•••
Hari keempat, dan Calla sudah hafal suara langkah kaki Elric Mahendra. Bukan karena suaranya keras. Justru sebaliknya. Tapi ada pola. Irama. Konsistensi yang tak pernah berubah. Setiap langkahnya seperti memiliki tujuan, waktu, dan tekanan yang dihitung. Mungkin itu sebabnya dia selalu sampai tepat waktu, meskipun terkadang—seperti pagi ini—sedikit terlambat. Pagi itu, Elric datang lebih siang dari biasanya—sekitar jam delapan lewat sepuluh. Calla yang sudah berada di meja sejak pukul tujuh empat puluh lima, langsung berdiri ketika melihatnya lewat dari arah lift. Namun, kali ini Elric tampak berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya lebih sunyi dari biasanya, meski aura ketegasan dan keangkuhannya tetap kuat. Dia tidak segera menyapa, hanya berjalan menuju ruangannya dengan langkah yang lebih berat. Beberapa menit kemudian, suara interkom dari dalam ruangan pria itu terdengar: > "Calla. Bawa kopi hitam, tanpa gula. Dan... tolong, jangan tanya kenapa hari ini saya terlambat." Nada suaranya datar, tapi terasa berat. Ada sesuatu. Mungkin hanya firasat Calla, tapi dia merasa ada kesedihan yang tersembunyi di balik kata-katanya. Calla menyiapkan kopi di pantry, lalu membawanya masuk ke ruangan Elric. Saat dia masuk, pria itu sedang berdiri membelakangi meja, menatap foto tua di rak. Calla belum pernah memperhatikan ada foto itu sebelumnya—karena biasanya Elric tidak menyimpan benda pribadi di ruang kerjanya. Foto itu tampak usang. Dua orang remaja. Salah satunya sangat mirip Elric, dengan wajah cerah dan senyum yang lebar. Mereka berdiri bersama di depan sebuah rumah besar, tampaknya foto lama yang diambil sebelum segalanya berubah. “Ini Bapak waktu muda?” tanya Calla pelan, berdiri di ambang pintu. Elric menoleh, sedikit terkejut. Wajahnya tenang, tapi matanya sedikit... kosong. Seperti menatap jauh ke dalam kenangan yang lama terkubur. “Dia kakakku,” katanya pendek, tidak memperpanjang penjelasan. Calla mengangguk pelan. “Wajahnya mirip sekali.” Elric menerima kopi darinya, lalu duduk tanpa berkata apa-apa. Calla berdiri di tempatnya, menunggu—seperti biasa. “Apa kamu pernah kehilangan seseorang yang membuatmu merasa kamu... nggak lengkap lagi?” tanyanya tiba-tiba. Pertanyaannya mengejutkan. Tak seperti Elric. Pria itu biasanya hanya bicara soal kerja, kerja, dan kerja. Tidak pernah soal kehilangan, atau emosi. Calla terdiam sejenak, menimbang-nimbang jawabannya. Ia tahu kalau ini bukan pertanyaan biasa. Tapi, ia juga tak ingin membuatnya merasa ditolak. “Iya. Tapi saya rasa... semua orang punya kehilangan masing-masing,” jawabnya pelan. Elric menatapnya. Lama. Tatapan itu menusuk, bukan karena dingin—tapi karena dalam. “Orang-orang mengira saya ambisius karena saya ingin menang. Padahal sebenarnya saya hanya ingin... tidak kalah,” katanya pelan, seolah mencoba menjelaskan dirinya tanpa perlu kata-kata lebih banyak. Calla terdiam. Ia hanya ingin menjawab, namun kalimat itu lebih baik terdiam. Tidak semua luka bisa disembuhkan dengan kata-kata. “Saya minta maaf,” ucap Calla, dengan nada tulus. Elric mengangkat bahunya. “Jangan minta maaf untuk hal yang bukan kesalahanmu. Itu melelahkan.” Dan seperti biasanya, setelah membiarkan sedikit celah terbuka, Elric kembali menutupnya. “Kembali ke mejamu. Jadwal presentasi