Beranda / Romansa / Dari Meja Kerja ke Hati / Bab 4 - Bayangan dari ruang lama

Share

Bab 4 - Bayangan dari ruang lama

Penulis: RefnNovn
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-20 00:33:06

•••

Hari keempat, dan Calla sudah hafal suara langkah kaki Elric Mahendra.

Bukan karena suaranya keras. Justru sebaliknya. Tapi ada pola. Irama. Konsistensi yang tak pernah berubah. Setiap langkahnya seperti memiliki tujuan, waktu, dan tekanan yang dihitung. Mungkin itu sebabnya dia selalu sampai tepat waktu, meskipun terkadang—seperti pagi ini—sedikit terlambat.

Pagi itu, Elric datang lebih siang dari biasanya—sekitar jam delapan lewat sepuluh. Calla yang sudah berada di meja sejak pukul tujuh empat puluh lima, langsung berdiri ketika melihatnya lewat dari arah lift.

Namun, kali ini Elric tampak berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya lebih sunyi dari biasanya, meski aura ketegasan dan keangkuhannya tetap kuat. Dia tidak segera menyapa, hanya berjalan menuju ruangannya dengan langkah yang lebih berat.

Beberapa menit kemudian, suara interkom dari dalam ruangan pria itu terdengar:

> "Calla. Bawa kopi hitam, tanpa gula. Dan... tolong, jangan tanya kenapa hari ini saya terlambat."

Nada suaranya datar, tapi terasa berat. Ada sesuatu. Mungkin hanya firasat Calla, tapi dia merasa ada kesedihan yang tersembunyi di balik kata-katanya.

Calla menyiapkan kopi di pantry, lalu membawanya masuk ke ruangan Elric. Saat dia masuk, pria itu sedang berdiri membelakangi meja, menatap foto tua di rak. Calla belum pernah memperhatikan ada foto itu sebelumnya—karena biasanya Elric tidak menyimpan benda pribadi di ruang kerjanya.

Foto itu tampak usang. Dua orang remaja. Salah satunya sangat mirip Elric, dengan wajah cerah dan senyum yang lebar. Mereka berdiri bersama di depan sebuah rumah besar, tampaknya foto lama yang diambil sebelum segalanya berubah.

“Ini Bapak waktu muda?” tanya Calla pelan, berdiri di ambang pintu.

Elric menoleh, sedikit terkejut. Wajahnya tenang, tapi matanya sedikit... kosong. Seperti menatap jauh ke dalam kenangan yang lama terkubur.

“Dia kakakku,” katanya pendek, tidak memperpanjang penjelasan.

Calla mengangguk pelan. “Wajahnya mirip sekali.”

Elric menerima kopi darinya, lalu duduk tanpa berkata apa-apa. Calla berdiri di tempatnya, menunggu—seperti biasa.

“Apa kamu pernah kehilangan seseorang yang membuatmu merasa kamu... nggak lengkap lagi?” tanyanya tiba-tiba.

Pertanyaannya mengejutkan. Tak seperti Elric. Pria itu biasanya hanya bicara soal kerja, kerja, dan kerja. Tidak pernah soal kehilangan, atau emosi.

Calla terdiam sejenak, menimbang-nimbang jawabannya. Ia tahu kalau ini bukan pertanyaan biasa. Tapi, ia juga tak ingin membuatnya merasa ditolak.

“Iya. Tapi saya rasa... semua orang punya kehilangan masing-masing,” jawabnya pelan.

Elric menatapnya. Lama. Tatapan itu menusuk, bukan karena dingin—tapi karena dalam.

“Orang-orang mengira saya ambisius karena saya ingin menang. Padahal sebenarnya saya hanya ingin... tidak kalah,” katanya pelan, seolah mencoba menjelaskan dirinya tanpa perlu kata-kata lebih banyak.

Calla terdiam. Ia hanya ingin menjawab, namun kalimat itu lebih baik terdiam. Tidak semua luka bisa disembuhkan dengan kata-kata.

“Saya minta maaf,” ucap Calla, dengan nada tulus.

Elric mengangkat bahunya. “Jangan minta maaf untuk hal yang bukan kesalahanmu. Itu melelahkan.”

Dan seperti biasanya, setelah membiarkan sedikit celah terbuka, Elric kembali menutupnya.

