Suasana mendadak hening setelah Jenna melampiaskan amarahnya. Dia menatap Kala dengan kebencian yang semakin bertambah. Dia benar-benar muak dengan segala tingkah laku pria itu.
"Kamu jangan sembarangan kalau ngomong. Kala nggak mungkin melakukan hal buruk seperti yang kamu tuduhkan." Jenna tertawa getir saat ibunya masih saja membela Kala. Entah apa yang dilakukan oleh pria itu hingga keluarganya tertipu mentah-mentah. "Kala itu anak yang baik. Mana mungkin dia nakal? Mamanya pasti marah..." "Mama nggak tahu kan kelakuan Kala selama ini gimana? Dia suka ke hotel sama cewek yang berbeda-beda sejak SMA dulu! Itu yang mama bilang anak baik? Mama mau aku dapat suami pezina macam dia!" pekik Jenna dengan putus asa. "Jenna, kamu pasti salah lihat..." "Kamu juga mau belain dia mentang-mentang dia sahabat kamu? Aku kecewa sama kamu, Mas." Dia tidak mengerti kenapa mereka menutup mata terhadap kelakuan Kala. Lelaki itu berkelakuan buruk dan suka bermain wanita. Apa orangtuanya tidak takut jika dia tertular penyakit? Dua pria berwajah mirip itu langsung menatap Kala dengan tatapan menghakimi, membuat Kala langsung membelalak dan menggeleng-geleng. "Aku menolak lamaran ini. Lagian aku udah punya cowok yang aku suka." "Tidak bisa!" Pak Bowo berkata dengan tegas. "Ayah nggak setuju kalau kamu berhubungan dengan si Rangga itu. Ayah lebih suka kamu dengan Kala." Jenna tidak tahan lagi. Dia langsung berdiri tanpa mempedulikan kesopanan. Kepalanya menggeleng dengan hati yang begitu kecewa. "Aku tetap menolak lamaran ini. Aku nggak mau menikah sama dia." "Kamu harus menerima lamaran ini. Kamu mau menjadi anak durhaka?" bentak Pak Bowo. Kedua mata Jenna berkaca-kaca mendengar perkataan sang ayah. Mereka bereaksi terlalu berlebihan. Dia berhak untuk menolak lamaran dari laki-laki yang tidak dia suka, apalagi perjodohan. Tanpa membalas ucapan ayahnya, Jenna langsung beranjak dari tempatnya dan berlalu menuju ke kamar dengan setengah berlari. Hatinya benar-benar sakit karena kecewa. Kenapa mereka selalu memaksakan kehendak? Dia sudah menuruti kemauan mereka untuk kuliah di jurusan perhotelan, padahal dia ingin sekali kuliah di jurusan bisnis dan manajemen. Sekarang ketika dia dipecat karena ulah Kala, mereka sama sekali tidak marah. Kenapa mereka begitu egois? Tok! Tok! Tok! "Jenna! Buka pintunya dek!" Jenna menutupi telinganya dengan headset dan menyetel musik dari ponsel dengan volume tinggi agar tidak mendengarkan ucapan dari Arman di depan pintu kamarnya yang terkunci. Dia benar-benar sudah muak. Sekarang, dia menyesal kenapa dulu selalu ingin cepat menjadi dewasa karena bisa bebas dari pelajaran sekolah. Ternyata menjadi dewasa itu tidak enak. Selalu dituntut ini itu, harus bisa menghasilkan uang sendiri, dan yang paling dia benci, dia dipaksa untuk menikah padahal usianya masih 21 tahun. Kalau tahu akan begini jadinya, dia akan tinggal sendiri di kos seperti Meta. Dengan begitu, dia tidak akan diatur-atur oleh orangtuanya lagi. *** Suasana rumah begitu sepi ketika Jenna keluar dari kamar. Keningnya berkerut, tapi dia sama sekali tidak peduli. Lebih baik tidak bertemu dengan siapapun di rumah ini, karena dia benar-benar enggan jika harus kembali dicecar dengan tuntutan pernikahan. Sebuah motor berhenti di depan rumah tepat setelah Jenna menutup pintu. "Dengan Mbak Jenna Sekar Arum?" Jenna mengangguk. Dia menaiki jok penumpang dan memasang helm yang diberikan oleh tukang ojol. "Alamatnya bener