Home / Romansa / Dari Meja Kerja ke Hati / Bab 3 - Retak dalam Ritme

Share

Bab 3 - Retak dalam Ritme

Author: RefnNovn
last update Last Updated: 2025-04-20 00:33:01

•••

Pagi hari di lantai 25 berjalan lebih cepat dari biasanya. Calla sudah mulai terbiasa dengan alur kerja di meja kecilnya: membuka jadwal, menyortir email, mencatat perintah, dan—yang paling menegangkan—mengikuti ritme kerja Elric Mahendra yang seperti mesin presisi.

Hari ini, Elric belum keluar dari ruangannya sejak jam tujuh.

Pukul sembilan lewat dua puluh, suara interkom dari dalam ruangan pria itu terdengar:

> "Calla. Masuk sebentar."

Calla berdiri dengan map di tangan, menata rambutnya sekali, lalu mengetuk pelan.

“Masuk,” jawab suara berat itu.

Ia melangkah masuk, menjaga jarak beberapa meter dari meja besar itu. Elric duduk dengan satu tangan menopang dagunya, matanya fokus pada dokumen. Tak langsung menatap Calla.

“Ada yang aneh dari laporan keuangan divisi aset,” katanya, menyodorkan map merah marun. “Bandingkan dengan data pengajuan anggaran mereka bulan lalu. Saya mau temuanmu sebelum makan siang.”

“Baik, Pak,” jawab Calla sambil menerima map.

Tapi sebelum ia berbalik, Elric tiba-tiba berkata tanpa menatapnya, “Kamu belum sarapan?”

Calla menoleh pelan. “Maaf?”

“Wajahmu pucat. Dan kamu salah ketik dua kali di catatan kemarin sore.”

Calla terdiam. Ia memang hanya minum teh tadi pagi. Perutnya terlalu tegang untuk menerima makanan sejak bekerja di bawah pria itu.

“Saya baik-baik saja, Pak,” jawabnya pelan.

Elric akhirnya mengangkat wajah, menatapnya dengan pandangan yang... bukan khawatir, tapi jelas bukan datar. Mungkin cemas yang disamarkan?

“Tidak ada yang bisa bekerja dengan baik kalau mereka tidak cukup makan. Sekretaris saya harus tetap berfungsi, bukan pingsan.”

Sekretaris saya. Harus tetap berfungsi. Bukan kalimat paling hangat, tapi dalam bahasa Elric, itu mungkin satu bentuk perhatian.

“Saya akan makan nanti, Pak. Terima kasih.”

Pria itu mengangguk sekali. “Kembali kerja.”

Calla keluar dari ruangan itu dengan campuran rasa bingung dan... sesuatu yang sulit ia jelaskan. Dia perhatian, atau hanya menjaga ‘fungsi’ sekretarisnya tetap jalan?

Pukul dua siang, saat Calla kembali dari pantry membawa segelas kopi dan sepotong roti yang akhirnya ia paksakan masuk ke perutnya, ia melihat seorang wanita berdiri di depan ruang Elric.

Wanita itu tinggi, anggun, mengenakan gaun hitam dan sepatu hak yang mencolok. Wajahnya cantik dalam cara yang tegas dan dewasa. Rambut coklatnya ditata rapi, tas tangannya terlihat mewah.

“Oh, kamu sekretaris barunya,” ucap wanita itu begitu melihat Calla. Senyum tipisnya mengandung nada sinis.

Calla tersenyum sopan. “Iya, saya Calla.”

“Menarik. Dia pilih kamu,” gumam wanita itu, seperti bicara ke diri sendiri. Lalu ia mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban.

Calla berdiri bingung. Siapa wanita itu? Gayanya tidak seperti klien biasa. Terlalu akrab. Terlalu... berani.

Suara tawa pelan terdengar dari dalam ruangan Elric. Suara wanita itu. Dan itu aneh, karena sejak Calla mulai bekerja, ia belum pernah mendengar Elric tertawa—bahkan sedikit pun.

Sepuluh menit kemudian, wanita itu keluar. Ia menatap Calla dari atas ke bawah, lalu berkata, “Semoga kamu tahu apa yang kamu lakukan.”

Calla hanya bisa menunduk, senyum canggung.

Begitu wanita itu hilang di balik pintu lift, Elric memanggil melalui interkom.

> “Calla.”

Ia masuk, mencoba menyembunyikan rasa ingin tahunya.

“Wanita tadi siapa, Pak?” tanyanya tanpa sadar.

Elric menoleh cepat. Matanya tajam. “Kenapa tanya?”

“Saya hanya… butuh tahu, barangkali penting untuk agenda kerja Bapak.”

