Home / Historical / Darah dan Takdir / Bab 3: Sang Pengawal Baru

Share

Bab 3: Sang Pengawal Baru

Author: A. Rani
last update Huling Na-update: 2025-05-31 00:05:39

Pagi di Istana Airlangga selalu datang dengan keanggunan yang sama. Matahari merayap perlahan di balik tembok-tembok batu yang menjulang, menciptakan pantulan keemasan di lantai marmer yang dingin. Udara membawa aroma dupa dan bunga kenanga yang dibakar di halaman suci, mengantarkan doa-doa yang tak pernah benar-benar didengar oleh para dewa.

Di dalam menaranya, Saraswati duduk diam di hadapan cermin besar dengan bingkai emas berukir, menatap bayangannya sendiri. Wajah yang ia lihat di sana masih sama seperti kemarin—mata gelap yang menyimpan banyak pertanyaan, bibir yang terlalu lama terdiam, dan kulit yang semakin pucat akibat kurangnya sinar matahari. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang telah berubah sejak ia mengetahui kebenaran tentang siapa dirinya sebenarnya.

Sundari Rakai Mahadipa.

Nama itu kini menjadi bara yang menyala di dalam dirinya, sebuah peringatan bahwa ia bukan gadis istana yang hanya duduk menunggu takdir menjemputnya. Ia adalah seseorang yang harus bertahan, harus menemukan caranya sendiri untuk keluar dari sangkar emas ini. Namun, ia tidak bisa terburu-buru. Setiap langkahnya harus diperhitungkan dengan hati-hati, setiap gerakan harus mengarah pada tujuan yang jelas.

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya. Hari ini, sesuatu akan berubah lagi.

Hari ini, ia akan memiliki seorang pengawal pribadi yang baru.

Lorong utama istana dipenuhi dengan bisikan-bisikan pelan saat sekelompok prajurit berbaris rapi di depan aula besar. Mereka mengenakan baju besi dengan pola khas Tirta Mandala, dada mereka tegak, dan mata mereka lurus ke depan, tidak berani melirik ke arah mana pun kecuali ke hadapan sang permaisuri.

Di antara mereka, seorang pemuda berdiri sedikit berbeda dari yang lain. Tidak seperti prajurit lain yang penuh ketegangan, pemuda ini tampak tenang, bahkan sedikit terlalu tenang untuk seorang yang baru saja mendapatkan tugas penting. Matanya tajam seperti mata elang yang mengamati setiap sudut ruangan, tubuhnya tegap tetapi tidak kaku, dan di pinggangnya, pedang panjang terikat dengan gagang yang terlihat telah sering digunakan dalam pertempuran.

Permaisuri Mahadewi duduk di singgasananya yang tinggi, mengenakan jubah ungu tua yang disulam dengan benang emas. Wajahnya tetap seperti biasanya—tenang, tak terbaca, dan penuh kendali. Di sisinya, beberapa penasihat berdiri dalam diam, menunggu perintah yang akan keluar dari bibirnya.

“Raka Mahardika,” suara permaisuri akhirnya terdengar, menggema di dalam aula yang luas. “Mulai hari ini, kau akan bertugas sebagai pengawal pribadi Sang Cahaya.”

Pemuda itu, Raka, menundukkan kepalanya dalam-dalam, memberi hormat dengan tangan mengepal di dada. “Saya menerima tugas ini dengan kehormatan, Permaisuri.”

Mata Mahadewi menyipit, meneliti pemuda itu dengan tatapan yang sulit diartikan. “Tugas ini bukanlah tugas biasa, Raka,” lanjutnya. “Saraswati adalah cahaya bagi kerajaan ini, dan keselamatannya adalah tanggung jawabmu sepenuhnya. Kau harus menjaga, melindungi, dan memastikan bahwa ia tidak keluar dari batas yang telah ditentukan.”

Raka mengangkat kepalanya perlahan, sorot matanya tidak berubah. “Saya mengerti, Permaisuri.”

Permaisuri mengangguk, lalu memberi isyarat kepada salah satu pelayan istana. “Bawa dia ke Saraswati.”

Saraswati berdiri di balkon kamarnya, mengamati halaman istana yang mulai sibuk dengan para prajurit yang berlatih di bawah sinar matahari pagi. Suara pedang beradu terdengar dari kejauhan, bercampur dengan suara instruksi keras dari para komandan. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat bagaimana dunia di luar kamarnya bergerak, berputar, sementara dirinya tetap terkunci di tempat yang sama, hari demi hari.

Pintu kamarnya diketuk pelan, dan seorang pelayan masuk dengan kepala tertunduk. “Sang Cahaya, pengawal baru Anda telah tiba.”

Saraswati menoleh perlahan. Ia telah mendengar tentang penunjukan pengawal baru ini sejak kemarin, tetapi tidak terlalu memikirkannya. Baginya, pengawal hanyalah perpanjangan tangan istana yang mengawasi setiap gerakannya, memastikan ia tidak melakukan hal di luar batas yang telah mereka tetapkan.

Namun, ketika pintu kamar terbuka sepenuhnya dan sosok pemuda itu melangkah masuk, sesuatu dalam dirinya langsung memberi peringatan.

Raka Mahardika.

Ia tidak seperti pengawal-pengawal sebelumnya.

Tubuhnya tegap, tetapi gerakannya tidak kaku seperti prajurit istana pada umumnya. Rambutnya sedikit lebih panjang daripada yang seharusnya bagi seorang prajurit, memberikan kesan sedikit liar, tetapi sorot matanya tajam dan penuh ketenangan yang sulit dijelaskan. Saat mata mereka bertemu, Saraswati merasakan sesuatu yang aneh—sebuah perasaan bahwa pemuda ini bukan sekadar seorang pengawal biasa.

Raka menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat, tetapi tidak terlalu dalam, tidak seperti pengawal lain yang selalu berlutut di hadapannya. “Sang Cahaya,” sapanya, suaranya dalam dan stabil.

Saraswati tetap diam, matanya meneliti pemuda itu dengan lebih saksama. Biasanya, para pengawal yang baru ditugaskan kepadanya akan menunjukkan rasa segan yang berlebihan, seperti seseorang yang takut membuat kesalahan di hadapan seorang yang dianggap suci. Namun, Raka berbeda. Ia tidak menunjukkan ketakutan atau kekaguman. Ia hanya menatapnya dengan cara yang membuat Saraswati merasa... dinilai.

“Kau prajurit baru di istana?” tanyanya akhirnya.

Raka menggeleng pelan. “Saya telah bertugas di perbatasan selama lima tahun terakhir.”

Saraswati mengangkat alisnya. “Mengapa mereka menarikmu kembali ke istana?”

Raka tersenyum tipis, tetapi ada sesuatu di balik senyum itu yang tidak sepenuhnya bisa dipahami. “Saya juga ingin tahu alasannya.”

Saraswati memiringkan kepalanya sedikit. Jawaban itu terlalu jujur. Para pengawal biasanya akan menjawab dengan kalimat kaku seperti ‘Karena kehormatan untuk melayani kerajaan,’ atau sesuatu yang lebih diplomatis. Tetapi Raka berbicara dengan nada yang seolah tidak sepenuhnya percaya pada tugas yang diberikan kepadanya.

Itu aneh. Dan itu berbahaya.

