Share

Prolog

Author: A. Rani
last update Huling Na-update: 2025-05-30 23:57:56

Malam menyelimuti Tirta Mandala dalam keheningan yang penuh rahasia. Bintang-bintang bertaburan di langit yang luas, cahayanya berkelip lembut seperti nyala lilin di tengah kegelapan. Angin berembus pelan, membawa aroma embun dari hutan di perbatasan kerajaan. Di kejauhan, suara gemericik air dari Sungai Nandini bergema samar, menambahkan melodi alami yang menenangkan. Namun, di balik ketenangan ini, sesuatu yang lebih besar tengah terjadi—sebuah takdir sedang dituliskan dalam bayangan.

Di dalam istana yang megah, di balik dinding-dinding batu yang tinggi dan kokoh, seorang bayi perempuan baru saja lahir. Jerit tangisnya memenuhi ruangan yang diterangi cahaya lampu minyak, menggema di antara para pelayan dan tabib yang bersimpuh dalam kecemasan. Di tengah ruangan itu, seorang perempuan dengan wajah pucat berbaring di atas ranjang berlapis sutra, napasnya tersengal-sengal setelah melalui perjuangan panjang. Meski wajahnya dipenuhi kelelahan, matanya berbinar saat menatap bayi yang kini digendong oleh salah satu bidan istana.

Perempuan itu adalah Ratu Parameswari, istri sah Raja Adhiraj, penguasa Tirta Mandala. Namun, di antara para tabib yang mengelilinginya, ada bisikan yang menggantung di udara—bisikan tentang kutukan, tentang pertanda yang telah lama dinubuatkan.

Seorang pendeta tua melangkah maju, jubah putihnya berayun pelan saat ia menatap bayi itu dengan sorot mata yang penuh kehati-hatian. "Sang Cahaya telah lahir," bisiknya, suaranya serak tetapi penuh makna.

Raja Adhiraj, yang berdiri di sisi ranjang istrinya, mengerutkan kening. Ia menoleh ke arah pendeta dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Apa maksudmu?"

Pendeta itu menarik napas panjang sebelum menjawab, "Anak ini... dia bukan bayi biasa. Dia adalah yang telah dinubuatkan dalam kitab-kitab lama. Dia adalah Sang Cahaya yang akan menentukan kejayaan atau kehancuran kerajaan ini."

Hening. Udara di dalam ruangan seolah membeku. Raja Adhiraj menatap bayinya dalam diam, pikirannya berputar dengan cepat. Ia bukan pria yang percaya pada ramalan, tetapi kata-kata pendeta itu menggema di dalam benaknya. Jika benar anak ini adalah Sang Cahaya yang telah diramalkan, maka ia bisa menjadi berkah terbesar bagi kerajaan—atau ancaman yang lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan.

Sementara itu, di luar istana, seorang pria berjubah gelap berdiri di bawah bayangan pohon, mengamati ke arah menara tempat kelahiran sang putri berlangsung. Matanya tajam seperti mata elang, penuh dengan perhitungan yang sulit ditebak.

"Kau yakin ini dia?" bisik seorang pria lain yang berdiri di sampingnya, suaranya hampir tertelan oleh suara angin malam.

Pria berjubah gelap itu mengangguk pelan. "Tidak ada keraguan. Dia adalah yang diramalkan. Sang Cahaya telah lahir."

Pria di sampingnya mengepalkan tangan. "Maka kita harus bertindak sebelum dia tumbuh menjadi ancaman. Kita tidak bisa membiarkan takdir ini terwujud."

Namun, pria berjubah gelap itu tersenyum samar, seolah ia telah memikirkan segalanya jauh sebelum malam ini tiba. "Tidak. Kita tidak akan membunuhnya. Membunuh Sang Cahaya hanya akan membawa malapetaka yang lebih besar. Kita harus memastikan bahwa dia tidak pernah menyadari siapa dirinya sebenarnya. Kita sembunyikan kebenaran darinya. Biarkan dia tumbuh dalam kebohongan."

