Rasa hangat di ulu hati itu tidak kunjung hilang.
Berbeda dengan dinginnya lantai sel dan hawa putus asa yang menggigiti tulang. "Bibit Kegelapan"-ku, yang kemarin hanya seperti bongkahan es, sekarang terasa seperti bara kecil yang tertidur. Setiap kali napasku sedikit terengah—kenangan akan uap hijau beracun itu—bara itu seakan berdenyut lemah, merespons sesuatu. Aku tidak bisa tidur. Peringatan Tua Bangka bergema di kepalaku. "Koleksi." Kata itu jauh lebih menakutkan daripada ancaman kasar Borok. Seorang kolektor menginginkan benda yang terpelihara, bukan manusia yang bebas. Apa yang diinginkan Pengawas Yan dariku? Apakah dia ingin mempelajari "tebakanku" sampai habis, lalu membuangku ketika aku tidak lagi berguna? Sirine batu berbunyi lagi. Hari kedua di neraka. Borok sendiri yang membukakan selku, wajahnya keruh seperti langit sebelum badai. "Ayo, 'jenius'. Pengawas Yan menunggumu." Dia menyeringai, tapi ada rasa was-was di balik ejekannya. Aku telah menjadi variabel yang tidak terduga dalam dunianya yang sederhana: kekerasan dan kepatuhan buta. Aku diantar bukan ke Terowongan Beracun, tapi ke sebuah ruangan batu kecil yang melekat pada pos penjagaan utama. Ini bukan sel. Ada meja dan kursi kayu kasar, dan di dinding tergantung peta tambang yang digambar pada kulit hewan. Sebuah kemewahan yang tak terbayangkan. Pengawas Yan duduk di belakang meja. Di depannya, terdapat beberapa lembar daun perkamen dan sebuah mangkuk batu berisi cairan bening yang memancarkan aura dingin. "Duduk," katanya, tanpa mengangkat kepala. Tangannya menulis sesuatu dengan kuas halus. Aku duduk, merasa sangat tidak pantas di kursi ini. Pakaianku yang kotor dan tubuhku yang bau kontras dengan kesan teratur di ruangan ini. "Laporan Borok menyebutkan kau membersihkan 70% saluran Sektor 4, dengan tingkat keracunan minimal. Sebuah rekor untuk budak baru," ujarnya, masih menulis. "Jelaskan prosesnya. Langkah demi langkah." Ini adalah ujian. Lebih menakutkan daripada menghadapi selokan racun. Aku menarik napas. "Saya melihat tanaman paku ungu itu tumbuh di area paling beracun, Tuan. Logika saya... mereka harus memiliki cara untuk bertahan. Mungkin dengan menyerap atau mengubah racun tersebut. Saya coba rendam mereka dalam air bersih, untuk menarik 'zat' yang menetralisir itu ke dalam air. Lalu, saya gunakan air itu untuk menekan uap racun sebelum bekerja." Dia akhirnya mengangkat kepalanya. Matanya yang tajam menatapku, seolah mencoba menguliti tengkorakku dan melihat isi pikiranku. "'Zat'? 'Logika'?" Dia menyeringai, tapi ada kilat minat di matanya. "Kau tidak berbicara seperti budak tambang. Kau bahkan tidak berbicara seperti petani atau pengrajin. Kau menggunakan kata-kata seperti... scholar yang gagal." Daduku sesak. Dia terlalu pintar. "Di... desa saya dulu, ada seorang tabib tua, Tuan," aku berbohong, mencoba menutupi aksen Bumiku yang mungkin terbawa. "Dia sering bercerita tentang tanaman dan racun." Pengawas Yan mendecakkan lidah, tahu aku berbohong tapi memilih untuk tidak mengejar. Dia menggeser mangkuk batu berisi cairan itu ke depanku. "Ini adalah 'Air Spirit Murni'. Sangat berharga. Minum." Perintah itu langsung. Aku bingung. Mengapa memberiku sesuatu yang berharga? "Tuan?" "Bibit Kegelapan-mu. Apakah terasa berbeda sejak kemarin?" tanyanya, suaranya datar. Dingin menjalar di tulang belakangku. Dia tahu. Dia tahu segalanya. Dengan