Share

Darah dan Takdir
Darah dan Takdir
Author: A. Rani

Prakata

Author: A. Rani
last update Huling Na-update: 2025-05-30 23:57:15

Dalam setiap zaman dan peradaban, selalu ada kisah tentang kekuasaan, tentang pengkhianatan, tentang takdir yang tampaknya sudah ditentukan sejak awal, dan tentang orang-orang yang berani menentang jalan hidup yang telah digariskan bagi mereka. Kisah dalam halaman-halaman ini adalah salah satunya—kisah tentang seorang gadis yang tumbuh dalam keterasingan, hanya untuk menyadari bahwa dunia yang selama ini ia kenal adalah fatamorgana, sebuah kebohongan besar yang telah dirancang jauh sebelum ia dilahirkan.

Ketika pertama kali membayangkan dunia Tirta Mandala, saya ingin menciptakan sebuah kerajaan yang tidak hanya hidup dalam imajinasi, tetapi juga berdiri di atas landasan sejarah, politik, dan pergolakan batin yang kompleks. Negeri ini bukanlah tempat yang sederhana—kekuasaan tidak dimiliki oleh satu sosok yang duduk di takhta, melainkan dimainkan oleh banyak tangan yang tersembunyi dalam bayang-bayang. Di dunia ini, takdir bukan sekadar warisan, melainkan sesuatu yang bisa dipertanyakan, dilawan, bahkan ditolak—meskipun dengan risiko besar.

Dalam menulis kisah Saraswati, saya tidak hanya ingin menceritakan perjalanan seorang wanita muda dalam menemukan jati dirinya. Saya juga ingin menyelami pertanyaan-pertanyaan besar: Apa makna menjadi pemimpin? Apa harga dari kebenaran? Apakah pengorbanan adalah jalan satu-satunya untuk perubahan? Haruskah seseorang selalu mengikuti jejak leluhurnya, ataukah ia berhak menentukan jalan hidupnya sendiri?

Saraswati bukanlah sosok pahlawan sempurna. Ia adalah seorang manusia biasa yang dilemparkan ke dalam pusaran konflik dan kebohongan. Ia harus belajar membedakan antara sekutu dan musuh, antara cinta sejati dan pengkhianatan, antara keberanian dan kebodohan. Ia membuat kesalahan, meragukan dirinya sendiri, dan terkadang hampir menyerah. Tapi justru dalam kegagalannya itu ia menjadi hidup—ia menjadi nyata. Dan saat akhirnya ia mengetahui kebenaran tentang asal-usulnya, ia tidak serta-merta menerima takdir itu begitu saja. Ia mempertanyakan, menimbang, dan memilih jalannya sendiri.

Pilihan-pilihan Saraswati bukanlah hal yang mudah. Apakah ia akan menerima perannya sebagai Sang Cahaya yang diramalkan dalam kitab kuno? Ataukah ia akan menolak dan menempuh jalan baru yang belum pernah dilewati siapa pun sebelumnya? Apakah ia akan membalas dendam kepada mereka yang telah menghancurkan keluarganya, ataukah ia akan mencoba membangun tatanan dunia yang lebih adil tanpa mengulang lingkaran kekerasan yang sama?

Tirta Mandala adalah dunia yang penuh kontradiksi—seperti dunia kita sendiri. Tidak ada karakter yang benar-benar baik atau jahat. Setiap tokoh bertindak berdasarkan keyakinan dan ketakutan mereka sendiri. Raja Adhiraj bukan hanya seorang tiran; ia adalah pemimpin yang percaya bahwa kekerasan dan kontrol adalah satu-satunya cara menjaga kestabilan. Para bangsawan yang mencoba menggulingkan Saraswati bukan hanya pengkhianat; mereka adalah orang-orang yang takut akan perubahan, takut kehilangan kenyamanan yang telah mereka nikmati selama bertahun-tahun.

Dan di tengah semua itu, berdirilah Raka Mahardika—sosok yang menjadi teman, pelindung, dan satu-satunya orang yang benar-benar mengerti Saraswati. Cinta mereka bukanlah kisah yang mudah, karena dunia mereka tidak memberi ruang bagi perasaan pribadi. Ini adalah kisah cinta yang diuji oleh tanggung jawab, politik, dan pilihan yang berat.