Namun, di saat yang sama, Saraswati merasakan sesuatu yang berbeda. Ia merasa bahwa untuk pertama kalinya, seseorang yang berdiri di hadapannya bukan hanya seorang penjaga yang mengikuti perintah buta, melainkan seseorang yang melihatnya sebagai manusia.

Hari itu berlalu dengan perlahan. Raka mengikuti Saraswati ke mana pun ia pergi, tetapi berbeda dengan pengawal sebelumnya, ia tidak mencoba untuk berbicara kecuali diperlukan. Ia hanya mengamati, memperhatikan setiap langkah dan gerakan Saraswati dengan ketelitian yang hampir mengganggu.

Saat malam tiba dan Saraswati kembali ke kamarnya, ia menoleh ke arah Raka yang berdiri di depan pintunya, berjaga dalam keheningan.

Ia menatap pemuda itu sejenak, lalu berkata dengan suara pelan, tetapi penuh makna. “Aku tidak membutuhkan pengawal. Aku membutuhkan seseorang yang bisa dipercayai.”

Raka menatapnya balik, tidak langsung menjawab. Kemudian, dengan suara yang nyaris berbisik, ia berkata, “Kalau begitu, mungkin kita berdua sama-sama berada di tempat yang salah.”

Saraswati menatapnya dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, pemuda ini adalah seseorang yang bisa mengubah segalanya.

Malam semakin larut, tetapi pertanyaan yang baru saja muncul dalam benaknya membuatnya sulit untuk tidur.

Siapa sebenarnya Raka Mahardika?

Dan mengapa perasaan aneh dalam dirinya semakin kuat saat bersamanya?

Malam merambat perlahan di Istana Airlangga. Cahaya obor di sepanjang lorong berkelip-kelip diterpa angin, menciptakan bayangan bergerak yang menari di atas dinding-dinding batu. Hening yang melingkupi istana begitu kental, hanya sesekali dipecahkan oleh suara derit kayu atau langkah para prajurit yang berpatroli di halaman luar. Di dalam kamarnya, Saraswati berdiri di dekat jendela, memandang ke langit yang kelam tanpa bulan. Udara dingin menyelinap masuk, membuatnya menarik selendangnya lebih erat ke tubuhnya.

Pikirannya masih tertuju pada percakapannya dengan Raka tadi. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara pemuda itu menatapnya, sesuatu yang tak bisa ia artikan dengan mudah. Mata prajurit itu tajam dan penuh perhitungan, tetapi bukan dengan cara yang mengancam. Ia tidak seperti para pengawal lain yang menunduk patuh tanpa mempertanyakan apa pun. Raka berbicara dengan jujur, seolah ia tidak peduli dengan aturan yang mengharuskannya tunduk di hadapan Sang Cahaya.

Saraswati menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang terus berputar. Ia tahu bahwa sikap Raka yang berbeda ini bisa berarti dua hal—bahwa ia bisa menjadi ancaman, atau sebaliknya, menjadi sekutu yang tak terduga.

Suara ketukan di pintu membuatnya tersadar. Ia menoleh, sedikit waspada. Jam segini, tak seharusnya ada yang datang ke kamarnya kecuali dayang yang mengantarkan teh malam. Namun, langkah yang terdengar di balik pintu terlalu ringan untuk seorang pelayan biasa.

"Sang Cahaya," suara Raka terdengar dari balik pintu, datar dan tanpa emosi. "Bolehkah saya masuk?"

Saraswati terkejut sesaat. Pengawal pribadi biasanya tidak akan berani mengajukan permintaan seperti itu, apalagi di malam hari. Ia melangkah mendekat, lalu membuka pintu sedikit, menatap pemuda itu yang berdiri tegap di depan pintu.

"Ada apa?" tanyanya dengan suara pelan.

Raka menatapnya sejenak, lalu berbicara dengan nada yang lebih rendah. "Saya perlu bicara dengan Anda. Di tempat yang lebih aman."

Kata-kata itu membuat dada Saraswati mencengkeram. Ia meneliti ekspresi Raka, mencari tanda-tanda kebohongan di wajahnya. Namun, yang ia temukan hanyalah keseriusan.

"Baik," jawabnya akhirnya. "Tunggu di lorong belakang, aku akan menyusul."

Raka mengangguk sekali, lalu berbalik dan menghilang ke dalam bayangan. Saraswati menutup pintu kembali, jantungnya berdegup lebih cepat. Jika pemuda itu benar-benar membawa bahaya, ini bisa menjadi langkah yang berisiko. Namun, sesuatu dalam dirinya berkata bahwa Raka tidak datang untuk mengancamnya. Ia datang untuk sesuatu yang lebih besar.

Di lorong belakang istana, cahaya hanya berasal dari obor kecil yang terpasang di dinding. Saraswati melangkah dengan hati-hati, memastikan tak ada yang melihatnya saat ia bergerak ke tempat yang telah disepakati.

Saat ia tiba, Raka sudah menunggu, berdiri dengan punggung bersandar pada dinding batu. Ia tampak santai, tetapi ada ketegangan di bahunya yang menunjukkan bahwa ia juga tengah waspada.

Saraswati menghentikan langkahnya beberapa meter darinya. "Apa yang ingin kau katakan?"

Raka menoleh ke arahnya, tatapan matanya menusuk, seolah sedang menguji seberapa jauh ia bisa mempercayai gadis yang berdiri di hadapannya. Ia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berbicara dengan nada yang lebih pelan.

"Aku tahu kau tidak mempercayaiku," katanya. "Dan aku juga tahu bahwa kau bukan seperti yang mereka katakan."

Saraswati merasakan tubuhnya menegang. "Maksudmu?"

Raka menarik napas panjang, lalu melangkah lebih dekat, suaranya semakin rendah. "Sang Cahaya," katanya dengan nada yang hampir seperti bisikan, "aku tahu kau tidak ingin berada di sini. Aku tahu kau ingin keluar."

Dada Saraswati mencengkeram. Ia menatap Raka lebih dalam, mencoba memahami maksudnya. Tidak ada pengawal yang seharusnya mengatakan hal seperti itu. Tidak ada prajurit yang seharusnya berbicara seolah-olah ia memahami kebingungan dan penderitaan yang telah lama ia sembunyikan.

"Kau berbicara seolah-olah kau tahu banyak tentangku," ujarnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

Raka tersenyum kecil, tetapi bukan senyum penuh kemenangan. "Aku memperhatikan," katanya. "Aku tidak tahu siapa dirimu sebenarnya, tapi aku tahu kau tidak ingin berada di balik tembok ini selamanya."

Saraswati menggigit bibirnya. Ia tidak tahu apakah ini jebakan, atau justru kesempatan yang selama ini ia tunggu. Tetapi jika Raka benar-benar mengetahui sesuatu, maka itu berarti ia harus berhati-hati dalam setiap kata yang ia ucapkan.

"Apa yang kau inginkan?" tanyanya akhirnya.

Raka menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Aku ingin tahu kebenaran."

Saraswati tidak mengerti sepenuhnya maksud pemuda itu. "Kebenaran tentang apa?"

Mata Raka berkilat di bawah cahaya obor yang redup. "Tentang mengapa aku ditugaskan kepadamu."

Sekarang, Saraswati benar-benar terkejut. "Kau tidak tahu?"

Raka menggeleng pelan. "Mereka menarikku dari perbatasan tanpa alasan yang jelas. Aku telah bertempur selama lima tahun, lalu tiba-tiba aku diperintahkan untuk kembali ke istana dan mengawal seseorang yang selama ini hanya dikenal dalam cerita-cerita rakyat. Itu aneh, bukan?"

