Di taman samping Istana Kenari.Kisti berjalan pelan di antara lorong taman yang ditumbuhi anggrek liar, diikuti oleh Nahan.Langkah kaki mereka nyaris tak bersuara, namun ketegangan memancar dari cara Kisti menggenggam lipatan gaunnya erat.“Jangan lakukan gerakan tambahan tanpa perintah langsung dari Tuan,” gumam Kisti pelan.Nathan mengangkat alis. “Aku tidak melakukan apa pun yang membahayakan.”“Tapi kau memperhatikan seseorang,” potong Kisti cepat, matanya menajam menatap bunga-bunga liar di depannya.“Aku dengar dari salah satu pelayan kau sering berdiri lama di lorong timur saat malam hanya untuk melihat Sekar. Kepala dayang istana sekaligus pelayan pribadi Putri Elina.”Nathan menahan napas sejenak. Matanya menoleh cepat, lalu kembali memandang lurus ke depan.“Dia hanya orang yang menarik perhatian. Tidak lebih.”Kisti menoleh tajam, menghentikan langkahnya. “Kau tidak boleh lemah di istana ini, Nathan. Apalagi terhadap perempuan seperti dia. Dia mungkin manis dan kelihatan
Rapat di ruang pertemuan utama kembali digelar pagi ini.Para Gubernur yang tersisa, Panglima tertinggi, dan penasihat ekonomi duduk berurutan di kursi-kursi panjang, sementara Elina berada di samping Kaisar.Raeshan tampak tenang, walau wajahnya sedikit lebih pucat dari biasanya.Tak ada yang menyadari keganjilan itu sampai ia hendak berbicara.“Kita perlu kirim utusan langsung ke perbatasan selatan dan…”Tiba-tiba, Raeshan berhenti di tengah kalimat.“Yang Mulia?” Elina langsung menoleh panik.Raeshan memegang dadanya. Bibirnya bergetar… lalu dari sela mulutnya, semburan darah hitam keluar tanpa aba-aba.Seluruh ruangan sontak riuh. Elina bangkit berdiri, menangkap tubuh suaminya yang jatuh ke samping kursi.“RAESHAN!”**Beberapa menit kemudian, di dalam kamar, Elina tengah berlutut di sisi tempat tidur.Tangan kirinya memegangi lengan Raeshan, sementara tangan kanannya memeriksa tubuh suaminya.Mata Elina membulat ngeri.“Ada… bekas tusukan halus. Di bagian belakang bahu kanan…”I
Beberapa hari kemudian.Nathan berdiri di dalam ruang kerjanya yang sempit sambil menatap surat yang telah menjadi abu di depannya.Suara pintu diketuk pelan.“Kau dipanggil Yang Mulia ke ruang pertemuan utama,” ujar seorang penjaga.Nathan menunduk cepat dan membereskan abu yang tersisa, lalu melangkah keluar.Di lorong menuju aula istana, Nathan berpapasan dengan Sekar dan Dasman.Mereka tampak berbincang pelan. Sekar tertawa kecil akan sesuatu yang dikatakan suaminya.Nathan sempat terpaku. Jantungnya berdenyut cepat tanpa alasan yang bisa ia terima logikanya.Saat mereka berpapasan, Sekar melihat Nathan lebih dulu.“Oh… tuan,” sapa Sekar ramah.Nathan buru-buru menunduk sopan. “Selamat siang…”Lalu ia menoleh ke Dasman, tubuhnya tegap memberi hormat.“Panglima Dasman. Kehormatan bagi saya bisa bertemu langsung.”Dasman mengangguk singkat. “Ah, kau juru tulis kerajaan yang cerdas itu, ya? Nathan, bukan?”“Benar, Tuan. Terima kasih atas pujian anda,” jawab Nathan, menahan suara teta
Keesokan harinya, jeritan pelayan mengguncang seisi istana.“Mayat! Ada Mayat di dalam sumur!!”Pasukan segera mengepung area itu. Mayat yang membengkak dan pucat ditarik dari dalam air. Gaun lusuh namun masih memperlihatkan motif khas kerajaan.Wajahnya nyaris tak dikenali kecuali oleh satu orang yang langsung berteriak histeris saat melihat anting satu sisi di telinga korban.“Itu… itu milik… Selir Hania!”Suasana langsung kacau. Beberapa selir lain menjerit. Syra menangis, memegangi mulutnya. Bahkan Ruvia yang masih terluka, terdiam terpaku dalam duka.**Beberapa jam kemudian…Di pelataran depan istana, rombongan berkuda dari arah utara tiba dengan debu menggumpal di langit.Di barisan terdepan, seorang pria berjubah lambang burung garuda ganda berhenti di atas kudanya dan berteriak nyaring:“AKU MEMINTA KEADILAN ATAS KEMATIAN PUTRIKU!”Gubernur Provinsi Lortha, ayah Selir Hania, turun dari kudanya, wajahnya memerah karena murka dan tangis tertahan.“Putriku dikirim ke istana untu
CLANGG!!Tiba-tiba suara logam menghantam keras dari sisi kiri.Pedang ditangan prajurit mental dijatuhkan sebelum sempat menyentuh leher Elina.Anak panah menancap kuat di punggung tangan prajurit yang mengayunkannya.Semua mata terbelalak.Dari arah gerbang istana, Raeshan berdiri di atas kudanya, busur masih terarah, matanya menyala marah seperti julukannya sebagai dewa perang.“SIAPA YANG BERANI MENYENTUH RATUKU!!” suaranya mengguncang, memecah seluruh kerumunan.Jubah perangnya berkibar garang ditiup angin. Di belakangnya, Dasman dan puluhan pasukan elit bayangan mengepung istana dengan senjata terangkat tinggi.Amaris menoleh perlahan. Tatapan matanya bertemu dengan mata anaknya.Tapi Raeshan tidak memandangnya sebagai ibu. Tatapannya beku, tajam, dan beracun.Langkah kudanya bergemuruh ke halaman, Raeshan melompat turun, mendekati Elina yang sudah berdarah dan nyaris roboh.“Elina…” bisiknya, mendekap tubuh istrinya yang limbung. Tangannya menyentuh luka di bahu Elina, lalu men
Seorang wanita berjubah ungu tua turun dari kereta emas, rambutnya tersanggul anggun dengan mahkota kecil bertatahkan safir.Wajahnya dingin, tegas, tapi tak kehilangan kewibawaan sebagai mantan ratu.Ratu Amaris telah kembali.Ia berjalan masuk ke istana dengan kepala tegak dan langkah pasti, dikelilingi pengawal-pengawal barunya pilihan sendiri dari para biarawan dan mantan loyalis yang dulu dibuang bersamanya.“Panggil semua penjaga! Aku adalah Ratu Azmeria yang sah! Aku ibu dari Kaisar Raeshan!” suaranya menggema, menggetarkan setiap dinding istana.“Usir wanita licik itu dari tempatku!” serunya dengan nada dingin, menunjuk ke arah kediaman Liara yang selama ini dianggap sebagai Ibu Suri.Para prajurit istana yang terkejut dan bingung, tak berani membantah. Mereka hanya menurut, dan dengan cepat menyeret Liara yang tengah duduk membaca bersama kedua cucunya, Kaesari dan Aryan.Liara menjerit ketika tangannya ditarik kasar, tubuhnya diseret ke halaman istana.“Apa-apaan ini?! Aku h