“Kembali ke mejamu. Jadwal presentasi investor jam sebelas. Aku butuh kamu siapkan materi pendukung dan revisi halaman empat sampai tujuh.”

“Siap, Pak.”

Calla keluar dari ruangan itu dengan kepala penuh. Jadi, itu bagian dari alasan kenapa dia begitu dingin. Kehilangan. Rasa bersalah. Dan... tekanan dari nama besar Mahendra Group.

Menjelang siang, Calla kembali ke ruang Elric membawa dokumen yang sudah direvisi. Pria itu sedang bersiap mengenakan jas. Kali ini, penampilannya sangat formal—kemeja abu-abu gelap, dasi hitam elegan, dan jam tangan perak yang tampak mahal. Semua itu memberi kesan profesional, tapi juga sulit diakses. Terlalu sempurna.

Saat Calla meletakkan berkas di meja, ia bertanya pelan, “Apakah saya perlu ikut ke ruangan presentasi, Pak?”

Elric menatapnya, lalu mengangguk. “Iya. Aku butuh kamu catat semua pertanyaan investor. Jangan biarkan satu pun lolos.”

“Baik.”

Sebelum keluar, Elric berkata, “Jangan gugup. Mereka hanya manusia. Sama seperti kamu.”

Calla tersenyum kecil, merasakan ketegangan yang menurun sedikit. “Tapi tidak semua manusia semenarik Bapak.”

Elric menatapnya tajam. Tapi kali ini bukan marah. Lebih seperti terkejut. Lalu... senyum tipis terangkat di sudut bibirnya. Nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk membuat Calla merasa seolah-olah dia baru saja membuka tirai yang menutupi sisi lain dari Elric—sisi yang lebih manusiawi.

Ruang presentasi penuh. Empat investor asing, dua direksi, dan satu perwakilan dari pusat. Elric bicara dengan tenang, percaya diri, dan sekali lagi memukau semua orang dengan kejelasan visi bisnisnya. Ia menguasai ruangan, seperti biasa, dengan ketenangan yang tidak bisa dibantah.

Calla mencatat semuanya, duduk di kursi samping kiri. Sesekali, ia melihat Elric yang berbicara dengan lancar, tetapi tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan tatapan-tatapan kecil yang ia berikan padanya. Setiap detik, setiap kali matanya bertemu dengan Calla, seakan ada percikan yang tak bisa ia jelaskan.

Setelah presentasi selesai dan semua orang mulai berkemas, salah satu investor Jepang sempat berbicara pada Calla, “You are his new secretary? You seem very calm.”

Calla tersenyum sopan. “I try my best.”

Investor itu tertawa kecil, lalu menepuk bahu Elric. “She’s a good one. Keep her close.”

Elric tidak menjawab, hanya menatap Calla satu detik lebih lama dari biasanya.

Sore harinya, ketika semua sudah pulang dan lampu kantor mulai dimatikan satu per satu, Calla masih duduk di depan komputer, merapikan laporan. Elric keluar dari ruangannya dengan mantel hitam di tangan.

“Kamu belum pulang?” tanyanya, sedikit terkejut.

“Hampir selesai, Pak.”

Elric berjalan mendekat. Kali ini, berdiri di samping mejanya. Tangannya menyelip ke dalam saku.

“Kau... mengingatkanku pada seseorang,” ucapnya pelan.

“Siapa?” tanya Calla pelan, berusaha menjaga ketenangan meski hatinya berdegup lebih cepat.

“Orang yang dulu membuat saya percaya kalau tenang bukan berarti lemah.”

Calla menatapnya. Ada sesuatu di udara. Seperti waktu berhenti sebentar. Entah kenapa, ia merasa kata-kata itu lebih dari sekadar pujian—mungkin sebuah pengakuan. Sebuah kepercayaan.

Tapi Elric hanya menghela napas, lalu berkata, “Pulanglah. Hari sudah malam.”

Calla berdiri, membereskan barang. “Bapak juga, jangan terlalu larut.”

Elric berjalan menuju lift. Tapi sebelum pintu tertutup, ia berkata lirih,

“Besok, aku ingin kau mulai pelajari semua proyek merger yang sedang berjalan. Aku butuhmu tahu lebih dari yang tertulis di kertas.”

Calla mengangguk, meski pintu sudah menutup.

Lebih dari yang tertulis di kertas.

