Siang itu para penjaga penjara lebih sibuk dari biasa. Beberapa orang berlarian dan mondar-mandir. Teriakan dan instruksi dengan suara keras terdengar di kejauhan. Di dalam sel penjara, Harvey dan ayahnya menunggu dengan gelisah. Tak ada seorang pun yang datang untuk memberi info lanjutan atas fitnah yang dikemukakan Darren di depan raja.
“Aku mengkhawatirkan ibu dan adik.” Harvey bicara pelan, seperti sedang bergumam pada dirinya sendiri. “Entah berita apa yang mereka terima tentang kasus ini.”
“Mereka akan baaik-baik saja,” balsa ayahnya yang sejak tadi terlihat tenang, duduk bersandar pada dinding sambil memejamkan mata. “Raja bukan orang yang gegabah memutuskan sesuatu.”
“Raja bahkan langsung melucuti jabatan dan mengirim kita ke penjara!” bantah Harvey. Keheranan melihat ayahnya masih membela sang raja, alih-alih mengkhawatirkan keluarganya sendiri.
“Itu harus dilakukannya untuk menunjukkan pada para pejabat lain bahwa kasus seperti iini akan diselidiki dengan cepat tanpa memihak.”
“Ayah!” bantah Harvey sedikit kesal.
“Tidak seperti itu caranya. Harusnya Raja memberi kita kesempatan mengajukan saksi dan data pembanding sebelum membuat keputusan mengurung kita di penjara. Bagaimana kita bisa mengumpulkan saksi dan bukti jika kita dikurung tanpa ada orang yang mengunjungi?”
“Percayalah … raja akan memberi kesempatan itu di depan hakim pengadilan. Yang Mulia akan minta Kementrian Kehakiman mengumpulkan saksi dan bukti yang dibutuhkan. Jangan khawatir …,” bujuk Duke Alden Vaelmont menenangkan.
“Hah!” Harvey berdiri daru duduknya dan mendekat ke jeruji besi. Diab isa melihat lebih jelas aktifitas di luar sel tempat mereka ditahan. Lalu duduk di sisi ayahnya dengan dahi berkerut.
“Kenapa aku merasa aneh dengan kesibukan di luar sana ya …,” bisiknya pada saang ayah.
“Kurasa Raja sedang menyiapkan pengadilan untuk kita, agar tak perlu berlama-lama di sini.”
Duke Alden Vaelmont akhirnya membuka mata dengan senyum menghiasi wajahnya. Bahkan meski tanpa pakaian kebesaran sebagai penanda seorang pejabat tinggi negara, aura bangsawannya tetap memancar kuat.
Harvey menyipitkan mata dengan kesimpulan ayahnya yang selalu berprasangka baik pada sang raja. “Semoga saja.”
Semenjak Darren mengkhianatinya, Harvey sudah kehilangan kepercayaan pada siapa pun, kecuali keluarga … yang sangat dikhawatirkannya saat ini.
Seorang penjagaa datang ke depan sel mereka berdua. Membuka kuncinya dan menghardik dengan keras, “Keluar!”
Harvey membantu ayahnya berdiri dan berjalan ke pintu. Kemudian kedua tangaan mereka diikat terpisah. Harvey menolak perlakuan tak layak itu dengan keras. “Sidang belum dibuat, keputusan belum ditentukan. Kenapa kau perlakukan kaami seperti penjahat!” ujarnya dengan nada tersinggung.
“Raja akan memulai siding. Apa kau layak mebuat Raja menunggu?!” Sebuah pukulan keras mendarat di punggungnya sebagai peringatan jika dia berulah lagi. Lalu keduanya didorong agar berjalan lebih cepat ke tempat sidang yang ternyata diselenggarkan di depan masyarakat, di depan Kementrian Kehakiman.
Perlakuan yang mereka terima tak beda dengan para perampok dan pencuri. Ini membuat Harvey menyimpan amarah di dadanya. Tapi, Duke Alden tetap berjalan dengan anggun dan percaya diri. Percaya penuh pada keadilan Raja, tempatnya mengabdi selama 20 tahun.
Masyarakat bersorak dan melontarkan kata-kata keji serta hinaan saat mereka berdua muncul. “Bunuh! Bunuh mereka sekeluarga!”
