Dalam setiap zaman dan peradaban, selalu ada kisah tentang kekuasaan, tentang pengkhianatan, tentang takdir yang tampaknya sudah ditentukan sejak awal, dan tentang orang-orang yang berani menentang jalan hidup yang telah digariskan bagi mereka. Kisah dalam halaman-halaman ini adalah salah satunya—kisah tentang seorang gadis yang tumbuh dalam keterasingan, hanya untuk menyadari bahwa dunia yang selama ini ia kenal adalah fatamorgana, sebuah kebohongan besar yang telah dirancang jauh sebelum ia dilahirkan.
Ketika pertama kali membayangkan dunia Tirta Mandala, saya ingin menciptakan sebuah kerajaan yang tidak hanya hidup dalam imajinasi, tetapi juga berdiri di atas landasan sejarah, politik, dan pergolakan batin yang kompleks. Negeri ini bukanlah tempat yang sederhana—kekuasaan tidak dimiliki oleh satu sosok yang duduk di takhta, melainkan dimainkan oleh banyak tangan yang tersembunyi dalam bayang-bayang. Di dunia ini, takdir bukan sekadar warisan, melainkan sesuatu yang bisa dipertanyakan, dilawan, bahkan ditolak—meskipun dengan risiko besar.
Dalam menulis kisah Saraswati, saya tidak hanya ingin menceritakan perjalanan seorang wanita muda dalam menemukan jati dirinya. Saya juga ingin menyelami pertanyaan-pertanyaan besar: Apa makna menjadi pemimpin? Apa harga dari kebenaran? Apakah pengorbanan adalah jalan satu-satunya untuk perubahan? Haruskah seseorang selalu mengikuti jejak leluhurnya, ataukah ia berhak menentukan jalan hidupnya sendiri?
Saraswati bukanlah sosok pahlawan sempurna. Ia adalah seorang manusia biasa yang dilemparkan ke dalam pusaran konflik dan kebohongan. Ia harus belajar membedakan antara sekutu dan musuh, antara cinta sejati dan pengkhianatan, antara keberanian dan kebodohan. Ia membuat kesalahan, meragukan dirinya sendiri, dan terkadang hampir menyerah. Tapi justru dalam kegagalannya itu ia menjadi hidup—ia menjadi nyata. Dan saat akhirnya ia mengetahui kebenaran tentang asal-usulnya, ia tidak serta-merta menerima takdir itu begitu saja. Ia mempertanyakan, menimbang, dan memilih jalannya sendiri.
Pilihan-pilihan Saraswati bukanlah hal yang mudah. Apakah ia akan menerima perannya sebagai Sang Cahaya yang diramalkan dalam kitab kuno? Ataukah ia akan menolak dan menempuh jalan baru yang belum pernah dilewati siapa pun sebelumnya? Apakah ia akan membalas dendam kepada mereka yang telah menghancurkan keluarganya, ataukah ia akan mencoba membangun tatanan dunia yang lebih adil tanpa mengulang lingkaran kekerasan yang sama?
Tirta Mandala adalah dunia yang penuh kontradiksi—seperti dunia kita sendiri. Tidak ada karakter yang benar-benar baik atau jahat. Setiap tokoh bertindak berdasarkan keyakinan dan ketakutan mereka sendiri. Raja Adhiraj bukan hanya seorang tiran; ia adalah pemimpin yang percaya bahwa kekerasan dan kontrol adalah satu-satunya cara menjaga kestabilan. Para bangsawan yang mencoba menggulingkan Saraswati bukan hanya pengkhianat; mereka adalah orang-orang yang takut akan perubahan, takut kehilangan kenyamanan yang telah mereka nikmati selama bertahun-tahun.
Dan di tengah semua itu, berdirilah Raka Mahardika—sosok yang menjadi teman, pelindung, dan satu-satunya orang yang benar-benar mengerti Saraswati. Cinta mereka bukanlah kisah yang mudah, karena dunia mereka tidak memberi ruang bagi perasaan pribadi. Ini adalah kisah cinta yang diuji oleh tanggung jawab, politik, dan pilihan yang berat.
Menulis kisah ini adalah sebuah perjalanan yang panjang dan penuh tantangan. Saya ingin membawa pembaca masuk ke dalam dunia yang terasa nyata—dengan istana yang berdesir intrik, aroma dupa dalam upacara kerajaan, dentingan senjata di medan tempur, dan sunyi yang menggema dalam batin seorang pemimpin muda. Namun lebih dari itu, saya ingin kisah ini menjadi cermin bagi kita semua—karena seperti Saraswati, kita pun sering merasa dibelenggu oleh peran dan ekspektasi yang bukan pilihan kita.
Namun selalu ada harapan, selalu ada pilihan. Dan mungkin, seperti Saraswati, kita pun bisa menemukan cahaya di balik bayangan.
Selamat datang di Tirta Mandala. Selamat datang di kisah Saraswati.
