LOGINTidak ada matahari yang terbit di Tambang Jiwa Berdarah. Hanya sirine batu bergetar yang memancarkan cahaya merah menyala, menandakan awal hari kerja yang baru—atau bagi kami, perpanjangan hukuman.
Tubuhku masih pegal dan memar setelah benturan dengan dinding batu. Tapi rasa sakit itu tenggelam oleh dinginnya kematian yang menjalar dari ulu hatiku. "Bibit Kegelapan". Sekarang aku menyadari kehadirannya sepanjang waktu, seperti tumor ganas yang perlahan-lahan menghisap esensi diriku. "Kau." Suara itu seperti gergaji besi.Budak Kepala—yang kuketahui namanya Borok—sudah berdiri di depan sel berjaringan besi kami. Tangannya memegang semacam papan kayu tipis. "Wa Lang. Terowongan Beracun. Sektor 4. Pembersihan saluran utama." Dia menyemburkan kata-kata itu dengan senyum puas. Beberapa budak lain yang mendengar, mengerang simpati atau justru menarik diri, berharap tidak jadi sasaran berikutnya. Tua Bangka, yang tidur di sudut sel, membuka satu matanya. Ada seberkas peringatan di dalamnya sebelum dia memalingkan muka. Aku dipaksa berdiri dan diarak melewati terowongan yang semakin menurun. Udara berubah semakin pengap dan basah. Bau yang sebelumnya menyengat, kini berubah menjadi aroma metalik yang menusuk hidung, seperti tembaga dan sulfur yang tercampur. Aku merasa pusing setelah menghirupnya beberapa kali. Terowongan Beracun. Namanya tidak berlebihan. Sektor 4 adalah sebuah gua besar dengan langit-langit rendah. Di tengahnya, mengalir selokan lebar berisi lumpur kental berwarna hijau neon yang mendidih perlahan. Gelembung-gelembung gas beracun meletup di permukaannya, memecah kepulan uap kehijauan yang membuat mata perih. Beberapa tubuh budak yang sudah menghitam dan kaku tergeletak di tepian, menjadi peringatan mengerikan bagi yang lain. Tugasku: membersihkan pipa batu tersumbat di hulu selokan, menggunakan sekop tua dan ember yang sudah karatan. Tidak ada alat pelindung. Hanya kain compang-camping yang membungkus wajah, yang jelas tidak berguna melawan racun di udara. "Semoga 'Bibit'-mu cepat matang, sampah," geram Borok sebelum meninggalkanku, bersama dengan seorang pengawas Clan yang berdiri jauh di pintu masuk, tak peduli. Aku berdiri terpaku, menatap neraka hijau di depan mataku. Ketakutan membekukan darahku. Ini adalah eksekusi yang disamarkan sebagai tugas. Tarik napas. Pikirkan. Suara dari kepalaku sendiri,sisa-sisa nalar manusia Bumi, berusaha menembus kepanikan. Lumpur hijau neon. Mendidih tanpa api jelas. Uap logam. Kemungkinan besar mengandung tembaga sulfat atau senyawa arsenik... atau campuran spiritual yang tidak dikenal sama sekali. Pengetahuan kimiaku terbatas. Tapi aku ingat satu prinsip: racun seringkali bisa dinetralisir. Atau setidaknya, diencerkan. Mataku menyisir sekeliling gua. Ada aliran air kecil yang menetes dari celah batu di dinding, jauh dari selokan racun. Air itu jernih. Itu satu titik terang. Lalu, ada tanaman. Tumbuhan paku-pakuan aneh yang tumbuh di daerah paling beracun, dekat dengan uap. Mereka berwarna ungu tua dan tampak makmur. Hiperakumulator? Tumbuhan yang justru menyukai racun dan menyerapnya ke dalam jaringannya? Di Bumi, ada tumbuhan seperti itu untuk logam berat. Sebuah rencana gila, nekat, dan sangat berisiko mulai terbentuk di kepalaku. Aku tidak akan membersihkan apa pun. Bukan dengan cara mereka. Aku mengambil ember dan mengisinya dengan air jernih dari tetesan di dinding. Kemudian, dengan sekop, aku dengan hati-hati mengambil beberapa tanaman paku ungu itu, memastikan untuk mengambil akarnya. Aku merendamnya