"Kamu lagi kamu lagi! Kenapa sih, kamu selalu aja ada di sekitar aku? Perasaan habis menghilang berbulan-bulan, kamu terus mengganggu aku deh. Apa jangan-jangan kamu sengaja ngikutin aku ya?"
Jenna sangat kesal sekali ketika Kala menarik tangannya menjauhi kos Meta. Pria itu bahkan tidak peduli ketika dia terengah-engah karena menaiki jalanan yang menanjak. Perutnya mendadak keroncongan. Baru sadar bahwa dia belum memakan apapun sejak keluar dari rumah. "Lepasin nggak? Aku muak banget lihat kamu terus. Nggak tahu malu banget sih? Udah ditolak juga," gerutunya dengan hati jengkel bukan main. Kala selalu ikut campur dengan urusannya sejak dulu. Bahkan ketika dia baru saja jadian dengan pacarnya. Berkali-kali dia mengumpat dan mencaci lelaki itu, tapi Kala hanya diam saja. Jenna bahkan sampai lupa dengan kecurigaannya tadi mengenai Kala yang sedang berduaan dengan Meta di dalam kamar kos. "Lepasin tangan aku! Aku ada urusan sama Meta. Kamu jangan gangguin aku..." "Bisa diem nggak? Berisik banget daritadi!" Jenna langsung terdiam di sebelah mobil Kala dengan wajah syok. Tak percaya baru saja dibentak oleh lelaki itu. Meskipun kerapkali jahil padanya dan dia selalu uring-uringan, Kala sama sekali tidak pernah membentaknya. "Ada yang lebih urgent ketimbang urusanmu dengan temanmu yang nggak penting itu! Bisa nggak, sekali aja jangan manja?" Kedua mata Jenna langsung berkaca-kaca dan dadanya naik turun dengan cepat. Dia tidak pernah dibentak oleh ayah dan kakaknya selama hidupnya. Baru kemarin ayahnya sedikit meninggikan suara karena dirinya menolak lamaran Kala saja sudah membuatnya menangis tersedu-sedu di dalam kamar. Rasa marah, kecewa, sakit hati, bercampur menjadi satu. Tangannya mengusap air mata yang menuruni pipinya dengan kasar. Tanpa berpikir panjang, Jenna langsung berjalan dengan cepat meninggalkan Kala yang mengumpat dan mengacak rambutnya, seperti terlihat frustrasi. Dan Jenna sama sekali tidak peduli. Dia heran kenapa orangtuanya ingin pria seperti itu yang menjadi suaminya? Rangga jauh lebih baik dan pengertian. Tidak pernah berkata kasar atau membentaknya. Apa mereka ingin dia tersiksa seumur hidupnya karena memiliki suami seperti Kala? Tiba-tiba tangannya dicekal hingga tubuhnya berbalik. Dia langsung melepas cekalan itu, namun tenaganya kalah besar. "Maaf, aku nggak bermaksud untuk membentak kamu." "Lepasin!" pintanya dengan suara bergetar. "Kamu keras kepala sekali. Bisa nggak, sekali aja kamu mendengarkan aku tanpa harus berpikiran buruk tentang aku?" Tangisan Jenna semakin keras tanpa dia sadari. Rasanya dia ingin meluapkan semua emosi yang terkumpul dalam dirinya. Pria itu membawanya ke dalam pelukan. "Maaf, aku nggak akan membentak kamu lagi. Aku...aku nggak bermaksud untuk mengganggu kamu. Aku hanya..." Dada Jenna terasa sesak dan sakit luar biasa. Dia benar-benar benci menjadi dewasa. "Ssshhh, maaf. Aku nggak tahu lagi harus memakai cara apa buat meyakinkan kamu. Jadi..." "Kala!" Jenna memekik ketika tiba-tiba pria itu membopongnya dan membawanya ke dalam mobil. "Kamu apa-apaan sih? Turunin nggak?" Tapi pria itu seperti tuli. Dia dimasukkan secara paksa ke dalam mobil yang pintunya langsung dikunci oleh pria itu ketika dia hendak membukanya kembali. Matanya tak berhenti memelototi Kala ketika pria itu masuk ke sisi pengemudi. Ingin rasanya dia memukul kepala pria itu dengan brutal, namun mobil sudah memasuki jalanan yang ramai. Dadanya