Share

Dari Budak Menjadi Bencana
Dari Budak Menjadi Bencana
Author: Ghoos book

Bab 1

Author: Ghoos book
last update Last Updated: 2025-09-30 21:49:39

Kematianku di Bumi tidak dramatis.

Tidak ada truk trailler, tidak ada petir menyambar, tidak ada pertarungan heroik melawan preman. Hanya sebungkus nasi campur yang sudah basi, diberikan oleh seorang nenak yang mungkin merasa kasihan melihatku mengais sisa-sisa sayur di tempat sampah belakang warung. Keracunan makanan. Tubuhku, yang sudah lemah oleh kelaparan dan putus asa, menyerah begitu saja di sebuah gang kumuh.

Aku, Wa Lang, mati dengan nama yang sama hina dan terlupakannya di Bumi.

Lalu aku terbangun.

Dan neraka yang baru ini jauh, jauh lebih menyakitkan.

Rasa sakit yang pertama adalah bau. Amonia menyengat bercampur dengan aroma besi berkarat dan sesuatu yang manis yang membuatku mual—seperti daging busuk yang direndam dalam madu. Bau itu menusuk langsung ke otak.

Kedua adalah suara. Dentaman logam berirama yang bergema, diselingi erangan dan, sesekali, teriakan pendek yang tiba-tiba terputus.

Yang ketiga adalah rasa. Debu dan kotoran yang memenuhi mulutku. Aku terbaring tengkurap di atas tanah lembab dan berbatu.

Dengan susah payah, aku mendorong tubuhku yang terasa asing—lebih muda, tapi sangat lemah—hingga bisa duduk. Sekelilingku gelap, hanya diterangi oleh cahaya kemerahan samar dari kristal-kristal aneh yang menempel di dinding gua batu. Udara terasa berat dan penuh dengan partikel debu halus yang berkilauan merah.

"Loh, yang ini bangun?" suara kasar menggema.

Seorang lelaki bertubuh besar, berpakaian compang-camping dan penuh keringat, berdiri di depan sebuah pintu besi. Bukan penjaga. Dia adalah budak, seperti kami, tapi sikapnya seperti algojo. Tangannya memegang sebuah tongkat besi.

"Dasar pemalas. Baru sehari kerja langsung pingsan," gerutnya, mendekat. Dia tidak berbicara padaku, tapi pada seorang budak lain yang lebih tua, yang wajahnya hampa dan matanya kosong.

"Tua Bangka, urus dia. Kalau besok belum bisa kerja, laporkan ke Pengawas. Biar dijadikan pupuk lebih awal."

Orang yang disebut Tua Bangka itu hanya mengangguk pelan, tanpa ekspresi.

Si Budak Kepala itu pergi, meninggalkan kami.

Aku mencoba berdiri, tapi kakiku gemetar. Tubuhku serasa bukan milikku sendiri. Tua Bangka itu mendekat dan memberiku segelas air keruh.

"Minum," katanya, suaranya parau seperti batu yang saling bergesekan.

"Di... di mana ini?" tanyaku, suaraku serak. Pengetahuanku sebagai orang modern—fisika, kimia, semua teori itu—terasa sangat tidak berguna di depan realitas primitif dan menyiksa ini.

Tua Bangka itu memandangku dengan tatapan kosong. "Tambang Jiwa Berdarah, Sektor 9. Clan Pengabdi Setan." Dia berkata seperti sedang membacakan kalimat hukuman mati. "Kita adalah pupuk."

"P-Pupuk?"

Dia tidak menjawab. Sebaliknya, dia menunjuk ke sebuah terowongan di seberang ruang tempat kami berkumpul. Dari sana, keluar dua orang budak yang menarik sebuah gerobak kayu. Di atas gerobak itu terbaring seorang lelaki muda. Tubuhnya masih utuh, tapi ada sesuatu yang sangat salah.

Wajahnya pucat bagai lilin, matanya terbuka lebar dan kosong. Tidak ada cahaya kehidupan di dalamnya. Tapi yang paling mengerikan adalah dari pori-pori kulitnya, memancar cahaya keemasan samar, seperti kabut tipis yang tertiup angin menuju akar-akar tanaman aneh yang menjalar di dinding gua. Tanaman-tanaman itu, saat menyerap kabut keemasan itu, seolah berdenyut dan memancarkan cahaya yang lebih terang.

"Jiwa dan spiritualnya diserap untuk menyuburkan 'Nirnroot' itu," bisik Tua Bangka, suaranya datar. "Dia sudah kering. Sekarang tubuhnya akan dibawa ke Ruang Rendah, untuk dijadikan bahan baku yang lain."

