Home / Historical / Darah dan Takdir / Bab 1: Gadis Terpilih

Share

Bab 1: Gadis Terpilih

Author: A. Rani
last update Huling Na-update: 2025-05-31 00:01:50

Saraswati membuka matanya perlahan. Udara di kamarnya terasa dingin, meski lampu minyak terus menyala sejak malam. Langit-langit berhiaskan ukiran naga dan burung garuda seakan menatapnya dari atas, menilai dirinya seperti para tetua istana yang selalu mengawasi.

Ia menghela napas. Hari baru telah tiba, tetapi tidak ada yang berubah dalam hidupnya. Ia tetap Saraswati, Sang Cahaya, gadis yang diramalkan akan membawa kejayaan bagi Kerajaan Tirta Mandala. Ramalan yang membebaninya sejak ia masih anak-anak, mengurungnya dalam penjara emas bernama Istana Airlangga. Di luar dinding istana, dunia bergerak dengan hiruk-pikuknya sendiri—pasar yang ramai, sungai yang dipenuhi perahu-perahu nelayan, dan padang hijau yang hanya bisa ia lihat dari jendela menara tertinggi. Tapi bagi Saraswati, semua itu hanyalah bayangan samar yang tak pernah bisa ia jamah.

Ia bangkit dari ranjangnya yang dipenuhi bantal sutra, merapatkan selendang tipis ke bahunya, lalu melangkah menuju cermin besar yang berbingkai ukiran emas. Wajahnya masih sama seperti kemarin, seperti hari-hari sebelumnya—sepasang mata gelap yang terlalu sering menatap dinding batu, bibir pucat yang jarang tersenyum, dan rambut panjang sehitam arang yang selalu disisir rapi oleh para pelayan. Ia adalah gadis dalam legenda, tetapi di balik itu, ia hanyalah seorang tahanan. Ketukan lembut di pintu membuyarkan lamunannya.

“Sang Cahaya, permaisuri ingin menemui Anda di Ruang Suci.”

Saraswati tidak menjawab, tetapi ia tahu ia harus segera bersiap. Permaisuri Mahadewi, ibu angkatnya, tidak pernah mengizinkan keterlambatan. Dengan langkah ringan, ia keluar dari kamarnya, diiringi dua dayang yang berbaris rapi di belakangnya. Koridor istana terasa sunyi, hanya terdengar gema langkah kakinya yang terpantul di dinding-dinding marmer putih.

Di Ruang Suci, permaisuri sudah menunggunya, duduk di atas singgasana kecil dengan jubah ungu yang memancarkan kemegahan. Matanya tajam seperti pisau, menusuk langsung ke dalam hati Saraswati.

“Kau sudah tahu mengapa aku memanggilmu?” suara permaisuri lembut, tetapi penuh wibawa.

Saraswati menunduk. “Tidak, Bunda.”

Permaisuri tersenyum tipis. “Karena waktunya sudah dekat.”

Dada Saraswati menegang.

“Dalam setahun, kau akan mencapai usia dewasa. Saat itu, ramalan tentang dirimu akan digenapi,” lanjut permaisuri, menelusuri jemarinya di atas meja batu di depannya. “Kau akan memimpin upacara Penyatuan Cahaya, dan dengan itu, kerajaan ini akan mencapai kejayaan yang telah lama dinantikan.”

Saraswati tidak berkata apa-apa. Sejak kecil, ia telah mendengar ramalan itu berkali-kali, diulang-ulang oleh pendeta, tetua istana, dan para menteri kerajaan. Tetapi semakin lama, semakin ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Apakah aku harus tetap berada di sini… sampai hari itu tiba?” tanyanya, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

Permaisuri memandangnya lama, lalu tersenyum. “Tentu saja.”

Jawaban itu terasa seperti belenggu yang makin mengerat di tubuhnya.

“Aku ingin melihat dunia luar,” kata Saraswati akhirnya, dengan suara yang lebih pelan.

Mata permaisuri menyipit. “Dunia luar bukan untukmu, Sari. Kau milik para dewa.”

“Tapi bagaimana aku bisa membawa kejayaan bagi kerajaan jika aku bahkan tidak tahu bagaimana dunia di luar istana?” Saraswati balas menatap permaisuri, suara dalam hatinya bergetar, antara takut dan berani.

Keheningan yang tercipta setelahnya terasa berat. Bahkan para dayang yang berdiri di sudut ruangan menahan napas.

“Apa yang kau butuhkan, sudah ada di dalam tembok ini,” ujar permaisuri akhirnya, suaranya sedingin air sungai di musim dingin. “Jangan biarkan pikiran liar menguasaimu, Sari. Kau lebih dari sekadar manusia biasa. Takdir telah memilihmu.”

Takdir.

Kata itu selalu kembali padanya seperti nyanyian yang terus diulang tanpa akhir. Saraswati ingin membantah, tetapi ia tahu itu hanya akan berujung pada hukuman. Jadi ia hanya mengangguk, menahan api yang bergejolak di dalam dirinya.

Permaisuri tersenyum puas. “Bagus. Sekarang, kembalilah ke kamarmu. Persiapkan dirimu untuk ritual malam ini.”