bergemuruh saat melihat sudut bibir Kala sedikit terangkat. "Aku benci banget sama kamu! Aku berharap semoga kamu pergi jauh dari hidupku!" ucapnya dengan berapi-api. Senyum Kala semakin lebar. "Jangan terlalu membenci aku. Nanti jatuh cinta loh." "Cih! Nggak sudi! Cowok kayak kamu pantesnya sama cewek-cewek murahan yang dengan senang hati ngangkang gratis di depan kamu. Dasar menjijikkan!" Tiba-tiba senyum Kala lenyap. Wajah pria itu berubah dingin. Kedua tangannya mencengkeram kemudi mobil dengan sangat erat. Diam-diam Jenna merasa takut kalau Kala mendadak mengamuk dan membuat mereka celaka karena mobil yang mereka kendarai menabrak. Salahnya sendiri kenapa mengucapkan kata-kata menyakitkan itu ketika masih di dalam mobil. *** Sepanjang perjalanan, mereka berdua hanya diam. Entah kenapa Jenna pun tidak berani untuk terus memaki Kala seperti biasanya. Begitupun saat tiba di tempat tujuan yang ternyata adalah rumah sakit. Saat bertanya siapa yang sakit, pria itu hanya diam saja dengan wajah dingin. Seperti saat ini, Jenna dibiarkan berdiri sendirian di depan sebuah ruang rawat setelah Kala meninggalkannya begitu saja. Apa pria itu marah? Kenapa Kala selalu marah setiap kali dia membahas tentang kebiasaan buruknya? Jenna mendengkus dan memutar mata dengan malas. Paling-paling itu hanya alasan Kala saja biar bisa bebas kembali pada wanita-wanitanya seperti dulu. Cih! Pura-pura marah biar dia simpati. Tidak sudi! "Dek? Kok cuma diem aja di situ? Ayo masuk." Jenna menoleh dan kaget ketika melihat Arman berjalan mendekatinya sambil membawa sekantong plastik besar berwarna hitam. "Loh, siapa yang sakit, Mas? Tadi di rumah juga sepi nggak ada orang. Pada ke mana?" Arman tidak menjawab. Pria itu malah langsung membuka pintu ruang rawat lebar-lebar. Mata Jenna membelalak ketika melihat siapa yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit. "Ayah? Kok nggak ada yang bilang kalau ayah dirawat di sini? Ayah sakit apa?" cecar Jenna dengan wajah panik sambil mendekati pria yang terlihat lemas itu. "Kamu mana denger mama teriak-teriak di depan kamarmu? Kalau udah ngebo, mau ada gempa pun nggak bakalan bangun. Lagian ngapain sih pintu kamarmu dikunci segala?" gerutu Bu Via. "Ma, jangan mulai lagi," pinta Arman sambil memegang lengan wanita yang telah melahirkan mereka. Bu Via mendengkus. "Ya semua kan gara-gara dia, ayahmu jadi harus dirawat di sini." "Ma, udah. Ayo makan dulu. Jenna, kita makan dulu. Jangan sampai perut dalam keadaan kosong saat hati terasa panas." Arman mengeluarkan bungkusan nasi ayam dan membagikannya. Bu Via menerima bagian Pak Bowo sambil cemberut dan mulai menyuapkan makanan itu ke mulut suaminya. Sementara Jenna, mau tak mau ikut makan juga. Perutnya memang kelaparan sejak tadi karena buru-buru keluar rumah. Setelah mereka selesai sarapan yang terlambat, Arman mengajak Bu Via untuk keluar dengan alasan harus mandi dan ganti baju. Membuat Jenna mengernyitkan dahi. Jadi maksudnya, ayahnya ada di rumah sakit ini sejak kemarin malam? Perasaan bersalah menghantamnya. Dia menoleh ke arah sang ayah yang tersenyum dengan bibir yang masih pucat. "Sini, ayah mau ngomong sama kamu." "Apa gara-gara Jenna menolak lamaran Kala?" Pria yang selalu bekerja keras demi menafkahi keluarganya itu menghela nafas panjang, lalu menggeleng. "Ayah hanya banyak pikiran saja. Kebetulan kamu bersikap seperti itu, jadi darah tinggi ayah kumat." Jenna menggigit