Tak kurang kata-kata keji terlontar seakan tuduhan Darren telah terbukti jelas. Harvey sedikit linglung dan melihat nanar ke satu arah. Di sana, tunangannya Selene Hareth berdiri mematung di samping kedua orangtuanya. Mereka bergeming dan hanya menonton tanpa inisiatip untuk mendekat atau sekedar menyapa, membangkitkan semangatnya. Harvey malah seperti melihat senyum samar Selene Hareth yang secara otomatis dibalasnya dengan senyum sumbang. Lalu senyum itu seketika lenyap tak berbekas, hingga Harvey meragukan matanya sendiri.
“Berlutut!” perintah penjaga sambil mendorong mereka berdua untuk jongkok di lantai semen.
Harvey jatuh dengan lutut mendarat keras di lanate. Wajahnya meringis menahan sakit. Wajahnya merah menahan rasa marah, karena belum pernah dipermalukan seperti tiu seumur hidupnya. Tapi, sebelum suaranya keluar dari mulutnya yang terbuka itu, sebuah lengking jeritan membuat kepala Harvey dan ayahnya menoleh ke satu arah.
Ekspresi terperanjat di wajah Duke Alden terlihat jelas. Matanya membeliak melihat istri dan putri cantiknya yang menjadi salah satu bunga paling indah di ibukota, kini mengalami perlakuan tak kalah mengenaskan.
“Ibu!”
Harvey lebih dulu menyadari keadaan, dibanding ayahnya yang shock. Dia ingin bangkit untuk menahan tangan kotor penjaga yang mendorong ibunya dengan kasar. Tapi sebuah pukulan tombak kembali menghantam punggung, membuatnya jatuh terjerembab.
“Yang mulia tiba!” Petugas mengumumkan kehadiran Raja yang datang dengan wajah masam dan dingin.
Duke Alden menatap sang raja dengan mata penuh pertanyaan, masih berharap pemegang kekuasaan tertinggi itu berbelas kasih pada istri dan putrinya yang kini diikat dan berlutut di belakang mereka.
Begitu Raja duduk, Duke Alden tak dapat menahan pertanyaan. “Yang Mulia, apa hubungan istri dan putriku dalam kasus yang bahkan belum disidangkan ini?”
Raja menoleh padanya dengan wajah dingin dan rahang mengeras menahan amarah. Amarah yang tak dapat dimengerti oleh Harvey dan ayahnya.
“Lancang!” seru pejabat kehakiman dengan suara keras. “Atas permintaan Yang Mulia, kami segera memeriksa semua bukti catatan dan saksi-saksi. Lihat di sana!”
Tangan pejabat kehakiman menunjuk ke sisi kiri, di mana beberapa orang terkapar setelah mengalami penyiksaan berat. Tubuh mereka penuh darah akibat luka-luka pukulan. Ada yang masih bergerak, ada pula yang sudah diam saja. Entah masih hidup atau sudah mati.
“Tidak! Mereka tak melakukan kesalahan!”
Harvey kembali bangkit memberontak, hingga pukulan lain kembali mendarat di punggungnya. Pria itu melenguh menahan rasa nyeri di tubuh dan hatinya. Orang-orang itu adalah para bawahan kepercayaannya. Orang-orang baik yang selalu ,membantunya di lapangan. Dia meludahkan darah kental dari mulutnya, akibat pukulan berulang yang kini telah melukai organ dalamnya.
Ayahnya mencoba menopang tubuh sang putra. Kini ekspresinya dingin membeku. Sepertinya pria paruh baya itu mulai menyadari bahwa tak perlu lagi berharap Raja akan bersikap adil. Karena istri dan putrinya saja ikut ditangkap bak penjahat. Kepalanya menoleh pada istri dan putrinya yang berlutut dengan mata ketakutan dan sembab akibat menangis. “Kalian harus kuat. Kita tak bersalah. Kebenaran akan muncul jika waktunya tiba.”
“Dengarkan Dekrit Raja!” Penjaga meneriakkan pengumuman tentang keputusan sang raja.
Harvey dan ayahnya saling pandang. Pria muda itu kembali ingin protes karena mereka bahkan belum disidang. Bagaimana mungkin Raja membuat keputusan seceroboh itu? Tapi gelengan ayahnya membuat gerakan Harvey terhenti.
“Diputuskan bahwa gelar bangsawan dua tersangka dan keluarganya dicabut sebagai hukuman atas penggelapan dana, penyelewengan material proyek Garnisun Timur, yang disimpulkan sebagi tindakan makar!”
