadnya, dan malam ini ia ingin lebih dari sekadar latihan. Ia ingin mengetahui kebenaran yang selama ini disembunyikan darinya.

Ki Wira berdiri dengan tenang di bawah bayangan pohon beringin tua, tangannya bersedekap di dada, wajahnya tetap keras seperti batu. Saat Saraswati mendekat, lelaki tua itu mengamati sorot matanya yang dipenuhi keteguhan.

“Kau terlihat lebih siap malam ini,” ujar Ki Wira, suaranya rendah tetapi penuh pengamatan.

Saraswati mengangguk, menarik napas dalam. “Aku ingin lebih dari sekadar bertahan. Aku ingin tahu segalanya.”

Ki Wira tidak langsung menjawab. Ia menatap Saraswati lama, seakan menilai apakah gadis itu benar-benar siap untuk mendengar kebenaran yang akan ia ungkapkan. Akhirnya, ia menghela napas dan melangkah mendekat, wajahnya penuh keseriusan.

“Ada sesuatu yang harus kau pahami, Sari,” katanya pelan, tetapi ada ketegasan dalam suaranya. “Kebenaran bukanlah sesuatu yang mudah diterima. Kadang, kebenaran lebih menyakitkan daripada kebohongan.”

Saraswati menatapnya tanpa berkedip. “Aku sudah kehilangan banyak hal. Aku tidak takut pada kebenaran.”

Ki Wira menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. Ia mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya—sebuah gulungan kain usang yang telah lama terlihat tersembunyi dari mata siapa pun. Dengan hati-hati, ia menyerahkannya kepada Saraswati.

Tangan Saraswati gemetar saat ia menerima gulungan itu. Perlahan, ia membuka lipatan kainnya, dan saat matanya membaca tulisan di dalamnya, seluruh dunianya berhenti berputar.

Nama yang tertera di sana bukanlah Saraswati.

Bukan Sang Cahaya.

Bukan siapa pun yang ia kenal.

Nama itu adalah Sundari Rakai Mahadipa, sebuah nama yang tidak pernah ia dengar, tetapi terasa begitu akrab dalam hatinya.

Ia menatap Ki Wira dengan kebingungan yang teramat dalam. “Apa arti semua ini?”

Lelaki tua itu menghela napas, suaranya penuh kepedihan. “Itu adalah nama lahirmu, Sari. Nama yang diberikan oleh ibumu sebelum mereka merampasnya darimu.”

Dada Saraswati mencengkeram. “Siapa ibuku?”

Ki Wira menatapnya dalam-dalam sebelum menjawab dengan suara yang hampir bergetar. “Dia adalah ratu sejati kerajaan ini. Dan kau adalah satu-satunya pewaris sah dari garis darah yang mereka coba hapus dari sejarah.”

Pernyataan itu menghantam Saraswati lebih keras daripada pukulan mana pun yang pernah ia terima selama latihan. Ia mundur selangkah, tangannya mencengkeram gulungan kain itu dengan kuat.

Jika yang dikatakan Ki Wira benar, maka selama ini ia telah hidup dalam kebohongan yang lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.

Ia bukan hanya sekadar boneka kerajaan. Ia adalah seorang putri yang dirampas dari haknya, seorang pewaris yang telah disembunyikan agar ia tidak pernah tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

Dan mereka ingin mengorbankannya, sama seperti mereka mengorbankan ibunya.

Saraswati mengangkat wajahnya, matanya menyala dengan kemarahan yang selama ini hanya berupa bara. Kini, api itu telah membesar, membakar setiap rasa takut yang masih tersisa dalam dirinya.

Mereka mungkin telah menghapus namanya dari sejarah.

Tetapi ia tidak akan membiarkan mereka menghapus dirinya dari dunia ini.

“Aku akan mengambil kembali yang seharusnya menjadi milikku,” katanya, suaranya tenang tetapi penuh keteguhan. “Aku tidak akan membiarkan mereka menang.”