gemetar, aku mengambil mangkuk itu dan meneguk isinya. Cairannya tidak memiliki rasa, tapi begitu masuk ke perut, ledakan energi yang sejuk dan jernih menyebar ke seluruh tubuhku. Kelelahan dan rasa sakit di ototku langsung memudar. Dan "Bibit" di ulu hatiku bereaksi. Bara kecil itu menyala, menyerap energi itu dengan lahap, dan untuk sesaat, rasa hangatnya berubah menjadi hangat yang nyaman, mengisi tubuhku yang lemah dengan kekuatan yang belum pernah kurasakan sejak aku tiba di dunia ini. Itu... memabukkan. Aku melihat tanganku. Kotoran dan luka kecil di sana masih ada, tapi rasanya... lebih kuat. "Bibit itu adalah parasit," kata Pengawas Yan, memperhatikan reaksiku dengan cermat. "Tapi seperti parasit mana pun, ia adalah bagian darimu sekarang. Ia memakan spiritualmu, tapi ia juga bisa memberimu kekuatan—jika kau tahu cara memberinya makan." Dia berdiri dan berjalan ke jendela batu, memandang tambang yang suram. "Clan mengajarkan bahwa satu-satunya cara memberi makan Bibit adalah dengan'Nutrisi' yang kami berikan—ekstrak spiritual dari budak yang sudah dipanen. Itu membuat budak bergantung dan patuh." Dia menoleh, matanya berbinar. "Tapi kau...kau memberinya makan dengan cara lain. Dengan menetralisir racun. Kau memberinya energi yang dimurnikan dari kekacauan. Sebuah jalan yang tidak orthodox. Sebuah jalan yang, menurut aturan Clan, adalah bidah." Aku membeku. Bidah berarti kematian. Kematian yang lebih mengerikan daripada menjadi pupuk. "Jangan khawatir," ujarnya, membaca ketakutanku. "Aku tidak tertarik pada orthodoksi. Aku tertarik pada hasil. Kau adalah percobaan yang menarik, Wa Lang. Sebuah belalang yang bisa bernyanyi dengan nada yang tidak biasa. Aku ingin melihat seberapa jauh nyanyianmu bisa membawamu." Dia kembali ke mejanya dan melemparkan sebuah benda padaku. Sebuah pisau kecil yang kusam, tapi cukup tajam untuk memotong. "Tugasmu hari ini bukan di Terowongan Beracun. Tugasmu adalah bertahan hidup di Sektor Pertambangan Biasa. Borok telah menyebarkan kabar bahwa kau adalah 'anak emas' Pengawas. Banyak budak lain yang iri dan benci. Mereka akan mengujimu." Ini lebih buruk dari yang kuduga. Dia tidak hanya mengujikan pengetahuanku, tapi juga kemampuanku untuk bertahan dalam lingkungan yang bermusuhan. Dia sedang menempatkanku di kandang singa, hanya untuk melihat apakah si belalang ini bisa menggigit. "Dan... Bibit-ku?" tanyaku, masih merasakan sisa-sisa energi hangat itu. "Lanjutkan 'percobaan'-mu," jawabnya. "Laporkan setiap perubahan. Itu adalah satu-satunya nilai yang kau miliki bagiku saat ini." Aku diantar keluar oleh seorang penjaga lain. Saat aku melintasi plaza tambang menuju Sektor Pertambangan, tatapan bermusuhan menusukku dari segala arah. Bisikan-bisikan penuh kebencian terdengar. "Dia yang diselamatkan Pengawas Yan..." "Dasar licik..." "Pikirkan dia lebih baik dari kita..." Borok menunggaku di mulut terowongan, dengan dua budak besar di sampingnya. Senyumnya penuh kemenangan. "Selamat datang kembali, 'jenius'," katanya. "Hari ini, kau ada di timku. Kita akan bekerja di area galian baru. Sangat... tidak stabil." Dia menepuk pundakku dengan keras, dan dalam bisikan yang hanya bisa kudengar, dia menggeram, "Aku akan lihat seberapa jauh perlindungan Yan itu menjagamu di dalam sana." Aku mengepalkan tangan, merasakan gagang pisau kecil di saku compang-campingku. "Bibit" di perutku