bibir bawahnya. "Tapi ayah ngatain aku anak durhaka cuma gara-gara menolak lamaran Kala. Aku beneran nggak mau menikah sama dia, Yah. Lagian aku masih muda banget. Aku belum siap berumahtangga. Kala juga suka main cewek. Apa ayah tega aku nanti diselingkuhi sama dia terus?" Pak Bowo tersenyum. "Tidak semua yang kamu lihat itu sesuai dengan yang terjadi, Nak. Tapi ayah cuma minta satu hal sama kamu. Tolong, terima lamaran Kala."Acara ijab kabul yang diadakan secara mendadak itu entah kenapa terasa khidmat dan sakral, padahal Jenna hanya mengenakan kebaya yang dibeli dadakan dan dirias sederhana oleh Bu Siska, menantu Nenek Sekar.Tapi Jenna sebenarnya merasa heran. Kenapa kebaya itu terlihat begitu mewah dan sangat pas ditubuhnya, seolah-olah memang sengaja dijahit untuknya jauh-jauh hari sebelumnya? Kala tentu tidak tahu kebaya impiannya selama ini bagaimana, kan?Faktanya, kebaya yang dia kenakan saat ini sesuai dengan kebaya impiannya ketika menikah nanti. Mendadak sekujur tubuh Jenna merinding. Dia melirik pria yang selama ini begitu dia benci, tapi sebentar lagi akan menjadi suaminya.Di saat bersamaan, Kala juga meliriknya. Jenna sedikit tersentak karena kaget, lalu cepat-cepat dia melengos. Pria itu bahkan terlihat seperti sudah bersiap-siap sebelumnya. Mana ada menikah dadakan di rumah sakit, tapi pakaian mereka malah serasi seperti layaknya pengantin yang mengadakan pesta mewah?"Baik, kita mulai sa
[Jenna! Kamu di mana, Dek?]"Hmm, lagi di kafe. Nggak jauh dari rumah sakit kok," jawab Jenna dengan malas sambil menyeruput es coklat cappucino.Matanya menatap ke arah pintu masuk kafe yang agak jauh dari tempatnya duduk, ketika segerombolan laki-laki masuk. Matanya langsung melotot saat mengenali beberapa wajah mereka. Buru-buru dia menunduk sambil berpura-pura melihat buku menu.[Cepetan ke rumah sakit sekarang juga. Ayah drop!]"Hah? Iya, iya."Sambungan telepon terputus, tepat saat rombongan itu duduk di belakangnya. Tiga di antara enam orang itu adalah mantan-mantan kekasihnya yang putus setelah sehari jadian. Jenna berniat untuk mengabaikan mereka karena kondisi ayahnya jauh lebih penting, tapi tiba-tiba salah satu dari mereka menyeletuk."Aku kemarin lusa lihat Jenna keluar dari hotel. Gila, gayanya aja yang sok suci, sok ekslusif. Ternyata dia gampangan juga."Deg!Jenna urung berdiri. Dia penasaran dengan apa lagi yang akan mereka bicarakan tentang dirinya."Masa sih? Bukan
Sebenarnya, masih banyak yang ingin dibicarakan oleh Pak Bowo. Namun, Jenna sengaja menghindar dengan alasan mendapatkan panggilan telepon dari salah satu perusahaan tempat ia melamar kerja.Padahal yang sebenarnya terjadi adalah, tidak ada panggilan dari siapapun. Hanya ada pesan wa dari Bu Fera yang malas ia buka. Jenna hanya terlalu enggan mendengarkan entah apalagi alasan ayahnya agar dia mau menikah dengan Kala.Baginya, tidak ada alasan darurat yang membuatnya harus menikah dengan lelaki itu. Dan sampai detik ini, Jenna masih tidak bisa menghilangkan pandangan buruknya terhadap Kala. Dia masih ingin menikmati masa mudanya. Menjalin kasih dengan lelaki yang dicintainya. Seperti Rangga misalnya.Berbicara tentang Rangga, pria itu tidak menghubunginya sama sekali setelah mengantarkannya ke hotel. Meta juga tidak bisa dihubungi. Apa mereka benar-benar sesibuk itu? Padahal biasanya, kedua orang itu selalu menyempatkan diri untuk membalas pesan wa nya."Jenna? Kamu Jenna Sekar kan?"