di dalam ember berisi air, menghancurkannya dengan sekop hingga airnya berubah menjadi ungu keruh. Aku tidak tahu apa yang kulakukan. Ini hanya tebakan berdasarkan observasi sepintas. Tapi ini lebih baik daripada mati menghirup racun. Dengan kain yang sudah dibasahi air biasa, aku menutup hidung dan mulutku lebih rapat, lalu mendekati pipa yang tersumbat. Alih-alih langsung mengorek, aku menuangkan air ungu hasil rendaman tanaman itu ke sekitar area penyumbatan. Ssssss— Uap hijau yang keluar dari lumpur mendesis saat bersentuhan dengan cairan unguku. Aroma logamnya berkurang, digantikan oleh bau tanah yang apek. Itu bekerja! Tumbuhan itu mengandung sesuatu yang bisa menetralisir racun, atau setidaknya mengendapkannya. Dengan sedikit lebih berani, aku mulai mengorek penyumbatan itu, sesekali menuangkan "ramuan" buatanku untuk menekan uap beracun. Pekerjaannya lambat, melelahkan, dan menegangkan. Setiap tarikan napas adalah permainan roulette. Tapi aku masih hidup. Di tengah pekerjaan, aku merasakan sesuatu yang aneh. "Bibit Kegelapan" di perutku, yang biasanya hanya diam dan dingin, tiba-tiba berdenyut lemah. Seperti ada aliran energi hangat yang samar, berasal dari... uap racun yang sudah dinetralisir? Apakah Bibit ini... menyerap sesuatu? Tiba-tiba, sebuah bayangan jatuh menutupiku. Bukan Borok. Ini adalah Pengawas Clan yang berdiri di pintu tadi. Dia seorang pria dengan mata tajam dan tatapan dingin yang membuatku membeku. Seragam hitamnya kontras dengan compang-campingku. Dia tidak berbicara. Hanya mengamati sekeliling gua. Matanya berhenti pada ember berisi cairan unguku, lalu pada tanaman paku yang sudah kucabut, dan akhirnya pada pipa yang mulai lancar kembali—tanpa aku keracunan atau jatuh pingsan. Lalu, matanya menatapku. Bukan kemarahan atau kekerasan yang kulihat, tapi sesuatu yang lebih berbahaya: rasa ingin tahu. Dia mendekat, langkahnya senyap. Aku berusaha untuk tidak gemetar. "Dari mana kau tahu trik itu?" suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi penuh wibawa. Otakku berputar kencang. Mengaku dari Bumi? Gila. Mereka akan menganggapku monster atau bahan eksperimen. "Saya...memperhatikan tanaman itu, Tuan," jawabku, berusaha merendah. "Mereka tumbuh subur di tempat beracun. Saya pikir, mungkin mereka bisa menahan racun. Hanya tebakan." "Tebakan," ucapnya, meniruku. Sebuah senyum tipis, tidak hangat, muncul di bibirnya. "Tebakan yang berhasil mempertahankan nyawa 'pupuk' selama tiga jam di Terowongan Beracun. Lebih lama dari yang lain." Dia memungut sebatang tanaman paku yang kutinggalkan. "Namamu?" "Wa Lang,Tuan." "Wa Lang,"ujarnya, seperti mencicipi kata itu. "Si Belalang. Nama yang cocok. Kau gigih dan mengganggu." Dia melemparkan tanaman itu ke lumpur racun. "Besok,kau kembali ke sini. Akan ada lebih banyak saluran yang tersumbat. 'Tebakan'-mu akan diuji lagi." Dia berbalik dan pergi, meninggalkanku sendirian di gua beracun, dengan jantung berdebar kencang dan satu realisasi yang menakutkan. Aku telah berhasil bertahan. Aku telah menarik perhatian. Dan di dunia ini, perhatian adalah pedang bermata dua. Bisa menjadi tiket untuk keluar dari lubang ini, atau pisau yang akan menyembelihku lebih cepat. Aku memandangi "Bibit Kegelapan" di perutku. Rasanya... tidak lagi sesedikit sebelumnya. Apakah tadi ia benar-benar menyerap sesuatu? Apakah netralisasi racun itu memberiku... nutrisi? Jika iya, ini adalah penemuan yang berbahaya. Karena itu berarti, untuk bertahan hidup dan mungkin menjadi kuat, aku harus bermain-main dengan racun