Di atas mereka, bulan purnama menggantung di langit, cahayanya berkilau dingin di antara bayangan malam. Malam itu, takdir Saraswati dituliskan dalam bisikan dan konspirasi. Bertahun-Tahun Kemudian…

Waktu berlalu seperti arus sungai yang tak bisa dihentikan. Tirta Mandala tumbuh menjadi kerajaan yang semakin kuat, tetapi di dalam istana, Sang Cahaya tumbuh dalam keterasingan.

Saraswati, putri yang diramalkan akan membawa kejayaan atau kehancuran, menghabiskan hari-harinya dalam dinding istana yang tinggi, jauh dari dunia luar. Ia tidak diizinkan meninggalkan istana, tidak diizinkan melihat rakyatnya, bahkan tidak diizinkan mengetahui sejarah keluarganya sendiri.

Setiap hari, ia menjalani ritual yang ketat—belajar kitab-kitab lama, berdoa di kuil kerajaan, dan menghadiri pelatihan yang tidak pernah dijelaskan tujuannya. Pelayan-pelayan yang merawatnya selalu berbicara dengan suara pelan, seolah takut mengucapkan sesuatu yang salah. Bahkan para pengawal yang berjaga di luar kamarnya tidak pernah berbicara lebih dari yang diperlukan.

Namun, Saraswati bukan anak yang bodoh. Ia merasakan sesuatu yang tidak beres. Ia tahu bahwa dirinya bukan putri biasa. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Dan di setiap malam, dalam mimpinya, ia mendengar suara-suara berbisik—bisikan yang tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun.

"Kau bukan seperti yang mereka katakan…"

"Cari kebenaran… sebelum semuanya terlambat…"

Saraswati selalu terbangun dengan keringat dingin setiap kali mendengar suara itu. Tapi semakin sering ia mendengar bisikan itu, semakin kuat rasa ingin tahunya. Apa yang mereka sembunyikan darinya? Siapa dirinya sebenarnya? Dan yang lebih penting—mengapa mereka begitu takut membiarkan dia tahu?

Malam itu, saat ia berdiri di depan jendela kamarnya, menatap langit yang dipenuhi bintang, ia bersumpah dalam hati bahwa ia akan menemukan jawabannya. Ia akan mencari kebenaran, apa pun risikonya. Tanpa mengetahui bahwa di luar dinding istana, ada banyak mata yang mengawasinya. Ada banyak tangan yang bergerak dalam bayangan, memastikan bahwa ia tetap berada dalam kebohongan yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun.

Malam itu, angin membawa bisikan yang tidak terdengar oleh siapa pun. Dan di kejauhan, di tempat yang tidak diketahui oleh banyak orang, seseorang tersenyum dalam kegelapan. Malam semakin larut, dan Tirta Mandala tetap terlelap dalam ketenangan yang menipu. Namun di dalam istana, seorang gadis muda berdiri di depan jendela kamarnya, matanya menatap langit luas dengan sorot yang dipenuhi tanda tanya. Saraswati tahu ia bukan anak biasa. Sejak kecil, ia telah merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak diizinkan berlari di taman istana seperti anak-anak bangsawan lainnya. Ia tidak boleh berbicara dengan para pelayan lebih dari yang diperlukan. Bahkan pengawal pribadinya pun selalu menjaganya dengan sikap yang lebih mirip penjaga tahanan daripada pelindung seorang putri.