Saraswati membungkuk hormat sebelum berbalik pergi, tetapi saat ia melangkah keluar dari Ruang Suci, hatinya telah mengambil keputusan. Ia tidak akan membiarkan dirinya dikurung selamanya. Ia harus mencari tahu kebenaran tentang dirinya—tentang ramalan itu, dan tentang mengapa ia harus dikurung di balik dinding-dinding istana. Dan untuk itu, ia harus menemukan cara untuk keluar. Di malam yang sunyi, saat seluruh istana tertidur, Saraswati berdiri di depan jendela kamarnya. Angin malam menerpa wajahnya, membawa bau lembab dari taman kerajaan di bawah sana. Ia mengepalkan tangannya, pikirannya dipenuhi berbagai rencana. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia berbalik dengan cepat, jantungnya berdegup kencang.

Di balik pintu kamarnya, seseorang berbisik, “Jika kau ingin tahu kebenaran, temui aku di lorong tersembunyi di bawah istana. Malam ini.”

Saraswati menahan napas. Seseorang mengetahui rahasianya. Dan mungkin, seseorang di dalam istana ini juga menginginkan kebebasannya. Saraswati berdiri membeku di tempatnya, telinganya masih dipenuhi gema suara samar yang berbisik di balik pintu. Detak jantungnya berdebar cepat, seakan ingin keluar dari rongga dadanya. Apakah ia baru saja membayangkan suara itu? Ataukah seseorang benar-benar berbicara padanya?

Ia menelan ludah, menajamkan pendengarannya. Sunyi. Hanya angin malam yang berhembus melalui celah jendela, membawa aroma bunga kenanga dari taman kerajaan. Namun, Saraswati tahu ia tidak salah dengar. Seseorang memang telah berbisik padanya, meninggalkan satu pesan yang menggantung di udara:

“Jika kau ingin tahu kebenaran, temui aku di lorong tersembunyi di bawah istana. Malam ini.”

Tangannya yang semula mengepal mulai bergetar. Kebenaran? Kebenaran macam apa yang dimaksud? Apakah ini jebakan? Ataukah ada seseorang di dalam istana ini yang mengetahui sesuatu yang selama ini disembunyikan darinya? Ia mengatur napasnya yang sempat tersengal. Seluruh hidupnya, ia dikurung dengan dalih sebagai Sang Cahaya, sosok yang akan membawa kejayaan bagi Tirta Mandala. Namun, setiap kali ia menatap bayangannya di cermin, ia tidak melihat cahaya apa pun. Ia hanya melihat seorang gadis yang semakin terasing dari dunianya sendiri, seorang gadis yang dihantui keraguan dan pertanyaan tanpa jawaban. Dan malam ini, jawaban itu mungkin sudah menunggunya di lorong tersembunyi. Saraswati menoleh ke pintu, memastikan tidak ada suara langkah mendekat. Dayang-dayangnya pasti sudah tertidur di bilik kecil yang terletak tak jauh dari kamarnya, seperti yang mereka lakukan setiap malam. Jika ia ingin pergi, ini adalah saatnya.

Dengan cepat, ia bergerak menuju lemari kayu cendana dan menarik kain selendang hitam dari tumpukan pakaiannya. Ia melilitkannya ke tubuhnya, menyembunyikan warna putih dari jubah tidurnya. Jika ia tertangkap, setidaknya ia tidak langsung dikenali. Ia menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian, lalu membuka pintu kamarnya dengan hati-hati. Koridor istana masih diterangi lampu minyak, tetapi kosong. Para prajurit biasanya melakukan patroli setiap jam, dan jika perhitungannya benar, ada jeda beberapa menit sebelum mereka kembali melewati bagian ini. Saraswati melangkah cepat, melewati koridor panjang yang mengarah ke sayap timur. Istana Airlangga begitu besar dan rumit, terdiri dari berbagai lorong yang saling terhubung, banyak di antaranya hanya diketahui oleh para tetua istana. Namun, ada satu tempat yang ia dengar dari desas-desus para pelayan—sebuah lorong tersembunyi yang konon digunakan oleh para raja terdahulu untuk keluar masuk istana tanpa diketahui.

Ia berhenti di depan dinding batu yang terlihat sama seperti dinding lainnya. Namun, Saraswati ingat, di salah satu ukiran bunga teratai yang terukir di permukaannya, terdapat celah kecil yang bisa ditekan. Dengan jemarinya yang sedikit gemetar, ia meraba ukiran itu, merasakan permukaannya yang dingin, lalu menekannya perlahan. Bersamaan dengan itu, suara gesekan batu terdengar, lirih tapi jelas di kesunyian malam. Sebuah celah terbuka, memperlihatkan lorong gelap di baliknya. Jantungnya berdebar lebih cepat. Ini bukan lagi sekadar keberanian untuk melanggar aturan. Ini adalah perjalanan menuju sesuatu yang tidak ia ketahui. Langkahnya terhenti di ambang pintu lorong itu. Apakah ia harus terus maju? Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara di dalam lorong terdengar.

“Tutup pintunya sebelum ada yang melihat.”

Saraswati nyaris melompat mundur. Mata gelapnya berusaha menembus kegelapan, tapi yang terlihat hanyalah bayangan samar seseorang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Suara itu… terdengar berat, lebih tua dari yang ia perkirakan, tetapi juga penuh ketegasan. Meskipun tubuhnya dipenuhi ketegangan, Saraswati mengulurkan tangannya, menekan kembali mekanisme rahasia di dinding. Pintu batu itu menutup perlahan, mengisolasi mereka dalam ruangan yang nyaris tanpa cahaya. Ia berdiri diam, menunggu.

“Sang Cahaya,” suara itu berbicara lagi, kali ini lebih pelan. “Akhirnya kau datang.”