Nafas Jenna mulai memburu. Kenapa orangtuanya begitu keras kepala? Sudah berapa kali dia bilang mengenai kelakuan buruk Kala, namun mereka seolah-olah menulikan telinga."Kenapa sih, ayah sama mama begitu ngotot aku harus menikah sama Kala? Apa keistimewaan dia sehingga kalian begitu memuja-muja dia? Apa karena dia ganteng? Buat apa ganteng kalau dia suka main perempuan?"Arman benar. Dalam keadaan hati panas begini, Jenna tidak bisa membayangkan jika perutnya kosong. Dia pasti tidak bisa berpikir dengan jernih."Aku nggak habis pikir sama kalian. Bahkan dalam agama pun, harus memilih suami yang baik. Tapi kalian justru memuja-muja Kala padahal dia suka check in di hotel sejak SMA dulu. Apa kalian rela kalau aku ketularan penyakit? Kalian rela aku dapat laki-laki pezina?"Nada suaranya mulai meninggi. Air matanya mengalir dengan deras."Dia bahkan suka membully aku baik secara fisik maupun mental. Dia suka ngatain aku dan mempermalukan aku di depan teman-temanku. Kenapa kalian tega me
"Kamu lagi kamu lagi! Kenapa sih, kamu selalu aja ada di sekitar aku? Perasaan habis menghilang berbulan-bulan, kamu terus mengganggu aku deh. Apa jangan-jangan kamu sengaja ngikutin aku ya?"Jenna sangat kesal sekali ketika Kala menarik tangannya menjauhi kos Meta. Pria itu bahkan tidak peduli ketika dia terengah-engah karena menaiki jalanan yang menanjak. Perutnya mendadak keroncongan. Baru sadar bahwa dia belum memakan apapun sejak keluar dari rumah."Lepasin nggak? Aku muak banget lihat kamu terus. Nggak tahu malu banget sih? Udah ditolak juga," gerutunya dengan hati jengkel bukan main.Kala selalu ikut campur dengan urusannya sejak dulu. Bahkan ketika dia baru saja jadian dengan pacarnya. Berkali-kali dia mengumpat dan mencaci lelaki itu, tapi Kala hanya diam saja.Jenna bahkan sampai lupa dengan kecurigaannya tadi mengenai Kala yang sedang berduaan dengan Meta di dalam kamar kos."Lepasin tangan aku! Aku ada urusan sama Meta. Kamu jangan gangguin aku...""Bisa diem nggak? Berisi
Suasana mendadak hening setelah Jenna melampiaskan amarahnya. Dia menatap Kala dengan kebencian yang semakin bertambah. Dia benar-benar muak dengan segala tingkah laku pria itu."Kamu jangan sembarangan kalau ngomong. Kala nggak mungkin melakukan hal buruk seperti yang kamu tuduhkan."Jenna tertawa getir saat ibunya masih saja membela Kala. Entah apa yang dilakukan oleh pria itu hingga keluarganya tertipu mentah-mentah."Kala itu anak yang baik. Mana mungkin dia nakal? Mamanya pasti marah...""Mama nggak tahu kan kelakuan Kala selama ini gimana? Dia suka ke hotel sama cewek yang berbeda-beda sejak SMA dulu! Itu yang mama bilang anak baik? Mama mau aku dapat suami pezina macam dia!" pekik Jenna dengan putus asa."Jenna, kamu pasti salah lihat...""Kamu juga mau belain dia mentang-mentang dia sahabat kamu? Aku kecewa sama kamu, Mas." Dia tidak mengerti kenapa mereka menutup mata terhadap kelakuan Kala. Lelaki itu berkelakuan buruk dan suka bermain wanita. Apa orangtuanya tidak takut ji