Hari-harinya dipenuhi dengan ritual dan pelajaran yang sering kali terasa hampa. Ia diajarkan sejarah kerajaan, tetapi hanya yang ingin mereka ceritakan kepadanya. Ia belajar tentang para raja terdahulu, tentang kejayaan Tirta Mandala, tetapi tidak pernah ada satu pun yang berani menyebut masa lalunya sendiri. Ia tidak tahu siapa ibunya sebenarnya. Tidak ada yang mau berbicara tentangnya, seolah-olah ia tidak pernah ada. Ia tidak tahu mengapa ayah angkatnya, Raja Adhiraj, begitu jarang menemuinya, dan ketika bertemu pun, matanya selalu penuh dengan sesuatu yang aneh—bukan kasih sayang seorang ayah, tetapi sesuatu yang lebih dekat dengan kehati-hatian… atau bahkan ketakutan. Dan yang paling membuatnya gelisah adalah mimpi-mimpi itu. Mimpi yang datang semakin sering, semakin jelas, seolah-olah bukan sekadar mimpi, tetapi kenangan yang terkubur dalam jiwanya.

Dalam tidurnya, ia sering melihat seorang perempuan berambut panjang dan mata penuh kelembutan, memeluknya erat sambil berbisik sesuatu yang tidak bisa ia pahami. Kadang-kadang, mimpi itu berubah menjadi sesuatu yang lebih mengerikan—suara teriakan, cahaya merah yang membakar langit, dan tangan yang terentang ke arahnya sebelum semuanya menghilang dalam kegelapan. Malam ini pun, mimpi itu kembali. Saraswati melihat dirinya berdiri di tengah-tengah padang luas yang tidak pernah ia kenali. Angin bertiup kencang, membawa debu dan suara-suara yang terdengar seperti bisikan. Di hadapannya, seorang pria berjubah gelap berdiri dengan punggung menghadapnya.

"Siapa kau?" suara Saraswati terdengar gemetar dalam mimpinya sendiri.

Pria itu tidak menjawab. Ia hanya berbalik perlahan, dan saat wajahnya terlihat, darah Saraswati berdesir.

Mata pria itu bersinar merah keemasan, dan senyumnya membawa perasaan yang mengerikan. "Waktunya semakin dekat," katanya dengan suara yang dalam, menggema di dalam pikirannya.

Saraswati mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa kaku. Seolah-olah angin di sekitarnya menahannya di tempat. "Apa yang kau inginkan dariku?"

Pria itu tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya. "Aku tidak menginginkan apa pun, Putri Cahaya," katanya, dan suara itu terdengar seolah-olah berasal dari berbagai arah sekaligus. "Aku hanya ingin melihat apakah kau siap menerima kebenaran."

Sebelum Saraswati bisa bertanya lagi, pemandangan di sekitarnya berubah. Ia kini berada di dalam sebuah istana yang asing, lebih gelap dan lebih dingin dibanding istana Tirta Mandala. Di sekelilingnya, bayangan bergerak seperti asap yang hidup, berputar-putar tanpa bentuk yang jelas. Dan di tengah-tengah ruangan itu, seseorang duduk di atas takhta hitam yang besar, wajahnya tersembunyi dalam kegelapan.

"Kau akan segera tahu siapa dirimu sebenarnya, Sang Cahaya."

Suaranya bagaikan gemuruh yang datang dari dalam bumi. Seketika, Saraswati terbangun. Ia terduduk di tempat tidurnya, napasnya tersengal-sengal dan keringat dingin membasahi dahinya. Jantungnya berdegup cepat, dan matanya masih dipenuhi bayangan dari mimpi yang terasa terlalu nyata. Ia memegang dadanya, mencoba mengendalikan dirinya sendiri.

Namun kali ini, ia tidak bisa lagi mengabaikan mimpi itu sebagai sekadar bunga tidur. Ada sesuatu yang sedang terjadi. Sesuatu yang telah menunggunya sejak lama. Jauh dari istana, di dalam sebuah ruangan yang tersembunyi di bawah tanah, sekelompok orang berkumpul dalam cahaya redup. Dinding-dinding ruangan itu dipenuhi dengan peta, gulungan kuno, dan simbol-simbol yang telah lama dilupakan oleh sejarah resmi kerajaan. Di tengah mereka, seorang pria tua duduk dengan tangan bertaut di depan wajahnya. Ia menatap meja di hadapannya, di mana selembar kain bersulam emas terbuka, memperlihatkan lambang yang telah lama dihapus dari ingatan rakyat.