Jawabannya terdengar masuk akal, meski jelas dibalut rasa penasaran.

Elric menatapnya lama. Lalu berkata, “Namanya Cassandra. Mantan sekretaris saya.”

Calla mengedip. Oke. Itu menjelaskan banyak hal—tatapan sinis, komentar tajam, dan keakraban barusan.

“Dia bukan urusanmu. Jangan biarkan dia mengganggu pekerjaanmu,” lanjut Elric datar.

Calla mengangguk. Tapi saat hendak keluar, Elric memanggil lagi.

“Calla.”

Ia menoleh.

“Saya bisa mencium ketakutan dari cara kamu bicara. Tapi kamu belum pergi. Kamu tetap di sini. Kenapa?”

Pertanyaannya terdengar sederhana. Tapi ada lapisan dalam di baliknya.

Calla menatap pria itu, dan untuk pertama kalinya, ia menjawab tanpa ragu.

“Karena saya tahu saya bisa bertahan. Bahkan di suhu sedingin ini.”

Elric tidak tersenyum. Tapi ada sesuatu di matanya yang berubah. Mungkin sedikit respek. Mungkin hanya kejutan. Tapi itu cukup.

“Bagus.”

Malam itu, saat Calla menutup laptop dan bersiap pulang, Elric masih di ruangannya. Lampu tetap menyala, dan bayangannya masih terlihat dari kaca buram.

Ia bekerja terus tanpa henti, seperti seseorang yang takut berhenti karena nanti... akan merasakan sepi.

Calla berdiri sebentar, menatap pintu itu. Ingin mengetuk dan mengucapkan “selamat malam” seperti orang normal. Tapi ia tahu: pria itu bukan orang biasa. Dan tempat ini bukan ruang biasa.

Ia pun melangkah pelan ke lift, membawa rasa lelah di bahu dan satu pertanyaan di benaknya:

Apa sebenarnya yang terjadi dengan sekretaris-sekretaris sebelumku? Dan... kenapa dia memilih aku?

•••

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 32 - Elric dan Calla

    --- Pagi itu, di rumah Elric, suasana terasa berbeda. Mentari pagi menyelinap perlahan lewat jendela besar, menerangi ruang tamu yang dipenuhi aroma bunga segar. Calla berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana tapi anggun, yang dipilihnya sendiri beberapa hari lalu. Rambut hitamnya dibiarkan terurai lembut, tanpa banyak hiasan, karena baginya, hari ini bukan tentang penampilan sempurna, melainkan tentang keberanian untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Di belakangnya, Elric memperhatikan dengan senyum hangat yang jarang ia tunjukkan secara terbuka. Matanya yang biasanya dingin kini penuh dengan rasa sayang dan kekaguman. Ia tahu perjalanan Calla tidak mudah—terlalu banyak luka dan ketakutan yang harus dihadapi, dan hari ini adalah momen di mana Calla memilih untuk membuka diri dan mempercayainya sepenuhnya. “Calla,” suara Elric tiba-tiba memecah keheningan. “Kamu benar-benar cantik hari ini.” Calla menoleh, wajahnya memerah. “Kamu juga terlihat sangat serius, sep

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 31 - Akhir dan Awal

    --- Malam itu, udara dingin menusuk hingga ke tulang. Lampu-lampu jalan di sudut-sudut kota tampak redup dan berkelip, menambah kesan sunyi yang mencekam. Calla berjalan dengan langkah hati-hati di lorong parkir gedung kantor, membawa beberapa map arsip yang harus segera diantar ke ruang kerja. Hatinya masih bergetar, kenangan buruk beberapa minggu lalu tak kunjung lepas dari pikirannya. Setiap suara yang samar di sekelilingnya membuatnya menoleh, waspada. Ia tahu, dunia ini bukan lagi tempat yang aman baginya sejak Vincent kembali muncul di hidupnya. Meski sudah berusaha kuat, ketakutan itu selalu mengintai, mengancam setiap detik tenangnya. Tiba-tiba, dari balik bayang-bayang sebuah mobil yang terparkir, tangan kasar meraih lengannya dengan paksa. Calla terperanjat, tubuhnya kaku karena ketakutan. Tatapannya langsung bertemu dengan sosok yang membuat jantungnya hampir berhenti berdetak. Vincent. Mantan yang tak pernah rela melepaskannya. Wajahnya yang dulu penuh pesona kini beru

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 30 – Bayangan yang Semakin Dekat