investor jam sebelas. Aku butuh kamu siapkan materi pendukung dan revisi halaman empat sampai tujuh.” “Siap, Pak.” Calla keluar dari ruangan itu dengan kepala penuh. Jadi, itu bagian dari alasan kenapa dia begitu dingin. Kehilangan. Rasa bersalah. Dan... tekanan dari nama besar Mahendra Group. Menjelang siang, Calla kembali ke ruang Elric membawa dokumen yang sudah direvisi. Pria itu sedang bersiap mengenakan jas. Kali ini, penampilannya sangat formal—kemeja abu-abu gelap, dasi hitam elegan, dan jam tangan perak yang tampak mahal. Semua itu memberi kesan profesional, tapi juga sulit diakses. Terlalu sempurna. Saat Calla meletakkan berkas di meja, ia bertanya pelan, “Apakah saya perlu ikut ke ruangan presentasi, Pak?” Elric menatapnya, lalu mengangguk. “Iya. Aku butuh kamu catat semua pertanyaan investor. Jangan biarkan satu pun lolos.” “Baik.” Sebelum keluar, Elric berkata, “Jangan gugup. Mereka hanya manusia. Sama seperti kamu.” Calla tersenyum kecil, merasakan ketegangan yang menurun sedikit. “Tapi tidak semua manusia semenarik Bapak.” Elric menatapnya tajam. Tapi kali ini bukan marah. Lebih seperti terkejut. Lalu... senyum tipis terangkat di sudut bibirnya. Nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk membuat Calla merasa seolah-olah dia baru saja membuka tirai yang menutupi sisi lain dari Elric—sisi yang lebih manusiawi. Ruang presentasi penuh. Empat investor asing, dua direksi, dan satu perwakilan dari pusat. Elric bicara dengan tenang, percaya diri, dan sekali lagi memukau semua orang dengan kejelasan visi bisnisnya. Ia menguasai ruangan, seperti biasa, dengan ketenangan yang tidak bisa dibantah. Calla mencatat semuanya, duduk di kursi samping kiri. Sesekali, ia melihat Elric yang berbicara dengan lancar, tetapi tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan tatapan-tatapan kecil yang ia berikan padanya. Setiap detik, setiap kali matanya bertemu dengan Calla, seakan ada percikan yang tak bisa ia jelaskan. Setelah presentasi selesai dan semua orang mulai berkemas, salah satu investor Jepang sempat berbicara pada Calla, “You are his new secretary? You seem very calm.” Calla tersenyum sopan. “I try my best.” Investor itu tertawa kecil, lalu menepuk bahu Elric. “She’s a good one. Keep her close.” Elric tidak menjawab, hanya menatap Calla satu detik lebih lama dari biasanya. Sore harinya, ketika semua sudah pulang dan lampu kantor mulai dimatikan satu per satu, Calla masih duduk di depan komputer, merapikan laporan. Elric keluar dari ruangannya dengan mantel hitam di tangan. “Kamu belum pulang?” tanyanya, sedikit terkejut. “Hampir selesai, Pak.” Elric berjalan mendekat. Kali ini, berdiri di samping mejanya. Tangannya menyelip ke dalam saku. “Kau... mengingatkanku pada seseorang,” ucapnya pelan. “Siapa?” tanya Calla pelan, berusaha menjaga ketenangan meski hatinya berdegup lebih cepat. “Orang yang dulu membuat saya percaya kalau tenang bukan berarti lemah.” Calla menatapnya. Ada sesuatu di udara. Seperti waktu berhenti sebentar. Entah kenapa, ia merasa kata-kata itu lebih dari sekadar pujian—mungkin sebuah pengakuan. Sebuah kepercayaan. Tapi Elric hanya menghela napas, lalu berkata, “Pulanglah. Hari sudah malam.” Calla berdiri, membereskan barang. “Bapak juga, jangan terlalu larut.” Elric berjalan menuju lift. Tapi