Saraswati mengangguk perlahan. Ia tidak tahu apa yang sedang direncanakan istana, tetapi ia tahu satu hal: Raka bukan pengawal biasa. Ia adalah seseorang yang bisa berpikir sendiri, yang mempertanyakan perintah yang ia terima. Itu berbahaya bagi istana, tetapi bisa menjadi keuntungan bagi Saraswati.

"Kau ingin tahu kebenaran?" Saraswati bertanya, suaranya lebih mantap sekarang. "Maka kau harus siap menghadapi sesuatu yang lebih besar dari yang kau kira."

Raka menatapnya tanpa gentar. "Aku sudah menghabiskan setengah hidupku bertempur melawan musuh yang tidak kukenal. Aku siap menghadapi apa pun."

Saraswati tersenyum tipis, untuk pertama kalinya merasa bahwa mungkin, ia tidak sepenuhnya sendirian dalam perjuangannya. "Kalau begitu, kita harus berhati-hati. Karena jika kau tetap di dekatku, kau juga akan menjadi ancaman bagi mereka."

Raka tidak terlihat gentar sedikit pun. Ia hanya mengangkat bahunya dengan tenang. "Aku sudah lama menjadi ancaman bagi banyak orang, Sang Cahaya. Ini hanya pertempuran yang berbeda."

Saraswati menatapnya sekali lagi, lalu mengangguk. Malam ini, ia menemukan sesuatu yang tak ia duga sebelumnya.

Ia menemukan seseorang yang mungkin bisa menjadi sekutu dalam pertempuran yang belum dimulai.

Saat Saraswati kembali ke kamarnya, pikirannya masih bergema dengan percakapan barusan. Raka bukan hanya seorang prajurit. Ia adalah seseorang yang mencari kebenaran, sama seperti dirinya.

Saat ia menutup pintu dan bersandar pada kayunya yang dingin, perasaan aneh menyelimutinya. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang bisa melihatnya bukan sebagai Sang Cahaya, bukan sebagai boneka kerajaan, tetapi sebagai seseorang yang benar-benar hidup.

Namun, ia tahu bahwa dengan semakin banyak orang yang mengetahui kebenaran, semakin besar pula bahaya yang mengintainya.

Malam semakin larut, tetapi sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ini baru permulaan.

Dan dalam bayang-bayang istana, mata-mata yang tak terlihat mungkin sudah mulai mengawasi mereka.

Fajar baru saja menyingsing ketika Saraswati terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Pikirannya masih dipenuhi percakapan yang terjadi semalam dengan Raka Mahardika, pengawal pribadinya yang baru. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya—bukan hanya karena statusnya sebagai prajurit, tetapi karena caranya berbicara dan menatapnya. Tidak ada rasa takut atau kepatuhan buta seperti yang ia temukan pada pengawal lainnya. Sebaliknya, ada rasa penasaran, sebuah pengamatan tajam yang seolah ingin menyingkap tabir rahasia yang selama ini mengelilinginya.

Saraswati menyingkap selimutnya dan turun dari tempat tidur. Udara pagi yang masih dingin merambat ke kulitnya, membuatnya menggigil sedikit. Ia berjalan menuju jendela, menatap taman istana yang masih basah oleh embun. Di kejauhan, para prajurit sudah mulai berlatih, suara dentingan pedang yang beradu mengisi udara pagi dengan gema yang khas. Namun, satu sosok di antara mereka menarik perhatiannya.

Raka Mahardika berdiri di tengah lapangan latihan, berhadapan dengan dua prajurit lain. Tubuhnya sedikit membungkuk dalam posisi bertahan, pedang di tangannya berkilat terkena cahaya matahari. Dua lawannya menyerang serentak, gerakan mereka cepat dan terlatih, tetapi Raka menghindar dengan lincah, menggeser tubuhnya ke samping sebelum menangkis serangan dengan presisi yang nyaris sempurna.

Saraswati memperhatikan dengan kagum. Tidak hanya karena keahliannya, tetapi juga karena caranya bertarung. Gerakannya efisien, tidak ada gerakan yang terbuang percuma. Setiap tebasan dan langkahnya menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang telah bertempur di banyak medan perang. Ia bukan hanya seorang prajurit istana, tetapi seorang petarung yang sebenarnya.

Ketika pertarungan selesai dan kedua lawannya terkapar di tanah, Raka menurunkan pedangnya. Tidak ada ekspresi bangga di wajahnya, seolah yang baru saja ia lakukan bukanlah sesuatu yang luar biasa. Matanya kemudian bergerak ke arah balkon tempat Saraswati berdiri, seakan ia tahu sejak tadi dirinya sedang diperhatikan.

Saraswati tidak menghindari tatapannya. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan dirinya diamati seperti ia pun mengamati.

Siang itu, ketika Saraswati keluar dari ruangannya untuk berjalan-jalan di taman, Raka tetap berada beberapa langkah di belakangnya, mengikuti tugasnya sebagai pengawal pribadi. Namun, berbeda dengan pengawal sebelumnya yang hanya diam dan mengikuti perintah, Raka sepertinya tidak puas hanya berdiri dalam bayangan.

“Bolehkah saya bertanya sesuatu, Sang Cahaya?” suaranya terdengar jelas, tetapi tidak bernada formal seperti biasanya.

Saraswati meliriknya sekilas. “Tanyakan saja.”

Raka menatap lurus ke depan, seolah memastikan tidak ada yang bisa mendengar percakapan mereka. “Kenapa Anda tidak pernah keluar dari istana?”

Langkah Saraswati terhenti. Ia tidak menyangka bahwa Raka akan bertanya sesuatu yang begitu langsung dan berbahaya. Ia menoleh, menatapnya dengan sorot mata penuh kewaspadaan.

“Itu bukan urusanmu.”

Raka mengangkat bahu santai, tetapi ekspresinya tetap serius. “Mungkin memang bukan, tapi saya tetap ingin tahu.”

Saraswati menghela napas panjang. Ia tahu bahwa tidak ada gunanya berbohong. Raka bukan tipe orang yang mudah dibodohi.

“Aku tidak diizinkan keluar,” jawabnya akhirnya. “Sejak kecil, aku diberitahu bahwa tempatku ada di dalam istana ini.”

Raka mengernyit, seolah jawabannya tidak masuk akal baginya. “Tidak ada seorang pun yang benar-benar dikurung tanpa alasan,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Saraswati.

Saraswati menatapnya tajam. “Mungkin karena aku bukan seseorang yang seharusnya ada di luar sana.”

Kata-katanya membuat Raka menoleh dan menatapnya lebih lama. Ada pertanyaan yang tergantung di matanya, tetapi ia tidak mengucapkannya.

Akhirnya, ia hanya berkata, “Jika Anda ingin keluar, saya bisa membantu.”

Saraswati membeku. Ia tidak menyangka bahwa seseorang akan mengatakan hal itu kepadanya. Semua orang di istana ini selalu berusaha menjaga agar ia tetap di dalam, tetapi sekarang, pengawal pribadinya sendiri menawarkan sesuatu yang mustahil.

Ia memperhatikan Raka dengan seksama. “Kenapa kau ingin membantuku?”

Raka diam sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Karena saya tidak suka melihat seseorang dikurung seperti burung di dalam sangkar.”