Seumur-umur, baru kali ini Jenna melihat orang bule secara langsung. Meskipun beberapa orang Malang memang memiliki wajah mirip bule, tapi mereka berbeda dengan bule asli.Di depan Jenna saat ini, seorang pria yang terlihat begitu dewasa menjulang tinggi seperti tugu monas. Jenna yang mungil sampai harus mendongak. Mata abu-abu, rambut coklat, kulit putih dengan wajah berewok yang sudah dicukur rapi. Mirip seperti tokoh-tokoh pria yang menjadi sugar daddy di novel-novel dewasa. Jenna mengerjap. Dia yakin tadi sudah bangun dari tidurnya. Tapi kenapa para pria dalam cover novel tiba-tiba keluar ke dunia nyata? Dia melihat pria lain di belakang pria itu. Wajahnya hampir mirip, tapi lebih cuek dan tidak mau melihat Jenna. Tipikal pria yang digilai oleh banyak wanita."Ehem!"Jenna terkesiap. Ternyata ada orang lain lagi di sebelah dua pria yang memiliki vibes sugar daddy itu. Dia melirik siapa pelaku yang berdehem tadi. Dan saat itulah, Jenna tertegun.Sejak kapan Kala memiliki mata berw
Seperti slow motion di film-film, Jenna berlari ke arah Kala dan menerjang pria itu sambil melayangkan pukulan ke wajah. Otaknya tidak bisa berpikir dengan jernih. Tangannya digerakkan oleh amarah yang menggebu-gebu."Aduh!"Barulah ketika Kala mengerang dan menangkap tangannya, Jenna seketika sadar. Apa yang baru saja dia lakukan? Dia menoleh ke arah Bu Fera yang melotot dengan mulut menganga, begitu juga dengan staff lain yang ada di ruangan itu."Mati aku," gumam Jenna setelah sadar apa yang telah terjadi. Kakinya refleks mundur dengan mata membelalak. Bagaimana jika Kala menuntutnya? Tapi ngomong-ngomong, pria itu sedang apa di ruangan HRD?"Aku..." Jenna langsung berbalik dan bersiap untuk berlari, sampai tiba-tiba tubuhnya melayang. "Aaaaaa, apa-apaan ini?!"Kepalanya berada di bawah dan matanya bersirobok dengan punggung Kala yang baru Jenna tahu begitu lebar dan terlihat kokoh. Hah? Kenapa dia baru tahu?"Kalajengkiiing! Turunin nggak? Kenapa kamu ngangkat aku kayak karung ber
Baru kali ini Jenna merasa badannya remuk, padahal tidak bekerja ekstra seperti pegawai pabrik. Mungkin karena dia tidak tidur sama sekali selama sehari semalam, sehingga tubuhnya mulai oleng. Setelah ini mungkin bagian bawah matanya menghitam."Jenna, ke ruangan HRD sekarang." Pak Budi mencegatnya ketika hendak keluar dari lobi."Hah? Kenapa lagi sih Pak? Saya udah nggak kuat ini, ngantuk banget. Jantung saya juga berdebar-debar," keluh Jenna dengan wajah memelas.Ternyata dunia kerja itu berat sekali. Tidak bisa bersantai-santai seperti saat kuliah dulu. Rasanya Jenna ingin menangis. "Cuma sebentar. Habis itu kamu bisa istirahat."Jenna berdecak. Dengan malas membalikkan badannya dan berjalan menuju ke lift, lalu menekan tombol angka 2. Matanya benar-benar sudah hampir terpejam ketika pintu lift terbuka. Untung suasana hotel masih sepi, sehingga dia tidak perlu merasa malu karena penampilannya tidak sesegar waktu berangkat."Jenna!"Sebelum pintu lift menutup, Pak Budi berteriak me