Dua wanita bangsawan yang kini jadi orang biasa itu, tertunduk. Penjaga melanjutkan pembacaan Dekrit Raja.
“Karena kebaikan Raja, tersangka Harvey bersama ibu dan adiknya dikirim ke Vale Ardan.”
Dikirim adalah kata halus dari ungkapan dibuang dan jadi budak! Masyarakat terlihat puas dan menunggu apa hukuman yang akan diterima penasehat agung itu sebagai hukuman atas kejahatan makar yang merupakan kejahatan terberat di kerajaan.
“Tersangka Alden mendapat hukuman terberat, karena sebagai seorang penasehat kerajaan ternyata ikut serta dalam tindakan makar ini. Maka Raja memberi hukuman kerja paksa seumur hidup, di penjara terkejam Benteng Aether, di wilayah Selatan!”
Caci maki masyarakat yang hadir mulai terdengar saat raja berdiri dan meninggalkan tempat penghakiman itu. Di antara pengunjung, Harvey melihat Darren memeluk tunangannya dengan profokatif, dan Selene Hareth tersenyum manja pada serigala itu. Membuat Harvey meludah dengan rasa jijik.
“Hukuman dimulai … sekarang!”
“Kalau kau sibuk mikirin sakit, kau tak lihat seranganku berikutnya.”Tongkat Farel Moric melesat ke arah kepala.Refleks, Harvey menunduk. Tongkatnya sendiri terangkat. Bukan karena terlatih, tapi murni insting bertahan. Kayu bertemu kayu, terdengar bunyi keras.Farel Moric mengangkat alis. “Lumayan.”Harvey mengatur napas. “Kalau aku jatuh, aku mati, kan?”“Kurang lebih.” Farel Moric kembali menekan, serangannya deras, terukur. Ia tidak memberi Harvey ruang untuk berpikir panjang.Namun di tengah kepanikan, Harvey mulai melihat pola. Setiap kali Farel Moric menyerang dari kanan, ada jeda sepersekian detik sebelum serangan berikutnya. Setiap kali menyapu rendah, bahunya sedikit terbuka.Itu celahnya.Saat serangan Farel Moric berikutnya menghantam ke samping, Harvey sengaja mundur satu langkah, membiarkan pukulan nyaris mengenai dirinya. Lalu menusuk lurus ke arah perut lawannya.Farel Moric berhenti, tongkatnya hanya beberapa sentimeter dari wajah Harvey. Serangan Harvey pun berhent
Harvey mendengus pendek. “Kalau cuma mau ngoceh, simpan buat dirimu sendiri.”“Bocah keras kepala,” gumam pria itu. “Padahal kau butuh sekutu di tempat macam ini.”Harvey berbalik menghadapnya, tatapannya dingin. “Sekutu? Aku sudah cukup dikhianati sahabatku sendiri. Aku nggak butuh siapa-siapa.”Pria itu tersenyum samar, seolah sudah menduga jawaban itu. “Pengkhianatan memang dendam yang sangat dalam. Tapi ada hal yang lebih parah …,”Pria itu sengaja menjeda kalimatnya, menunggu reaksi Harvey. Tapi, karena pria muda yang diajaknya bicaara tak menunjukkan reaksi sama sekali, akhirnya dia melanjutkan juga kata-katanya dengan penekanan yang dalam.“Yang paling menyakitkan adalah … dikhianati oleh kerajaan yang kau bela mati-matian!”Kening Harvey berkerut. Ia nyaris tak tertarik, tapi nada suara pria itu terlalu yakin. “Siapa kau sebenarnya?”“Aku pernah jadi kepala strategi perang Jenderal Ravian,” jawabnya pelan. “Nama Jenderal Ravian pasti pernah kau dengar, kan?”Mata Harvey membel
Harvey diseret melewati koridor panjang tambang yang beraroma segala macam. Saat ia masuk ke dalam area kerja, puluhan budak lain menoleh ke arahnya. Itu pemandangan yang mengejutkan: puluhan pria dengan rantai di kaki mereka, tubuh penuh luka, wajah pucat dengan ekspresi datar dan lelah. Harvey melihat mereka seperti robot yang bergerak berdasarkan perintah.“Kerja! Atau kelaparan!” teriak seorang pengawas, kasar. Peringatan itu ampuh membuat semua orang kembali menggenggam alat untuk mengikis dinding gunung.Harvey tahu, ia baru saja dilempar ke neraka yang sesungguhnya. Sebuah pukulan di punggung, membuatnya terhuyung ke depan. Sebuah alat penggali dihentakkan ke dadanya. Sedikit sakit, tapi teriakan pengawas bermata tajam itu, memaksanya melupakan rasa sakit dan perih di sekujur tubuhnya.“Kerja!”Pria itu menunjukkan satu area tersendiri untuk dikerjakan Harvey. Jauh dari yang lain. Kejadian sebelumnya jadi pelajaran berharga untuk tidak tidak membiarkan Harvey dekat dengan peker