Saraswati mencoba melihat lebih jelas. Setelah beberapa saat, matanya mulai menyesuaikan diri dengan kegelapan, dan ia bisa melihat sosok lelaki tua dengan jubah panjang berdiri di depannya. Rambutnya putih, wajahnya penuh garis-garis usia, tetapi sorot matanya masih tajam, seolah mampu melihat jauh ke dalam jiwanya.

“Siapa kau?” tanya Saraswati, suaranya bergetar.

Lelaki itu tersenyum samar. “Aku seseorang yang telah menunggumu sejak lama.”

Kata-katanya membuat bulu kuduk Saraswati meremang. Lelaki itu melangkah lebih dekat, dan dalam cahaya redup, ia melihat sebuah simbol aneh terukir di lengan jubahnya—sebuah matahari dengan lingkaran hitam di tengahnya. Simbol yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, tidak dalam kitab suci, tidak di ukiran istana.

“Kau bertanya-tanya siapa dirimu, bukan?” lanjut lelaki itu. “Kau ingin tahu mengapa kau dikurung di dalam istana, mengapa mereka melarangmu melihat dunia luar.”

Saraswati menatapnya tanpa berkedip.

“Kebenaran yang mereka sembunyikan darimu, Sari,” suaranya merendah, “adalah bahwa kau bukanlah cahaya yang akan membawa kejayaan bagi Tirta Mandala.”

Saraswati terhuyung mundur, dadanya terasa sesak. Lelaki itu menatapnya dalam-dalam sebelum mengucapkan kalimat yang mengubah dunianya selamanya.

“Kau adalah bayangan yang seharusnya dihancurkan sejak lama.”

Darah Saraswati membeku. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ketakutan benar-benar mencengkeramnya. Saraswati menatap lelaki tua di hadapannya, tubuhnya menegang oleh kata-kata yang baru saja diucapkan. Pikirannya berputar, mencoba mencerna makna dari kalimat yang mengguncang dunianya. Bayangan yang seharusnya dihancurkan? "Dusta," suaranya terdengar lebih tegas dari yang ia kira. "Aku adalah Sang Cahaya, pembawa kejayaan bagi Tirta Mandala. Itu adalah takdirku."

Lelaki tua itu menghela napas panjang, sorot matanya bukan sekadar penuh kebijaksanaan, tetapi juga belas kasihan. "Takdir?" katanya pelan, hampir terdengar seperti ejekan yang pahit. "Kau percaya bahwa segala yang dikatakan padamu selama ini adalah kebenaran? Kau percaya bahwa dirimu adalah harapan kerajaan ini?"

Saraswati mengepalkan tangannya. Selama ini, ia memang mempertanyakan banyak hal, tetapi satu hal yang tak pernah berani ia ragukan adalah ramalan yang melekat pada dirinya. Ia dikurung karena ia penting, karena dewa telah memilihnya. Namun, lelaki ini berbicara seolah-olah seluruh hidupnya adalah kebohongan.

"Jika aku bukan harapan kerajaan ini, lalu siapa aku?" tanyanya, suaranya bergetar di antara rasa marah dan takut yang beradu dalam dadanya.

Lelaki itu melangkah mendekat, keriput di wajahnya semakin dalam dalam cahaya remang-remang lorong. "Seseorang yang tidak seharusnya ada," bisiknya. "Kau bukan berkah, Saraswati. Kau ancaman. Itu sebabnya mereka menyembunyikanmu. Itu sebabnya mereka menjauhkanmu dari dunia luar, karena jika kau mengetahui kebenaran, kerajaan ini akan runtuh."

Dada Saraswati terasa seperti dihantam oleh sesuatu yang tak kasatmata. Ia ingin menyangkal, ingin tertawa mengejek dan mengatakan bahwa ini hanyalah tipu daya dari seorang pemberontak, tetapi hatinya sendiri menolak untuk membungkam kemungkinan itu.

Ia mengingat bagaimana ia selalu dikurung, diawasi dengan ketat. Bagaimana ia tidak pernah diizinkan bertemu rakyatnya, hanya melihat mereka dari jendela menara yang tinggi. Bagaimana ia dilarang mempertanyakan ajaran yang diberikan padanya. Jika ia benar-benar dipilih oleh para dewa, mengapa ia tidak dirayakan seperti pemimpin besar lainnya? Mengapa ia disembunyikan seolah-olah dirinya adalah kutukan?

Saraswati merasakan dingin menjalar ke seluruh tubuhnya, bukan dari udara lembab di dalam lorong, tetapi dari ketakutan yang perlahan merayap ke dalam jiwanya. "Buktikan," desisnya, mencoba mempertahankan keberaniannya meski kakinya terasa goyah. "Kau bisa mengatakan apa pun, tetapi aku tidak akan percaya tanpa bukti."

Lelaki tua itu tersenyum tipis, seolah sudah mengharapkan jawaban itu. Ia berbalik dan mulai melangkah ke dalam lorong yang lebih dalam, hanya berhenti sesaat untuk menoleh ke Saraswati. "Ikuti aku," katanya. "Dan kau akan melihat sendiri kebenaran yang telah mereka sembunyikan darimu."

Saraswati ragu sejenak. Lorong itu begitu gelap, seolah bisa menelannya bulat-bulat. Jika ia melangkah ke dalamnya, tidak akan ada jalan kembali. Namun, perasaan asing dalam dirinya mendorongnya maju. Dorongan yang selama ini ia abaikan—keinginan untuk menemukan jawaban, untuk mengerti mengapa jiwanya selalu merasa gelisah dalam tembok istana yang megah itu.