    --- Suasana di apartemen Calla berubah. Dulu tempat itu terasa hangat—penuh bunga, warna-warna lembut, dan aroma lilin aromaterapi yang biasa ia nyalakan. Tapi kini, setiap sisi dipenuhi kamera pengawas, sensor gerak, dan alarm diam. Elric tak ingin mengambil risiko sedikit pun. “Calla gak boleh sendirian, bahkan untuk ke dapur,” katanya tegas pada dua pengawal yang ditugaskan berjaga di dalam unit. “Kalau dia tidur, salah satu kalian tetap berjaga dekat pintu.” Calla yang duduk di sofa hanya diam menatap lantai. Pelipisnya masih dibalut, dan tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Tapi luka yang sebenarnya jauh lebih dalam ada di dalam pikirannya. Malam hari menjadi ujian terberat. Ia sering terbangun dengan napas memburu, tangis tertahan, dan tubuh berkeringat. “Mimpi buruk lagi?” tanya Elric suatu malam, saat ia memeluk Calla yang menggigil. “Dia ada di sana. Selalu. Kadang dia diem aja di pojokan. Kadang dia pegang tanganku,” suara Calla bergetar. “Aku gak tahu cara ngelupain semu

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 29 – Jejak yang Tertinggal

    --- Sudah lebih dari seminggu sejak penembakan itu, tapi dunia seakan belum kembali normal bagi siapa pun. Terutama bagi Calla. Luka fisik yang ditinggalkan peluru Vincent mulai pulih secara perlahan, tapi luka batin—itu cerita lain. Ia masih sering mendadak terdiam, matanya kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa-masa gelap yang ia coba kubur. Dan setiap kali Elric mencoba menyentuh tangannya, Calla akan tersentak seolah baru saja disetrum. “Maaf… aku… aku cuma terkejut,” katanya suatu malam ketika Elric menyelimuti tubuhnya. Suaranya kecil, nyaris tak terdengar. “Calla…” Elric berlutut di samping ranjang, menatap wajahnya yang pucat. “Kamu gak harus pura-pura kuat di depanku.” Calla hanya menunduk, jari-jarinya bermain dengan ujung selimut. “Aku cuma… takut semua ini gak akan pernah selesai. Aku mimpi dia datang lagi. Di mimpi itu, aku lari, tapi langkahku terasa berat, kayak tubuhku gak bisa gerak…” Elric mengusap lembut rambutnya. “Aku janji. Dia gak akan per

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 28 – Luka yang Tak Terlihat

    --- Bau obat-obatan menusuk di setiap sudut lorong rumah sakit malam itu. Lampu-lampu putih menyilaukan, tapi rasanya seperti dunia sedang runtuh. Elric duduk membungkuk di bangku luar ruang operasi, wajahnya tertunduk dalam-dalam, telapak tangan berlumur darah Calla yang mulai mengering. Waktu terasa beku. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Setiap detik berlalu seperti pengingat bahwa ia bisa saja kehilangan Calla—wanita yang selama ini ia jaga dengan seluruh hatinya. Nikolas datang membawa dua cangkir kopi, menaruh satu di sebelah Elric. Tapi Elric tidak menyentuhnya. “Dokter bilang pelurunya bersarang dekat arteri,” suara Nikolas pelan. “Tapi dia masih muda, masih kuat. Kita harus percaya dia bisa bertahan.” Elric menoleh, matanya merah dan basah. “Aku… seharusnya nggak membiarkan dia pergi sendiri.” “Jangan salahin diri sendiri.” “Tapi aku tahu dia masih trauma. Aku tahu Vincent masih membayangi pikirannya, dan aku tetap membiarkan dia sendiri. Aku… aku lengah.” Nikolas hanya

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 27 – Di Ambang Nyawa

    --- Sore mulai turun, langit di atas gedung pameran Convention Center New York terlihat kelabu. Hujan rintik-rintik membasahi jendela besar di lantai dua tempat booth Marvin Corp berdiri. Keramaian mulai berkurang, namun antusiasme masih terasa. Pameran hari itu berjalan sukses—setidaknya sampai Calla memutuskan untuk pergi ke toilet seorang diri. Elric sempat ingin mengantar, tapi Calla meyakinkannya dengan senyum tenang. “Aku cuma ke toilet. Jangan khawatir, ya? Aku akan cepat kembali.” Elric mengangguk, meski hatinya terasa tak nyaman. Calla berjalan menelusuri lorong yang sepi, menghindari pusat keramaian. Suara langkah sepatunya bergema pelan. Belum sampai ke toilet, bahunya tiba-tiba ditarik kuat dari samping. Sebelum sempat berteriak, sebuah tangan membekap mulutnya dengan sapu tangan basah. Dunia seketika kabur. Cairan menyengat menusuk hidungnya, membuat kesadarannya goyah. Saat matanya terbuka kembali, Calla sudah berada di dalam ruangan kosong berlampu temaram, d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status