yang bisa membunuhku kapan saja. Perjalanan pulang ke sel terasa seperti mimpi buruk. Borok memandangiku dengan mata terbakar, heran sekaligus marah karena aku masih hidup. Tua Bangka, untuk pertama kalinya, benar-benar menatapku ketika aku masuk. Tatapannya penuh pertanyaan yang dalam. "Kau hidup," bisiknya, sebuah pernyataan yang terdengar seperti accusation. Aku hanya mengangguk, terlalu lelah untuk berbicara. Dia mendekat, suaranya begitu rendah hingga hampir tidak terdengar. "Hati-hati dengan Pengawas Yan. Dia tidak seperti yang lain. Dia mengumpulkan... hal-hal aneh. Budak-budak yang bertahan lebih lama dari seharusnya adalah koleksinya." Duduk di sudut sel yang dingin, aku menyadari sesuatu. Pertempuran hari ini bukanlah melawan racun atau Borok. Ini adalah pertempuran pertama dalam perang yang jauh lebih besar. Perang untuk menjaga agar "logika"-ku tidak menjadi alasan kematianku yang berikutnya. Dan "Bibit Kegelapan" di perutku, yang sekarang terasa sedikit lebih hangat, mungkin adalah senjata rahasia sekaligus algojo yang menungguku. ---Ketenangan pasca-Festival adalah jenis yang produktif, penuh dengan getaran energi yang fokus dan tenang. Pusaran Penyesalan yang telah berubah menjadi Danau yang Tenang, dan The Silence yang kini menjadi Pengamat, telah membuka lapisan realitas yang sebelumnya tertutup oleh konflik mereka.Yang Terkubur adalah yang pertama merasakannya."Ada... pintu yang terbuka,"bisiknya di dalam kesadaranku, suaranya penuh rasa kagum yang dalam. "Jalur-jalur yang terputus sejak Pemilihan Purba... kini bergetar kembali. Mereka memanggil."Peta realitas kami, yang sebelumnya berfokus pada dimensi-dimensi "yang aktif" dan terhubung melalui jaringan Rhizome, kini menunjukkan titik-titik baru—node-node yang samar dan berusia sangat tua, berkedip seperti bintang yang baru bangun. Ini adalah Dimensi-Dimensi Primordial, tempat asal mula dari banyak kekuatan dan ras, termasuk kemungkinan asal usul Yang Terkubur sendiri."Energinya sangat stabil, namun sangat berbeda," lapor Feng, menganalisis data dari sal
Kembali dari tepian ketiadaan terasa seperti terlahir kembali. Setiap sensasi—desis udara yang disaring melalui kristal ruang komando, berat tubuhku sendiri, bahkan kelelahan mental yang mendalam—terasa begitu tajam dan berharga. Untuk beberapa saat, kami, Kolektif Lima, hanya duduk dalam kesunyian, menikmati kemewahan sederhana berupa menjadi ada.Perubahan di realitas terasa segera. "Laporan dari semua sektor," ucap Feng, suaranya untuk pertama kali dalam kurun waktu yang lama terdengar hampir lega. "Anomali 'penolakan' telah berhenti total. Jejak Air Mata di kolam pusat... bersinar lebih terang dari sebelumnya."Memang benar. Kolam Jejak Air Mata kini memancarkan kelembutan yang hangat, bukan kesedihan yang menusuk. Seolah-olah dengan berdamainya Sang Penjaga dan diamnya Sang Bayangan, luka kosmis itu akhirnya mulai sembuh dengan benar.Tapi pencapaian terbesar datang beberapa hari kemudian.Seorang sejarawan Mycelia, yang sebelumnya gagal mengingat nama pendiri kerajaannya, tiba-t
