Share

Bab 2

Author: Ghoos book
last update Last Updated: 2025-09-30 21:50:05

Tidak ada matahari yang terbit di Tambang Jiwa Berdarah. Hanya sirine batu bergetar yang memancarkan cahaya merah menyala, menandakan awal hari kerja yang baru—atau bagi kami, perpanjangan hukuman.

Tubuhku masih pegal dan memar setelah benturan dengan dinding batu. Tapi rasa sakit itu tenggelam oleh dinginnya kematian yang menjalar dari ulu hatiku. "Bibit Kegelapan". Sekarang aku menyadari kehadirannya sepanjang waktu, seperti tumor ganas yang perlahan-lahan menghisap esensi diriku.

"Kau."

Suara itu seperti gergaji besi.Budak Kepala—yang kuketahui namanya Borok—sudah berdiri di depan sel berjaringan besi kami. Tangannya memegang semacam papan kayu tipis.

"Wa Lang. Terowongan Beracun. Sektor 4. Pembersihan saluran utama." Dia menyemburkan kata-kata itu dengan senyum puas. Beberapa budak lain yang mendengar, mengerang simpati atau justru menarik diri, berharap tidak jadi sasaran berikutnya.

Tua Bangka, yang tidur di sudut sel, membuka satu matanya. Ada seberkas peringatan di dalamnya sebelum dia memalingkan muka.

Aku dipaksa berdiri dan diarak melewati terowongan yang semakin menurun. Udara berubah semakin pengap dan basah. Bau yang sebelumnya menyengat, kini berubah menjadi aroma metalik yang menusuk hidung, seperti tembaga dan sulfur yang tercampur. Aku merasa pusing setelah menghirupnya beberapa kali.

Terowongan Beracun.

Namanya tidak berlebihan.

Sektor 4 adalah sebuah gua besar dengan langit-langit rendah. Di tengahnya, mengalir selokan lebar berisi lumpur kental berwarna hijau neon yang mendidih perlahan. Gelembung-gelembung gas beracun meletup di permukaannya, memecah kepulan uap kehijauan yang membuat mata perih. Beberapa tubuh budak yang sudah menghitam dan kaku tergeletak di tepian, menjadi peringatan mengerikan bagi yang lain.

Tugasku: membersihkan pipa batu tersumbat di hulu selokan, menggunakan sekop tua dan ember yang sudah karatan. Tidak ada alat pelindung. Hanya kain compang-camping yang membungkus wajah, yang jelas tidak berguna melawan racun di udara.

"Semoga 'Bibit'-mu cepat matang, sampah," geram Borok sebelum meninggalkanku, bersama dengan seorang pengawas Clan yang berdiri jauh di pintu masuk, tak peduli.

Aku berdiri terpaku, menatap neraka hijau di depan mataku. Ketakutan membekukan darahku. Ini adalah eksekusi yang disamarkan sebagai tugas.

Tarik napas. Pikirkan.

Suara dari kepalaku sendiri,sisa-sisa nalar manusia Bumi, berusaha menembus kepanikan.

Lumpur hijau neon. Mendidih tanpa api jelas. Uap logam. Kemungkinan besar mengandung tembaga sulfat atau senyawa arsenik... atau campuran spiritual yang tidak dikenal sama sekali.

Pengetahuan kimiaku terbatas. Tapi aku ingat satu prinsip: racun seringkali bisa dinetralisir. Atau setidaknya, diencerkan.

Mataku menyisir sekeliling gua. Ada aliran air kecil yang menetes dari celah batu di dinding, jauh dari selokan racun. Air itu jernih. Itu satu titik terang.

Lalu, ada tanaman. Tumbuhan paku-pakuan aneh yang tumbuh di daerah paling beracun, dekat dengan uap. Mereka berwarna ungu tua dan tampak makmur. Hiperakumulator? Tumbuhan yang justru menyukai racun dan menyerapnya ke dalam jaringannya? Di Bumi, ada tumbuhan seperti itu untuk logam berat.

Sebuah rencana gila, nekat, dan sangat berisiko mulai terbentuk di kepalaku.

Aku tidak akan membersihkan apa pun. Bukan dengan cara mereka.

Aku mengambil ember dan mengisinya dengan air jernih dari tetesan di dinding. Kemudian, dengan sekop, aku dengan hati-hati mengambil beberapa tanaman paku ungu itu, memastikan untuk mengambil akarnya. Aku merendamnya di dalam ember berisi air, menghancurkannya dengan sekop hingga airnya berubah menjadi ungu keruh.