Menulis kisah ini adalah sebuah perjalanan yang panjang dan penuh tantangan. Saya ingin membawa pembaca masuk ke dalam dunia yang terasa nyata—dengan istana yang berdesir intrik, aroma dupa dalam upacara kerajaan, dentingan senjata di medan tempur, dan sunyi yang menggema dalam batin seorang pemimpin muda. Namun lebih dari itu, saya ingin kisah ini menjadi cermin bagi kita semua—karena seperti Saraswati, kita pun sering merasa dibelenggu oleh peran dan ekspektasi yang bukan pilihan kita.

Namun selalu ada harapan, selalu ada pilihan. Dan mungkin, seperti Saraswati, kita pun bisa menemukan cahaya di balik bayangan.

Selamat datang di Tirta Mandala. Selamat datang di kisah Saraswati.

Dengan rasa syukur,
A. Rani

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Darah dan Takdir   Epilog

    Langit Tirta Mandala merona merah keemasan saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Angin lembut berembus melalui menara-menara istana, membawa aroma dupa dan bunga yang masih tersisa dari upacara syukuran yang diadakan siang tadi. Di bawah cahaya yang semakin temaram, ibu kota mulai berdenyut dengan kehidupan barunya—pedagang menutup kios-kios mereka, prajurit berpatroli di jalan-jalan utama, dan rakyat berjalan pulang dengan langkah ringan, membawa harapan akan masa depan yang lebih baik.Namun, di dalam dinding batu yang megah, seorang ratu duduk sendirian di ruang pribadinya, merenungi apa yang telah terjadi dan apa yang masih harus ia hadapi.Saraswati menatap ke luar jendela besar yang menghadap ke kota, kedua tangannya bertumpu di tepian kayu yang diukir dengan motif naga air, lambang kebesaran keluarganya. Rambut hitamnya tergerai, tidak lagi disanggul seperti saat upacara resmi. Ia telah menjalani berbagai pertempuran, baik di medan perang maupun di dalam istana, tetapi h

  • Darah dan Takdir   Bab 20: Awal Baru

    Fajar menyingsing di atas ibu kota Tirta Mandala, menghamparkan cahaya keemasan yang perlahan merayap melewati menara-menara istana yang megah. Udara masih dipenuhi sisa-sisa aroma dupa dan bunga dari upacara malam sebelumnya, menandai awal dari era baru bagi kerajaan yang telah melalui begitu banyak pertumpahan darah. Di alun-alun utama, ribuan rakyat berkumpul, memenuhi setiap sudut untuk menyaksikan peristiwa yang akan tercatat dalam sejarah.Di tengah kerumunan yang luas, Saraswati berdiri di atas panggung batu yang dikelilingi oleh para pembesar kerajaan, prajurit, dan rakyat yang menunggu dengan harapan bercampur kewaspadaan. Jubah kebesarannya menjuntai megah, tenunannya berwarna biru laut dengan sulaman emas yang melambangkan kejayaan Tirta Mandala. Sebuah mahkota perak, yang lebih sederhana dari yang dikenakan raja-raja sebelumnya, bertengger di kepalanya. Ia memilihnya dengan sengaja—bukan sebagai simbol kekuasaan mutlak, tetapi sebagai tanda bahwa kepemimpinannya bukan tent

  • Darah dan Takdir   Bab 19: Raka dan Sari

    Langit senja membentang di atas perkemahan mereka, menyapu cakrawala dengan warna merah keemasan yang perlahan memudar ke dalam kegelapan malam. Di kejauhan, suara angin menerpa dedaunan hutan, berbisik di antara pepohonan seolah membawa pesan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang hatinya gelisah.Saraswati berdiri di tepi perkemahan, matanya menatap ke arah lembah yang terbentang di hadapannya. Mereka telah berkemah di sana selama dua malam sejak meninggalkan ibu kota, mengikuti jejak Adhiraj yang semakin sulit dilacak. Meskipun ia yakin mereka berada di jalur yang benar, ada sesuatu yang lebih berat yang menghimpit dadanya—sesuatu yang bukan berasal dari peperangan atau takhta, tetapi dari sesuatu yang jauh lebih dalam.Langkah kaki yang ia kenali dengan mudah terdengar di belakangnya. Raka mendekat, membiarkan kehadirannya terasa sebelum akhirnya berdiri di sampingnya. Lelaki itu telah bersamanya sejak awal, sejak ia masih terkurung di dalam istana, dan kini mereka berdiri di t