Ia mengambil napas dalam, lalu melangkah mengikuti lelaki itu. Setiap langkah terasa berat, tetapi ia terus maju.

Lorong itu sempit, dingin, dan hanya diterangi oleh obor yang dipasang dengan jarak yang berjauhan. Udara di dalamnya lebih lembap daripada di dalam istana, dan Saraswati bisa mencium bau tanah dan jamur yang menyengat. Ia bertanya-tanya sudah berapa lama lorong ini ada, dan mengapa ia tidak pernah mendengar tentang keberadaannya.

Setelah beberapa menit berjalan, lorong itu melebar, membuka ruang yang lebih luas dengan dinding batu yang tertutup ukiran aneh. Saraswati memperhatikan simbol-simbol itu—tidak seperti apa pun yang pernah ia lihat dalam kitab suci kerajaan. Garis-garisnya tajam, membentuk pola yang seolah menggambarkan sesuatu yang pernah ada, tetapi telah dihapus dari sejarah.

Lelaki tua itu berhenti di depan sebuah pilar batu yang terukir penuh dengan tulisan kuno. "Inilah," katanya, suaranya penuh kesungguhan, "sejarah yang mereka coba lenyapkan."

Saraswati mendekat, matanya menyapu setiap huruf yang terukir di sana. Ia tidak bisa membaca semuanya, tetapi beberapa kata yang masih bisa ia pahami membuat napasnya tercekat di tenggorokan.

"Pewaris Darah Pertama... Matahari Kembar... Takdir yang Terhapus..."

Saraswati mengerutkan kening. "Apa arti semua ini?"

Lelaki itu menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Kau bukan hanya seorang gadis yang terpilih, Saraswati. Kau adalah pewaris sejati kerajaan ini. Kau adalah keturunan terakhir dari garis darah yang telah dihancurkan oleh mereka yang kini duduk di singgasana."

Saraswati terdiam. Tubuhnya terasa ringan, seolah-olah dunia yang selama ini ia kenal mulai runtuh di sekelilingnya.

"Lalu... permaisuri?" suaranya hampir tidak terdengar. "Raja?"

Lelaki itu menatapnya dengan kesedihan yang dalam. "Mereka bukan keluargamu. Mereka adalah pencuri. Mereka merebut takhta ini dengan darah, dan kau adalah satu-satunya ancaman yang tersisa bagi mereka."

Saraswati merasa mual. Seluruh hidupnya—setiap kata yang pernah diucapkan kepadanya, setiap ritual yang dipaksakan padanya—semua itu adalah kebohongan. Tetapi jika itu benar, jika dirinya adalah pewaris sejati, maka itu berarti hanya ada satu hal yang bisa dilakukan oleh mereka yang kini berkuasa. Mereka akan memastikan dirinya tidak pernah bisa menuntut haknya. Mereka akan memastikan dirinya tidak pernah keluar hidup-hidup dari istana ini. Saraswati memejamkan mata, menggenggam erat kain selendangnya, mencoba menenangkan badai yang bergejolak dalam dadanya. Ia telah mencari kebenaran, dan kini kebenaran itu menghantamnya lebih keras dari yang ia bayangkan. Ia bukan Sang Cahaya. Ia adalah ancaman terbesar bagi kerajaan ini. Dan jika ia ingin tetap hidup, ia harus menemukan cara untuk melarikan diri sebelum semuanya terlambat.

Saraswati berdiri terpaku di depan pilar batu yang dipenuhi ukiran kuno, napasnya tersengal oleh kebenaran yang baru saja diungkapkan. Kata-kata lelaki tua itu menggema di dalam benaknya, menelusup ke dalam pikirannya seperti racun yang perlahan menggerogoti keyakinan yang selama ini ia pegang erat. Kau bukan Sang Cahaya. Kau bukan berkah, melainkan ancaman. Kau adalah pewaris sejati takhta yang telah dirampas. Tidak. Itu tidak mungkin.

Tangannya meraba ukiran kasar di pilar, merasakan dinginnya batu yang seolah menyimpan ribuan rahasia yang telah dikubur selama bertahun-tahun. Matanya bergerak liar, mencoba memahami tulisan yang tak sepenuhnya ia kenali, tetapi maknanya terasa begitu dekat, seolah-olah ia seharusnya telah mengetahui semuanya sejak lama.

Saraswati menggelengkan kepala, suaranya nyaris berbisik. “Tidak… Ini tidak bisa benar. Permaisuri Mahadewi… Raja… mereka…”

“Mereka bukan keluargamu.” Lelaki tua itu menatapnya dengan sorot mata yang tajam namun penuh belas kasihan. “Mereka adalah algojo. Dan kau adalah satu-satunya yang tersisa dari garis darah yang telah mereka hapuskan dari sejarah.”

Dada Saraswati terasa sesak, seolah-olah udara di dalam lorong ini semakin menipis. Ia ingin menolak, ingin membantah, tetapi setiap pecahan kenangan dalam ingatannya mulai menghubungkan dirinya sendiri. Mengapa ia selalu dikurung di dalam istana? Mengapa rakyat tidak pernah diperbolehkan melihatnya? Mengapa, meskipun ia adalah Sang Cahaya, ia lebih diperlakukan seperti seorang tawanan ketimbang seorang pemimpin?

