Dari kegelapan sudut ruangan, sesosok pria melangkah masuk dengan tenang, sorot matanya tajam seperti pedang yang baru diasah.Kael.Rambut peraknya memantulkan cahaya obor, dan mantel hitamnya bergoyang pelan seiring langkah yang tanpa suara. Tapi aura yang ia bawa membuat udara di ruang kerja Arven terasa sesak dan dingin seketika.Liora menegang. Arven menoleh cepat, tubuhnya refleks menegang. Tapi sebelum salah satu dari mereka sempat berkata apa-apa, Kael sudah angkat suara.“Kau pikir aku peduli pada perselingkuhan kalian?” lanjut Kael, langkahnya mendekat tanpa gentar. “Silakan saling menikam dengan ciuman dan pengkhianatan. Tapi jika kalian menyentuh sehelai rambut Elina saja, aku pastikan tidak ada yang ingat nama kalian lagi di Azmeria.”Liora menatap Kael dengan mata membara. “Kau tak berhak ikut campur…”Kael berhenti tepat di depan mereka. Pandangannya menusuk, tatapan dingin yang tak pernah bisa ditebak.Ia menoleh sejenak ke arah Arven.“Aku yang paling berhak memastika
Hari tepat 1 Tahun Zahira bertahan hidup di Azmeria sebagai Elina.Pagi itu, udara Istana Timur terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis masih melayang di sela-sela pilar batu saat Elina bangun dengan rasa mual yang sulit ia jelaskan.Sekar datang membawa teh herbal seperti biasa, tapi Elina hanya menatap kosong ke dinding, membiarkan uap teh menguap tanpa disentuh.Ketika Sekar keluar, Elina mengambil sebuah kotak kecil dari bawah lantai kamarnya tersembunyi rapi di balik kayu yang dilonggarkan. Di dalamnya tersimpan alat sederhana hasil rakitannya sendiri, berdasarkan ilmu kedokteran dari masa depan yang masih ia ingat detailnya.Ia meneteskan air seninya lalu mencelupkannya menunggu sejenak, lalu melihat dua garis samar terbentuk.Tangannya gemetar.Dua garis.Ia hamil.Elina menutup mulutnya. Tangisnya pecah pelan, bukan karena takut… bukan sepenuhnya karena bahagia. Tapi karena ia tahu, hidupnya akan berubah untuk selamanya.Bayi ini… bukan hanya tanda cinta.Tapi juga bel
Sejak Elina kembali ke istana, Pangeran Raeshan tak pernah jauh dari sisinya.Raeshan yang dulu dikenal sebagai dewa perang tak berperasaan, dan brutal di medan perang kini memeluk seorang wanita dengan lembut, bahkan tak segan membawakan mangkuk air atau merapikan rambut selirnya sendiri.Raeshan juga lebih berempati dan sering tersenyum. Namun tidak semua orang terpesona oleh perubahan itu.Di sisi lain istana, Ratu Amaris semakin meradang. Sejak perdebatan terakhir dengan Raeshan tentang Elina, hatinya terus diselimuti amarah.“Raeshan berubah jadi budak cinta hanya karena seorang wanita rendahan,” gerutunya di depan anak bungsunya, Arven.“Seharusnya Ibu tak heran,” kata Arven sengit. “Kakak ku mulai kehilangan wibawa. Disaat pangeran Kael sibuk bermain politik dan pangeran Aldrick malah larut dalam diskusi dengan para menteri. Raeshan malah sibuk bermain-main.”Kata-kata itu menyulut bara dalam dada Ratu Amaris. Ia tidak akan terima jika anak-anak dari selir Laira menjadi penerus
Setelah menempuh perjalanan panjang, kereta berhenti di pelataran istana. Raeshan turun cepat dari kudanya, membuka pintu, lalu tanpa ragu mengangkat Elina ke dalam pelukannya.Ia membawanya langsung ke istana timur dan menurunkannya hati-hati ke atas ranjang.Begitu Elina duduk, Raeshan berdiri cepat dan berseru ke arah luar, suaranya tegas tapi panik:“Panggil tabib! Dua orang! Yang paling cermat dan paling hebat!”Tak lama kemudian dua tabib istana masuk membawa perlengkapan. Raeshan langsung berdiri menghadang mereka.“Pelan-pelan,” ucapnya, tangannya terangkat seperti menghentikan badai. “Kalau kalian buat selirku meringis sekali saja. Aku akan pastikan kalian tidak akan melihat matahari terbit lagi.”Kedua tabib itu menelan ludah gugup, lalu mengangguk cepat.Elina terkekeh pelan. “Yang Mulia…”Namun Raeshan tidak memedulikan tatapan geli itu. Ia malah mencondongkan badan ke sisi ranjang dan membetulkan selimut Elina dengan ekspresi serius yang lucu.“Kalau sakit, langsung bilan
Kael mengusap kening Elina dengan lembut. Matanya sembab, tapi sorotnya tetap tenang seperti danau dalam yang menyembunyikan badai di dasarnya. Di tengah suara hujan dan napas berat Elina, ia menunduk, menyentuhkan dahinya ke tangan perempuan itu, memastikan suhu tubuhnya.Ketika jemari Elina akhirnya bergerak lemah, Kael langsung menegakkan tubuhnya. Mata Elina perlahan membuka, pandangannya masih kabur. Namun senyum tipis muncul di bibirnya saat melihat Kael di sisinya.Kael menggenggam tangannya erat, mencium punggungnya. Lega. Rapuh. Ia hampir kehilangan segalanya.“Elina…” bisiknya pelan.“Di mana… kita?” suara Elina nyaris tak terdengar.“Kau aman,” jawab Kael lembut.Elina menutup mata sesaat. Ingatan-ingatan kembali menelusup. Ia tahu, Kael telah menyelamatkannya.Namun ketenangan itu segera pudar ketika ia bertanya, “Raeshan… bagaimana dengan Raeshan?”Kael terdiam sejenak. “Dia selamat. Kembali ke istana.”Air mata Elina jatuh. Dan di hadapan cinta tulus yang tak pernah Kael
Sore hari, langit bergelayut mendung kelabu saat derap langkah kuda terdengar nyaring memasuki istana Azmeria.Ketika pintu gerbang utama dibuka, kuda Dasman melintasi pelataran dalam dengan kecepatan terkontrol. Raeshan langsung diturunkan segera, dan para tabib sudah bersiap di depan kediaman Raeshan.Ratu Amaris berlari menembus halaman.“Raeshan! RAESHAN!!” teriaknya, suaranya nyaring menggema di antara para pelayan dan prajurit yang berlutut memberi hormat.Ia nyaris tersungkur saat mendekati anaknya, namun langsung berlutut di sisi putranya yang terbaring lemah, tak sadarkan diri.Tubuh Raeshan dibalut perban seadanya oleh Dasman, luka di bahunya masih segar, wajahnya pucat seperti marmer. Nafasnya lambat dan berat. Seolah hanya satu helaian benang halus yang menahan jiwanya dari kematian.“Anakku, bangunlah.” bisik Amaris serak, menggenggam tangan Raeshan yang dingin.Dasman berdiri kaku di belakangnya, menunduk dalam diam.“Bawa dia ke dalam. Pastikan tak seorang pun mendekat