Saraswati merasakan sesuatu bergetar dalam dirinya. Ia tidak pernah mengira bahwa seseorang di dalam istana ini akan melihatnya sebagai lebih dari sekadar Sang Cahaya, lebih dari sekadar bagian dari ramalan yang dipaksakan kepadanya.

Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar melihatnya.

Malam itu, Saraswati berdiri di dekat jendela kamarnya, menatap bulan yang akhirnya muncul di langit. Angin malam berhembus pelan, menyelinap masuk dan mengibarkan tirai di sekelilingnya. Ia menggenggam liontin kecil di tangannya, merasakan ukiran halus di permukaannya.

Percakapan dengan Raka terus terngiang di kepalanya. Ia ingin percaya bahwa pemuda itu bisa membantunya, bahwa ia memiliki niat yang tulus. Tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa kepercayaan adalah sesuatu yang berbahaya di dalam istana ini.

Jika ia salah menilai, maka itu bisa menjadi akhir dari segalanya.

Namun, jika ia benar…

Mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia bisa melihat dunia luar dengan matanya sendiri.

Sebuah ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh.

"Sang Cahaya," suara Raka terdengar dari balik pintu. "Saya perlu berbicara dengan Anda. Ini penting."

Saraswati merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.

Malam ini, mungkin segalanya akan berubah.

Malam merambat perlahan, membawa hawa dingin yang merayap masuk melalui celah-celah jendela kamar Saraswati. Cahaya obor yang terpancang di dinding bergetar pelan diterpa angin, menciptakan bayangan panjang yang menari di atas permukaan lantai marmer. Saraswati berdiri di tengah ruangan, matanya masih tertuju ke arah pintu. Ketukan tadi begitu pelan, nyaris tak terdengar, tetapi ia sudah tahu siapa yang berada di baliknya.

Suaranya terdengar stabil saat ia akhirnya berkata, “Masuklah.”

Pintu terbuka perlahan, dan sosok Raka Mahardika melangkah masuk dengan langkah yang mantap. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, tetapi matanya mengawasi sekeliling ruangan sebelum akhirnya berhenti pada Saraswati. Ia menutup pintu di belakangnya dengan tenang, seolah memastikan bahwa tak ada yang bisa mendengar percakapan mereka.

“Katakan,” ujar Saraswati, tangannya menggenggam erat lipatan jubahnya.

Raka berdiri tegak di hadapannya, bahunya sedikit menegang, tetapi tidak ada keraguan dalam sorot matanya. “Saya mendengar sesuatu yang tidak seharusnya saya dengar,” katanya pelan. “Dan itu tentang Anda.”

Jantung Saraswati berdetak lebih cepat. Ia tidak terkejut lagi bahwa istana ini penuh dengan rahasia, tetapi fakta bahwa pengawal pribadinya yang baru saja ditugaskan kepadanya bisa mengetahui sesuatu dalam waktu singkat adalah hal yang berbeda.

“Apa yang kau dengar?” tanyanya, suaranya berusaha terdengar tenang, meskipun pikirannya berputar dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.

Raka menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara. “Tadi sore, saya diminta menemui salah satu penasihat kerajaan. Awalnya, saya pikir itu hanya arahan biasa mengenai tugas saya sebagai pengawal pribadi Anda. Tapi kemudian, mereka mengatakan sesuatu yang… tidak masuk akal.”

Saraswati menajamkan pendengarannya. “Apa itu?”

Mata Raka mengunci tatapannya. “Mereka memperingatkan saya agar tidak terlalu dekat dengan Anda. Mereka berkata bahwa tugas saya bukan hanya melindungi, tetapi juga memastikan bahwa Anda tidak mencoba sesuatu yang melampaui batas.”

Dada Saraswati mencengkeram seketika.

“Melampaui batas?”

Raka mengangguk pelan, ekspresinya sulit dibaca. “Seolah-olah Anda adalah ancaman bagi kerajaan ini.”

Keheningan menggantung di antara mereka. Saraswati mencoba mencerna kata-kata itu, tetapi sesuatu dalam dirinya sudah memahami maknanya lebih dalam daripada yang ingin ia akui. Selama ini, ia diperlakukan seperti permata berharga yang harus dijaga, tetapi tidak pernah benar-benar dibiarkan bersinar. Kini, kata-kata itu mengonfirmasi sesuatu yang telah lama ia curigai—bahwa keberadaannya bukanlah anugerah, melainkan sesuatu yang harus dikendalikan.

“Kenapa kau memberitahuku ini?” tanyanya akhirnya.

Raka menatapnya tanpa berkedip, seakan mencari sesuatu dalam ekspresi Saraswati sebelum akhirnya menjawab. “Karena saya tidak bekerja untuk orang yang menipu saya. Saya sudah lama bertarung di medan perang. Saya tahu kapan saya harus tunduk pada perintah, dan kapan saya harus mendengar kata hati saya sendiri.”

Saraswati menarik napas dalam, mencoba memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi di antara mereka. Raka bukan orang bodoh. Ia bisa saja memilih diam, menjalankan tugasnya seperti yang diperintahkan, tetapi ia malah datang padanya, memberitahukan sesuatu yang bisa membahayakan dirinya sendiri. Itu berarti satu hal—bahwa pemuda ini, untuk alasan yang belum sepenuhnya jelas, telah memilih untuk berdiri di sisinya.

“Lalu, apa yang kau rencanakan?”

Raka menyandarkan tubuhnya pada dinding, kedua lengannya bersedekap di depan dada. “Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di istana ini. Tapi saya tahu bahwa Anda tidak ingin tetap di sini lebih lama.”

Saraswati menatapnya tajam. “Dan bagaimana kau bisa begitu yakin?”

Sebuah senyum kecil muncul di bibir Raka, tetapi bukan senyum yang penuh kemenangan, melainkan senyum seseorang yang telah melihat cukup banyak untuk memahami situasi tanpa perlu penjelasan lebih lanjut. “Mata seseorang yang ingin bebas tidak bisa berbohong.”

Kata-kata itu membuat Saraswati diam untuk beberapa saat. Ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya, sesuatu yang membuatnya sadar bahwa mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada seseorang yang benar-benar melihatnya.

Ia mengalihkan pandangannya ke jendela, menatap cahaya bulan yang samar di kejauhan.

“Kalau begitu,” katanya pelan, “apa kau bersedia membantuku?”

Raka tidak langsung menjawab. Ia mengamati wajahnya, mencari apakah ini adalah keputusan yang lahir dari emosi sesaat atau sesuatu yang benar-benar telah dipikirkan matang-matang. Ketika akhirnya ia berbicara, suaranya tidak goyah sedikit pun.

“Saya tidak tahu apa yang sedang Anda rencanakan,” katanya, “tetapi jika Anda memang ingin keluar dari istana ini, maka saya akan berada di pihak Anda.”

Saraswati mengalihkan tatapannya kepadanya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa beban yang selama ini ia tanggung mulai sedikit berkurang.

Fajar menyingsing dengan pelan, tetapi di dalam hati Saraswati, badai telah mulai bergejolak.

Saat ia duduk di depan cermin, dayang-dayang dengan tenang menyisir rambutnya, menata kain sutra yang membalut tubuhnya dengan begitu anggun. Namun, pikirannya tidak berada di tempat itu.

Hari ini berbeda.

Hari ini, ia tahu bahwa ada seseorang di dalam istana yang mungkin bisa dipercaya.

Namun, di balik kelegaan yang muncul dalam hatinya, ada sesuatu yang lebih mengusik pikirannya—sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.