sebelum pintu tertutup, ia berkata lirih, “Besok, aku ingin kau mulai pelajari semua proyek merger yang sedang berjalan. Aku butuhmu tahu lebih dari yang tertulis di kertas.” Calla mengangguk, meski pintu sudah menutup. Lebih dari yang tertulis di kertas. Kalimat itu mengandung makna ganda. Dan Calla tahu—ia sedang dibawa masuk. Bukan hanya ke pekerjaan... tapi ke sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih pribadi. Calla tampak bingung dengan perasaannya sendiri, melihat Elric dia seperti melihat kerapuhan dibalik rasa dingin yang biasa ditunjukkannya. •••--- Pagi itu, di rumah Elric, suasana terasa berbeda. Mentari pagi menyelinap perlahan lewat jendela besar, menerangi ruang tamu yang dipenuhi aroma bunga segar. Calla berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana tapi anggun, yang dipilihnya sendiri beberapa hari lalu. Rambut hitamnya dibiarkan terurai lembut, tanpa banyak hiasan, karena baginya, hari ini bukan tentang penampilan sempurna, melainkan tentang keberanian untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Di belakangnya, Elric memperhatikan dengan senyum hangat yang jarang ia tunjukkan secara terbuka. Matanya yang biasanya dingin kini penuh dengan rasa sayang dan kekaguman. Ia tahu perjalanan Calla tidak mudah—terlalu banyak luka dan ketakutan yang harus dihadapi, dan hari ini adalah momen di mana Calla memilih untuk membuka diri dan mempercayainya sepenuhnya. “Calla,” suara Elric tiba-tiba memecah keheningan. “Kamu benar-benar cantik hari ini.” Calla menoleh, wajahnya memerah. “Kamu juga terlihat sangat serius, sep
--- Malam itu, udara dingin menusuk hingga ke tulang. Lampu-lampu jalan di sudut-sudut kota tampak redup dan berkelip, menambah kesan sunyi yang mencekam. Calla berjalan dengan langkah hati-hati di lorong parkir gedung kantor, membawa beberapa map arsip yang harus segera diantar ke ruang kerja. Hatinya masih bergetar, kenangan buruk beberapa minggu lalu tak kunjung lepas dari pikirannya. Setiap suara yang samar di sekelilingnya membuatnya menoleh, waspada. Ia tahu, dunia ini bukan lagi tempat yang aman baginya sejak Vincent kembali muncul di hidupnya. Meski sudah berusaha kuat, ketakutan itu selalu mengintai, mengancam setiap detik tenangnya. Tiba-tiba, dari balik bayang-bayang sebuah mobil yang terparkir, tangan kasar meraih lengannya dengan paksa. Calla terperanjat, tubuhnya kaku karena ketakutan. Tatapannya langsung bertemu dengan sosok yang membuat jantungnya hampir berhenti berdetak. Vincent. Mantan yang tak pernah rela melepaskannya. Wajahnya yang dulu penuh pesona kini beru
--- Suasana di apartemen Calla berubah. Dulu tempat itu terasa hangat—penuh bunga, warna-warna lembut, dan aroma lilin aromaterapi yang biasa ia nyalakan. Tapi kini, setiap sisi dipenuhi kamera pengawas, sensor gerak, dan alarm diam. Elric tak ingin mengambil risiko sedikit pun. “Calla gak boleh sendirian, bahkan untuk ke dapur,” katanya tegas pada dua pengawal yang ditugaskan berjaga di dalam unit. “Kalau dia tidur, salah satu kalian tetap berjaga dekat pintu.” Calla yang duduk di sofa hanya diam menatap lantai. Pelipisnya masih dibalut, dan tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Tapi luka yang sebenarnya jauh lebih dalam ada di dalam pikirannya. Malam hari menjadi ujian terberat. Ia sering terbangun dengan napas memburu, tangis tertahan, dan tubuh berkeringat. “Mimpi buruk lagi?” tanya Elric suatu malam, saat ia memeluk Calla yang menggigil. “Dia ada di sana. Selalu. Kadang dia diem aja di pojokan. Kadang dia pegang tanganku,” suara Calla bergetar. “Aku gak tahu cara ngelupain semu