Kalimat itu mengandung makna ganda. Dan Calla tahu—ia sedang dibawa masuk. Bukan hanya ke pekerjaan... tapi ke sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih pribadi.

Calla tampak bingung dengan perasaannya sendiri, melihat Elric dia seperti melihat kerapuhan dibalik rasa dingin yang biasa ditunjukkannya.

•••

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 5 – Dalam Kepungan Waktu

    ••• Pagi itu, Calla merasa udara di kantor terasa lebih berat dari biasanya. Meski langit masih cerah di luar jendela, dan ruangan terasa segar dengan aroma kopi pagi yang khas, hatinya tetap berdebar. Ada yang berbeda, dan itu bukan hanya karena pekerjaan yang semakin menumpuk. Sejak kejadian kemarin sore—ketika Elric berbicara begitu pelan dengan kalimat yang terasa lebih pribadi dari biasanya—ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Apakah itu hanya perasaan sesaat? Ataukah... ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang berkembang di antara mereka? Calla berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, namun semakin dia berusaha mengabaikan perasaan itu, semakin jelas perasaan itu mencuat. Di meja kerjanya, Calla menatap layar komputer yang berisi dokumen-dokumen yang harus dia pelajari. Tumpukan laporan tentang proyek merger, strategi pemasaran, dan berbagai dokumen lainnya memenuhi layar. Elric benar—dia harus lebih dari sekadar sekretaris yang menyiapkan laporan. Ini adalah tentang

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-20
  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 6 – Riak yang Tertahan

    ••• Sudah tiga hari sejak pertemuan Calla dengan Cassandra di depan ruang Elric. Sejak itu, setiap langkah Calla terasa lebih berat. Bukan karena pekerjaannya—yang semakin padat dan menantang—tapi karena rasa was-was yang ditinggalkan oleh wanita itu. Cassandra tak hanya meninggalkan jejak parfum mahal dan suara sepatu hak tinggi. Ia meninggalkan rasa curiga. Dan hari ini, rasa itu kembali. Pukul satu siang, lift terbuka, dan seperti déjà vu, Cassandra kembali muncul. Kali ini dengan balutan blazer hitam dan celana panjang putih yang membuatnya terlihat seperti datang dari editorial majalah mode. Langkahnya mantap, percaya diri, dan langsung menuju meja Calla. “Masih di sini rupanya,” katanya sambil menatap jam tangannya. “Hebat. Aku kira kamu hanya bertahan seminggu.” Calla berdiri dari kursinya. “Ada yang bisa saya bantu, Bu Cassandra?” “Aku ada janji dengan Elric,” jawab Cassandra sambil membuka ponselnya. “Dia tidak memberitahumu, ya?” Calla mengecek agenda. Tidak ad

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-20
  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 7 – Kabut Tak Bernama

    ••• Sudah seminggu berlalu sejak Calla bertemu Cassandra—dan kata-katanya yang tajam itu masih membekas seperti goresan samar di kaca jendela yang dingin. Tak tampak, tapi terasa bila disentuh. Meski begitu, pekerjaan tetap berjalan. Lantai 25 selalu sibuk. Dan Elric Mahendra masih pria yang sama: dingin, efisien, dan tak pernah terlihat kehilangan kendali. Tapi di balik mata tajamnya, Calla bisa menangkap sesuatu yang tak bisa ia definisikan. Kelelahan? Kekosongan? Atau... pertahanan? Hari itu, Calla memasuki ruangan Elric membawa map berisi laporan revisi. Ia mengetuk, lalu masuk setelah mendengar sahutan datar dari dalam. “Elric, revisi untuk presentasi klien dari Tokyo sudah saya cetak dan simpan di bagian paling atas,” katanya sambil meletakkan map di mejanya. Elric mengangguk, masih menatap layar laptopnya. “Bagus. Jadwalnya sudah dikonfirmasi?” “Ya, besok pukul sepuluh pagi.” “Elah.” Suaranya pelan. Nyaris seperti gumaman. Calla mengerutkan kening. “Maaf?” Elric akhirn

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-20
  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 8 – Cassandra Pengacau