terasa hangat, seakan mengingatkan pada kekuatan yang baru saja kurasakan. Rasa takut masih ada, tapi sekarang, ada sesuatu yang lain: amarah yang dingin. Aku bukan lagi Wa Lang yang putus asa dari Bumi. Aku adalah Wa Lang yang terjebak antara seorang pengawas yang ingin menjadikanku kelinci percobaan dan sesama budak yang ingin menjadikanku korban. Percobaan Pengawas Yan telah dimulai. Dan satu hal yang pasti: baik dia maupun Borok tidak akan menduga "nyanyian" seperti apa yang akan dikumandangkan si belalang ini ketika terpojok. Perjalanan ke dalam galian yang gelap dan sempit terasa seperti berbaris menuju eksekusi. Tapi kali ini, aku tidak akan pergi dengan patuh. Pisau kecil di sakuku dan "Bibit" yang lapar di perutku adalah janji akan itu. ---Pikiranku, yang tadi berkabut oleh rasa lapar, tiba-tiba menjadi sangat jernih. Dingin itu, entah bagaimana, mempertajam inderaku. Aku bisa mendengar bisikan udara dari lorong yang jauh, melihat butiran debu yang beterbangan dalam cahaya redup dengan kejelasan yang menakjubkan. Itu seperti otakku dicelupkan ke dalam air es."Bibit"-ku akhirnya berhasil. Dia menemukan cara memecah esensi jamur itu. Energi dingin yang halus itu diuraikan, disaring, dan diserap. Rasa beku yang menyakitkan itu berangsur reda, digantikan oleh perasaan kenyang yang bersih. Berbeda dengan kepuasan berat dari Spirit Ore, ini seperti minum air jernih setelah kehausan sepanjang hari. Lapar spiritualku mereda, dan pikiranku tetap tajam, waspada.Aku membuka mata yang tidak kusadari terpejam. Aku masih hidup. Bahkan lebih dari itu—aku merasa... baik. Lebih baik daripada setelah menyerap Spirit Ore.Tua Bangka mengamati dari sudutnya, dan untuk pertama kalinya, kurasa melihat sedikit anggukan penghormatan."Kau be
Tiga hari.Tiga hari sejak "matahari" kecil di perutku membangunkan aku dengan rasa lapar yang menggerogoti. Bukan lapar perut biasa, tapi sensasi mengerikan seperti seluruh sel tubuhku merengek untuk diisi bahan bakar. Kantong kulit berisi Spirit Ore dari Pengawas Yan sudah kosong sejak kemarin. Sekarang, yang tersisa hanya kekosongan yang menusuk.Aku berjongkok di sudut lorong tambang yang sepi, mencoba mengatur napas. Setiap tarikan udara terasa seperti menyedot sisa-sisa energiku. Penglihatanku sedikit berkunang-kunang. "Bibit"-ku, yang sebelumnya hangat dan berdenyut penuh tenaga, sekarang terasa seperti bara yang padam, dingin tapi masih menyimpan sisa kepedihan yang menusuk.Makan...Bukan suara. Bukan kata. Tapi sebuah desakan primitif yang muncul dari inti keberadaanku. Sebuah insting buta yang mendesakku untuk mencari, mengambil, menelan. Apapun."Lihat dia," sebuah suara mencemooh dari lorong. Borok. Dia berdiri dengan dua budak barunya—dua orang yang tak kukenal, dengan m
"Matahari" kecil di perutku itu adalah seorang tiran.Dia tidak lagi hanya diam dan dingin, atau sekadar berdenyut lemah. Sekarang, dia adalah pusat dari segala hal. Setiap napas, setiap detak jantung, terasa seperti mengorbit pada kehangatannya yang menggigit. Kekuatan yang kurasakan usai menghancurkan Spirit Ore itu belum juga reda. Otot-ototku tegang, penuh dengan energi yang tidak bisa kutumpahkan. Pikiranku jernih, tajam, tapi di balik kejernihan itu ada desisan halus—bisikan dari sang tiran.Lapar.Kata itu bukan lagi sebuah perasaan. Itu adalah sebuah perintah yang terpatri di setiap sel tubuhku.Tua Bangka memandangiku dari seberang sel, matanya seperti dua lubang hitam di wajahnya yang keriput. "Dia bangun, dan sekarang kau harus memberinya makan. Atau dia akan memakanmu dari dalam." Ucapannya bukan ramalan, tapi pernyataan fakta, seperti menyebut bahwa air itu basah.Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap tanganku yang hangus. Kulitnya menghitam dan mengelupas, tapi di bawahn