Aku tidak tahu apa yang kulakukan. Ini hanya tebakan berdasarkan observasi sepintas. Tapi ini lebih baik daripada mati menghirup racun.

Dengan kain yang sudah dibasahi air biasa, aku menutup hidung dan mulutku lebih rapat, lalu mendekati pipa yang tersumbat. Alih-alih langsung mengorek, aku menuangkan air ungu hasil rendaman tanaman itu ke sekitar area penyumbatan.

Ssssss—

Uap hijau yang keluar dari lumpur mendesis saat bersentuhan dengan cairan unguku. Aroma logamnya berkurang, digantikan oleh bau tanah yang apek. Itu bekerja! Tumbuhan itu mengandung sesuatu yang bisa menetralisir racun, atau setidaknya mengendapkannya.

Dengan sedikit lebih berani, aku mulai mengorek penyumbatan itu, sesekali menuangkan "ramuan" buatanku untuk menekan uap beracun. Pekerjaannya lambat, melelahkan, dan menegangkan. Setiap tarikan napas adalah permainan roulette. Tapi aku masih hidup.

Di tengah pekerjaan, aku merasakan sesuatu yang aneh. "Bibit Kegelapan" di perutku, yang biasanya hanya diam dan dingin, tiba-tiba berdenyut lemah. Seperti ada aliran energi hangat yang samar, berasal dari... uap racun yang sudah dinetralisir?

Apakah Bibit ini... menyerap sesuatu?

Tiba-tiba, sebuah bayangan jatuh menutupiku.

Bukan Borok.

Ini adalah Pengawas Clan yang berdiri di pintu tadi. Dia seorang pria dengan mata tajam dan tatapan dingin yang membuatku membeku. Seragam hitamnya kontras dengan compang-campingku.

Dia tidak berbicara. Hanya mengamati sekeliling gua. Matanya berhenti pada ember berisi cairan unguku, lalu pada tanaman paku yang sudah kucabut, dan akhirnya pada pipa yang mulai lancar kembali—tanpa aku keracunan atau jatuh pingsan.

Lalu, matanya menatapku. Bukan kemarahan atau kekerasan yang kulihat, tapi sesuatu yang lebih berbahaya: rasa ingin tahu.

Dia mendekat, langkahnya senyap. Aku berusaha untuk tidak gemetar.

"Dari mana kau tahu trik itu?" suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi penuh wibawa.

Otakku berputar kencang. Mengaku dari Bumi? Gila. Mereka akan menganggapku monster atau bahan eksperimen.

"Saya...memperhatikan tanaman itu, Tuan," jawabku, berusaha merendah. "Mereka tumbuh subur di tempat beracun. Saya pikir, mungkin mereka bisa menahan racun. Hanya tebakan."

"Tebakan," ucapnya, meniruku. Sebuah senyum tipis, tidak hangat, muncul di bibirnya. "Tebakan yang berhasil mempertahankan nyawa 'pupuk' selama tiga jam di Terowongan Beracun. Lebih lama dari yang lain."

Dia memungut sebatang tanaman paku yang kutinggalkan.

"Namamu?"

"Wa Lang,Tuan."

"Wa Lang,"ujarnya, seperti mencicipi kata itu. "Si Belalang. Nama yang cocok. Kau gigih dan mengganggu."

Dia melemparkan tanaman itu ke lumpur racun.

"Besok,kau kembali ke sini. Akan ada lebih banyak saluran yang tersumbat. 'Tebakan'-mu akan diuji lagi."

Dia berbalik dan pergi, meninggalkanku sendirian di gua beracun, dengan jantung berdebar kencang dan satu realisasi yang menakutkan.

Aku telah berhasil bertahan. Aku telah menarik perhatian.

Dan di dunia ini, perhatian adalah pedang bermata dua. Bisa menjadi tiket untuk keluar dari lubang ini, atau pisau yang akan menyembelihku lebih cepat.

Aku memandangi "Bibit Kegelapan" di perutku. Rasanya... tidak lagi sesedikit sebelumnya. Apakah tadi ia benar-benar menyerap sesuatu? Apakah netralisasi racun itu memberiku... nutrisi?

Jika iya, ini adalah penemuan yang berbahaya. Karena itu berarti, untuk bertahan hidup dan mungkin menjadi kuat, aku harus bermain-main dengan racun yang bisa membunuhku kapan saja.