Ia menatap lelaki tua itu, suaranya menggigil. “Kalau semua ini benar… Mengapa mereka tidak membunuhku sejak dulu? Mengapa mereka menyimpan ancaman di dalam istana mereka sendiri?”

Lelaki itu tersenyum kecil, tetapi bukan senyuman yang hangat. Itu adalah senyum getir, seolah mengingat sesuatu yang bahkan ia sendiri berharap bisa lupakan. “Karena mereka membutuhkanmu, Saraswati. Mereka membutuhkan darahmu.”

Jantung Saraswati hampir berhenti berdetak.

Lelaki itu melanjutkan, suaranya serak. “Upacara Penyatuan Cahaya yang mereka janjikan… bukanlah jalan menuju kejayaan. Itu adalah jalan menuju kematianmu.”

Saraswati mundur selangkah, tubuhnya bergetar hebat. Ritual yang selama ini ia siapkan, yang setiap harinya ia latih dengan pengorbanan dan disiplin tanpa cela—semuanya hanya omong kosong. Ia bukanlah pemimpin yang dinanti-nantikan oleh rakyatnya. Ia bukanlah anugerah para dewa. Ia hanyalah korban yang telah disiapkan dengan hati-hati untuk pengorbanan besar yang akan mengukuhkan kekuasaan raja dan permaisuri. Tidak, ini tidak boleh terjadi.

“Apa yang harus kulakukan?” suaranya nyaris tak terdengar, tetapi di balik kelemahannya, ada percikan kemarahan yang mulai menyala.

Lelaki tua itu menatapnya dalam-dalam. “Kau harus lari, sebelum semuanya terlambat.”

Saraswati menggigit bibirnya, pikirannya berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Melarikan diri? Dari istana yang dijaga ketat? Dari tempat yang telah menjadi penjaranya sejak kecil? Itu adalah tugas yang mustahil. Bahkan jika ia berhasil keluar, ke mana ia akan pergi? Ia tidak mengenal siapa pun di luar istana. Ia tidak tahu apa yang menunggunya di luar dinding-dinding marmer ini.

Seakan bisa membaca kegelisahannya, lelaki tua itu melangkah mendekat. “Aku bisa membantumu. Aku telah menyiapkan jalan keluar, tetapi kau harus percaya padaku.”

Saraswati menatap mata lelaki itu, mencari tanda-tanda kebohongan di balik kedalamannya. Ia telah menghabiskan seluruh hidupnya dikelilingi oleh kebohongan, dan ia tidak akan terjerumus ke dalam perangkap lain. Tetapi di dalam tatapan lelaki ini, ia tidak menemukan niat buruk. Tidak ada kepalsuan. Yang ada hanyalah kebenaran yang menyakitkan.

Ia menarik napas dalam, menguatkan tekadnya. “Kapan kita pergi?”

Mata lelaki itu menggelap. “Malam ini.”

Saraswati menahan napas saat ia berdiri di balik pilar besar di tepi lorong tersembunyi, matanya memperhatikan dua penjaga istana yang berdiri di depan gerbang rahasia yang akan menjadi jalannya keluar. Cahaya obor di tangan mereka menerangi baju zirah yang berkilau, mata mereka penuh kewaspadaan meskipun malam sudah larut. Ia merasa jantungnya berdetak begitu keras hingga takut suara itu akan terdengar oleh para penjaga.

Lelaki tua itu, yang kini ia ketahui bernama Ki Wira, berbisik pelan di sampingnya. “Saat aku memberi isyarat, kita harus bergerak cepat. Mereka tidak boleh menyadari kepergianmu.”

Saraswati mengangguk, meskipun telapak tangannya mulai berkeringat. Ia belum pernah merasa setakut ini seumur hidupnya, tetapi ia tahu bahwa ketakutan ini lebih baik daripada menunggu upacara yang akan mengakhiri hidupnya. Ki Wira bergerak dengan gesit, melempar sesuatu ke dalam kegelapan lorong yang jauh di sisi lain. Seketika, suara dentingan keras terdengar, membuat kedua penjaga menoleh tajam.

Salah satu dari mereka berbicara. “Apa itu?”

“Kau dengar suara itu?” tanya penjaga lainnya, menggenggam erat tombaknya.

Saraswati tahu ini adalah kesempatannya. Tanpa menunggu lebih lama, ia dan Ki Wira menyelinap melewati gerbang, bergerak secepat mungkin melewati lorong-lorong sempit yang jarang dilalui. Langkah kaki mereka hampir tak bersuara di atas lantai batu. Ki Wira memimpin dengan lincah, meskipun usianya sudah lanjut, sementara Saraswati berusaha mengikuti dengan hati-hati.

Setiap detik yang berlalu terasa seperti berabad-abad. Ketika mereka hampir mencapai ujung lorong, tiba-tiba terdengar suara bentakan dari belakang.

“Berhenti!”

Saraswati menoleh, darahnya membeku saat melihat satu penjaga telah menyadari keberadaan mereka. Ki Wira segera menariknya, mendorongnya untuk berlari lebih cepat.

“Kita harus keluar sekarang!” desisnya.

Saraswati memacu langkahnya, tetapi suara langkah kaki yang lebih berat terdengar di belakang mereka, semakin dekat. Pintu batu di ujung lorong hanya beberapa langkah lagi. Ki Wira mendorongnya untuk maju, tetapi saat Saraswati melewati pintu, ia menoleh dan melihat Ki Wira berhenti, menahan pintu dengan tangannya.