Jika Raka tahu bahwa ada rahasia besar di balik keberadaannya di istana ini, maka bisa saja ada orang lain yang juga mengetahuinya.

Dan jika istana tidak lagi bisa menyembunyikan kebohongan mereka, maka itu hanya berarti satu hal.

Mereka akan segera bertindak sebelum ia bisa menemukan jalan keluarnya sendiri.

Saraswati menatap bayangannya di cermin, dan untuk pertama kalinya, ia melihat seseorang yang bukan lagi hanya Sang Cahaya.

Ia melihat seorang pewaris yang akan merebut kembali apa yang telah dirampas darinya.

Matahari perlahan naik di cakrawala, tetapi dalam benaknya, malam baru saja dimulai.

Mentari pagi mulai menampakkan diri di cakrawala, membiaskan warna keemasan yang membelai menara-menara Istana Airlangga. Cahaya matahari merayap perlahan melewati kisi-kisi jendela, menembus kelambu tipis di kamar Saraswati, membangunkannya dari tidur yang gelisah. Ia membuka mata, menatap langit-langit ukiran kayu di atasnya, tetapi pikirannya masih terjebak dalam percakapan semalam dengan Raka Mahardika.

Apa yang ia dengar dari pengawal barunya itu bukan sekadar kekhawatiran biasa. Kata-kata Raka tentang bagaimana istana memperingatkannya agar tidak terlalu dekat dengannya masih menggelayut dalam pikirannya. Itu berarti sesuatu sedang direncanakan. Mereka tidak hanya ingin mengurungnya, tetapi juga memastikan bahwa ia tidak menemukan cara untuk melawan.

Saraswati menghela napas panjang. Tubuhnya masih terasa letih, tetapi ia tidak punya waktu untuk tenggelam dalam kelelahan. Setiap detik yang ia habiskan di dalam istana ini adalah detik yang mendekatkannya pada takdir yang mungkin sudah mereka persiapkan untuknya—sebuah akhir yang tidak ia inginkan.

Dengan perlahan, ia bangkit dari ranjangnya, membiarkan kain sutra jatuh dari tubuhnya dan menapak ke lantai dingin. Di sudut ruangan, dayang-dayang telah menyiapkan air mandi, dan ia bisa mencium aroma bunga kenanga yang samar dari dalam kendi tanah liat yang mengepul di sisi kolam kecil.

Saat ia menatap bayangannya di permukaan air, ia melihat pantulan seorang gadis yang bukan lagi hanya seorang gadis istana yang patuh. Ia melihat seseorang yang telah mengetahui kebenaran yang selama ini dikubur dari dirinya.

Dan kini, ia harus bertindak.

Setelah berbenah, Saraswati melangkah keluar dari kamarnya, menemukan Raka sudah berdiri di luar dengan posisi tegak. Pakaian prajuritnya tampak rapi seperti biasa, tetapi ada sesuatu dalam cara ia memandangnya yang berbeda dari sebelumnya. Ia tidak hanya melihatnya sebagai seseorang yang harus dilindungi, tetapi juga sebagai seseorang yang sedang mencari jalan keluar dari sangkar emas ini.

Tanpa berbasa-basi, Saraswati berjalan melewatinya, menuju taman belakang istana. Raka tetap berada di belakangnya, mengikuti dengan langkah yang tidak terburu-buru tetapi tetap siaga.

Saat mereka mencapai taman, suasana pagi begitu sunyi. Hanya suara air mancur kecil yang menetes perlahan dari batu-batu berlumut, dan angin yang membawa harum bunga kamboja yang baru saja bermekaran. Tidak ada pelayan yang berkeliaran, tidak ada penjaga yang mengawasi terlalu dekat.

Saraswati berbalik dan menatap Raka dengan tajam. "Aku ingin tahu seberapa jauh kau bisa dipercaya," katanya pelan, tetapi penuh tekanan.

Raka tidak terlihat terkejut. Ia hanya menatapnya balik dengan mata gelapnya yang penuh ketenangan. "Dan bagaimana Anda akan mengetahuinya?" tanyanya.

Saraswati melangkah lebih dekat, cukup hingga ia bisa melihat setiap detail kecil di wajah pemuda itu. "Jika aku memintamu melakukan sesuatu yang bisa membuatmu dianggap pengkhianat, apakah kau masih akan melakukannya?"

Raka tidak segera menjawab. Matanya mengamati wajah Saraswati, seolah ingin menilai apakah pertanyaan itu hanya ujian atau benar-benar sebuah permintaan. Angin berhembus di antara mereka, menggoyangkan dedaunan pohon beringin di sudut taman.

"Aku telah bersumpah untuk melindungimu," akhirnya Raka berkata, suaranya tetap stabil. "Tapi jika itu berarti melawan perintah yang telah diberikan kepadaku, aku ingin tahu alasannya terlebih dahulu."

Saraswati menahan napas sejenak. Jawaban itu bukan sekadar janji kosong, tetapi juga sebuah tantangan terselubung. Jika ia ingin Raka membantunya, ia harus memberikan alasan yang cukup kuat untuk melawannya.

"Aku bukan siapa yang mereka katakan," katanya akhirnya. "Dan jika aku tetap di sini, aku tidak akan hidup lama."

Raka mengangkat alisnya sedikit. "Siapa mereka, dan apa yang sebenarnya sedang terjadi?"

Saraswati mengepalkan tangannya. "Permaisuri. Para penasihat. Raja sendiri." Ia menatap Raka dengan mata yang penuh dengan keyakinan yang baru tumbuh. "Aku bukan Sang Cahaya yang mereka agung-agungkan. Aku adalah pewaris sejati takhta ini, dan mereka ingin menghapusku sebelum kebenaran itu terungkap."

Raka tidak langsung bereaksi. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan kata-kata Saraswati meresap dalam pikirannya. Lalu, tanpa peringatan, ia menarik napas panjang dan berkata, "Kalau begitu, kita punya masalah yang sama."

Saraswati mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

Raka mengalihkan pandangannya ke kejauhan, menatap langit yang mulai membiru. "Aku tahu bahwa istana ini menyimpan banyak kebohongan. Aku tahu bahwa banyak yang telah dikorbankan demi menjaga mereka tetap berkuasa. Tapi aku tidak tahu bahwa kau adalah salah satu korbannya."

Saraswati tetap diam, membiarkan Raka berbicara.

"Aku dikirim ke medan perang ketika usiaku belum cukup untuk memegang pedang," lanjutnya. "Aku melihat terlalu banyak hal yang tidak seharusnya kulihat. Aku menyaksikan bagaimana mereka yang duduk di singgasana mengorbankan prajurit-prajuritnya seperti bidak catur, sementara mereka tetap duduk nyaman di balik dinding batu ini. Ketika aku dipanggil kembali ke istana, aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Dan sekarang, aku tahu bahwa kau adalah bagian dari itu."

Saraswati menelan ludah. Ia tidak mengira bahwa Raka pun memiliki beban sendiri terhadap kerajaan ini.

Raka kemudian menatapnya lagi, sorot matanya kali ini lebih tajam. "Jika kau benar-benar ingin keluar dari sini, aku akan membantumu. Bukan karena aku memihakmu, tetapi karena aku ingin melihat kebenaran dengan mataku sendiri."

Saraswati mengangguk perlahan. Untuk pertama kalinya, ia merasa memiliki seseorang di sisinya yang tidak hanya ingin menjaganya karena perintah, tetapi karena sebuah keyakinan.