Perjalanan pulang ke sel terasa seperti mimpi buruk. Borok memandangiku dengan mata terbakar, heran sekaligus marah karena aku masih hidup. Tua Bangka, untuk pertama kalinya, benar-benar menatapku ketika aku masuk. Tatapannya penuh pertanyaan yang dalam.

"Kau hidup," bisiknya, sebuah pernyataan yang terdengar seperti accusation.

Aku hanya mengangguk, terlalu lelah untuk berbicara.

Dia mendekat, suaranya begitu rendah hingga hampir tidak terdengar. "Hati-hati dengan Pengawas Yan. Dia tidak seperti yang lain. Dia mengumpulkan... hal-hal aneh. Budak-budak yang bertahan lebih lama dari seharusnya adalah koleksinya."

Duduk di sudut sel yang dingin, aku menyadari sesuatu. Pertempuran hari ini bukanlah melawan racun atau Borok.

Ini adalah pertempuran pertama dalam perang yang jauh lebih besar. Perang untuk menjaga agar "logika"-ku tidak menjadi alasan kematianku yang berikutnya.

Dan "Bibit Kegelapan" di perutku, yang sekarang terasa sedikit lebih hangat, mungkin adalah senjata rahasia sekaligus algojo yang menungguku.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Budak Menjadi Bencana   bab 7

    Pikiranku, yang tadi berkabut oleh rasa lapar, tiba-tiba menjadi sangat jernih. Dingin itu, entah bagaimana, mempertajam inderaku. Aku bisa mendengar bisikan udara dari lorong yang jauh, melihat butiran debu yang beterbangan dalam cahaya redup dengan kejelasan yang menakjubkan. Itu seperti otakku dicelupkan ke dalam air es."Bibit"-ku akhirnya berhasil. Dia menemukan cara memecah esensi jamur itu. Energi dingin yang halus itu diuraikan, disaring, dan diserap. Rasa beku yang menyakitkan itu berangsur reda, digantikan oleh perasaan kenyang yang bersih. Berbeda dengan kepuasan berat dari Spirit Ore, ini seperti minum air jernih setelah kehausan sepanjang hari. Lapar spiritualku mereda, dan pikiranku tetap tajam, waspada.Aku membuka mata yang tidak kusadari terpejam. Aku masih hidup. Bahkan lebih dari itu—aku merasa... baik. Lebih baik daripada setelah menyerap Spirit Ore.Tua Bangka mengamati dari sudutnya, dan untuk pertama kalinya, kurasa melihat sedikit anggukan penghormatan."Kau be

  • Dari Budak Menjadi Bencana   Bab 6

    Tiga hari.Tiga hari sejak "matahari" kecil di perutku membangunkan aku dengan rasa lapar yang menggerogoti. Bukan lapar perut biasa, tapi sensasi mengerikan seperti seluruh sel tubuhku merengek untuk diisi bahan bakar. Kantong kulit berisi Spirit Ore dari Pengawas Yan sudah kosong sejak kemarin. Sekarang, yang tersisa hanya kekosongan yang menusuk.Aku berjongkok di sudut lorong tambang yang sepi, mencoba mengatur napas. Setiap tarikan udara terasa seperti menyedot sisa-sisa energiku. Penglihatanku sedikit berkunang-kunang. "Bibit"-ku, yang sebelumnya hangat dan berdenyut penuh tenaga, sekarang terasa seperti bara yang padam, dingin tapi masih menyimpan sisa kepedihan yang menusuk.Makan...Bukan suara. Bukan kata. Tapi sebuah desakan primitif yang muncul dari inti keberadaanku. Sebuah insting buta yang mendesakku untuk mencari, mengambil, menelan. Apapun."Lihat dia," sebuah suara mencemooh dari lorong. Borok. Dia berdiri dengan dua budak barunya—dua orang yang tak kukenal, dengan m

  • Dari Budak Menjadi Bencana   Bab 5

    "Matahari" kecil di perutku itu adalah seorang tiran.Dia tidak lagi hanya diam dan dingin, atau sekadar berdenyut lemah. Sekarang, dia adalah pusat dari segala hal. Setiap napas, setiap detak jantung, terasa seperti mengorbit pada kehangatannya yang menggigit. Kekuatan yang kurasakan usai menghancurkan Spirit Ore itu belum juga reda. Otot-ototku tegang, penuh dengan energi yang tidak bisa kutumpahkan. Pikiranku jernih, tajam, tapi di balik kejernihan itu ada desisan halus—bisikan dari sang tiran.Lapar.Kata itu bukan lagi sebuah perasaan. Itu adalah sebuah perintah yang terpatri di setiap sel tubuhku.Tua Bangka memandangiku dari seberang sel, matanya seperti dua lubang hitam di wajahnya yang keriput. "Dia bangun, dan sekarang kau harus memberinya makan. Atau dia akan memakanmu dari dalam." Ucapannya bukan ramalan, tapi pernyataan fakta, seperti menyebut bahwa air itu basah.Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap tanganku yang hangus. Kulitnya menghitam dan mengelupas, tapi di bawahn