“Apa yang kau lakukan?!”

Ki Wira menatapnya dengan senyum samar. “Kau harus pergi.”

Saraswati merasakan ketakutan yang lebih besar dari sebelumnya merayapi tubuhnya. “Tidak! Kau harus ikut denganku!”

Tetapi sebelum ia sempat bergerak, Ki Wira mendorong pintu batu itu dengan sekuat tenaga, menutupnya di antara mereka.

Saraswati memukul-mukul batu itu, suaranya penuh kepanikan. “Tidak! Jangan lakukan ini! Kita bisa pergi bersama!”

Dari balik pintu, suara Ki Wira terdengar pelan, tetapi penuh kepastian. “Jangan pernah kembali, Sari. Temukan kebenaranmu sendiri.”

Kemudian, suara langkah kaki penjaga semakin dekat, diikuti oleh suara pedang yang terhunus. Lalu, hanya ada kesunyian. Saraswati berdiri di dalam kegelapan, dadanya naik turun, matanya mulai dipenuhi air mata. Ia ingin meneriakkan namanya, ingin memanggilnya kembali. Tetapi ia tahu—tidak ada lagi jalan untuk kembali. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar sendirian. Saraswati berdiri dalam gelap, napasnya memburu, tubuhnya bergetar bukan hanya karena dinginnya udara bawah tanah, tetapi juga karena ketakutan yang mulai menjalari setiap sarafnya. Pintu batu di hadapannya tak lagi bergerak. Di baliknya, Ki Wira telah mengorbankan dirinya agar ia bisa lolos.

Ia menekan telapak tangannya ke permukaan batu yang kasar dan dingin. Dadanya terasa sesak, amarah dan kesedihan bercampur menjadi satu dalam kepalanya. Ia ingin berteriak, ingin mengguncang pintu itu agar terbuka kembali, ingin berlari kembali dan menarik lelaki tua itu keluar bersamanya. Tapi ia tahu itu mustahil.

Ki Wira telah memilih untuk bertahan, dan Saraswati tahu, dari sorot mata lelaki itu yang terakhir kali ia lihat, bahwa ia takkan membiarkan dirinya terbunuh sia-sia. Ia akan bertarung hingga akhir, akan mengulur waktu sebanyak mungkin agar Saraswati bisa pergi sejauh yang ia bisa. Ia menggigit bibirnya hingga terasa perih, menelan kepedihan yang mengancam akan menghancurkannya. Ini bukan saatnya untuk menangis.

Dengan langkah berat, Saraswati berbalik dan menatap lorong panjang yang terbentang di hadapannya. Dinding batu yang lembap berdiri kokoh di kiri dan kanan, diterangi hanya oleh beberapa obor yang menyala temaram, bayangannya menari-nari di permukaan batu. Udara di lorong ini terasa berat, seolah menyimpan ribuan rahasia yang tak terucapkan.

Ia melangkah perlahan, matanya terus waspada terhadap setiap sudut gelap. Semakin jauh ia berjalan, semakin ia merasa seakan tempat ini bukan sekadar lorong rahasia yang dibuat untuk melarikan diri, tetapi sebuah makam bagi kebenaran yang telah lama dikubur.

Setelah berjalan beberapa menit, ia tiba di sebuah persimpangan. Dua jalur terbentang di hadapannya—satu menuju lorong yang semakin menyempit dan menurun ke arah yang lebih dalam, sementara yang lain tampak lebih terbuka, meskipun di ujungnya hanya ada kegelapan yang menunggu.

Saraswati menggigit bibirnya, pikirannya berpacu untuk mengambil keputusan. Ia tidak tahu ke mana jalan ini akan membawanya. Ki Wira tidak memberitahunya dengan pasti jalur mana yang harus ia ambil. Tapi ia harus memutuskan. Sebuah suara lirih terdengar di belakangnya. Ia membeku. Langkah kaki. Pelan, teratur, tetapi jelas semakin mendekat. Jantungnya berdegup lebih cepat, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia menoleh perlahan, tubuhnya tegang. Bayangan mulai muncul di ujung lorong yang baru saja ia lalui. Samar-samar, ia bisa melihat seseorang bergerak dalam kegelapan, langkahnya mantap dan tidak terburu-buru, seolah ia tahu Saraswati tidak punya tempat untuk lari. Saraswati menelan ludah. Ini bukan penjaga istana biasa.

Tanpa berpikir lebih jauh, ia memilih jalur yang lebih sempit, melangkah cepat sambil menahan napas. Lorong ini menurun dengan curam, membuatnya harus berpegangan pada dinding untuk menjaga keseimbangannya. Udara di dalam semakin pengap, bau tanah basah dan batu yang telah lama terkunci dalam gelap memenuhi hidungnya.

Di belakangnya, suara langkah itu semakin mendekat. Panik mulai merayapi dirinya. Ia tidak bisa membiarkan dirinya tertangkap di sini. Saraswati mempercepat langkahnya, hampir berlari. Namun, jalur ini semakin sempit hingga ia harus menunduk sedikit untuk melewatinya. Jika lorong ini berakhir di jalan buntu, maka semuanya akan berakhir di sini. Tiba-tiba, lorong itu terbuka ke dalam sebuah ruangan kecil. Ia tersentak. Ini bukan sekadar ruangan kosong.