Dengan rasa syukur,
A. Rani
Langit Tirta Mandala merona merah keemasan saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Angin lembut berembus melalui menara-menara istana, membawa aroma dupa dan bunga yang masih tersisa dari upacara syukuran yang diadakan siang tadi. Di bawah cahaya yang semakin temaram, ibu kota mulai berdenyut dengan kehidupan barunya—pedagang menutup kios-kios mereka, prajurit berpatroli di jalan-jalan utama, dan rakyat berjalan pulang dengan langkah ringan, membawa harapan akan masa depan yang lebih baik.Namun, di dalam dinding batu yang megah, seorang ratu duduk sendirian di ruang pribadinya, merenungi apa yang telah terjadi dan apa yang masih harus ia hadapi.Saraswati menatap ke luar jendela besar yang menghadap ke kota, kedua tangannya bertumpu di tepian kayu yang diukir dengan motif naga air, lambang kebesaran keluarganya. Rambut hitamnya tergerai, tidak lagi disanggul seperti saat upacara resmi. Ia telah menjalani berbagai pertempuran, baik di medan perang maupun di
Di luar ruang bawah tanah, angin malam berhembus, membawa serta bau tanah yang lembab dan dingin. Di tempat yang berbeda, Saraswati berdiri di balkon istana, menatap ke arah langit gelap yang tidak menjanjikan kedamaian. Di kejauhan, di sudut-sudut bayangan yang belum tersentuh cahaya, musuhnya telah mulai bergerak.Dini hari di Tirta Mandala, kabut masih menggantung rendah di atas atap-atap istana, menciptakan suasana hening yang menegangkan. Di dalam ruangan strateginya, Saraswatiberdiri di depan meja kayu besar yang dipenuhi peta dan dokumen, matanya menelusuri setiap titik yang telah ditandai oleh Raksa dan para penyelidik kerajaan.Di sisinya, Raka berdiri dengan tangan bertumpu pada gagang pedangnya, ekspresinya tegang tetapi tetap penuh kewaspadaan. Ayunda Kira
Ayunda, yang selama ini hanya mendengarkan, akhirnya berbicara lagi. “Kita mulai dari yang paling sederhana. Kita cari tahu siapa saja yang paling diuntungkan dari semua kekacauan ini. Tidak ada konspirasi yang berjalan tanpa motif. Kita ikuti jejaknya, dan kita akan menemukan akar masalahnya.”Saraswati mengangguk setuju. “Aku tidak akan membiarkan bayangan ini terus mengendalikan kerajaanku. Jika mereka berpikir aku akan menjadi ratu yang bisa mereka kendalikan, maka mereka telah keliru.”Keheningan menyelimuti ruangan, tetapi kali ini bukan keheningan ketakutan, melainkan kehe
Fajar menyingsing di atas ibu kota Tirta Mandala, menghamparkan cahaya keemasan yang perlahan merayap melewati menara-menara istana yang megah. Udara masih dipenuhi sisa-sisa aroma dupa dan bunga dari upacara malam sebelumnya, menandai awal dari era baru bagi kerajaan yang telah melalui begitu banyak pertumpahan darah. Di alun-alun utama, ribuan rakyat berkumpul, memenuhi setiap sudut untuk menyaksikan peristiwa yang akan tercatat dalam sejarah.Di tengah kerumunan yang luas, Saraswati berdiri di atas panggung batu yang dikelilingi oleh para pembesar kerajaan, prajurit, dan rakyat yang menunggu dengan harapan bercampur kewaspadaan. Jubah kebesarannya menjuntai megah, tenunannya berwarna biru laut dengan sulaman emas yang melambangkan kejayaan Tirta Mandala. Sebuah mahkota perak, yang lebih sederhana dari yang dikenakan raja-raja sebelumnya, bertengger di kepalanya. Ia memilihnya dengan sengaja—bukan s
Saraswati merasakan dadanya menghangat oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Ia ingin mempercayai kata-kata itu, ingin percaya bahwa ia bisa memiliki keduanya—cinta dan kerajaan, hati dan takhta. Tetapi di lubuk hatinya, ia tahu bahwa dunia tidak pernah begitu murah hati.Ia menarik napas dalam, lalu mengangguk. “Terima kasih, Raka,” katanya pelan. “Untuk segalanya.”Mereka berdiri di sana dalam keheningan, membiarkan angin malam menjadi satu-satunya saksi dari janji yang tidak terucapkan.Di hutan lebat yang jauh dari perkemahan Saraswati, Adhiraj duduk di dalam tendanya, menunggu dengan sabar. Cahaya lentera yang redup menerangi wajahnya, memperlihatkan tatapan tajam yang penuh dengan rencana.Di hadapannya, seorang prajurit berpakaian serba hitam berlutut, mela
Malam semakin larut, tetapi keheningan yang melingkupi perkemahan terasa semakin pekat. Saraswati berdiri dalam pikirannya yang kalut, menimbang beban yang kini ia pikul di kedua bahunya—beban seorang pemimpin dan beban seorang perempuan yang dihadapkan pada pilihan antara hatinya dan tanggung jawabnya. Di satu sisi, ia tahu bahwa Raka telah menjadi seseorang yang lebih dari sekadar pelindung baginya. Ia adalah sahabat, pendamping, dan satu-satunya orang yang bisa memahami dirinya di balik gelar dan takhta yang kini ia sandang. Namun, di sisi lain, cinta bukanlah sesuatu yang bisa ia genggam tanpa konsekuensi.Saraswati memandangi langit yang bertabur bintang, mencoba menemukan jawaban