--- Sudah lebih dari seminggu sejak penembakan itu, tapi dunia seakan belum kembali normal bagi siapa pun. Terutama bagi Calla. Luka fisik yang ditinggalkan peluru Vincent mulai pulih secara perlahan, tapi luka batin—itu cerita lain. Ia masih sering mendadak terdiam, matanya kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa-masa gelap yang ia coba kubur. Dan setiap kali Elric mencoba menyentuh tangannya, Calla akan tersentak seolah baru saja disetrum. “Maaf… aku… aku cuma terkejut,” katanya suatu malam ketika Elric menyelimuti tubuhnya. Suaranya kecil, nyaris tak terdengar. “Calla…” Elric berlutut di samping ranjang, menatap wajahnya yang pucat. “Kamu gak harus pura-pura kuat di depanku.” Calla hanya menunduk, jari-jarinya bermain dengan ujung selimut. “Aku cuma… takut semua ini gak akan pernah selesai. Aku mimpi dia datang lagi. Di mimpi itu, aku lari, tapi langkahku terasa berat, kayak tubuhku gak bisa gerak…” Elric mengusap lembut rambutnya. “Aku janji. Dia gak akan per
--- Bau obat-obatan menusuk di setiap sudut lorong rumah sakit malam itu. Lampu-lampu putih menyilaukan, tapi rasanya seperti dunia sedang runtuh. Elric duduk membungkuk di bangku luar ruang operasi, wajahnya tertunduk dalam-dalam, telapak tangan berlumur darah Calla yang mulai mengering. Waktu terasa beku. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Setiap detik berlalu seperti pengingat bahwa ia bisa saja kehilangan Calla—wanita yang selama ini ia jaga dengan seluruh hatinya. Nikolas datang membawa dua cangkir kopi, menaruh satu di sebelah Elric. Tapi Elric tidak menyentuhnya. “Dokter bilang pelurunya bersarang dekat arteri,” suara Nikolas pelan. “Tapi dia masih muda, masih kuat. Kita harus percaya dia bisa bertahan.” Elric menoleh, matanya merah dan basah. “Aku… seharusnya nggak membiarkan dia pergi sendiri.” “Jangan salahin diri sendiri.” “Tapi aku tahu dia masih trauma. Aku tahu Vincent masih membayangi pikirannya, dan aku tetap membiarkan dia sendiri. Aku… aku lengah.” Nikolas hanya
--- Sore mulai turun, langit di atas gedung pameran Convention Center New York terlihat kelabu. Hujan rintik-rintik membasahi jendela besar di lantai dua tempat booth Marvin Corp berdiri. Keramaian mulai berkurang, namun antusiasme masih terasa. Pameran hari itu berjalan sukses—setidaknya sampai Calla memutuskan untuk pergi ke toilet seorang diri. Elric sempat ingin mengantar, tapi Calla meyakinkannya dengan senyum tenang. “Aku cuma ke toilet. Jangan khawatir, ya? Aku akan cepat kembali.” Elric mengangguk, meski hatinya terasa tak nyaman. Calla berjalan menelusuri lorong yang sepi, menghindari pusat keramaian. Suara langkah sepatunya bergema pelan. Belum sampai ke toilet, bahunya tiba-tiba ditarik kuat dari samping. Sebelum sempat berteriak, sebuah tangan membekap mulutnya dengan sapu tangan basah. Dunia seketika kabur. Cairan menyengat menusuk hidungnya, membuat kesadarannya goyah. Saat matanya terbuka kembali, Calla sudah berada di dalam ruangan kosong berlampu temaram, d