Aku terduduk lumpuh, rasa mual yang sebelumnya tertahan kini membanjir. Mereka menggunakan orang sebagai pupuk! Pikiran modernku memberontak. Ini melampaui semua kekejaman yang pernah kubayangkan.

"Kenapa... kenapa kita tidak melawan?" desisku, suara yang penuh keputusasaan dari kehidupan lamaku merayap kembali.

Tua Bangka itu memalingkan wajahnya yang berkerut ke arahku. Untuk pertama kalinya, ada sedikit emosi di matanya: ironi yang pahit.

"Lawan?" Dia menyentuh dadanya sendiri, tepat di ulu hati. "Kau belum merasakannya, ya? 'Bibit' itu."

Saat dia menyebutkannya, aku baru menyadari adanya sensasi aneh di perutku. Sebuah titik dingin, seperti es yang menyala, bersemayam tepat di bawah pusarku. Itu terasa asing, parasitik, dan... lapar.

"Itu adalah 'Bibit Kegelapan' yang ditanam Clan di Dantian kita," jelas Tua Bangka. "Ia akan tumbuh, memakan spiritual kita sedikit demi sedikit. Dalam sepuluh hari, jika kita tidak mendapatkan 'Nutrisi' dari Pengawas, ia akan mulai memakan jiwa kita. Dan ketika kita mati, atau dianggap tidak berguna, Bibit itu dipanen. Ia adalah buah yang matang, penuh dengan energi yang telah ia rampas dari kita."

Dadaku sesak. Ini bukan sekadar perbudakan. Ini adalah peternakan. Kami adalah hewan ternak yang dibesarkan untuk sebuah panen.

Tiba-tiba, si Budak Kepala kembali, kali ini dengan dua orang lain. Wajahnya berkerang melihatku.

"Dasar sampah. Sudah bangun, cepet berdiri! Ada pekerjaan kotor yang harus diselesaikan."

Dia dan anak buahnya menyeretku ke sebuah ruang samping yang lebih kecil. Di sana, ada sebuah saluran pembuangan yang tersumbat oleh lumpur kental berwarna ungu kehitaman. Bau busuk yang menusuk berasal dari sana.

"Bersihkan. Dengan tanganmu," perintah Budak Kepala itu, menyeringai. "Lumpur 'Spirit-Clog' itu bisa membakar kulit, tapi kau kan sudah punya 'Bibit', pasti tahan lama."

Dia mendorongku ke depan. Lututku nyaris menyentuh lumpur itu. Aku bisa merasakan hawa panas dan korosif yang dipancarkannya.

Ini gila, pikirku, otakku yang modern berputar kencang. Aku baru saja mati, dan sekarang aku akan mati lagi dengan cara yang lebih mengerikan?

Tapi sesuatu dalam diriku, mungkin sisa-sisa insting survival dari hidupku yang menyedihkan di Bumi, atau mungkin keputusasaan yang lebih dalam, membuatku menatap lumpur itu.

Lumpur. Unsur dasar yang paling dihindari semua orang.

Tapi... lumpur juga bisa dimanipulasi.

Pengetahuanku yang terbatas tentang kimia dasar berputar di kepalaku. Lumpur yang panas, mungkin bersifat basa atau asam kuat. Jika ada sesuatu yang bisa menetralisir...

Mataku menyapu ruangan, dan melihat tumpukan pecahan batu yang mengandung mineral berwarna keputihan di sudut. Kalsium karbonat? Kapur? Itu bisa menetralisir asam.

Ini adalah tebakan. Taruhan nyawa yang pertama.

Dengan suara yang lebih berani dari yang kurasakan, aku berkata, "Aku butuh batu-batu putih itu. Itu akan membuat pekerjaan lebih cepat."

Budak Kepala itu tertawa terbahak-bahak. "Dengar itu, dia mau negosiasi! Pikirkan ini kantormu, orang Bumi?!"

Orang Bumi. Mereka tahu.

Tapi yang mengejutkan, Tua Bangka yang diam di pintu, tiba-tiba berjalan dan mulai mengumpulkan batu-batu putih itu tanpa sepatah kata pun. Dia meletakkannya di sampingku.

Aku mengambil beberapa, menghancurkannya dengan batu yang lebih besar menjadi serpihan halus, lalu dengan hati-hati menaburkannya ke tepian lumpur ungu itu.

Sssssst!

Uap putih mengepul, dan bau busuk itu sedikit berkurang. Lumpur di tepian mengeras dan tidak lagi mengeluarkan hawa panas.

Budak Kepala itu berhenti tertawa. Tatapannya berubah dari ejekan menjadi keheranan, lalu menjadi sesuatu yang lebih dalam—kecurigaan.