Danau Penyesalan yang kini tenang bukanlah kemenangan mutlak. Itu adalah gencatan senjata yang rapuh, sebuah luka yang akhirnya berhenti berdarah namun belum sepenuhnya sembuh. Energinya yang dahulu histeris kini berubah menjadi dukacita yang dalam dan hening, bagai sebuah nisan raksasa bagi sebuah pilihan yang mustahil. Getarannya masih terasa di seluruh realitas yang terhubung, tapi kini lebih mirip detak jantung yang sedih daripada jeritan kematian. Namun, dengan tenangnya Danau Penyesalan, sesuatu yang lain justru bangkit. "Laporkan anomali baru," suara Feng terdengar di pusat komando, datar namun mengandung ketegangan. "Bukan penghapusan memori. Ini... sesuatu yang lain. Seperti 'penolakan'." Laporan-laporan serupa berdatangan dari para Penjaga di berbagai dimensi. Di wilayah-wilayah yang sebelumnya terjangkit Amnesia, di mana ingatan telah dipulihkan, kini muncul fenomena aneh. Benda-benda membuang bayangannya sendiri. Suara kehilangan gaungnya. Cermin tidak lagi memantulkan
Visi figur di atas singgasana yang hancur membekas dalam di kesadaran kolektif kami. Itu bukan lagi sekadar ancaman abstrak bernama "Pusaran Penyesalan", tetapi sebuah pribadi dengan narasi tragis. Sebuah jiwa yang terperangkap dalam pilihan mengerikan yang telah mendefinisikan seluruh keberadaannya. "Figur itu... dia bukan sekadar korban," gumam Feng, memproyeksikan rekaman visi kami untuk dianalisis lebih lanjut oleh timnya. "Dia adalah sumbernya. Nada dasar yang Yang Terkubur rasakan. Penyesalan pertamanya begitu kuat, begitu mendasar, sehingga menarik dan menyatukan semua penyesalan lain di kosmos." "Seperti ratu lebah di sarang kesedihan," tambah Hong dengan analoginya yang blak-blakan. "Lumpuhkan sang ratu, seluruh sarang akan kacau." "Atau, sembuhkan sang ratu, dan seluruh sarang akan menemukan ketenangan," balas Mei Ling dengan penuh harap. Tapi bagaimana caranya menyembuhkan seorang entitas yang mungkin setua waktu itu sendiri? Seorang "penguasa" yang memilih untuk dihuk
Kemenangan kecil di depan Pusaran Penyesalan hanyalah sebuah jeda. Seperti luka yang terinfeksi, pusaran itu terus menganga, menelan segala ingatan yang mendekat. Tapi aksi kami membuktikan satu hal: ia bisa dilukai. Bukan dengan pedang atau energi murni, tapi dengan pengakuan akan rasa sakit yang menjadi dasarnya.Kolam Jejak Air Mata di Dataran Netral kini menjadi tempat ziarah. Para utusan dari berbagai penjuru realitas datang tidak hanya untuk menyumbang ingatan, tetapi juga untuk menyaksikan dan merasakan sendiri bukti nyata bahwa penyesalan dan pengampunan memiliki kekuatan nyata. Seorang prajurit dari ras yang ganas, setelah menatap kolam itu lama, tiba-tiba menangis tersedu-sedu, mengingat sebuah pembantaian yang ia pimpin berabad-abad lalu dan belum pernah ia akui. Air matanya, penuh dengan beban yang akhirnya diakui, menetes ke kolam dan menciptakan Jejak Air Mata baru yang bersinar terang.Namun, Feng, si Analis, tidak puas hanya dengan reaksi emosional."Emosi saja tidak c
Proyek Akar berjalan dengan laju yang menakjubkan, didorong oleh rasa urgensi kolektif yang hampir teraba. Rhizome Network bangsa Mycelia tumbuh seperti jamur di musim hujan, menjalar melintasi batas-batas dimensi, menciptakan kanvas penyimpanan memori yang hidup dan bernapas. Setiap hari, ribuan—bahkan puluhan ribu—ingatan dari berbagai ras "ditanam" ke dalam jaringan ini. Aku bisa merasakannya, sebuah permadani energi yang semakin kaya dan kompleks, menenun dirinya sendiri di bawah permukaan realitas.Namun, pekerjaan kami baru dimulai. Algoritma "Pemulihan Memori" Feng brilian dalam teori, tetapi dalam praktiknya, ia seperti mencoba menyusun kembali sebuah lukisan uap air yang indah dari bekas-basahnya saja. Jejak energi yang tertinggal samar dan sulit dipahami.Suatu sore, kami berkumpul di ruang kontrol utama, memantau upaya pemulihan salah satu gulungan yang dikosongkan di Aula Memori—catatan tentang "Perjanjian Mata Air Pertama" antara Kedalaman Harmoni dan sebuah ras gunung be