  • Darah dan Takdir   Bab 18: Pilihan yang Sulit

    Dingin fajar menyelimuti ibu kota Tirta Mandala ketika kabut sisa peperangan mulai perlahan menghilang. Bangunan-bangunan yang hancur menjadi saksi bisu dari pertempuran besar yang baru saja berakhir. Di alun-alun utama, rakyat berkumpul dalam diam, menanti kepastian tentang masa depan yang telah mereka perjuangkan dengan darah dan air mata.Saraswati berdiri di puncak tangga istana, mengenakan pakaian perang yang masih ternoda debu dan darah. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya tetap tajam. Hari ini bukan tentang kemenangan, melainkan tentang keputusan yang akan mengubah jalan sejarah.Di hadapannya, Raja duduk di singgasana yang tidak lagi miliknya. Tangannya terikat di belakang kursi yang pernah menjadi simbol absolut kekuasaan. Meskipun dikalahkan, sorot matanya tetap tajam, seolah ia masih memiliki kendali atas apa yang terjadi. Di sampingnya, Adhiraj berdiri dalam diam, wajahnya penuh luka dan kebencian, tetapi tanpa perlawanan.Saraswati menatap ayahnya lama, merasakan begitu ban

  • Darah dan Takdir   Bab 17: Perang Besar

    Langit di atas ibu kota Tirta Mandala berubah kelam, seakan merespons perang besar yang kini melanda setiap sudut kota. Asap membubung dari bangunan-bangunan yang terbakar, suara dentingan pedang beradu dan teriakan kematian bergema di sepanjang jalan berbatu. Rakyat yang selama ini terbelenggu oleh ketakutan kini bangkit, mencabut senjata seadanya—parang, tongkat, dan obor—dan bertempur melawan pasukan kerajaan.Saraswati berdiri di atas tembok barat istana, napasnya berat setelah pertempuran yang tak kunjung usai. Di bawahnya, lautan manusia bertempur sengit, dan di dalam istana sendiri, peperangan masih berlangsung di setiap lorong dan aula megah.Ia menoleh ke arah Raka yang berdiri di sampingnya, pedang pria itu sudah ternoda darah, dan wajahnya penuh goresan. “Kita tidak bisa bertahan lebih lama,” kata Raka, suaranya penuh ketegangan. “Pasukan kerajaan masih lebih kuat. Jika bala bantuan tidak datang, kita akan terkepung.”Saraswati mengeratkan genggaman pada gagang pedangnya. “

  • Darah dan Takdir   Bab 16: Konfrontasi dengan Sang Raja

    Angin dingin berembus membawa aroma tanah yang basah setelah hujan semalam. Pasukan pemberontak bergerak dalam senyap, menyusuri jalan setapak yang menuju ibu kota, Tirta Mandala. Langkah-langkah mereka penuh kehati-hatian, menyatu dengan bayangan pepohonan yang tinggi. Saraswati menunggangi kudanya di barisan depan, matanya tajam menatap ke depan, sementara jubah gelapnya berkibar diterpa angin.Dari puncak bukit, benteng megah ibu kota mulai terlihat di kejauhan. Cahaya obor di menara-menara penjaga tampak seperti bintang-bintang redup yang mengambang di udara malam. Tirta Mandala berdiri kokoh, sebuah kota yang selama ini hanya ia kenal sebagai penjara berlapis emas, tetapi malam ini ia kembali, bukan sebagai gadis yang dikurung dalam istana, melainkan sebagai pemimpin pemberontakan yang menuntut haknya.Raka berada di sampingnya, tangannya tetap dekat dengan gagang pedangnya, siap menghadapi kemungkinan terburuk. “Mereka sudah tahu kita akan datang,” katanya lirih, suara beratnya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status