Sorak-sorai para pengawas dan pekerja tambang menggema gegap gempita. Kerumunan itu menciptakan lingkaran manusia yang jadi pembatas hidup, mengelilingi Harvey dan sang Kapten di tengah. Para budak diliburkan pagi itu. Kapten sangat ingin memberikan “hiburan” pada mereka.“Budak melawan Kapten?” salah seorang pengawas tertawa keras. “Ini akan jadi pertunjukan paling menggelikan!”“Kurasa itu hanya akan berakhir brutal!” Rekannya menimpali.“Mari kita taruhan,” ajak salah seorang memanaskan situasi. “Apakah dia mati, atau sekarat dihajar Kapten?”“Mati!” Seseorang menyerahkan sekeping uang pada rekannya yang membuka pertaruhan dadakan.“Sekarat!” Yang lain ikut serta.Pertaruhan makin meramaikan suasana yang tak biasa di tambang itu.Di tempatnya, Kapten mengayunkan tongkat besinya, memutarnya sekali di udara hingga terdengar suara mendesis. Senyum sinis melekat di bibirnya. “Kau benar-benar tak tahu tempatmu. Aku akan memberimu pelajaran berharga, agar kau tak lupa statusmu di sini!H
Pekerja yang tadi dipukuli telah mengalami banyak luka dan nyaris pingsan di sebelah pengawas yang lengannya bersimbah darah. Lalu terdengar suara dan derap langkah ramai menuju ke tempat mereka. Itu adalah para petugas dan pengawas tambang yang memeriksa apa yang terjadi di dalam.“Siapa—”Pengawas itu tak perlu bertanya lagi. Dia bisa lihat kalau Harvey yang telah melakukan tindakan seberani itu. Alat penggali itu masih digenggamnya kuat dan sorot mata penuh kebencian.“Kau sudah bosan hidup, rupanya!”Kemudian tiga pengawas menedang dan memukuli Harvey tanpa ampun. Tak ada pekerja lain yang peduli. Semua membalikkan badan dan kembali bekerja. Harvey mengingat itu dengan api amarah.***Guyuran hujan membuatnya sadar dan mencoba membuka mata. Tubuhnya menggigil keras. Tanda dia sudah lama terpapar hujan dan angin dingin. Rasa nyeri dan senut-senut di wajah, serta kesulitannya membuka mata, meyakinkannya bahwa wajahnya sudah tak berbentuk saat ini.“Kau gigih juga. Seperti kucing yan
“Bangun! Kerja!”Petugas tambang menggebrak pintu ruangan itu. Membuat semua yang sedang istirahat terbangun dengan wajah terkejut. Begitu pula Harvey. Dia memang sudah cukup istirahat. Tapi tubuhnya makin lemah, sebab tak diberi makan sejak dia tersadar kemarin. Harvey juga tak melihat orang-orang sakit lain mendapatkan makaan kemarin.“Aku lapar, bisakah--”“Kerja dulu, baru makan!”Teriakan itu disertai pemukulan kayu ke dinding batu, membuat hati yang lemah, merasa kecut dan takut.Beberapa orang yang sudah sadar dan sanggup berdiri, segera berdiri. Kemudian berjalan secara otomatis ke pintu. Patuh tanpa suara. Harvey digebah untuk bangun, meski terhuyung-huyung.“Tak ada makan siang gratis! Semua harus kerja untuk makan!”Teriakan itu kembali terdengar dari ruangan berdinding batu lainnya, saat Harvey berjalan mengikuti barisan orang-orang. Mereka digiring ke mulut gua batu yang dapat dipastikan bahwa itu adalah pintu tambang. Beberapa orang keluar dari dalam sana dengan wajah ko