Ki Wira menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Kalau begitu, waktunya semakin dekat. Kau harus lebih kuat dari ini, Sari.”

Saraswati mengangguk, menggenggam gulungan itu erat-erat di tangannya. Ia telah menemukan kebenarannya. Kini, ia hanya perlu bertahan cukup lama untuk menuntut apa yang seharusnya menjadi miliknya.

Dan saat malam semakin larut, angin di taman berbisik lirih, seakan membawa pesan dari masa lalu yang telah lama dikubur.

Sundari Rakai Mahadipa telah bangkit.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Darah dan Takdir   Epilog

    Langit Tirta Mandala merona merah keemasan saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Angin lembut berembus melalui menara-menara istana, membawa aroma dupa dan bunga yang masih tersisa dari upacara syukuran yang diadakan siang tadi. Di bawah cahaya yang semakin temaram, ibu kota mulai berdenyut dengan kehidupan barunya—pedagang menutup kios-kios mereka, prajurit berpatroli di jalan-jalan utama, dan rakyat berjalan pulang dengan langkah ringan, membawa harapan akan masa depan yang lebih baik.Namun, di dalam dinding batu yang megah, seorang ratu duduk sendirian di ruang pribadinya, merenungi apa yang telah terjadi dan apa yang masih harus ia hadapi.Saraswati menatap ke luar jendela besar yang menghadap ke kota, kedua tangannya bertumpu di tepian kayu yang diukir dengan motif naga air, lambang kebesaran keluarganya. Rambut hitamnya tergerai, tidak lagi disanggul seperti saat upacara resmi. Ia telah menjalani berbagai pertempuran, baik di medan perang maupun di dalam istana, tetapi h

  • Darah dan Takdir   Bab 20: Awal Baru

    Fajar menyingsing di atas ibu kota Tirta Mandala, menghamparkan cahaya keemasan yang perlahan merayap melewati menara-menara istana yang megah. Udara masih dipenuhi sisa-sisa aroma dupa dan bunga dari upacara malam sebelumnya, menandai awal dari era baru bagi kerajaan yang telah melalui begitu banyak pertumpahan darah. Di alun-alun utama, ribuan rakyat berkumpul, memenuhi setiap sudut untuk menyaksikan peristiwa yang akan tercatat dalam sejarah.Di tengah kerumunan yang luas, Saraswati berdiri di atas panggung batu yang dikelilingi oleh para pembesar kerajaan, prajurit, dan rakyat yang menunggu dengan harapan bercampur kewaspadaan. Jubah kebesarannya menjuntai megah, tenunannya berwarna biru laut dengan sulaman emas yang melambangkan kejayaan Tirta Mandala. Sebuah mahkota perak, yang lebih sederhana dari yang dikenakan raja-raja sebelumnya, bertengger di kepalanya. Ia memilihnya dengan sengaja—bukan sebagai simbol kekuasaan mutlak, tetapi sebagai tanda bahwa kepemimpinannya bukan tent

  • Darah dan Takdir   Bab 19: Raka dan Sari

    Langit senja membentang di atas perkemahan mereka, menyapu cakrawala dengan warna merah keemasan yang perlahan memudar ke dalam kegelapan malam. Di kejauhan, suara angin menerpa dedaunan hutan, berbisik di antara pepohonan seolah membawa pesan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang hatinya gelisah.Saraswati berdiri di tepi perkemahan, matanya menatap ke arah lembah yang terbentang di hadapannya. Mereka telah berkemah di sana selama dua malam sejak meninggalkan ibu kota, mengikuti jejak Adhiraj yang semakin sulit dilacak. Meskipun ia yakin mereka berada di jalur yang benar, ada sesuatu yang lebih berat yang menghimpit dadanya—sesuatu yang bukan berasal dari peperangan atau takhta, tetapi dari sesuatu yang jauh lebih dalam.Langkah kaki yang ia kenali dengan mudah terdengar di belakangnya. Raka mendekat, membiarkan kehadirannya terasa sebelum akhirnya berdiri di sampingnya. Lelaki itu telah bersamanya sejak awal, sejak ia masih terkurung di dalam istana, dan kini mereka berdiri di t