  • Dari Budak Menjadi Bencana   Bab 4

    Kegelapan di lorong galian baru ini lebih pekat, lebih personal. Udara berdebu dan sesak, seolah dinding batu itu sendiri yang bernafas dengan berat di sekeliling kami. Bunyi pickaxe dan sekop bergema hampa, diselingi erangan sesekali. Tidak ada yang berbicara. Bahasa di sini adalah bahasa tatapan penuh dendam yang ditujukan padaku.Borok menugaskanku di ujung lorong, area yang paling rawan. Atapnya rendah, ditopang oleh kayu-kayu penyangga yang sudah reyot dan berderak menahan beban. Butiran-butiran kerikil kecil sesekali berhamburan dari atas, seperti tetesan hujan sebelum badai longsor."Gali di sini, 'Jenius'," perintah Borok, menunjuk ke sebuah bidang batu yang keras. "Konon, ada urat 'Spirit Ore' berkualitas di baliknya. Keluarkan."Dia dan kedua anak buahnya tidak pergi. Mereka hanya mundur beberapa langkah, bersandar di dinding, menonton. Aku tahu apa yang mereka tunggu. Mereka menunggu atap itu runtuh menimpaku.Tarik napas. Fokus.Aku mengambil beliung dan mulai memukul batu

  • Dari Budak Menjadi Bencana   Bab 3

    Rasa hangat di ulu hati itu tidak kunjung hilang.Berbeda dengan dinginnya lantai sel dan hawa putus asa yang menggigiti tulang. "Bibit Kegelapan"-ku, yang kemarin hanya seperti bongkahan es, sekarang terasa seperti bara kecil yang tertidur. Setiap kali napasku sedikit terengah—kenangan akan uap hijau beracun itu—bara itu seakan berdenyut lemah, merespons sesuatu.Aku tidak bisa tidur. Peringatan Tua Bangka bergema di kepalaku. "Koleksi." Kata itu jauh lebih menakutkan daripada ancaman kasar Borok. Seorang kolektor menginginkan benda yang terpelihara, bukan manusia yang bebas. Apa yang diinginkan Pengawas Yan dariku? Apakah dia ingin mempelajari "tebakanku" sampai habis, lalu membuangku ketika aku tidak lagi berguna?Sirine batu berbunyi lagi. Hari kedua di neraka.Borok sendiri yang membukakan selku, wajahnya keruh seperti langit sebelum badai. "Ayo, 'jenius'. Pengawas Yan menunggumu." Dia menyeringai, tapi ada rasa was-was di balik ejekannya. Aku telah menjadi variabel yang tidak te

  • Dari Budak Menjadi Bencana   Bab 2

    Tidak ada matahari yang terbit di Tambang Jiwa Berdarah. Hanya sirine batu bergetar yang memancarkan cahaya merah menyala, menandakan awal hari kerja yang baru—atau bagi kami, perpanjangan hukuman.Tubuhku masih pegal dan memar setelah benturan dengan dinding batu. Tapi rasa sakit itu tenggelam oleh dinginnya kematian yang menjalar dari ulu hatiku. "Bibit Kegelapan". Sekarang aku menyadari kehadirannya sepanjang waktu, seperti tumor ganas yang perlahan-lahan menghisap esensi diriku."Kau."Suara itu seperti gergaji besi.Budak Kepala—yang kuketahui namanya Borok—sudah berdiri di depan sel berjaringan besi kami. Tangannya memegang semacam papan kayu tipis."Wa Lang. Terowongan Beracun. Sektor 4. Pembersihan saluran utama." Dia menyemburkan kata-kata itu dengan senyum puas. Beberapa budak lain yang mendengar, mengerang simpati atau justru menarik diri, berharap tidak jadi sasaran berikutnya.Tua Bangka, yang tidur di sudut sel, membuka satu matanya. Ada seberkas peringatan di dalamnya se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status