Aku mengambil napas dalam-dalam. Tebakanku benar. Pengetahuan Bumi-ku berfungsi.

Tapi sebelum aku bisa merasa lega, Budak Kepala itu mendekat, mendorong Tua Bangka hingga terjatuh.

"Dasar budak licik," geramnya, mendekatkan wajahnya ke wajahku. Napasnya bau. "Apa trikmu?"

"Bukan trik," jawabku, berusaha tenang. "Hanya... logika."

Dia mencengkeram kerah bajuku yang compang-camping. "Kau pikir kau lebih pintar? Kau pikir kau spesial?" Dia mendorongku keras, hingga punggungku membentur dinding batu yang kasar. "Di sini, kau cuma pupuk. Besok, kau akan kutugaskan di Terowongan Beracun. Akan kulihat seberapa panjang umur 'logika'-mu di sana."

Dia pergi, meninggalkan aku sendirian di ruangan itu, tubuhku sakit, dan rasa dingin dari "Bibit" di perutku terasa semakin menggigit.

Aku memandangi saluran yang sebagian sudah bersih. Aku telah memenangkan pertempuran kecil, tapi mungkin baru saja mendatangkan perang yang lebih besar.

Di dunia ini, akal sehatku mungkin adalah satu-satunya senjataku. Tapi di tempat di mana kekuatan adalah segalanya, menjadi "pintar" bisa menjadi hal paling berbahaya.

Aku, Wa Lang, si belalang dari Bumi, telah selangkah lagi dari menjadi pupuk. Dan satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan belajar menggigit balik.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Budak Menjadi Bencana   bab 7

    Pikiranku, yang tadi berkabut oleh rasa lapar, tiba-tiba menjadi sangat jernih. Dingin itu, entah bagaimana, mempertajam inderaku. Aku bisa mendengar bisikan udara dari lorong yang jauh, melihat butiran debu yang beterbangan dalam cahaya redup dengan kejelasan yang menakjubkan. Itu seperti otakku dicelupkan ke dalam air es."Bibit"-ku akhirnya berhasil. Dia menemukan cara memecah esensi jamur itu. Energi dingin yang halus itu diuraikan, disaring, dan diserap. Rasa beku yang menyakitkan itu berangsur reda, digantikan oleh perasaan kenyang yang bersih. Berbeda dengan kepuasan berat dari Spirit Ore, ini seperti minum air jernih setelah kehausan sepanjang hari. Lapar spiritualku mereda, dan pikiranku tetap tajam, waspada.Aku membuka mata yang tidak kusadari terpejam. Aku masih hidup. Bahkan lebih dari itu—aku merasa... baik. Lebih baik daripada setelah menyerap Spirit Ore.Tua Bangka mengamati dari sudutnya, dan untuk pertama kalinya, kurasa melihat sedikit anggukan penghormatan."Kau be

  • Dari Budak Menjadi Bencana   Bab 6

    Tiga hari.Tiga hari sejak "matahari" kecil di perutku membangunkan aku dengan rasa lapar yang menggerogoti. Bukan lapar perut biasa, tapi sensasi mengerikan seperti seluruh sel tubuhku merengek untuk diisi bahan bakar. Kantong kulit berisi Spirit Ore dari Pengawas Yan sudah kosong sejak kemarin. Sekarang, yang tersisa hanya kekosongan yang menusuk.Aku berjongkok di sudut lorong tambang yang sepi, mencoba mengatur napas. Setiap tarikan udara terasa seperti menyedot sisa-sisa energiku. Penglihatanku sedikit berkunang-kunang. "Bibit"-ku, yang sebelumnya hangat dan berdenyut penuh tenaga, sekarang terasa seperti bara yang padam, dingin tapi masih menyimpan sisa kepedihan yang menusuk.Makan...Bukan suara. Bukan kata. Tapi sebuah desakan primitif yang muncul dari inti keberadaanku. Sebuah insting buta yang mendesakku untuk mencari, mengambil, menelan. Apapun."Lihat dia," sebuah suara mencemooh dari lorong. Borok. Dia berdiri dengan dua budak barunya—dua orang yang tak kukenal, dengan m