Namun, mereka tahu bahwa langkah mereka harus dihitung dengan sangat hati-hati. Setiap gerakan yang salah bisa berarti kematian.

Saat malam tiba, Saraswati berdiri di jendela kamarnya, menatap bayangan istana yang berpendar di bawah cahaya rembulan. Ia tahu bahwa waktu mereka semakin sedikit.

Di luar sana, di balik tembok-tembok batu yang menjulang tinggi, ada dunia yang belum pernah ia lihat. Sebuah dunia yang telah lama dipisahkan darinya, yang kini terasa lebih dekat dari sebelumnya.

Di sudut lain, di bawah bayangan pilar istana, Raka berdiri dalam kegelapan, mengawasi segala sesuatu di sekitarnya. Ia tidak lagi hanya seorang pengawal. Ia adalah seseorang yang kini memiliki tujuan.

Dalam kesunyian malam, keduanya menyadari bahwa sesuatu yang besar akan segera terjadi.

Dan ketika waktunya tiba, mereka harus siap menghadapi apa pun yang menanti di ujung jalan.

Malam semakin pekat saat Saraswati duduk di ambang jendela kamarnya, tatapannya menerawang jauh ke langit yang gelap. Di kejauhan, bintang-bintang berpendar redup di antara awan yang perlahan bergerak, seolah mengawasi dunia di bawahnya. Suara gemericik air dari taman istana dan desiran dedaunan yang tertiup angin menjadi satu-satunya suara yang menemani keheningan yang semakin menusuk.

Pikirannya masih bergema dengan kata-kata Raka. Pengawal barunya bukan hanya seorang prajurit yang ditugaskan untuk melindunginya, tetapi seseorang yang mulai mempertanyakan segalanya. Dan kini, dengan begitu banyak kebohongan yang perlahan terkuak, Saraswati mulai memahami bahwa dirinya tidak bisa lagi hanya menunggu nasib menentukannya. Ia harus mulai bergerak.

Namun, di saat ia menyusun langkah-langkahnya, pintu kamarnya diketuk pelan. Ia menoleh, merasa jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia tahu siapa yang berada di balik pintu itu sebelum ia mendengar suara Raka yang terdengar rendah dan stabil.

"Sang Cahaya, bolehkah saya masuk?"

Saraswati terdiam sejenak sebelum akhirnya bangkit dan berjalan ke pintu. Dengan gerakan hati-hati, ia membukanya sedikit, menemukan Raka berdiri di ambang pintu dengan sikap yang tegap namun tidak kaku. Ia mengenakan pakaian prajuritnya, tetapi tanpa zirah besi yang biasanya membebani bahunya. Hanya sebilah belati terselip di pinggangnya, terlihat jelas dalam cahaya redup obor yang menerangi lorong.

"Ada apa?" Saraswati bertanya, suaranya tidak bergetar, tetapi ia merasakan ketegangan yang mengalir di udara di antara mereka.

Raka melirik ke arah lorong, memastikan bahwa tak ada yang memperhatikan mereka sebelum kembali menatapnya. "Saya perlu berbicara dengan Anda, tapi bukan di sini."

Saraswati menatapnya dengan penuh selidik. "Kenapa tidak di sini?"

Raka menghela napas, ekspresinya tetap tenang. "Karena tembok memiliki telinga. Dan apa yang akan saya katakan terlalu berisiko untuk didengar oleh siapa pun selain Anda."

Ia tahu ia tidak bisa menolak. Dengan sedikit ragu, Saraswati melangkah keluar, menutup pintu dengan perlahan sebelum mengikuti Raka menyusuri lorong dengan langkah ringan. Mereka bergerak tanpa suara, berusaha menghindari prajurit yang berpatroli di sepanjang koridor istana. Setiap bayangan menjadi tempat mereka bersembunyi, dan setiap detak jantung yang semakin cepat terasa seolah bisa terdengar di antara dinding batu yang dingin.

Setelah beberapa menit, mereka akhirnya tiba di taman belakang istana, tempat di mana suara air mancur kecil dan pepohonan rindang menyembunyikan mereka dari pandangan mata-mata istana. Raka berhenti di dekat patung dewa perang yang telah berusia ratusan tahun, lalu berbalik menatap Saraswati.

"Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?" Saraswati bertanya, mencoba menekan ketidaksabarannya.

Raka menatapnya, dan kali ini sorot matanya jauh lebih serius daripada sebelumnya. "Saya menemukan sesuatu yang seharusnya tidak saya temukan," katanya dengan suara yang lebih rendah. "Dan saya yakin ini berkaitan dengan Anda."

Saraswati merasakan ketegangan di punggungnya. "Apa yang kau temukan?"

Raka menarik sesuatu dari balik jubahnya—sebuah gulungan kecil yang terikat dengan segel lilin berwarna hitam. Ia menyerahkannya kepada Saraswati, yang segera menerimanya dengan hati-hati. Jari-jarinya menyentuh permukaan kertas tua itu, merasakan teksturnya yang kasar.

"Ini saya temukan di salah satu ruang arsip istana," Raka melanjutkan, suaranya tetap rendah namun penuh tekanan. "Saya tidak tahu pasti apa isinya, tetapi segel ini adalah milik salah satu penasihat kerajaan. Dan dari apa yang saya dengar, mereka telah memusnahkan sebagian besar catatan yang berhubungan dengan keluarga kerajaan terdahulu."

Saraswati menelan ludah. Tangannya perlahan membuka segel lilin itu dan menggulung kertasnya dengan hati-hati. Matanya menelusuri setiap kata yang tertulis dalam aksara kuno yang sedikit sulit untuk ia baca, tetapi cukup familiar untuk dipahami.

Apa yang ia temukan di dalamnya membuat darahnya membeku.

Nama yang tertulis di sana bukanlah namanya yang sekarang. Sundari Rakai Mahadipa—nama yang sebelumnya hanya pernah ia dengar dari mulut Ki Wira. Nama yang seharusnya menjadi miliknya.

Saraswati menggenggam gulungan itu lebih erat, napasnya sedikit tercekat. Ini adalah bukti. Bukti bahwa ia bukan sekadar anak yang diberkati oleh para dewa, tetapi pewaris sah kerajaan yang telah dipaksa untuk menghilang dari sejarah.

Matanya bertemu dengan Raka, yang tampak menunggu reaksinya. Ia bisa merasakan ketegangan dalam tatapan pemuda itu, seolah ia tahu bahwa apa pun yang tertulis di dalam gulungan itu akan mengubah segalanya.

"Ini membuktikan bahwa mereka telah berbohong selama ini," Saraswati berkata, suaranya nyaris seperti bisikan. "Mereka telah menghapus namaku dari sejarah dan menggantinya dengan kebohongan yang mereka ciptakan."

Raka mengangguk pelan. "Saya menduga begitu. Dan jika mereka melakukan itu, maka pasti ada alasan besar mengapa mereka ingin menghapus jejak Anda."

Saraswati mengepalkan gulungan itu di tangannya, dadanya dipenuhi dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Kemarahan, ketakutan, dan tekad bercampur menjadi satu, menciptakan kobaran api yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

"Kita harus bertindak sebelum mereka melakukannya lebih dulu," katanya akhirnya, suaranya tak lagi ragu. "Aku tidak akan membiarkan mereka menghapusku begitu saja."