    ••• Hari itu, seperti biasa, Calla berjalan menuju meja kerjanya dengan langkah ringan, meskipun rasa cemas tak bisa disembunyikan. Pekerjaan di lantai 25 semakin menuntutnya untuk beradaptasi, dan Elric Mahendra—selalu tenang, selalu terkontrol—tak memberi ruang bagi kelemahan. Laporan demi laporan, jadwal yang padat, dan pertemuan-pertemuan yang hampir tak pernah berakhir. Semua itu harus ia kelola dengan presisi. Tapi pagi ini ada yang berbeda. Ada perasaan tak nyaman yang membungkam semangatnya. Elric belum muncul di ruangannya hingga pukul sepuluh. Tidak seperti biasanya, ia selalu sudah duduk di meja, memulai pekerjaan dengan tenggat yang selalu lebih ketat dari yang diinginkan siapa pun. Calla duduk di mejanya, membuka komputer, menyusun beberapa dokumen yang perlu disiapkan, sambil sesekali melirik ke ruangannya. Setengah jam berlalu, dan keheningan itu mulai menekan. Calla tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang mengganggu dalam atmosfer k

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-20
  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 9 : Diantar Senja dan Rahasia

    ••• Hari itu, kantor sedikit lebih sepi dari biasanya. Beberapa karyawan sudah pulang lebih awal setelah menyelesaikan presentasi besar untuk klien Jepang. Tapi Calla masih berada di meja kerjanya, menyelesaikan sisa laporan yang harus dikirim malam ini. Di dalam ruangannya, Elric tampak seperti biasa—fokus, diam, dan sedikit terlalu tenggelam dalam pikirannya. Namun sejak pagi, ada yang berbeda darinya. Tatapannya tak sekaku biasanya. Nada suaranya lebih tenang. Bahkan, beberapa kali Calla merasa pria itu mencuri pandang. Pukul tujuh lewat sepuluh menit, saat Calla baru saja mematikan laptopnya, interkom berbunyi. > “Calla. Masuk sebentar.” Calla berdiri, sedikit terkejut. Ia pikir hari ini sudah selesai. Tapi seperti biasa, Elric Mahendra selalu tak terduga. Saat ia masuk, Elric sedang berdiri di depan jendela besar, memandangi kota yang mulai diselimuti cahaya malam. Jasnya sudah ia lepas, hanya kemeja putih yang kini melekat rapi di tubuh tingginya. Lengan kemeja tergulung s

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-20
  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 10 – Bara yang Tersembunyi

    ••• Sudah hampir dua minggu sejak makan malam itu. Sejak malam di mana Elric, meskipun tak mengatakannya dengan gamblang, membiarkan Calla melihat sisi lain dari dirinya—sisi yang tidak semua orang tahu ia miliki. Namun ritme kerja tetap berjalan. Waktu tidak menunggu siapa pun, dan kehidupan kantor kembali pada porosnya: rapat, laporan, revisi, tenggat waktu. Dan Calla? Ia semakin dikenal sebagai sekretaris yang tak hanya efisien, tapi juga tenang, cerdas, dan… punya aura yang sulit diabaikan. Termasuk oleh seseorang. Nikolas Adrian, Manajer Divisi Proyek, salah satu orang kepercayaan perusahaan, mulai menunjukkan ketertarikannya sejak Calla berhasil menyelamatkan presentasi besar minggu lalu. Caranya bicara, matanya yang berbinar saat menyapa Calla di pantry, bahkan seringkali membawakannya kopi tanpa diminta—semuanya terlihat jelas. Dan pagi ini, Nikolas menyambangi meja kecil Calla di luar ruangan Elric dengan senyum ramah. "Selamat pagi, Calla. Sudah sarapan?" Calla menole

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-20
  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 11 – Batas yang Digeser

    ••• Hari-hari di kantor kembali padat, tapi atmosfernya terasa berbeda. Sejak pertemuan canggung dengan Cassandra dan pernyataan tak terduga dari Elric, Calla merasa ada sesuatu yang berubah—di dalam dirinya, dan di sekitar hubungannya dengan Elric. Namun sebelum ia sempat menata perasaan, Nikolas muncul dengan kehadiran yang sulit diabaikan. Pagi itu, Calla baru saja meletakkan tas di meja ketika suara familiar menyapanya dari sisi kanan. “Calla.” Ia menoleh. Nikolas berdiri di sana dengan senyum hangat dan dua cup kopi di tangan. “Cappuccino tanpa gula. Saya ingat kamu bilang tidak terlalu suka manis.” Calla menerima kopi itu dengan senyum kaku. “Terima kasih, Pak. Tapi Bapak tidak perlu repot.” “Nikolas saja. Dan bukan repot, saya suka melihat senyummu muncul setiap pagi,” ucapnya ringan. Calla tertawa kecil, mencoba menyembunyikan rasa canggung. Ia tahu Nikolas bukan sekadar iseng. Tatapannya terlalu dalam, perhatiannya terlalu konsisten. “Kamu sibuk siang ini?” tanya Ni