  • Dari Budak Menjadi Bencana   Bab 5

    "Matahari" kecil di perutku itu adalah seorang tiran.Dia tidak lagi hanya diam dan dingin, atau sekadar berdenyut lemah. Sekarang, dia adalah pusat dari segala hal. Setiap napas, setiap detak jantung, terasa seperti mengorbit pada kehangatannya yang menggigit. Kekuatan yang kurasakan usai menghancurkan Spirit Ore itu belum juga reda. Otot-ototku tegang, penuh dengan energi yang tidak bisa kutumpahkan. Pikiranku jernih, tajam, tapi di balik kejernihan itu ada desisan halus—bisikan dari sang tiran.Lapar.Kata itu bukan lagi sebuah perasaan. Itu adalah sebuah perintah yang terpatri di setiap sel tubuhku.Tua Bangka memandangiku dari seberang sel, matanya seperti dua lubang hitam di wajahnya yang keriput. "Dia bangun, dan sekarang kau harus memberinya makan. Atau dia akan memakanmu dari dalam." Ucapannya bukan ramalan, tapi pernyataan fakta, seperti menyebut bahwa air itu basah.Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap tanganku yang hangus. Kulitnya menghitam dan mengelupas, tapi di bawahn

  • Dari Budak Menjadi Bencana   Bab 4

    Kegelapan di lorong galian baru ini lebih pekat, lebih personal. Udara berdebu dan sesak, seolah dinding batu itu sendiri yang bernafas dengan berat di sekeliling kami. Bunyi pickaxe dan sekop bergema hampa, diselingi erangan sesekali. Tidak ada yang berbicara. Bahasa di sini adalah bahasa tatapan penuh dendam yang ditujukan padaku.Borok menugaskanku di ujung lorong, area yang paling rawan. Atapnya rendah, ditopang oleh kayu-kayu penyangga yang sudah reyot dan berderak menahan beban. Butiran-butiran kerikil kecil sesekali berhamburan dari atas, seperti tetesan hujan sebelum badai longsor."Gali di sini, 'Jenius'," perintah Borok, menunjuk ke sebuah bidang batu yang keras. "Konon, ada urat 'Spirit Ore' berkualitas di baliknya. Keluarkan."Dia dan kedua anak buahnya tidak pergi. Mereka hanya mundur beberapa langkah, bersandar di dinding, menonton. Aku tahu apa yang mereka tunggu. Mereka menunggu atap itu runtuh menimpaku.Tarik napas. Fokus.Aku mengambil beliung dan mulai memukul batu

  • Dari Budak Menjadi Bencana   Bab 3

    Rasa hangat di ulu hati itu tidak kunjung hilang.Berbeda dengan dinginnya lantai sel dan hawa putus asa yang menggigiti tulang. "Bibit Kegelapan"-ku, yang kemarin hanya seperti bongkahan es, sekarang terasa seperti bara kecil yang tertidur. Setiap kali napasku sedikit terengah—kenangan akan uap hijau beracun itu—bara itu seakan berdenyut lemah, merespons sesuatu.Aku tidak bisa tidur. Peringatan Tua Bangka bergema di kepalaku. "Koleksi." Kata itu jauh lebih menakutkan daripada ancaman kasar Borok. Seorang kolektor menginginkan benda yang terpelihara, bukan manusia yang bebas. Apa yang diinginkan Pengawas Yan dariku? Apakah dia ingin mempelajari "tebakanku" sampai habis, lalu membuangku ketika aku tidak lagi berguna?Sirine batu berbunyi lagi. Hari kedua di neraka.Borok sendiri yang membukakan selku, wajahnya keruh seperti langit sebelum badai. "Ayo, 'jenius'. Pengawas Yan menunggumu." Dia menyeringai, tapi ada rasa was-was di balik ejekannya. Aku telah menjadi variabel yang tidak te

  • Dari Budak Menjadi Bencana   Bab 2

    Tidak ada matahari yang terbit di Tambang Jiwa Berdarah. Hanya sirine batu bergetar yang memancarkan cahaya merah menyala, menandakan awal hari kerja yang baru—atau bagi kami, perpanjangan hukuman.Tubuhku masih pegal dan memar setelah benturan dengan dinding batu. Tapi rasa sakit itu tenggelam oleh dinginnya kematian yang menjalar dari ulu hatiku. "Bibit Kegelapan". Sekarang aku menyadari kehadirannya sepanjang waktu, seperti tumor ganas yang perlahan-lahan menghisap esensi diriku."Kau."Suara itu seperti gergaji besi.Budak Kepala—yang kuketahui namanya Borok—sudah berdiri di depan sel berjaringan besi kami. Tangannya memegang semacam papan kayu tipis."Wa Lang. Terowongan Beracun. Sektor 4. Pembersihan saluran utama." Dia menyemburkan kata-kata itu dengan senyum puas. Beberapa budak lain yang mendengar, mengerang simpati atau justru menarik diri, berharap tidak jadi sasaran berikutnya.Tua Bangka, yang tidur di sudut sel, membuka satu matanya. Ada seberkas peringatan di dalamnya se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status