"Dia mulai bermimpi," kata pria itu akhirnya, suaranya penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan—antara kehati-hatian, kegelisahan, dan secercah harapan.

Seorang wanita yang berdiri di sampingnya mengangguk pelan. "Waktunya hampir tiba. Dia tidak akan bisa dihalangi lebih lama lagi."

Pria itu menatapnya dengan dalam. "Maka kita harus memutuskan. Apakah kita akan membantunya menemukan kebenaran… atau membiarkan dia menjalani nasibnya tanpa kita?"

Keheningan menggantung di ruangan itu. Tidak ada yang berani menjawab. Karena mereka semua tahu bahwa jika Saraswati menemukan kebenaran, dunia yang mereka kenal mungkin tidak akan pernah sama lagi. Dan mungkin, takdir Tirta Mandala akan berubah selamanya.

Cahaya atau Kegelapan? Di dalam istana, Saraswati duduk di tempat tidurnya, menatap jendela dengan tatapan yang kosong. Di kejauhan, suara lonceng malam berbunyi, menandakan pergantian waktu. Ia tidak tahu apa yang menunggunya di hari-hari yang akan datang. Tetapi satu hal yang pasti—ia tidak bisa lagi menutup matanya terhadap apa yang sedang terjadi. Karena kebenaran, sekuat apa pun seseorang mencoba menyembunyikannya, pada akhirnya akan menemukan jalannya untuk keluar. Dan malam ini, Saraswati akhirnya menyadari bahwa ia harus mulai mencari jawabannya sendiri. Tanpa mengetahui bahwa dalam kegelapan, ada banyak mata yang mengawasinya.

Dan ada banyak tangan yang siap menghentikannya sebelum ia menemukan apa yang seharusnya ia ketahui. Takdirnya telah menanti. Dan perang yang sebenarnya… baru saja dimulai.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Darah dan Takdir   Bab 27 - Pilihan Terakhir Sang Pewaris

    Malam semakin pekat, tetapi tidak ada kantuk yang menghampiri Saraswati. Ia berdiri di luar pondok, menatap langit yang dipenuhi bintang, pikirannya masih berputar dengan kecepatan yang nyaris membuatnya pusing.Di kejauhan, suara burung malam dan serangga hutan terdengar, tetapi bagi Saraswati, dunia terasa begitu sunyi. Ia merasa seolah-olah seluruh hidupnya baru saja berubah dalam semalam, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk kembali.Ki Jaya melangkah keluar dari pondok, berdiri di sampingnya dengan tangan bersedekap. “Kau tidak harus memutuskan semuanya malam ini,” katanya lembut. “Tetapi kau harus mempersiapkan diri. Istana akan mencari cara untuk menangkapmu kembali, dan mereka tidak akan berbelas kasih jika mereka tahu kau telah mengetahui kebenaran ini.”Saraswati mengepalkan tangan

  • Darah dan Takdir   Bab 26 - Darah yang Mereka Takutkan

    Ki Jaya, yang sejak tadi hanya mengamati, mengangguk kecil sebelum mulai berbicara. “Klan Rakai adalah salah satu klan tertua di Tirta Mandala, bahkan lebih tua dari keluarga kerajaan yang sekarang berkuasa. Mereka bukan sekadar pemberontak seperti yang diceritakan oleh istana. Mereka adalah penjaga keseimbangan, orang-orang yang mengetahui rahasia yang ingin disembunyikan oleh kerajaan.”Saraswati menatapnya, mencari lebih banyak kepastian. “Rahasia apa?”Ki Jaya menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Tirta Mandala tidak seperti yang selama ini kau kira. Kerajaan ini dibangun di atas pengorbanan, dan bukan hanya p