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-20
  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 12 – Hati yang Tak Terucap

    ••• Pagi hari di kantor terasa lebih hening dari biasanya. Calla datang lebih awal dari jam tujuh, seperti yang Elric minta. Tapi lelaki itu belum juga muncul dari ruangannya. Di meja kecilnya, Calla membuka laptop, mengecek jadwal, dan mempersiapkan dokumen untuk kunjungan ke kantor cabang. Namun, pikirannya masih tersangkut pada dua pesan semalam. Nikolas... Elric... Dua nama, dua dunia. Nikolas membuatnya merasa hangat, dilihat, dimengerti. Sementara Elric… membuatnya bertanya-tanya, berkali-kali. Tentang rasa. Tentang arti perhatian. Tentang dirinya sendiri. Suara langkah terdengar di lorong. Calla mendongak. Elric muncul dengan setelan abu-abu gelap dan dasi hitam. Dingin seperti biasanya, tanpa senyum. Tapi pagi ini ada sesuatu yang berbeda. Cara ia melirik ke arahnya... seperti sedang menyembunyikan badai di balik sorot mata tenangnya. “Makan dulu,” katanya singkat sambil meletakkan satu kotak kecil di mejanya. Calla mengernyit. “Pak?” Elric menatap lurus. “Roti isi, d

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-20

Bab terbaru

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 22 – Langkah Pertama Menuju Terang

    ••• Calla memandangi jendela kamarnya yang sedikit terbuka. Udara pagi masuk pelan, membawa aroma khas musim semi yang lembut. Langit masih semburat biru pucat, seakan baru saja bangun dari mimpi panjang. Di pangkuannya, secangkir teh chamomile menghangatkan telapak tangannya yang sempat dingin selama beberapa hari terakhir. Sudah lima hari sejak kejadian itu. Lima hari sejak Elric menemukannya di ambang kehancuran. Lima hari sejak Nikolas datang dan duduk di sisi ranjangnya tanpa berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan mata penuh luka. Dan hari ini, ia akan mengambil langkah pertamanya: menghadiri sesi terapi. Seseorang mengetuk pintu. Calla menoleh. “Masuk,” katanya pelan. Pintu terbuka dan Elric muncul, mengenakan setelan kasual—sesuatu yang jarang sekali terlihat darinya. Jaket denim biru tua dan kaus putih sederhana membuatnya terlihat lebih muda, lebih santai... lebih hangat. “Kau siap?” tanyanya. Calla mengangguk pelan. “Aku rasa... ya. Setidaknya, aku akan coba.” Elri

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 21 – Dalam Diam yang Mengoyak (2)

    ••• Suasana kamar rawat itu hening. Hanya suara detak alat monitor jantung yang terdengar, pelan dan teratur. Cahaya matahari sore masuk dari sela tirai jendela, menciptakan garis-garis emas di atas lantai putih. Calla masih terbaring, matanya terpejam, tapi air matanya terus mengalir pelan. Elric masih duduk di sisi ranjang, tangannya menggenggam erat tangan Calla. Rasanya seperti baru kali ini ia benar-benar menyentuh gadis itu sepenuh hati—tanpa rasa posesif, tanpa rasa cemburu, hanya rasa takut kehilangan dan rasa bersalah yang menggerogoti setiap detik dalam diamnya. Tiba-tiba, pintu kamar diketuk. Elric menoleh, dan pintu terbuka perlahan. Sosok tinggi berjas hitam muncul, dengan wajah tegang dan sorot mata yang tajam. Nikolas. Sejenak, pandangan mereka bertemu. Tegang. Diam. Ada sesuatu yang tak terucap, tapi membara di udara di antara mereka. “Elric,” sapa Nikolas singkat, suaranya dalam. Elric berdiri perlahan, tanpa melepaskan genggaman tangan Calla. “Apa yan