ini ya, Mbak?" "Iya, Mas. Nggak terlalu jauh kok." Jenna ingin mengadu pada Meta mengenai masalah yang menimpanya. Biasanya, gadis itu akan memberikan solusi atau penghiburan yang membuat hati Jenna tenang. Sejak dulu, dia selalu berbagi apapun pada Meta. Seperempat jam kemudian, Jenna sudah sampai di depan kawasan kos yang begitu luas. Meskipun berbeda bangunan, semua kos-kosan itu milik satu orang. Terletak di ujung kompleks perumahan dan dekat dengan kampus. Setelah membayar ongkos ojek, Jenna menyusuri jalanan beraspal yang menurun. Kos-kosan itu memang terletak di bawah. Karena Malang merupakan daerah pegunungan, letak bangunan di sini naik turun mengikuti kontur tanah. Langkah Jenna melambat ketika melihat sandal pria di depan kos. Apa salah satu penghuni kos memasukkan pria ke dalam kamar? Setahunya, tidak boleh memasukkan laki-laki di kawasan kos itu. "Ah, paling main sebentar. Pintunya udah pasti dibuka kan?" gumamnya. Dia hampir melepaskan sandalnya ketika seseorang menghampirinya. "Mbak, kamu temennya Meta kan?" Jenna menoleh. Seorang gadis yang sering dilihatnya ketika berkunjung ke tempat ini. Setahunya bernama Neti. "Iya, kenapa ya?" Gadis itu menoleh ke sekitar sebelum menarik lengannya untuk menjauhi bangunan yang menjadi tempat kos Meta. Kamar Neti terletak di bangunan sebelahnya yang menghadap ke sisi bangunan yang ditempati oleh Meta. "Mbak, bisa nggak kamu ngasih nasehat atau teguran ke Meta? Jujur, aku sama temen-temen kos lain risih sekaligus was-was. Kalau ketahuan bapak kos, bisa makin diperketat aturan di sini. Cowokku nanti nggak bisa datang ke sini lagi. Padahal dia cuma nungguin di teras," ucap Neti dengan suara lirih. Kening Jenna berkerut. "Maksudnya gimana ya, Mbak? Emangnya dia ngapain?" Kedua mata Neti sedikit melotot. "Udah beberapa kali dia masukin cowok ke kamarnya." "Pintunya dibuka kali, Mbak. Meta nggak punya cowok kok." Jenna melebarkan mata saat teringat dengan Rangga. "Oh, mungkin itu sepupunya. Udah laporan kali sama bapak kos makanya dia santai aja." Bukannya lega, Neti justru mencengkeram lengannya. "Mbak, saksinya banyak nggak cuman anak-anak kos di tempatku. Anak-anak kos di tempat dia pun sering memergoki mereka berduaan di kamar dalam keadaan pintu tertutup. Kalaupun mereka sepupuan, bukannya boleh menikah?" Jenna tertegun. Selama ini, dia sudah biasa melihat interaksi Meta dan Rangga yang begitu akrab. Tidak, lebih tepatnya...terlalu akrab. Tapi kan mereka saudara. "Aku sering mendengar dari Meta kalau kamu suka sama sepupunya. Saranku, jangan terlalu percaya sama orang terdekat kamu. Biasanya, dia yang paling besar peluangnya untuk menusuk kamu dari belakang." Setelah mengatakan itu, Neti pergi. Sementara Jenna hanya berdiri mematung di tempatnya. Kepalanya menoleh ke kamar Meta yang terletak di depan halaman kos Neti. Penasaran, dia ingin mengecek sendiri apakah benar apa yang dikatakan oleh gadis itu. Telinganya sempat mendengar suara tawa Meta di dalam kamar. Sahabatnya itu memang diberi keringanan libur dua hari oleh bosnya setelah perjalanan bisnis dari luar kota. "Kamu nggak menghubungi Jenna? Nanti dia marah loh." Jantung Jenna mendadak berdegup kencang saat mendengar namanya disebut. Kakinya semakin cepat melangkah menuju bangunan kos yang ditempati oleh Meta. Apa sandal pria yang dilihatnya tadi adalah pacarnya Meta? Tapi siapa? Kenapa dia tidak diberitahu? Tapi kenapa pria itu bisa mengenal Jenna? Satu pemikiran membuat