  • Darah dan Takdir   Bab 30 - Jejak Darah di Hutan Terakhir

    Saraswati mengangguk, meski pikirannya masih penuh dengan segala yang terjadi dalam waktu singkat. Sejak ia mengetahui bahwa dirinya bukanlah putri sejati kerajaan, segala sesuatu dalam hidupnya terasa seperti ilusi yang dipaksakan kepadanya. Kini, bahkan tanah yang ia pijak terasa asing, seakan mengingatkannya bahwa ia bukan lagi bagian dari dunia yang dulu ia kenal.Ia melirik ke arah Raka, menyadari betapa berbeda pria itu dari para pengawal istana lainnya. Sejak awal, Raka tidak pernah memperlakukannya seperti Sang Cahaya yang harus disembah. Ada sesuatu dalam caranya berbicara dan menatap yang selalu membuatnya merasa bahwa ia adalah seseorang, bukan sekadar simbol yang dijadikan alat kerajaan.“Kenapa kau memilih untuk membantuku?” tanya

  • Darah dan Takdir   Bab 29 - Belati Darah Terakhir

    Langit mulai berubah warna saat Saraswati dan Raka berjalan menyusuri hutan, meninggalkan tempat persembunyian mereka di bawah bayangan pepohonan yang tinggi. Cahaya jingga fajar merayap perlahan melalui celah-celah daun, menciptakan siluet panjang di tanah yang masih lembab oleh embun. Tidak ada suara selain langkah kaki mereka yang tertahan, seakan alam ikut menahan napas menghadapi keputusan besar yang baru saja mereka buat.Saraswati melirik ke arah Raka, yang berjalan di sampingnya dengan ekspresi serius. Ia masih sulit mempercayai bahwa pemuda itu telah mengetahui lebih banyak tentang dirinya daripada yang pernah ia sadari. Kini, mereka tidak lagi berdiri di sisi yang berseberangan sebagai pengawal dan putri, melainkan sebagai dua pelarian yang mencoba mencari kebenaran yang telah lama dikubur.“Apa yang membuatmu yakin bahwa seseorang dari Klan Raka

  • Darah dan Takdir   Bab 25 - Api di Balik Cahaya

    Ki Jaya, yang sejak tadi hanya mengamati, mengangguk kecil sebelum mulai berbicara. “Klan Rakai adalah salah satu klan tertua di Tirta Mandala, bahkan lebih tua dari keluarga kerajaan yang sekarang berkuasa. Mereka bukan sekadar pemberontak seperti yang diceritakan oleh istana. Mereka adalah penjaga keseimbangan, orang-orang yang mengetahui rahasia yang ingin disembunyikan oleh kerajaan.”Saraswati menatapnya, mencari lebih banyak kepastian. “Rahasia apa?”Ki Jaya menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Tirta Mandala tidak seperti yang selama ini kau kira. Kerajaan ini dibangun di atas pengorbanan, dan bukan hanya p

  • Darah dan Takdir   Bab 24 - Kebenaran di Balik Darah Kerajaan

    Gelap dan lembap, lorong bawah tanah yang dilewati Saraswati seakan menelannya dalam kesunyian yang mencekam. Ia bisa mendengar tetesan air dari langit-langit batu yang kasar, menciptakan suara berulang yang menggema di sepanjang terowongan sempit. Dinding di sekelilingnya terasa dingin dan licin, seolah-olah telah menyimpan rahasia yang tak terhitung jumlahnya selama berabad-abad.Ia tidak tahu sudah berapa lama ia berjalan. Kakinya terasa semakin berat, dan udara di dalam lorong semakin tipis, membuatnya sulit bernapas. Namun, ia tidak bisa berhenti. Setiap langkah yang ia ambil menjauhkannya dari istana, dari cengkeraman mereka yang telah menipunya seumur hidupnya. Lalu, di ujung lorong, samar-samar terlihat cahaya redup.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status