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 20 – Dalam Diam yang Mengoyak (1)

    ••• Sudah tiga hari berlalu sejak Calla terakhir kali masuk kerja. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar. Telepon dari Nikolas tak diangkat. Puluhan panggilan dari Elric tak pernah dijawab. Pesan hanya centang satu—seperti Calla menghilang dari dunia. Tak ada yang tahu, bahwa dunia Calla memang sedang runtuh... dalam diam. Pagi itu, awan kelabu menggantung rendah di atas kota. Cuaca yang sejuk justru terasa menusuk. Dan di sebuah apartemen kecil di sudut Brooklyn, seorang perempuan sedang terkubur dalam keheningan yang mengikis napasnya sendiri. Vincent semakin berani. Hari ini, dia datang langsung ke depan pintu apartemen Calla. Suaranya membentak dan memaksa. Tangannya mengguncang gagang pintu, mencoba mendobrak. “CALLA! AKU TAHU KAU DI DALAM! JANGAN BUAT AKU GILA!” Gedoran keras menggema, membuat dinding seolah bergetar. Tapi Calla tak bergerak. Dari balik sofa, ia meringkuk. Napasnya tercekat. Tubuhnya gemetar hebat. Tangannya memeluk lutut, wajahnya tertunduk dalam, menahan

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 19 – Terpojok

    ••• Suasana di kantor pagi itu terasa lebih berat daripada biasa. Calla merasa seakan ada beban yang menggantung di setiap langkahnya. Meskipun ia berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada pekerjaannya, rasa cemas itu terus menggerogoti pikirannya, seolah tidak ada satu pun hal yang bisa mengalihkan perhatiannya dari ketakutan yang makin mendalam. Ketakutan akan masa lalu, ketakutan yang kini semakin nyata, karena Vincent kembali mendekat. Ia merasa terperangkap di antara dua dunia, dua pria yang keduanya ingin ia percayai, tapi hatinya tidak bisa memilih. Pagi itu, seperti biasa, Calla berjalan ke pantry untuk mengambil secangkir kopi. Namun, saat ia membuka pintu, matanya langsung bertemu dengan sosok yang sudah ia coba hindari beberapa hari terakhir. Elric berdiri di sana, memandangnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada rasa khawatir yang terpancar dari matanya, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. Calla tahu Elric peduli padanya, namun ia merasa bahwa semakin dekat p

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 18 – Luka yang Tak Terucap

    ••• Hari-hari berlalu dengan lambat namun menyesakkan. Calla bangun setiap pagi dengan rasa berat di dadanya, seolah tubuhnya menolak bergerak. Pekerjaan di kantor tak lagi menjadi pelariannya—malah menjadi tempat di mana ia harus berpura-pura kuat, tersenyum saat pikirannya dikepung ketakutan. SMS dari Vincent masih terus berdatangan. “Jangan pikir kamu bisa menyembunyikan diri. Aku tahu tempat tinggalmu sekarang.” “Aku sudah melihatmu pulang malam itu. Kamu tidak pernah berubah, Calla. Masih suka pura-pura bahagia.” Pagi itu, ia duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang tak mampu difokuskan. Tangannya gemetar saat menggenggam mouse, dan matanya terus berpaling ke arah ponsel yang diletakkan terbalik. Ia takut jika membalikkannya, akan ada pesan baru—sebuah kalimat yang bisa meruntuhkan benteng yang sudah rapuh. Elric, seperti biasa, memperhatikannya. Ia mulai melihat bagaimana Calla tak lagi seramah sebelumnya. Gadis itu lebih sering melamun, sering salah menget

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 17 – Bayangan Masa Lalu

    ••• Sudah beberapa hari berlalu sejak perjalanan ke villa. Namun, bagi Calla, waktu seakan melambat. Kebahagiaan yang sempat ia rasakan di sana—kebersamaan hangat bersama rekan kerja, detik-detik penuh makna bersama Elric—semuanya terasa seperti mimpi indah yang terlalu cepat berlalu. Kini ia kembali ke rutinitas, tetapi ada sesuatu yang berubah. Kegelisahan. Kecemasan. Ketakutan yang menyesap perlahan, seperti kabut yang menyusup melalui celah-celah pikiran. Awalnya, ia mengira itu hanya bayang-bayang kekhawatiran akan hubungan barunya dengan Elric. Perasaannya sendiri masih belum bisa ia definisikan—ia menyukai perhatian Elric, menyukai bagaimana pria itu perlahan membuka diri, menyukai bagaimana ia merasa aman di dekatnya. Tapi ada juga ketakutan yang bersembunyi, mengintai dalam diam. Dan lalu datanglah pesan pertama. “Aku lihat kamu bahagia sekarang. Tapi kamu lupa aku masih di sini.” Calla menatap layar ponselnya lama. Matanya membeku, dan jari-jarinya perlahan mengencang

