Raeshan melangkah dengan langkah berat, jubahnya berlumur darah dan debu. Di belakangnya, barisan tahanan Pasukan Langit diborgol, wajah mereka penuh luka dan pasrah. Sebagian masih remaja. Rakyat biasa, petani, penenun, nelayan. Namun di mata istana, mereka kini tercatat sebagai pengkhianat negara.Raja Varyen duduk tegak di singgasananya, matanya menajam menatap barisan yang dibawa masuk.Di sisi kiri, Menteri Perang berdiri dengan tangan mengepal. Di sebelah kanan, Menteri Dalam Negeri tampak pucat. Ia mengenali beberapa wajah yang ia janjikan perlindungan. Sekarang, mereka akan dijatuhi hukuman mati.“Raeshan, jelaskan. Siapa mereka?” tanya Raja Varyen.“Mereka Pasukan Langit, Ayahanda,” jawab Raeshan datar. “Atau lebih tepatnya, sebagian dari mereka. Mereka menyerang, membunuh, menjarah harta para bangsawan. Termasuk milik Tuan Girell.”Menteri Ekonomi maju, suaranya menahan gugup. “Yang Mulia, sebagian dari mereka bukan prajurit. Mereka rakyat sipil hanya orang-orang desa.”Bebe
Di antara kabut tipis, dua kelompok berdiri saling berjaga di tepi tebing: Pasukan Istana dan Pasukan Langit. Di tengah medan tandus itu, pertukaran akan dilakukan.Elina berdiri dengan tangan terikat, dikelilingi dua prajurit Pasukan Langit. Sekar, di sisi lain, diseret ke depan oleh pengawal istana, tubuhnya lemah dan wajahnya tertutup kain kerudung tipis warna merah marun.“Putri Elina telah dibawa,” ujar seorang pemimpin Pasukan Langit.Raeshan maju, wajahnya pucat dan tegang. Matanya langsung menatap tubuh berselubung di seberang, yang berdiri diam sambil ditopang oleh dua pengawal.“Serahkan dia,” ucapnya lantang, nada suaranya tak menyisakan negosiasi.Pemimpin bertopeng menatap Raeshan tajam, lalu memberi isyarat. Sekar yang tertutup kain merah itu didorong maju.“Kami serahkan Putri Elina. Sekarang, mana upeti yang kau janjikan?”Raeshan mengangkat tangannya, memberi tanda pada pengawal di belakangnya. Dua gerobak besar yang ditutupi kain dibawa ke depan. Begitu kain dibuka,
Tok! Tok! Tok!“Yang Mulia!” Suara Dasman terdengar tergesa, napasnya ngos-ngosan.“Yang Mulia, ini penting!”Raeshan berdiri cepat, membuka pintu dengan ekspresi gelisah. “Apa yang terjadi?”Dasman menunduk cepat. “Tuan Girell… tewas. Rumahnya diserang. Seluruh penjaga, pelayan… semuanya dibantai.”Raeshan terdiam. Wajahnya mengeras. Tapi Dasman belum selesai.“Dan… Selir Elina menghilang. Kami tidak menemukannya di kamarnya. Hakim Zahar bilang dia sempat menitip pesan, hendak mengantar Nona Miranda pulang tadi malam. Namun setelah itu tak ada kabar.”Raeshan mencengkeram sisi pintu. “Elina… ke rumah Girell?”Dasman mengangguk, suaranya pelan, seperti tak ingin menyampaikan kebenaran pahit berikutnya.“Ketika pasukan istana datang, mereka hanya menemukan sisa pembantaian. Tidak ada Putri Elina maupun pelayan pribadinya juga Nona Miranda. Tiga pengawal mereka ditemukan tewas..”Elina.Kenapa ia membiarkannya pergi malam itu? Kenapa ia tertidur di kediaman Liora dan melewatkan semuanya
Liora berjalan perlahan di samping Raeshan, gaunnya berdesir lembut mengikuti gerakan angin pagi.“Kolam itu memang indah, tapi aku lebih suka tempat seperti ini,” bisiknya sambil menatap bunga anggrek liar yang bergelantungan di lengkung batu taman. “Tempat yang tenang dan hanya kita berdua.”Raeshan tak menjawab. Pandangannya kosong menatap air mancur kecil di tengah taman. Liora menyadarinya, namun tetap tersenyum, lalu meraih tubuh Raeshan dalam pelukannya. Raeshan membalas pelukan itu, satu lengannya melingkari bahu Liora tubuhnya hangat, tapi pikirannya jauh.Saat wajah Liora mendekat, nyaris menyentuh pipinya, justru wajah Elina yang terbayang. Elina dengan segala sikap bodoh, ceroboh, nekat, dan jujurnya. Napas Raeshan tercekat. Seketika ia merasa sial, seolah tubuhnya mengkhianati logika.Apa yang sedang ia lakukan?Ia menutup mata sejenak, mencoba mengusir bayangan Elina dan menarik dirinya kembali ke realita.Senyumnya sempat terkembang samar tanpa sadar. “Yang Mulia?” Lior
Istana Azmeria — Esok PagiCahaya matahari pagi menari di permukaan kolam. Airnya kini bening seperti kristal, memantulkan warna-warna batu hias dan daun-daun kecil yang mengambang. Ikan-ikan itu berenang lincah, tampak lebih hidup dari sebelumnya.Di paviliun timur, Elina duduk dengan Miranda dan Sekar sambil pura-pura membaca buku ramuan. Tapi pikirannya tak lepas dari apa yang ia lakukan semalam. Jantungnya masih berdebar-debar mengingat kemungkinan kalau Raeshan melihatnya.Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar dari arah taman. Seorang pelayan istana lewat sambil bergumam kagum.“Kolam di taman indah sekali pagi ini. Siapa yang menghiasnya, ya?”Miranda langsung menoleh semangat. “Iya! Saya lihat semalam lewat jendela. Ada yang menghias pakai batu warna-warni dan tanaman air. Seperti taman peri!”Elina langsung menendang pelan kaki Miranda di bawah meja. Miranda mengerut, bingung.Raeshan tiba-tiba muncul dari balik pilar, seolah mendengar semuanya. “Taman peri?” tanyanya, ali
Istana Azmeria- Paviliun TimurRaeshan melangkah cepat melewati para penjaga, jubahnya mengepak karena langkah tergesa. Wajahnya keras dan sorot matanya gelap. Setiap pelayan yang melihatnya langsung menunduk atau menjauh dengan cemas. Ia menuju paviliun timur kediaman Elina.Ketika pintu paviliun dibuka kasar oleh tangannya, yang terlihat justru bukan kehebohan mencurigakan, melainkan Elina dan Miranda duduk manis di atas tikar tipis. Di depan mereka, beberapa botol kecil cat berwarna-warni dan kuas tipis berserakan. Miranda tertawa kecil sambil menunjukkan jemarinya yang sedang dicat warna biru lembut oleh Elina.Raeshan mematung.“...Apa ini?” suaranya tajam, memecah suasana ringan itu.Elina menoleh pelan, lalu tersenyum sok manis tanpa berdiri. “Yang Mulia. Anda mengejutkanku. Seperti yang Anda lihat, kami hanya bersantai sedikit.”Miranda ikut berdiri, agak tergesa, namun masih tersenyum ceria. “Yang Mulia.Mohon maaf hamba lancang, Putri Elina membantu hamba belajar menghias kuk