  • Darah dan Takdir   Bab 18: Pilihan yang Sulit

    Dingin fajar menyelimuti ibu kota Tirta Mandala ketika kabut sisa peperangan mulai perlahan menghilang. Bangunan-bangunan yang hancur menjadi saksi bisu dari pertempuran besar yang baru saja berakhir. Di alun-alun utama, rakyat berkumpul dalam diam, menanti kepastian tentang masa depan yang telah mereka perjuangkan dengan darah dan air mata.Saraswati berdiri di puncak tangga istana, mengenakan pakaian perang yang masih ternoda debu dan darah. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya tetap tajam. Hari ini bukan tentang kemenangan, melainkan tentang keputusan yang akan mengubah jalan sejarah.Di hadapannya, Raja duduk di singgasana yang tidak lagi miliknya. Tangannya terikat di belakang kursi yang pernah menjadi simbol absolut kekuasaan. Meskipun dikalahkan, sorot matanya tetap tajam, seolah ia masih memiliki kendali atas apa yang terjadi. Di sampingnya, Adhiraj berdiri dalam diam, wajahnya penuh luka dan kebencian, tetapi tanpa perlawanan.Saraswati menatap ayahnya lama, merasakan begitu ban

  • Darah dan Takdir   Bab 17: Perang Besar

    Langit di atas ibu kota Tirta Mandala berubah kelam, seakan merespons perang besar yang kini melanda setiap sudut kota. Asap membubung dari bangunan-bangunan yang terbakar, suara dentingan pedang beradu dan teriakan kematian bergema di sepanjang jalan berbatu. Rakyat yang selama ini terbelenggu oleh ketakutan kini bangkit, mencabut senjata seadanya—parang, tongkat, dan obor—dan bertempur melawan pasukan kerajaan.Saraswati berdiri di atas tembok barat istana, napasnya berat setelah pertempuran yang tak kunjung usai. Di bawahnya, lautan manusia bertempur sengit, dan di dalam istana sendiri, peperangan masih berlangsung di setiap lorong dan aula megah.Ia menoleh ke arah Raka yang berdiri di sampingnya, pedang pria itu sudah ternoda darah, dan wajahnya penuh goresan. “Kita tidak bisa bertahan lebih lama,” kata Raka, suaranya penuh ketegangan. “Pasukan kerajaan masih lebih kuat. Jika bala bantuan tidak datang, kita akan terkepung.”Saraswati mengeratkan genggaman pada gagang pedangnya. “

  • Darah dan Takdir   Bab 16: Konfrontasi dengan Sang Raja

    Angin dingin berembus membawa aroma tanah yang basah setelah hujan semalam. Pasukan pemberontak bergerak dalam senyap, menyusuri jalan setapak yang menuju ibu kota, Tirta Mandala. Langkah-langkah mereka penuh kehati-hatian, menyatu dengan bayangan pepohonan yang tinggi. Saraswati menunggangi kudanya di barisan depan, matanya tajam menatap ke depan, sementara jubah gelapnya berkibar diterpa angin.Dari puncak bukit, benteng megah ibu kota mulai terlihat di kejauhan. Cahaya obor di menara-menara penjaga tampak seperti bintang-bintang redup yang mengambang di udara malam. Tirta Mandala berdiri kokoh, sebuah kota yang selama ini hanya ia kenal sebagai penjara berlapis emas, tetapi malam ini ia kembali, bukan sebagai gadis yang dikurung dalam istana, melainkan sebagai pemimpin pemberontakan yang menuntut haknya.Raka berada di sampingnya, tangannya tetap dekat dengan gagang pedangnya, siap menghadapi kemungkinan terburuk. “Mereka sudah tahu kita akan datang,” katanya lirih, suara beratnya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status