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 16 – Hadiah Reward: Liburan di Villa Bintang 5

    ••• Liburan yang dijanjikan oleh perusahaan itu akhirnya tiba, dan suasana di antara para karyawan terasa berbeda dari biasanya. Keputusan untuk mengadakan acara reward dengan liburan di villa bintang 5 di kawasan pegunungan membawa rasa antusiasme yang berbeda, apalagi bagi Calla. Keindahan alam yang menjulang tinggi di hadapan villa itu, pemandangan hutan hijau yang membentang sejauh mata memandang, serta udara pegunungan yang segar seolah memberikan janji akan waktu istirahat yang sangat dinantikan. Namun, bagi Calla, liburan ini juga berarti waktu yang penuh dengan kecemasan dan ketegangan. Keputusan untuk pergi bersama para kolega dan bosnya, Elric, tentu membawa banyak perasaan yang belum jelas. Perasaan tentang Elric yang kian membingungkan, tentang Nikolas yang tidak pernah berhenti mencoba mendekatinya, dan tentang dirinya sendiri yang masih berusaha menemukan siapa yang benar-benar ia inginkan. Semakin hari, perasaan itu semakin berkembang, dan Calla tahu, liburan ini mung

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 15 – Acara BBQ di Rumah Elric

    ••• Malam itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari yang mulai tenggelam memancarkan cahaya kemerahan yang menyelimuti kota, memberi kesan romantis yang membuat jantung terasa berdegup lebih cepat. Acara BBQ yang diadakan oleh perusahaan di rumah Elric terasa berbeda. Bukan hanya sekedar pertemuan sosial antar kolega, tetapi juga sebuah momen yang akan membuat banyak orang saling berhadapan—baik dalam hal pekerjaan maupun perasaan yang semakin terlarut. Calla berdiri di depan pintu rumah besar Elric, menatap rumah itu dengan campuran rasa cemas dan penasaran. Ia tahu ini akan menjadi acara yang berbeda, bukan hanya untuknya, tapi untuk semua yang hadir. Suasana santai yang diharapkan tak bisa menutupi ketegangan yang ada di antara dirinya, Elric, dan Nikolas. Namun malam ini, ada sesuatu yang tak bisa ia hindari—semua mata akan tertuju padanya. Saat Calla melangkah memasuki halaman belakang rumah Elric, seakan-akan dunia menjadi sejenak terhenti. Banyak kolega dari per

  • Dari Meja Kerja ke Hati   Bab 14 – Pilihan yang Menggantung

    ••• Calla melangkah keluar dari ruang Elric, matanya samar-samar menatap pintu yang baru saja ia tinggalkan. Di luar, suasana kantor tampak tak berubah. Orang-orang sibuk dengan pekerjaan mereka, sama seperti biasa. Namun, hatinya tak pernah sehening itu. Elric, dengan sikap dinginnya yang menembus, telah memancingnya ke dalam kebingungannya lebih dalam. Tadi, saat mereka berbicara tentang laporan yang bermasalah, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Elric memandangnya. Ada sesuatu di matanya. Perhatian? Calla tak bisa memastikan. Ia hanya tahu, semuanya mulai terasa lebih kompleks. Tidak hanya tentang pekerjaan lagi. Tidak hanya tentang laporan atau jadwal. Semuanya sepertinya mengarah pada perasaan yang lebih dalam. Perasaan yang ia takutkan untuk diakui. Sementara itu, Nikolas—dengan cara yang lebih terang-terangan—terus mendekatinya. Di setiap kesempatan, Nikolas menunjukkan ketertarikan yang jelas. Setiap senyuman hangat, setiap pertanyaan perhatian, bahkan tatapan mata yang

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status