Di tengahnya, terdapat sebuah altar batu, di sekelilingnya berdiri empat pilar tinggi yang penuh ukiran kuno. Langit-langitnya berbentuk kubah rendah dengan retakan-retakan halus, seolah telah berusia ratusan tahun. Dinding-dindingnya dihiasi dengan relief yang menggambarkan sesuatu yang menyerupai matahari dengan lingkaran hitam di tengahnya.

Saraswati mendekati altar itu dengan langkah hati-hati. Di atasnya, terukir simbol-simbol yang hampir sama dengan yang ia lihat di pilar batu sebelumnya. Tangannya gemetar saat ia menyentuh permukaannya.

"Kau sudah sejauh ini."

Suara itu datang dari belakangnya. Saraswati berbalik dengan cepat. Di ambang lorong yang baru saja ia lewati, berdiri seseorang yang tidak ia kenali. Laki-laki itu tinggi, mengenakan jubah hitam yang menyatu dengan kegelapan di sekelilingnya. Wajahnya tertutup bayangan, tetapi sepasang mata tajam berkilat dalam cahaya obor. Gerakannya tenang, hampir santai, seolah kehadiran Saraswati di sini adalah sesuatu yang telah ia perhitungkan sejak awal.

Saraswati merasakan seluruh tubuhnya menegang. “Siapa kau?”

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia melangkah maju, mengamati altar di antara mereka sebelum akhirnya menatap Saraswati dengan sorot mata yang sulit diartikan.

"Aku seseorang yang sudah lama menantimu," katanya akhirnya, suaranya rendah dan dalam, seperti desiran angin yang menyelinap di antara reruntuhan kuno.

Saraswati mundur selangkah, tubuhnya siap bertahan jika perlu. “Aku tidak mengenalmu.”

Pria itu tersenyum kecil. “Tapi aku mengenalmu, Saraswati. Atau… harus kupanggil kau dengan nama lain?”

Darah Saraswati membeku.

Pria itu tidak berhenti. “Saraswati bukan nama lahir yang diberikan kepadamu, bukan?” lanjutnya. "Itu adalah nama yang mereka berikan padamu agar kau lupa siapa dirimu yang sebenarnya.”

Saraswati ingin menyangkal, ingin menyebut pria ini pembohong, tetapi ada sesuatu dalam suaranya—sesuatu yang terdengar terlalu yakin, terlalu pasti.

"Kau berbohong," desisnya, meskipun suaranya tidak setegas yang ia harapkan.

Pria itu menghela napas pelan, seperti seseorang yang telah lama menunggu momen ini tiba. “Aku tidak punya alasan untuk berbohong padamu. Kau adalah pewaris terakhir dari garis darah yang mereka coba musnahkan. Jika aku berbohong, maka mengapa kau ada di sini, mencari jawaban yang selama ini mereka sembunyikan?”

Saraswati merasakan dadanya naik turun dengan cepat. “Kalau kau benar-benar tahu siapa aku, maka katakan. Siapa aku?”

Pria itu menatapnya dalam-dalam, seolah ingin menilai apakah Saraswati sudah siap mendengar kebenaran yang lebih besar. Lalu, dengan suara yang dalam dan penuh makna, ia berkata:

“Kau adalah putri terakhir dari klan yang mereka hancurkan. Kau bukanlah Sang Cahaya yang akan membawa kejayaan bagi mereka.”

Ia melangkah lebih dekat, suaranya nyaris berbisik.

“Kau adalah api yang akan membakar mereka.”

Saraswati merasakan tubuhnya melemas. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa seperti berdiri di ambang jurang yang tak terlihat. Ia tidak lagi tahu siapa dirinya. Tetapi satu hal yang pasti: Takdirnya tidak akan pernah sama lagi.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Darah dan Takdir   Epilog

    Langit Tirta Mandala merona merah keemasan saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Angin lembut berembus melalui menara-menara istana, membawa aroma dupa dan bunga yang masih tersisa dari upacara syukuran yang diadakan siang tadi. Di bawah cahaya yang semakin temaram, ibu kota mulai berdenyut dengan kehidupan barunya—pedagang menutup kios-kios mereka, prajurit berpatroli di jalan-jalan utama, dan rakyat berjalan pulang dengan langkah ringan, membawa harapan akan masa depan yang lebih baik.Namun, di dalam dinding batu yang megah, seorang ratu duduk sendirian di ruang pribadinya, merenungi apa yang telah terjadi dan apa yang masih harus ia hadapi.Saraswati menatap ke luar jendela besar yang menghadap ke kota, kedua tangannya bertumpu di tepian kayu yang diukir dengan motif naga air, lambang kebesaran keluarganya. Rambut hitamnya tergerai, tidak lagi disanggul seperti saat upacara resmi. Ia telah menjalani berbagai pertempuran, baik di medan perang maupun di dalam istana, tetapi h

  • Darah dan Takdir   Bab 20: Awal Baru

    Fajar menyingsing di atas ibu kota Tirta Mandala, menghamparkan cahaya keemasan yang perlahan merayap melewati menara-menara istana yang megah. Udara masih dipenuhi sisa-sisa aroma dupa dan bunga dari upacara malam sebelumnya, menandai awal dari era baru bagi kerajaan yang telah melalui begitu banyak pertumpahan darah. Di alun-alun utama, ribuan rakyat berkumpul, memenuhi setiap sudut untuk menyaksikan peristiwa yang akan tercatat dalam sejarah.Di tengah kerumunan yang luas, Saraswati berdiri di atas panggung batu yang dikelilingi oleh para pembesar kerajaan, prajurit, dan rakyat yang menunggu dengan harapan bercampur kewaspadaan. Jubah kebesarannya menjuntai megah, tenunannya berwarna biru laut dengan sulaman emas yang melambangkan kejayaan Tirta Mandala. Sebuah mahkota perak, yang lebih sederhana dari yang dikenakan raja-raja sebelumnya, bertengger di kepalanya. Ia memilihnya dengan sengaja—bukan sebagai simbol kekuasaan mutlak, tetapi sebagai tanda bahwa kepemimpinannya bukan tent