tubuhnya mematung di depan pintu. Jantungnya semakin berdebar tak nyaman. Apa jangan-jangan Kala? Pria yang mengenal Jenna sekaligus mengenal Meta hanya dua. Rangga dan Kala. Tiba-tiba ada rasa tak terima yang menyusup ke dalam hatinya. Nafasnya memburu. Dia meraih gagang pintu berkaca gelap dengan rasa tak nyaman di hati, namun... Grep! Jenna terkesiap dan refleks melepaskan pegangannya pada gagang pintu. "Dicari kemana-mana malah keluyuran di sini."Jenna terperangah mendengar perkataan yang keluar dari mulut Meta dengan entengnya. Kalau dia tidak mendengarnya sendiri, maka dia tidak akan pernah percaya.Kakinya melangkah menuju ke pintu yang ternyata sedikit terbuka. Jenna bisa melihat Meta di ruang tamu sedang membelakanginya di atas pangkuan seorang....pria.Hampir saja dia berteriak saking terkejutnya, kalau saja tidak bergegas menutup mulut dengan tangan. Matanya melotot tak percaya. Meta sedang naik turun di atas tubuh pria iu dengan desahan menjijikkan. Baju mereka masih utuh, hanya rok Meta saja yang dinaikkan ke atas. Lebih mengejutkan lagi saat tahu bahwa lelaki itu adalah Rangga. Rasanya seperti dihantam dengan benda keras di bagian dada kirinya. Selama ini, semua sudah direncanakan. Rangga berpura-pura baik dan perhatian padanya untuk menghancurkannya, sedangkan selama ini pria itu berhubungan dengan Meta."Lebih cepat lagi, Sayang!"Jenna mengernyit jijik, hampir saja muntah. Dia memalingkan muka dan sedikit bergese
"Aku minta maaf. Aku sudah tahu kalau Kala tergila-gila sama kamu dan sangat setia. Bahkan dia selalu menolak siapapun perempuan yang mengejar-ngejar dia atau sengaja mendekati dia. Semuanya demi kamu."Jenna masih tidak berbalik. Dia hanya menatap mobilnya dan beberapa orang yang lewat."Dia juga sudah bersikap tegas sama aku. Aku saja yang nggak tahu diri. Sebenarnya....sebenarnya sudah lama Kala menghentikan bantuannya untuk membiayai sekolah adik-adikku dan biaya pengobatan ibuku. Karena aku...aku pernah nekat datang ke penthouse-nya dan...." Suara Septi mulai terdengar lirih. "Dan sengaja telanjang di depannya."Panas, Jenna langsung berbalik dan menghampiri Septi dengan cepat. Ketika wanita itu mendongak, tangan Jenna melayang dan menghantam pipi kiri Septi hingga tubuh wanita itu terhuyung. Tangannya meraih rambut Septi dan menjambaknya dengan kuat."Apa kamu semurahan dan segatal itu sampai telanjang di depan laki-laki? Kamu pikir Kala itu laki-laki rendahan yang langsung takl
"Jangan banyak protes! Rumah itu memang bukan milik kita. Seharusnya kamu bersyukur karena dia tidak melaporkan Mbak ke polisi!""Aku nggak peduli! Aku mau menuntut Kala biar dia tanggung jawab!"Jenna hanya mematung di tempatnya berdiri. Seandainya saja dia belum mendengar semuanya dari Kala, mungkin dia akan langsung berlari meninggalkan tempat ini dan menangis seperti orang bodoh, sebelum akhirnya meminta cerai.Bahkan Jenna tidak sempat protes, ketika Kala menunjukkan semua rekaman CCTV yang berhubungan dengan Septi. Saking hafalnya pria itu pada tabiat Jenna yang keras kepala dan suka berburuk sangka.BRAK!Jenna terlonjak dan sedikit mundur. Pintu yang sudah lapuk itu hampir saja terlepas dari pengaitnya karena dibanting oleh seorang gadis yang terlihat lebih tua dari Jenna. Siapa dia? Apa kakaknya Septi? Tapi Kala bilang, Septi anak sulung."Siapa kamu?" Gadis itu menatap penampilan Jenna dari atas sampai bawah, lalu melirik mobil di belakang Jenna."Mbak Septi ada? Aku Jenna."