Kegelapan di lorong galian baru ini lebih pekat, lebih personal. Udara berdebu dan sesak, seolah dinding batu itu sendiri yang bernafas dengan berat di sekeliling kami. Bunyi pickaxe dan sekop bergema hampa, diselingi erangan sesekali. Tidak ada yang berbicara. Bahasa di sini adalah bahasa tatapan penuh dendam yang ditujukan padaku.Borok menugaskanku di ujung lorong, area yang paling rawan. Atapnya rendah, ditopang oleh kayu-kayu penyangga yang sudah reyot dan berderak menahan beban. Butiran-butiran kerikil kecil sesekali berhamburan dari atas, seperti tetesan hujan sebelum badai longsor."Gali di sini, 'Jenius'," perintah Borok, menunjuk ke sebuah bidang batu yang keras. "Konon, ada urat 'Spirit Ore' berkualitas di baliknya. Keluarkan."Dia dan kedua anak buahnya tidak pergi. Mereka hanya mundur beberapa langkah, bersandar di dinding, menonton. Aku tahu apa yang mereka tunggu. Mereka menunggu atap itu runtuh menimpaku.Tarik napas. Fokus.Aku mengambil beliung dan mulai memukul batu
Rasa hangat di ulu hati itu tidak kunjung hilang.Berbeda dengan dinginnya lantai sel dan hawa putus asa yang menggigiti tulang. "Bibit Kegelapan"-ku, yang kemarin hanya seperti bongkahan es, sekarang terasa seperti bara kecil yang tertidur. Setiap kali napasku sedikit terengah—kenangan akan uap hijau beracun itu—bara itu seakan berdenyut lemah, merespons sesuatu.Aku tidak bisa tidur. Peringatan Tua Bangka bergema di kepalaku. "Koleksi." Kata itu jauh lebih menakutkan daripada ancaman kasar Borok. Seorang kolektor menginginkan benda yang terpelihara, bukan manusia yang bebas. Apa yang diinginkan Pengawas Yan dariku? Apakah dia ingin mempelajari "tebakanku" sampai habis, lalu membuangku ketika aku tidak lagi berguna?Sirine batu berbunyi lagi. Hari kedua di neraka.Borok sendiri yang membukakan selku, wajahnya keruh seperti langit sebelum badai. "Ayo, 'jenius'. Pengawas Yan menunggumu." Dia menyeringai, tapi ada rasa was-was di balik ejekannya. Aku telah menjadi variabel yang tidak te
Tidak ada matahari yang terbit di Tambang Jiwa Berdarah. Hanya sirine batu bergetar yang memancarkan cahaya merah menyala, menandakan awal hari kerja yang baru—atau bagi kami, perpanjangan hukuman.Tubuhku masih pegal dan memar setelah benturan dengan dinding batu. Tapi rasa sakit itu tenggelam oleh dinginnya kematian yang menjalar dari ulu hatiku. "Bibit Kegelapan". Sekarang aku menyadari kehadirannya sepanjang waktu, seperti tumor ganas yang perlahan-lahan menghisap esensi diriku."Kau."Suara itu seperti gergaji besi.Budak Kepala—yang kuketahui namanya Borok—sudah berdiri di depan sel berjaringan besi kami. Tangannya memegang semacam papan kayu tipis."Wa Lang. Terowongan Beracun. Sektor 4. Pembersihan saluran utama." Dia menyemburkan kata-kata itu dengan senyum puas. Beberapa budak lain yang mendengar, mengerang simpati atau justru menarik diri, berharap tidak jadi sasaran berikutnya.Tua Bangka, yang tidur di sudut sel, membuka satu matanya. Ada seberkas peringatan di dalamnya se