  • Darah dan Takdir   Bab 19: Raka dan Sari

    Langit senja membentang di atas perkemahan mereka, menyapu cakrawala dengan warna merah keemasan yang perlahan memudar ke dalam kegelapan malam. Di kejauhan, suara angin menerpa dedaunan hutan, berbisik di antara pepohonan seolah membawa pesan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang hatinya gelisah.Saraswati berdiri di tepi perkemahan, matanya menatap ke arah lembah yang terbentang di hadapannya. Mereka telah berkemah di sana selama dua malam sejak meninggalkan ibu kota, mengikuti jejak Adhiraj yang semakin sulit dilacak. Meskipun ia yakin mereka berada di jalur yang benar, ada sesuatu yang lebih berat yang menghimpit dadanya—sesuatu yang bukan berasal dari peperangan atau takhta, tetapi dari sesuatu yang jauh lebih dalam.Langkah kaki yang ia kenali dengan mudah terdengar di belakangnya. Raka mendekat, membiarkan kehadirannya terasa sebelum akhirnya berdiri di sampingnya. Lelaki itu telah bersamanya sejak awal, sejak ia masih terkurung di dalam istana, dan kini mereka berdiri di t

  • Darah dan Takdir   Bab 18: Pilihan yang Sulit

    Dingin fajar menyelimuti ibu kota Tirta Mandala ketika kabut sisa peperangan mulai perlahan menghilang. Bangunan-bangunan yang hancur menjadi saksi bisu dari pertempuran besar yang baru saja berakhir. Di alun-alun utama, rakyat berkumpul dalam diam, menanti kepastian tentang masa depan yang telah mereka perjuangkan dengan darah dan air mata.Saraswati berdiri di puncak tangga istana, mengenakan pakaian perang yang masih ternoda debu dan darah. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya tetap tajam. Hari ini bukan tentang kemenangan, melainkan tentang keputusan yang akan mengubah jalan sejarah.Di hadapannya, Raja duduk di singgasana yang tidak lagi miliknya. Tangannya terikat di belakang kursi yang pernah menjadi simbol absolut kekuasaan. Meskipun dikalahkan, sorot matanya tetap tajam, seolah ia masih memiliki kendali atas apa yang terjadi. Di sampingnya, Adhiraj berdiri dalam diam, wajahnya penuh luka dan kebencian, tetapi tanpa perlawanan.Saraswati menatap ayahnya lama, merasakan begitu ban

  • Darah dan Takdir   Bab 17: Perang Besar

    Langit di atas ibu kota Tirta Mandala berubah kelam, seakan merespons perang besar yang kini melanda setiap sudut kota. Asap membubung dari bangunan-bangunan yang terbakar, suara dentingan pedang beradu dan teriakan kematian bergema di sepanjang jalan berbatu. Rakyat yang selama ini terbelenggu oleh ketakutan kini bangkit, mencabut senjata seadanya—parang, tongkat, dan obor—dan bertempur melawan pasukan kerajaan.Saraswati berdiri di atas tembok barat istana, napasnya berat setelah pertempuran yang tak kunjung usai. Di bawahnya, lautan manusia bertempur sengit, dan di dalam istana sendiri, peperangan masih berlangsung di setiap lorong dan aula megah.Ia menoleh ke arah Raka yang berdiri di sampingnya, pedang pria itu sudah ternoda darah, dan wajahnya penuh goresan. “Kita tidak bisa bertahan lebih lama,” kata Raka, suaranya penuh ketegangan. “Pasukan kerajaan masih lebih kuat. Jika bala bantuan tidak datang, kita akan terkepung.”Saraswati mengeratkan genggaman pada gagang pedangnya. “

  • Darah dan Takdir   Bab 16: Konfrontasi dengan Sang Raja

    Angin dingin berembus membawa aroma tanah yang basah setelah hujan semalam. Pasukan pemberontak bergerak dalam senyap, menyusuri jalan setapak yang menuju ibu kota, Tirta Mandala. Langkah-langkah mereka penuh kehati-hatian, menyatu dengan bayangan pepohonan yang tinggi. Saraswati menunggangi kudanya di barisan depan, matanya tajam menatap ke depan, sementara jubah gelapnya berkibar diterpa angin.Dari puncak bukit, benteng megah ibu kota mulai terlihat di kejauhan. Cahaya obor di menara-menara penjaga tampak seperti bintang-bintang redup yang mengambang di udara malam. Tirta Mandala berdiri kokoh, sebuah kota yang selama ini hanya ia kenal sebagai penjara berlapis emas, tetapi malam ini ia kembali, bukan sebagai gadis yang dikurung dalam istana, melainkan sebagai pemimpin pemberontakan yang menuntut haknya.Raka berada di sampingnya, tangannya tetap dekat dengan gagang pedangnya, siap menghadapi kemungkinan terburuk. “Mereka sudah tahu kita akan datang,” katanya lirih, suara beratnya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status