Semenjak Kala mencurahkan isi hatinya, hubungan mereka kian dekat. Jenna melihat pria itu dari sudut pandang yang berbeda. Selama ini, dia hanya fokus pada kebenciannya karena Kala menolak perasaannya. Lagipula, waktu itu dia masih sangat labil. Perasaannya begitu sensitif, sehingga belum mampu untuk mengelola emosinya."Harum banget. Masak apa?"Jenna memekik ketika sepasang tangan memeluk perutnya dari belakang. Dia masih belum terbiasa dengan perhatian-perhatian kecil dari pria itu, karena selama ini dia belum pernah pacaran."Iih, ngagetin aja! Nanti kalau aku kena wajan gimana?" gerutunya kesal."Nanti aku obatin." Kala mencium pipinya dari belakang. "Kelihatannya enak. Kenapa nggak minta Buk Ngatini aja buat masak? 'Itu' kamu masih sakit kan?"Kalau menuruti keinginannya, tentu saja dia maunya bermalas-malasan. Tapi petuah dari sang ibu yang sering berkunjung karena rumah mereka dekat, membuat kuping Jenna panas. "Meskipun kamu masih belum bisa menerima pernikahan ini, setidakn
Seandainya saja Jenna bisa menghilang, dia akan langsung menghilang saat ini juga. Tak pernah terbayangkan dalam hidupnya akan berada dalam posisi seperti ini. Harus buang air kecil di depan seorang laki-laki. Harga dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya. Jenna merasa dipermalukan. Dan dia merasa benci dan marah pada laki-laki yang kini menurunkan celananya itu. "Aku benci banget sama kamu!" ucapnya dengan ketus dan mata berkaca-kaca. "Aku tahu." "Kamu kenapa sih selalu menyebalkan dari dulu?" Kesal, Jenna menjambak rambut Kala dengan kuat sampai pria itu memekik. "Nanti keburu ngompol, Jen. Jangan ditahan," ucap Kala dengan sabar. Jenna menangis lagi. Selain karena malu, bagian intimnya benar-benar masih sakit. Saking sakitnya, dia bahkan tidak kuat berjalan jauh dan tidak bisa berjongkok. Apa begini rasanya melahirkan? Lagi-lagi tidak ada yang memberitahunya bahwa luka di bagian bawah sana rasanya berkali-kali lipat lebih sakit dari pada luka di bagian tubuh lain. Menahan malu dan h
"Hah? WC umum? Buat apa laki-laki tidur di WC umum? Apa nggak bau?" tanya Jenna tak mengerti.Kala menyentil dahi Jenna yang mengaduh."Dasar! Kamu nih, polosnya kebangetan.""Ck! Sakit, Ka!""Panggil Mas bisa? Aku ini suami kamu, loh," protes Kala.Jenna hanya memutar mata malas. Siapa suruh memaksanya menjadi istri? Dia sebenarnya belum siap untuk menikah. Yang dia pikirkan hanyalah mencari uang sebanyak-banyaknya dan berpacaran dulu. Menikah sama sekali tidak masuk dalam rencananya dalam waktu dekat."Kenapa cemberut, hm?"Jenna menatap Kala dengan kesal. "Kamu kenapa sih, tiba-tiba banget melamar aku? Padahal aku masih mau senang-senang dulu menikmati hidup. Masih pengen tahu rasanya pacaran gimana. Kerja aja belum ada setahun. Udah gitu, menikah pun dadakan di rumah sakit. Nggak ada perayaan kek, pesta mewah kek. Kesannya aku ini kayak boneka yang bisa diatur sesuka hati.""Kan udah kubilang kalau...""Aku dalam bahaya? Meta mau menjahati aku? Atau Rangga mau memperkosa aku? Tap