Raka menatapnya beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk. "Kalau begitu, kita harus bergerak dengan cepat. Kita tidak tahu berapa lama waktu yang kita miliki sebelum mereka menyadari bahwa kita telah menemukan ini."

Saraswati menatap langit yang semakin gelap di atas mereka. Ia tahu bahwa mulai malam ini, segalanya akan berbeda. Ia tidak bisa lagi menunggu atau hanya mengikuti perintah. Ia harus bertindak, harus menemukan cara untuk keluar dari sangkar ini sebelum mereka menjebaknya lebih jauh.

Dan dengan seseorang seperti Raka di sisinya, mungkin, untuk pertama kalinya, ia memiliki harapan.

Fajar hampir menyingsing ketika Saraswati kembali ke kamarnya, menyelipkan gulungan rahasia itu ke dalam peti kayu kecil di bawah ranjangnya. Tangannya masih sedikit gemetar, tetapi bukan karena ketakutan—melainkan karena adrenalin yang masih mengalir deras dalam tubuhnya.

Di luar, Raka berdiri berjaga di depan pintu, ekspresinya tetap dingin seperti biasa. Namun, Saraswati tahu bahwa malam ini telah mengubah banyak hal.

Saat ia merebahkan tubuhnya di atas kasur dan menatap langit-langit di atasnya, ia menyadari bahwa waktunya semakin sedikit.

Mereka harus segera menemukan jalan keluar dari istana ini, atau sejarah akan kembali terulang.

Dan kali ini, ia tidak akan membiarkan mereka menang.

Dini hari masih menyelimuti Istana Airlangga dalam ketenangan yang semu. Di langit timur, semburat jingga mulai muncul di balik cakrawala, menandakan bahwa fajar akan segera tiba. Namun, bagi Saraswati, malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi dengan apa yang ia temukan di gulungan rahasia yang diberikan Raka—sebuah bukti nyata bahwa hidupnya telah diatur dengan kebohongan sejak awal.

Ia duduk di tepi ranjang, jari-jarinya menggenggam kain selimutnya erat-erat. Matanya terpaku pada peti kayu kecil yang kini menyimpan gulungan itu, tersembunyi di bawah papan tempat tidurnya. Ia tahu bahwa benda itu lebih berbahaya daripada sebilah pedang. Jika sampai jatuh ke tangan yang salah, maka bukan hanya dirinya yang akan binasa, tetapi juga orang-orang yang kini berdiri di sisinya.

Sebuah ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Ia menoleh dengan cepat, tetapi tidak segera bergerak. Jantungnya berdetak lebih cepat, waspada terhadap kemungkinan bahwa seseorang telah mencurigai pergerakannya. Namun, saat suara Raka terdengar dari balik pintu, suaranya dalam dan tenang, ketegangannya sedikit mereda.

"Sang Cahaya," Raka memanggil dengan nada rendah, "kita perlu berbicara."

Saraswati bangkit dengan hati-hati, langkahnya pelan saat ia berjalan menuju pintu. Ia membukanya sedikit, menatap wajah Raka yang tampak seperti biasanya—tenang, tajam, dan penuh pengamatan. Namun, kali ini, ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda, sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa ia artikan.

"Masuk," katanya singkat.

Raka melangkah masuk, menutup pintu dengan lembut di belakangnya. Ia berdiri tegak di dekat meja kayu, sementara Saraswati tetap di dekat pintu, menunggu apa yang akan dikatakannya.

"Apa yang terjadi?" tanyanya, mencoba menyembunyikan kegelisahan dalam suaranya.

Raka menghela napas sebelum berbicara. "Seseorang mencurigai kita."

Kata-kata itu membuat tubuh Saraswati menegang. "Siapa?"

"Saya tidak tahu pasti," jawab Raka. "Tapi saat saya kembali ke pos penjagaan, saya melihat dua penasihat kerajaan berbicara dengan kepala pengawal. Mereka tidak menyebut nama secara langsung, tetapi mereka berbicara tentang seseorang di dalam istana yang mulai bertindak di luar batasnya. Dan dari cara mereka berbicara, saya yakin mereka sedang membicarakan Anda."

Saraswati merasakan dingin menjalar di punggungnya. Ia sudah menduga bahwa waktunya tidak banyak, tetapi ia tidak menyangka bahwa mereka akan mulai mencurigainya secepat ini.

"Apa yang mereka katakan?" suaranya terdengar lebih rendah, lebih terkontrol, tetapi Raka bisa merasakan ketegangan di dalamnya.

"Mereka mengatakan bahwa sudah waktunya untuk memastikan bahwa Anda tetap berada di bawah kendali."

Saraswati mengepalkan tangannya, matanya menatap Raka dengan penuh ketegasan. "Itu berarti mereka akan segera bertindak."

Raka mengangguk. "Dan kita harus lebih dulu bergerak sebelum mereka melakukannya."

Sejenak, keheningan meliputi mereka. Di luar, suara burung pertama mulai berkicau, menandakan bahwa pagi telah tiba. Tetapi bagi Saraswati, ini bukan pagi yang biasa. Ini adalah hari di mana ia harus mulai melangkah menuju kebebasannya.

Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang berpacu cepat. "Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi," katanya akhirnya. "Kita harus mencari cara untuk keluar dari istana ini sebelum mereka memutuskan untuk mengurungku selamanya."

Raka menatapnya, matanya penuh pertimbangan. "Keluar dari istana bukan hal yang mudah, terutama bagi seseorang seperti Anda. Mereka akan mengawasi setiap gerakan Anda, dan jika mereka tahu bahwa Anda mencoba melarikan diri, maka itu akan menjadi akhir dari segalanya."

Saraswati tersenyum kecil, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya. "Maka kita harus memastikan bahwa mereka tidak mengetahuinya sampai semuanya terlambat."

Raka menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. "Baik. Maka kita harus menyusun rencana dengan hati-hati."

Saraswati berjalan ke jendela, menatap taman istana yang mulai diterangi cahaya pagi. Dalam pikirannya, ia mulai menyusun langkah-langkah yang harus diambil.

"Ada jalan rahasia di bawah istana," katanya setelah beberapa saat. "Aku pernah mendengarnya dari salah satu dayang lama, meskipun ia tidak tahu pasti di mana letaknya. Jika kita bisa menemukannya, kita bisa keluar tanpa terlihat."

Raka menyilangkan tangannya di dada. "Jika jalan itu memang ada, kita harus menemukannya sebelum mereka meningkatkan pengawasan terhadap Anda. Saya bisa mencari tahu lebih banyak tentang struktur bawah istana melalui para prajurit lama. Beberapa dari mereka mungkin pernah mendengar sesuatu."

Saraswati menoleh ke arahnya. "Dan jika kita tidak menemukannya?"

Raka menghela napas. "Maka kita harus mencari cara lain. Tapi satu hal yang pasti, Anda tidak boleh terlihat melakukan sesuatu yang mencurigakan. Mereka mungkin sudah mulai mencurigai Anda, tetapi mereka belum memiliki bukti. Kita harus memastikan bahwa tetap seperti itu sampai saat yang tepat tiba."

Saraswati mengangguk. "Baik. Kita akan melakukannya dengan hati-hati."

Raka menatapnya sekali lagi sebelum akhirnya berkata, "Kalau begitu, kita mulai hari ini."

Ia berbalik, melangkah menuju pintu dengan gerakan yang terukur. Tetapi sebelum ia keluar, ia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Saraswati. "Satu hal lagi," katanya. "Anda harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Jika mereka mengetahui rencana kita sebelum waktunya, maka satu-satunya pilihan adalah bertarung."

Saraswati menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk. "Aku sudah siap sejak lama."

Saat pintu tertutup di belakang Raka, Saraswati kembali menatap langit pagi yang mulai terang.

Hari ini, segalanya akan dimulai.

Dan tidak ada jalan untuk kembali.

Sore itu, Saraswati duduk di taman istana, berpura-pura membaca gulungan sutra yang berisi puisi-puisi lama. Angin bertiup pelan, membawa wangi bunga mawar yang bermekaran di sekitar paviliun. Namun, pikirannya tidak berada di sana.

Di kejauhan, Raka berbicara dengan seorang prajurit tua yang bertugas di bagian pertahanan bawah tanah istana. Dari caranya berbicara dan gestur tubuhnya yang santai, siapa pun yang melihat akan mengira bahwa mereka hanya sedang bertukar cerita tentang perang. Tetapi Saraswati tahu lebih baik.

Ia tahu bahwa di balik percakapan itu, ada informasi yang sedang dikumpulkan.

Dan jika mereka beruntung, mereka akan menemukan jalan yang bisa membawa mereka keluar dari tempat ini.

Namun, jauh di dalam istana, seorang penasihat kerajaan sedang duduk di ruangannya, membaca laporan tentang Saraswati dengan sorot mata yang penuh kecurigaan.

"Aku ingin diawasi lebih ketat," katanya kepada pengawal yang berdiri di hadapannya. "Jika ada satu gerakan mencurigakan saja, aku ingin mengetahuinya secepat mungkin."

Langit di atas istana tetap cerah, tetapi di dalam dinding batu ini, badai telah mulai berhembus.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Darah dan Takdir   Bab 27 - Pilihan Terakhir Sang Pewaris

    Malam semakin pekat, tetapi tidak ada kantuk yang menghampiri Saraswati. Ia berdiri di luar pondok, menatap langit yang dipenuhi bintang, pikirannya masih berputar dengan kecepatan yang nyaris membuatnya pusing.Di kejauhan, suara burung malam dan serangga hutan terdengar, tetapi bagi Saraswati, dunia terasa begitu sunyi. Ia merasa seolah-olah seluruh hidupnya baru saja berubah dalam semalam, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk kembali.Ki Jaya melangkah keluar dari pondok, berdiri di sampingnya dengan tangan bersedekap. “Kau tidak harus memutuskan semuanya malam ini,” katanya lembut. “Tetapi kau harus mempersiapkan diri. Istana akan mencari cara untuk menangkapmu kembali, dan mereka tidak akan berbelas kasih jika mereka tahu kau telah mengetahui kebenaran ini.”Saraswati mengepalkan tangan

  • Darah dan Takdir   Bab 26 - Darah yang Mereka Takutkan

    Ki Jaya, yang sejak tadi hanya mengamati, mengangguk kecil sebelum mulai berbicara. “Klan Rakai adalah salah satu klan tertua di Tirta Mandala, bahkan lebih tua dari keluarga kerajaan yang sekarang berkuasa. Mereka bukan sekadar pemberontak seperti yang diceritakan oleh istana. Mereka adalah penjaga keseimbangan, orang-orang yang mengetahui rahasia yang ingin disembunyikan oleh kerajaan.”Saraswati menatapnya, mencari lebih banyak kepastian. “Rahasia apa?”Ki Jaya menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Tirta Mandala tidak seperti yang selama ini kau kira. Kerajaan ini dibangun di atas pengorbanan, dan bukan hanya p

  • Darah dan Takdir   Bab 30 - Jejak Darah di Hutan Terakhir

    Saraswati mengangguk, meski pikirannya masih penuh dengan segala yang terjadi dalam waktu singkat. Sejak ia mengetahui bahwa dirinya bukanlah putri sejati kerajaan, segala sesuatu dalam hidupnya terasa seperti ilusi yang dipaksakan kepadanya. Kini, bahkan tanah yang ia pijak terasa asing, seakan mengingatkannya bahwa ia bukan lagi bagian dari dunia yang dulu ia kenal.Ia melirik ke arah Raka, menyadari betapa berbeda pria itu dari para pengawal istana lainnya. Sejak awal, Raka tidak pernah memperlakukannya seperti Sang Cahaya yang harus disembah. Ada sesuatu dalam caranya berbicara dan menatap yang selalu membuatnya merasa bahwa ia adalah seseorang, bukan sekadar simbol yang dijadikan alat kerajaan.“Kenapa kau memilih untuk membantuku?” tanya

  • Darah dan Takdir   Bab 29 - Belati Darah Terakhir

    Langit mulai berubah warna saat Saraswati dan Raka berjalan menyusuri hutan, meninggalkan tempat persembunyian mereka di bawah bayangan pepohonan yang tinggi. Cahaya jingga fajar merayap perlahan melalui celah-celah daun, menciptakan siluet panjang di tanah yang masih lembab oleh embun. Tidak ada suara selain langkah kaki mereka yang tertahan, seakan alam ikut menahan napas menghadapi keputusan besar yang baru saja mereka buat.Saraswati melirik ke arah Raka, yang berjalan di sampingnya dengan ekspresi serius. Ia masih sulit mempercayai bahwa pemuda itu telah mengetahui lebih banyak tentang dirinya daripada yang pernah ia sadari. Kini, mereka tidak lagi berdiri di sisi yang berseberangan sebagai pengawal dan putri, melainkan sebagai dua pelarian yang mencoba mencari kebenaran yang telah lama dikubur.“Apa yang membuatmu yakin bahwa seseorang dari Klan Raka

  • Darah dan Takdir   Bab 25 - Api di Balik Cahaya

    Ki Jaya, yang sejak tadi hanya mengamati, mengangguk kecil sebelum mulai berbicara. “Klan Rakai adalah salah satu klan tertua di Tirta Mandala, bahkan lebih tua dari keluarga kerajaan yang sekarang berkuasa. Mereka bukan sekadar pemberontak seperti yang diceritakan oleh istana. Mereka adalah penjaga keseimbangan, orang-orang yang mengetahui rahasia yang ingin disembunyikan oleh kerajaan.”Saraswati menatapnya, mencari lebih banyak kepastian. “Rahasia apa?”Ki Jaya menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Tirta Mandala tidak seperti yang selama ini kau kira. Kerajaan ini dibangun di atas pengorbanan, dan bukan hanya p

  • Darah dan Takdir   Bab 24 - Kebenaran di Balik Darah Kerajaan

    Gelap dan lembap, lorong bawah tanah yang dilewati Saraswati seakan menelannya dalam kesunyian yang mencekam. Ia bisa mendengar tetesan air dari langit-langit batu yang kasar, menciptakan suara berulang yang menggema di sepanjang terowongan sempit. Dinding di sekelilingnya terasa dingin dan licin, seolah-olah telah menyimpan rahasia yang tak terhitung jumlahnya selama berabad-abad.Ia tidak tahu sudah berapa lama ia berjalan. Kakinya terasa semakin berat, dan udara di dalam lorong semakin tipis, membuatnya sulit bernapas. Namun, ia tidak bisa berhenti. Setiap langkah yang ia ambil menjauhkannya dari istana, dari cengkeraman mereka yang telah menipunya seumur hidupnya. Lalu, di ujung lorong, samar-samar terlihat cahaya redup.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status